• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

3. Unsur Intrinsik Cerita Pendek

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2010: 23). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Menurut Nurgiyantoro unsur intrinsik terdiri dari tokoh, alur, latar, tema, bahasa, dan amanat atau moral. Unsur-unsur yang akan

diteliti dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik yang ada dalam cerpen Dokter karya Putu Wijaya.

a) Tokoh

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Menurut Sudjiman (melalui Budianta, dkk 2008: 86), jenis tokoh menurut peranannya terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 176-177). Ia merupakan tokoh yang banyak, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan dalam novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2010: 176-177). Pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan denga tokoh utama secara langsung ataupun tidak langsung. Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero. Tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 2010:178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, pembaca.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang melawan protagonis. Tokoh penyebab terjadinnya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2010: 178). Jadi, dari definisi di atas peneliti menyimpulkan tokoh adalah para pelaku yang ada dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa dalam sebuah cerita.

b) Penokohan

Menurut Jones (melalui Nurgiyantoro 2010: 165), Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.

Menurut (Minderop 2011: 6-7), pelukisan atau penggambaran karakter (watak) tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah metode yang dilakukan secara langsung oleh si pengarang. Metode ini mencakup:

1) Karakter melalui penggunaan nama tokoh. Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memberi ide atau menumbuhkan gagasan,

memperjelas serta mempertajam perwatakan tokoh. Pemberian nama pada tokoh bertujuan untuk melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh yang lain.

2) Karakter memalui penampilan tokoh. Penampilan tokoh dapat dibentuk apa yang dikenakan dan bagaimana ekspresinya. Metode perwatakan menggunakan penampilan tokoh memberi kebebasan pengarang untuk mengekspresikan persepsi dan sudut pandangnya.

3) Karakter melalui tuturan pengarang. Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narrator dalam menentukan kisahnya. Pengarang berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh sehingga menembus ke dalam pikiran, perasaan, dan gejolak batin tokoh. Di samping itu, dalam metode ini pengarang tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.

Metode tidak langsung adalah metode yang lebih banyak dipilih penulis modern. Pada metode ini, pembaca harus memahami watak tokoh dengan melalui dialog dan action mereka (Minderop, 2011: 7-9). Metode tidak langsung terdiri:

1) Karakteristik melalui dialog. Karakteristik memalui dialog terdiri atas apa yang dikatakan penutur, jatidiri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara, penekanan, dialeg, dan kosa kata. Melalui dialog yang dilakukan oleh tokoh, maka pembaca dapat menganalisis dan menarik kesimpulan berkaitan dengan penokohan/perwatakan tokoh yang dimaksud.

2) Lokasi dan situasi percakapan. Melalui lokasi percakapan, pengarang dapat menggambarkan suatu keadaan. Melalui situasi percakapan, pengarang dapat juga menggambarkan watak tokoh dalam suatu cerita. Lokasi dan situasi percapakan berperan penting agar pembaca memiliki gambaran cerita.

3) Jati diri tokoh yang dituju oleh penutur. Penutur yang dimaksud adalah tokoh lain dalam cerita yang menyampaikan tuturan atau cerita mengenai tokoh tertentu yang berperan pula dalam cerita tersebut.

4) Kualitas mental para tokoh. Kualitas mental para tokoh dapat diketahui ketika tokoh berbicara atau bercakap-cakap dengan tokoh lain melalui alunan dan aliran tuturan.

5) Nada, suara, tekanan, dialek. Nada suara jika dieksperikan dengan baik secara eksplisit maupun implisit maka dapat memberikan gambaran kepada pembaca berkaitan dengan watak si tokoh. Penekanan suara memberikan gambaran tentang tokoh karena memperlihatkan keaslian watak tokoh. Misalnya pemarah, bijaksana, dan sabar. Penekanan suara juga dapat merefleksikan pendidikan, profesi dan dari kelas mana si tokoh berasal. Sedangkan dialek dan kosa kata dapat mengungkapkan pendidikan profesi dan status sosial si tokoh.

6) Karakteristik melalui tindakan para tokoh. Tingkah laku di sini diartikan sebagai tindakan tokoh dalam cerita.

c) Alur

Nurgiyantoro (2010: 111), mengatakan bahwa untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering menggunakan istilah alur atau jalan cerita,

sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur, naratif, susunan, dan juga sujet. Wiyatmi (2006: 36) alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Tahap memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Struktur alur menurut Sudjiman (1992: 30) terdiri dari tiga tahap yaitu awal (paparan, rangsangan, gawatan), tengah (tikaian, rumitan, klimaks), akhir (leraian, slesaian). Berikut akan dikemukakan mengenai struktur alur menurut Sudjiman (1992: 30-36).

1) Awal a. Paparan

Penyampai informasi kepada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Paparan biasannya merupakan fungsi utama awal suatu cerita. Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya (Sudjiman, 1992: 32).

b. Rangsangan

Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras. Tak ada patokan tentang panjangnya kapan disusun oleh rangsangan dan berapa lama sesudah itu sampai gawatan (Sudjiman, 1992: 33).

c. Gawatan

Tidak ada patokan tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan berapa lama sesudah itu sampai pada gawatan (Sudjiman, 1992: 33).

2) Tengah a. Tikaian

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan, satu diantarannya diwakili oleh manusia pribadi yang biasanya menjadi protagonis dalam cerita. Tikaian merupakan pertentangan antara dirinnya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, atau pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu (Sudjiman, 1992: 34-35).

b. Rumitan

Rumintan merupakan perkenalan dari gejala mulai tikaian menuju ke klimaks cerita. Ini disebut rumitan (Sudjiman, 1992: 35).

c. Klimaks

Klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya. Di dalam cerita rekaan rumitan sangat penting. Tanpa rumitan yang memadai tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks (Sudjiman, 1992: 35).

3) Akhir a. Leraian

Leraian adalah bagian struktur alur sesuai klimaks yang menunjukkan perkembangan ke peristiwa kearah selesai (Sudjiman, 1992: 35).

b. Selesaian

Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi mengandung penyelesaian masalah yang melegakan (happy ending). Boleh juga mengandung penyelesaian masalah yang menyedihkan misalnya si tokoh bunuh diri. Boleh jadi juga pokok masalah tetap menggantung tanpa pemecahan. Jadi, cerita sampai pada selesaian tanpa menyelesaikan masalah, keadaan yang penuh ketidakpastian, ketidakjelasan, ataupun ketidakpastian (Sudjiman, 1992: 36).

d) Tema

Tema adalah sebuah cerita yang dapat dipahami sebagai sebuah makna, makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu (Nurgiyantoro, 2010: 80). Menurut Jakob Sumardjo (melalui Rampan 2009: 3), mendefinisikan tema adalah ide sebuah sebuah cerita. Tema yang baik adalah yang bersifat universal, tidak akan ditinggalkan oleh waktu, semua zaman dan masa bisa menerimannya, tidak bersifat momental atau temporer, sedangkan menurut Hartoko dan Rahmanto (melalui Nurgiyantoro 2010: 68), tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Untuk menemukan

tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.

Menurut sayuti (2000: 193), tema diklarifikasi menjadi lima jenis yaitu tema jasmaniah, tema moral, tema sosial, tam egoik, dan tema ketuhanan. (1) tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia, (2) tema moral merupakan kelompok tema yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia yang wujudnya tentang hubungan antar manusia, antar pria dan wanita, (3) tema sosial meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda, (4) tema egoik adalah tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial, (5) tema ketuhanan merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. Dalam upaya menentukan dan menafsirkan tema , terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yaitu (1) penafsiran tema hendaknya mempertimbangakan setiap detail cerita yang tampak terkedepankan (foregrounded), (2) penafsiran tema suatu karya fiksi hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita, (3) penafsiran tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam karya fiksi yang bersangkutan, (4) penafsiran tema haruslah mendasarkan dari bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita. Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa tema adalah gagasan utama atau ide yang ada dalam sebuah cerita.

e) Latar

Setting dalam fiksi bukan hanya sekadar background. Artinya, bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinnya, tetapi setting atau latar erat hubungannya dengan tema, karakter, suasana dan unsur lainnya dalam cerpen, sehingga pengarang cerpen harus mampu menciptakan latar yang sinkronis dengan karakter tokoh dalam cerpennya. Pengarang harus konsisten dengan bangunan cerpen agar latar yang diciptakan tetap efektif untuk keseluruhan cerpen itu. Menurut A. Bakar Hamid tugas utama latar ialah memberi suasana kepada peristiwa dan manusia yang terdapat dalam sebuah cerita (Rampan, 2009: 7). Abrams via Nurgiyantoro (2009: 216), mendefinisikan latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinnya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Menurut Nurgiyantoro (2010: 227-234), latar dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinnya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar waktu berbuhungan dengan masalah “kapan” terjadinnya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah kaya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasannya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikatakan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Jadi, menurut peneliti latar adalah segala keterangan dan petunjuk yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan suasana dalam cerita.

f) Sudut Pandang

Abram (melalui Nurgiyantoro 2010: 248), mendefinisikan sudut pandang sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritannya. Definisi yang hampir sama disampaikan oleh Booth (melalui Nurgiyantoro 2010: 249), ia mendefinisikan sudut pandang sebagai teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

Menurut Nurgiyantoro (2010: 256-264), sudut pandang dibedakan menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “dia”, sudut pandang persona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran. Dalam sudut pandang persona ketiga, pengarang menyebutkan sang tokoh dengan menyebut nama, atau kata ganti ia,

dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita khususnya yang utama, kerap akan terus menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang dibicarakan dan nama tokoh yang bertindak. Sudut pandang persona ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan cerita. Dua golongan tersebut adalah “dia” mahatahu dan “dia” terbatas. Bersifat hamatahu jika pengarang, narrator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, ia bebas bergerak dari “dia” yang satu ke “dia” yang lain, sedangkan bersifat terbatas jika pengarang memiliki keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan.

Dalam sudut pandang personal pertama, pengarang atau narrator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita. “Aku” mungkin menduduki tokoh utama, jadi tokoh utama protagonis, atau berlaku sebagai saksi, sedangkan sudut pandang campuran yaitu sudut pandang di mana pengarang dalam mengisahkan tokoh dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” dan sudut pandang person pertama “aku” secara bergantian. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulakan bahwa sudut pandang merupakan cara seorang pengarang dalam menggambarkan tokoh agar pembaca mengenali,

mengerti, dan memahami setiap tindakan yang dilakukan oleh tokoh yang diceritakan.

g) Amanat

Amanat sering disebut moral. Moral menurut Kenny (melalui Nurgiyantoro, 2007: 231), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Jenis dan wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes yang bersangkutan. Ajaran moral ini dapat mencakup seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia. Persoalan hidup manusia ini dibedakan menjadi persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 2010: 323).

Moral dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagi suatu saran yang berkaitan dengan ajaran moral tertentu yang terkandung dalam cerita itu, atau sengaja dimaksudkan oleh pengarang untuk disampaikan kepada pembaca lewat cerita yang bersangkutan. Dalam hal ini sebagaimana halnya tema, moral pun dapat dipandang sebagai makna, makna yang dapat diperoleh pembaca yang mengandung unsur kemanfaatan bagi dirinya (Nurgiyantoro, 2010: 81). Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang mengandung nilai moral, makna dan sangat bermanfaat bagi kehidupan pembaca.

h) Bahasa

Bahasa adalah cara pengungkapan seseorang yang khas bagi seseorang pengarang (Wiyatmi, 2006: 42). Menurut Abram (melalui Nurgiyantoro 2010: 276), bahasa disamakan dengan style yang merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.

Bahasa pada hakikatnya adalah pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri dilain pihak merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang diperguankan dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 2010: 277). Dari definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahasa adalah bahasa yang digunakan pengarang apakah mudah dipahami, kata-kata tidak berbelit-belit, mudah dimengerti oleh pembaca atau sebaliknya.

Dokumen terkait