• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur-Unsur Penerapan Sanksi Pidana Qanun Nomor 13 tahun 2003 Judi dalam bahasa Arab yaitu al-Maisir, secara bahasa berarti mudah atau

BAB III TINDAK PIDANA JUDI MENURUT SYARIAT ISLAM DAN QANUN QANUN

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA JUDI MENURUT HUKUM POSITIF DAN QANUN

A. Perbandingan Penerapan Sanksi Pidana Menurut Pasal 33 KUHP dengan Qanun 13 Tahun 2003 dengan Qanun 13 Tahun 2003

2. Unsur-Unsur Penerapan Sanksi Pidana Qanun Nomor 13 tahun 2003 Judi dalam bahasa Arab yaitu al-Maisir, secara bahasa berarti mudah atau

kekayaan. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan berhak mendapatkan taruhan tersebut.32

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa perjudian dinamai Maisir, karena hasil perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha kecuali

32

78

menggunakan undian dibarengi oleh faktor untung-untungan.33 Abdul Mujieb memahami judi sebagai taruhan atau suatu bentuk permainan untung-untungan dalam masalah harta benda yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada semua pihak.34

Perjudian adalah “tiap-tiap permainan yang pengharapan untuk menang hanyalah tergantung pada suatu keberuntungan semata-mata, kebetulan dan nasib dan rezeki saja.”

35

Lebih lanjut dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa judi adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan seperti main dadu, kartu dan sebagainya. Judi dapat juga bermakna mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta Pasal 1 sub 20 Qanun Maisir menentukan bahwa Maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapat bayaran.

Pasal 303 ayat (3) KUHP menyebutkan, yang dikatakan main judi adalah: “Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung main judi ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala pertaruhan yang lainnya.”

33

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’anVol. I,

Lentera Hati, Jakarta, 2000, hlm. 437

34

Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 142

35

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AIIM-PTHM, 1983, hlm. 278.

semula. Sedangkan judi buntut adalah perjudian liar dengan cara menebak nomor akhir dari undian resmi.36

2. Adanya pembayaran oleh pihak yang kalah (kalah bertaruh) kepada pihak yang pihak yang menang.

Di dalam penjelasan resmi pada bagian umum Qanun Maisir dicantumkan kembali pengertian ini dengan redaksi: “Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.”

Dari pengertian-pengertian diatas dapat dinyatakan ada dua unsur utama dalam perbuatan Maisir (judi), yaitu:

1. Ada taruhan (tebakan);

37

Taruhan (tebakan) adalah pernyataan atau perbuatan untuk memilih salah satu dari beberapa kemungkinan yang didasarkan atas faktor kebetulan (untung-untungan). Mungkin sekali pemilihan tersebut tidak seluruhnya berdasarkan faktor kebetulan atau untung-untungan semata, tetapi ada juga misalnya pertimbangan pengalaman, catatan tentang keberhasilan dan kegagalan (pada masa sebelumnya), atau juga karena ketrampilan ataupun kelicikan.38

Akan tetapi bagaimanapun juga suatu perbuatan dikatakan bertaruh kalau penentuan (pemilihan) pemenang pada akhirnya didasarkan atas faktor untung-untungan. Sebagai contoh, kemenangan dalam bermain domino, relatif sangat ditentukan oleh buah (nomor batu) yang didapat; sebaliknya dalam permainan

36

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 200.

37

Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005, hlm. 266.

38

80

catur kemampuanlah yang relatif lebih dominan menentukan menang tidaknya salah satu pihak, karena para pihak memperoleh bidak dengan jumlah dan jenis yang sama. Tetapi bagaimanapun, kemenangan dalam permainan ini pada akhirnya tetap mengandung unsur untung-untungan. Orang-orang yang berusaha menentukan (memilih) pemenang diantara pihak yang bermain sebelum permainan (pertarungan) dimulai, atau paling kurang sebelum permainan berakhir, dikatakan bertaruh karena penentuan itu (sampai batas tertentu) mereka dasarkan atas dugaan-dugaan, atau untung-untungan.39

39

Ibid

Syarat yang kedua, ada pembayaran kepada pihak yang menang. Dalam perjudian tradisional, pembayaran dilakukan oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang secara langsung. Dalam perjudian yang lebih rumit, biasanya ada pihak ketiga yang menjadi Bandar, yang akan mengelola alur keuangan dan pembayaran dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang, disamping mengambil sebagiannya bahkan mungkin yang terbanyak untuk keuntungan Bandar tersebut. Dengan demikian, baik secara langsung ataupun tidak pihak yang kalahlah yang membayar kepada pihak yang menang. Kalau yang membayar tersebut pihak lain (bukan pihak yang bertaruh) maka pembayaran tersebut tidak termasuk judi, tetapi dapat dikelompokkan ke dalam pemberian hadiah. Begitu juga kalau mereka hanya menebak dan tidak ada pembayaran maka perbuatan tersebut bukanlah judi, walaupun barangkali sudah menyerempet ke perbuatan judi.

Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maisir (perjudian) adalah suatu perbuatan (pertandingan/ pertarungan/ perlombaan) yang mengandung unsur taruhan antara dua orang atau lebih dimana yang menang memperoleh bayaran dari yang kalah, dan yang kalah harus menyerahkan harta kekayaannya kepada kepada pemenang.

Pasal 5 Qanun Maisir menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan Maisir. Yang dimaksud setiap orang dalam ayat ini dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) disebutkan adalah orang yang beragama Islam. Kemudian pada ayat (2) dilanjutkan bahwa setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap isi Qanun Maisir dan pelaku termasuk dalam kategori sebagaimana penjelasan diatas maka terhadapnya dikenakan hukuman sebagaimana diancamkan Pasal 23 tentang ketentuan ‘uqubat.

Di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) qanun diatas terdapat unsur-unsur:

1. Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha menjadi sasaran dari penerapan isi qanun ini.

2. Menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir. Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir. Dengan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan Maisir

82

maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan dikenakan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 23 qanun ini.

3. Menjadi pelindung terhadap perbuatan Maisir. Maksudnya setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap perbuatan Maisir. Melindungi disini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari usaha penyidik melakukan penggerebekan orang yang sedang melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi.