• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. FORMATIO (PEMBINAAN) PARA NOVIS BERDASARKAN

C. Spiritualitas Keluarga Kudus Yesus Maria dan Yosef sebagai Daya

1. Unsur-unsur Spiritualitas Yesus Maria dan Yosef yang menjadi

Proses pembinaan religius sejak awal dalam suatu tarekat mendasarkan pada semangat hidup kongregasi yang menjadi kekhasan dalam suatu tarekat tertentu. Kekhasan yang dimiliki oleh suatu tarekat disebut spiritualitas. Spritualitas KKS yang menjadi kekhasan hidup tarekat tersirat dalam motto Kongregasi yaitu “Yang Ilahi bersembunyi dalam hati manusia” (bdk. Yoh 1:14). Kongregasi menangkap bahwa kehadiran Allah tidak hanya melalui peristiwa-peristiwa yang besar, sebaliknya melalui kehadiran orang-orang yang dilayani itulah Allah juga hadir. Sebagai hamba Tuhan dalam hidup sehari-hari maupun dalam karya dan

pelayanan para suster maupun calon berusaha beriman,taat,setia, mencintai tugas perutusan Kongregasi dengan membawa warta keselamatan, khususnya dalam keluarga-keluarga dengan menanamkan nilai-nilai iman kristiani. yang mampu melihat kehadiran Ilahi dalam hidup manusia. Sebagaimana yang dilakukan Keluarga Kudus Nasaret yang mampu memandang, mencari, dan mendengarkan kehendak Allah, meskipun dalam mewartakan dan memperjuangkan nilai-nilai kerajaan Allah tidak luput dari berbagai macam kesulitan, penolakan, tantangan dan penderitaan, dalam pelayanan dan perbuatan kasih, namun semua peristiwa yang dialami dilihatnya sebagai kehendak Allah dan dari peristiwa tersebut mampu menangkap “Kehadiran yang Ilahi dalam hidup manusia”.

Kongregssi percaya bahwa Allah senantiasa menyertai perjuangan para suster KKS pada saat yang paling gelap dalam hidup dan senantiasa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang menyelamatkan. Oleh karena itu unsur-unsur spiritualitas sungguh merupakan daya penggerak bagi para pembina juga bagi para calon agar semakin tanggap terhadap gerak Allah yang telah memanggil dan yang telah memilihnya. Sebagai anggota Kongregasi Suster Dina keluarga Suci diharapkan juga memiliki komitmen dalam menghayati unsur-unsur spiritualitas yang hidup dalam Keluarga Kudus. Para suster KKS sadar bahwa menanamkan nilai-nilai iman dalam keluarga hingga perlu kesadaran bahwa Allah sungguh hadir dalam hati manusia. maka spiritualitas Yesus Maria dan Yosef merupakan daya penggerak dalam seluruh dimensi kehidupan baik kultural maupun intelektual dan amat berpengaruh dalam proses formatio dengan unsur-unsur yang terkandung didalamnya antara lain iman, doa, ketaatan, kesediaan melayani, kesederhanaan dan penderitaan (Konst 2003, art. 12-26).

a. Iman

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat. Iman juga diartikan sebagai bentuk penyerahan total kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena terpaksa, melainkan dengan sukarela (KWI, 1996: 128-131). Iman menuntut suatu kesetiaan yang bebas dari pihak manusia, tetapi pada saat yang sama iman juga mesti diberikan kepadanya, sebab mereka adalah orang yang berhak mengetahui kekayaan Kristus, karena itu setiap pribadi yang mengharapkan apa yang tak kelihatan membutuhkan suatu ketekunan.

Dalam iman manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba terbatas, menyapa dan memanggilnya. Berdasarkan pengalaman hidup sebagai orang beriman, para suster KKS sebagai hamba Tuhan dalam hidup sehari-hari, dan dalam karya pelayanan, berusaha beriman, taat, setia mencintai tugas perutusan Kongregasi dengan membawakan warta keselamatan. Dalam perjalanan waktu, semua nilai kehidupan baik nilai iman yang berhubungan dengan eskatologis maupun nilai moral mengatur baik buruknya proses pembinaan bagi calon religius KKS secara keseluruhan, sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi sebagai berikut:

Maria dan Yusuf mendampingi Yesus dalam perkembangan iman, mencari kehendak Allah, dalam terang gelap, dalam keterbukaan bagi Allah dan Sabda-Nya melalui renungan dan semangat iman. Oleh karena itu Iman menjadi dasar dan kekuatan kita dalam melaksanakan kegiatan, pekerjaaan, gaya kerasulan, melalui hidup sehari-hari (Konst 2003, art. 15).

Proses perkembangan iman Keluarga Kudus Nasaret menolong religius KKS untuk semakin belajar menghayati hidup dan karya dalam terang dan gelap iman. Karena itu perkembangan iman para calon suster KKS pada dasarnya dimaknai

sebagai kesadaran hati nurani, bukan berdasarkan ilmu dan teknologi yang menyeret manusia kepada kepuasan diri dan kenikmatan duniawi semata. Dalam iman manusia diharapkan mengakui bahwa Allah yang tak terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba terbatas, menyapa dan memanggilnya.

b. Doa

Doa pada hakekatnya adalah mengangkat hati dan mengarahkan seluruh pandangannya kepada Tuhan dan menyatakan diri sebagai anak Allah dan mengakui Allah sebagai Bapa. Doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan atau satu permohonan kepada Tuhan. Doa berarti pernyataan kepercayaan akan kasih sayang Allah. Doa hanya mungkin dalam dan oleh Roh Kudus, sebab kasih Allah telah dicurahkan dan dikaruniakan oleh Roh Kudus di dalam hati setiap orang (KWI, 1996: 194).

Keluarga Suci mengikuti irama doa menurut kebiasaan orang Yahudi saleh pada zaman Yesus. Sejak masa muda Yesus membiasakan diri dengan renungan dan doa, maka ia penuh hikmat dan semakin dikasihi oleh Allah dan manusia. Yesus menanamkan dan mengembangkan kebiasaan dan pendalaman doa pribadi, selama puluhan tahun di Nasaret. Doa Yesus mengungkapkan hubungan mesra dengan Allah Bapa-Nya (Konst 2003, art. 16). Maka sudah sewajarnya apabila dalam proses pembinaan para novis dibantu untuk terus setia membangun relasi dengan Tuhan sebagai kekuatan hidup dan panggilannya.

Doa merupakan kekuatan yang didasarkan pada iman dan kepercayaan atas cinta kasih kepada Allah Bapa yang tak terhingga. Dalam kehidupan Keluarga Kudus selalu mengikuti irama doa menurut kebiasaan orang Yahudi, dengan

membina hubungan dekat dengan Tuhan (Konst 2003, art. 16). Setiap suster perlu menumbuhkan ketrampilan rohani, menghayati hubungan antara doa dan karya dalam kesatuan seperti yang diteladankan Tuhan Yesus. Demikian pula para calon dalam proses pembinaan juga perlu membagun keterampilan rohani dalam kesatuannya dengan Tuhan yang membuat mereka mampu menghadapi berbagai macam tuntutan dalam pembinaan. Dalam Injil Yoh 17:1-26 Yesus berdoa untuk kesetiaan para murid-Nya, dan untuk keselamatan kaum beriman dan untuk seluruh umat. Yesus sendiri memberi teladan ketika mengajari para muridnya berdoa ”Bapa Kami”. Ia juga berdoa pada saat-saat penting. Ia berdoa ketika akan memilih murid-murid-Nya, pada saat mengambil keputusan memilih kehendak Allah menjalani penderitaan, sengsara dan wafat demi menyelamatkan manusia. Tindakan Yesus ini mau menunjukkan sikap kerendahan hati Yesus sebagai pembimbing bagi para murid-murid-Nya (Konst 2003, art. 53).

Bertolak dari teladan hidup Yesus dalam berdoa, para novis juga mengikuti irama doa menurut kebiasaan kongregasi dan secara khusus lagi dalam komunitas pembinaan. Doa yang dilakukan setiap hari dalam proses pembinaan dapat membantu para novis sampai pada proses pengenalan diri, Tuhan dan sesama yang menuntunya kepada rencana dan kehendak Allah dalam hidup panggilan, sehingga menemukan kehendak Allah melalui berbagai peristiwa (Konst 2003, art. 53-66). Kebiasaan hidup doa yang dilakukan oleh Yesus merupakan hasil pendampingan Maria dan Yosef yang ditanamkannya dengan kebajikan yang dilakukan oleh Maria dan Yosef dalam mendidik dan mendampingi Yesus sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Maria dan Yosef adalah sosok pendidik bagi Yesus dalam doa melalui peristiwa terang dan gelap sesuai kehendak Allah.

c. Ketaatan

Ketaatan berasal dari kata “taat” yang berarti mendengarkan dengan cermat, mendengarkan dan memusatkan perhatian, menerima dengan telinga, memahami. Ketaatan juga dapat berarti mendengarkan dengan penuh perhatian, memperhatikan atau menyesuaikan diri kepada sebuah perintah atau otoritas. Ketaatan adalah tunduk kepada wewenang, menjalankan apa yang diperintahkan, mematuhi apa yang dituntut, atau menjauhkan diri dari apa yang dilarang. Ketaatan tidak hanya sampai pada mudah taat, atau menyesuaikan diri dan tidak semaunya sendiri, tetapi sampai pada kesadaran penuh bahwa setiap pribadi dapat memilih dan menentukan yang lain menurut rencananya (Konst 2003, art. 46). Ketaatan hidup religius bukan sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan dan wewenang, tetapi lebih pada penghayatan hidup religius dengan segi kebebasan. Dalam injil dikisahkan ketika Yesus tertinggal di Bait Allah, Yosef dan Maria pergi mencarinya diantara keluarga dan kenalan. Ketika Yosef dan Maria mencarinya mereka menemukan bahwa Yesus di Bait Allah sedang duduk bersama alim ulama. Ketika melihat Yesus mereka berkata "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab Yesus kepada mereka “mengapa engkau mencari Aku? bukankah Aku harus berada dirumah BapaKu? Kemudian Yesus pun pulang ke Nasaret bersama-sama Maria dan Yosef (Luk 2:48-51). Maria menyimpan segala perkara didalam hatinya”.

Ketaatan Yesus terhadap Maria dan Yosef merupakan hasil dari proses pembinaan yang diperolehnya dari Maria dan Yosef. Belajar dari ketaatan Yesus terhadap kehendak Bapa, para novis diajak untuk mendengarkan rencana dan

kehendak Allah selama proses pembinaan. Ketaatan dijalankan untuk perkembangan hidupnya menuju kedewasaan pribadi. Ketaatan yang lebih didasarkan pada keinginan untuk mencari kehendak Allah dapat membawa pada kebebasan sejati sebagai anak-anak Allah sekaligus sebagai orang yang terpanggil secara khusus. Seperti Yosef yang tidak mengerti misteri penjelmaan sebagai rencana Allah yang terlaksana dalam diri Maria, yang dengan hati terbuka menerima kehadiran Tuhan sebagai jalan untuk melaksanakan rencana dan kehendak Allah walaupun ia tidak mengerti apa yang Allah sendiri rencanakan melalui pengalaman hidupnya (Konst 2003, art. 19-20). Rasul Paulus menuliskan dalam suratnya bahwa “Yesus telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib” (Flp 2:5-8) memberikan makna bahwa ketaatan Kristus adalah penyerahan diri-Nya semata-mata kepada kehendak Bapa. Semua diterimanya dan dilakukan dalam kebebasan sejati (Konst 2003, art. 44).

d. Kesediaan Melayani

Setiap pelayanan apapun bentuknya menuntut sikap tanggung jawab dari masing-masing pribadi, karena itu dibutuhkan kesediaan untuk melayani tanpa menjadi objek belas kasih. Dalam pelayanan yang terpenting adalah harkat, martabat, harga diri, bukan kemajuan dan bantuan sosial-ekonomis, yang hanyalah sarana. Setiap religius dipanggil untuk mengembangkan sikap pelayanan sebagai intisari sikap Kristus, bukan hanya dalam orang yang melayani, melainkan juga dalan dia yang dilayani. Saling melayani merupakan prinsip dasar kehidupan bersama dalam Gereja dan masyarakat. Oleh karena itu pelayanan yang dilakukan memiliki ciri-ciri religius, kesetiaan kepada Kristus, mengambil bagian sengsara

Kristus dan kerendahan hati, rela berkorban, siap sedia dan penuh kasih tanpa membeda-bedakan (KWI, 1996: 451-452).

Paul Suparno (2016: 51-52) menyatakan bahwa: cinta seorang religius hendaknya menjadi semakin inklusif, semakin meluas untuk semua orang dan bukan ekslusif hanya untuk seseorang tertentu. Semakin mencintai semua orang semakin memiliki kesiapsediaan untuk melayani. Bagi kaum religius yang berkaul, selibat adalah pilihan dan ungkapan persembahan diri kepada Allah yang diwujudnyatakan dalam pelayanan kepada semua orang. Yesus sendiri memberi teladan serta menyuruh para muridnya selalu bersikap sebagai yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua (Mrk 9: 35). Oleh karena itu pelayanan kristiani tidak berdasarkan belaskasih atau ketaatan kepada pemerintah, melainkan berdasarkan hormat kepada Allah sang pencipta yang membuat manusia sesuai dengan citra-Nya. Maria adalah model hamba Allah yang rendah hati dan siap selalu siap sedia melayani, sebagaimana dikisahkan dalam kunjungan kepada Elisabet (Luk 1:39-45). Dengan menyadari dirinya sebagai hamba, Maria membiarkan dirinya dipakai oleh Allah untuk suatu karya besar yakni karya keselamatan. Maria hadir sebagai pelayan bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. Kesiapsediaan Maria untuk melayani dan membawa kegembiraan besar bagi keluarga Zakaria (Konst 2003, art. 21). Kesediaan Maria dan Yosef untuk membawa kehadiran Yesus karena kehendak Allah diwarnai dengan sukacita dalam kuasa Roh Kudus, sehingga kehadirannya menjadi kehadiran yang penuh berkat bagi keluarga Zakaria. Demikianlah Maria dan Yosef menjadi model ketaatan dan kerendahan hati bagi para pengikut Kristus, termasuk bagi para calon religius yang memiliki keinginan untuk mempersembahkan seluruh hidupnya

secara total hanya untuk Allah dan kemuliaan-Nya. Maria dan Yosef sungguh menjadi teladan bagi para religius KKS dalam meneladan keutamaan hidup sehari-hari. Dengan menjadi pelayan berarti memberi sesuatu kebaikan pada orang lain yang dilayani. Semakin banyak memberi dan semakin banyak mengabdi, seorang religius akan memberi kesadaran bahwa makna kesetiaan dalam pelayanan merupakan kesetiaan terhadap Yesus. Belajar dari sikap hidup Yesus Maria dan Yosef, dalam proses pembinaan para novis disadarkan untuk sungguh memiliki semangat pelayanan seperti Yesus sendiri menjadi pelayan bagi para muridnya “jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh 13:14). Setiap pribadi yang terpanggil mempunyai peran atau tugas pelayanan Gereja yang diwujudkan dengan mengimplementasikan nilai-nilai religius kedalam karya pelayanan. Oleh karena itu dibutuhkan sikap kerendahan hati agar dapat mengimplementasikan nilai-nilai hidup religius yang dihayatinya.

e. Kesederhanaan

Kesederhanaan seorang religius adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan hidup para religius secara jelas memantulkan kekudusan dan terang Kristus kepada umat disekitarnya, sebab mereka istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri. Hidup sederhana tidak berarti miskin, pelit, menyiksa diri dan juga tidak terhalang adanya barang-barang yang mewah untuk memancing pujian orang sebaliknya orang yang hidup sederhana dengan jernih dapat memandang dan membaca dunia sekitar karena melihatnya dengan hati yang bening. Sederhana

berarti hidup tidak berlebihan dalam menggunakan harta yang dimilikinya, sebaliknya menggunakannya sesuai kebutuhan (Konst 2003, art. 23-24).

Menurut Paul Suparno (2010: 36-37) Keluarga Kudus jelas hidup dalam kesederhanaan, Maria dan Yosef serta bayi Yesus kecil hidup dalam kesederhanaan, bahkan kemiskinan. Kesederhanaannya tampak ketika Yesus lahir diluar rumah, di kandang, dan tidak punya tempat untuk kelahiran-Nya. Maria dan Yosef menerima kesederhanaan itu dalam menyambut anaknya yang lahir. Seluruh pergulatan dan perjuangan Yosef dan Maria untuk menjadi orang tua Yesus adalah wujud dari kesediaan hatinya dan kesederhanaan hidup yang dipersembahkan mereka bagi Putra Allah yang mau dilahirkan di dunia.

Oleh karena itu setiap religius dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan, sebab para religius terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas kongregasi. Kesederhaan itu juga nampak dalam sikap iman, taat pada Allah dan dengan kepasrahan total menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah.

f. Penderitaan

Penderitaan bukan suatu kebaikan, bukan juga tanda kehidupan yang suci, juga bukan satu cara memperoleh sesuatu dari Tuhan, atau sebagai cara mengalahkan kedagingan. Penderitaan adalah alat yang Allah pergunakan untuk membuat manusia peka untuk mencapai tujuan-Nya dalam kehidupan di dunia. Penderitaan dirancang untuk membangun kepercayaan kepada Yang Mahakuasa, akan tetapi penderitaan menuntut respon yang tepat agar dapat berhasil dalam menyelesaikan maksud Tuhan. Kristus sendiri telah menunjukkan dirinya dan

tidak menghindar dari penderitaan, Ia rela disesah untuk kita, supaya kita terlepas dan sembuh dari penyakit-penyakit. Bilur-bilurnya yang tercabik-cabik itulah yang menyembuhkan segala penyakit kita. Dia menanggung rasa sakit penyakit kita agar kita sembuh (Mat 27:26). Maria hadir dan ikut merasakan penderitaan Yesus. Nubuat Simeon (Luk 2:21-35) menjelaskan bahwa sebagai seorang Yahudi yang takwa beragama, Yosef dan Maria menunaikan tugas keagamaan mempersembahkan Yesus di kenisah. Maria sendiri terkejut dan tidak memahami atas nubuat Simeon. Dalam suasana tersebut Maria tetap diam dan menyimpan segala perkara di dalam hatinya. Yosef dan Maria mempersembahkan Yesus dengan penuh keyakinan dan kesadaran bahwa anak tunggal mereka adalah anugerah Ilahi dan mempercayakan masa depan anak tersebut kepada penyelenggaraan-Nya. Bercermin dari Maria dan Yosef, para novis dapat melihat kesetiaan dalam kehidupan Maria dan Yosef yang dalam sukacita penuh kesetiaan melaksanakan kehendak Tuhan, meskipun dalam kegelapan penderitaan, berani menanggapinya. Ketekunan dan kesetiaan Maria dan Yosef dalam menghadapi penderitaan tetap mengutamakan kehendak Allah menjadi pijakan bagi setiap religius KKS untuk bercermin dari sikap Maria dalam menghadapi penderitaan (Konst 2003, art. 26).

2. Bentuk-bentuk Pembinaan dalam Keluarga Kudus Yesus Maria dan Yosef

Dokumen terkait