• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. Unsur subjektif Tindak Pidana

Dalam dokumen DIMENSI KORUPSI DALAM PENGELOLAN KEUANGA (Halaman 172-178)

Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :

1. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam

pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).

2. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam

perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan

menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.

3. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan

ataupoging (Pasal 53 KUHP)

4. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain

5. Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana

hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Dapat penulis simpulkan bahwa, yang menjadi unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus dan culpa)

b. Maksud pada suatu percobaan seperti yang dimaksud didalam

c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya

didalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuam dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu seperti misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP

e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat didalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

e. Unsur objektif Tindak Pidana.

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Unsur subjektif, meliputi sebagai berikut:

1. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau

kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).

2. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara

material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

3. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.

Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.

Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana, adalah:

1. Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam

delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

2. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya

berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).

Dapat penulis simpulkan bahwa unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

a. Sifat melawan hukum

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal KU(P atau keadan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut Pasal

KUHP.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Berikut ini akan penulis kemukakan pula unsur-unsur tindak pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut: C.S.T. Kansil merinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1. Harus ada suatu kelakuan;

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang;

3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;

4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;

5. Kelakuan itu dapat diancam dengan hukuman.

Satochid Kartanegara mengutip pendapat Simons tentang unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan manusia dan handeling dimaksudkan tidak

saja perbuatan tetapi juga mengabaikan

2. Perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabaikan dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang)

3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan itu.136

Unsur bertentangan dengan hukum itu selalu harus dianggap diisyaratkan didalam setiap rumusan delik (tindak pidana), walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari

136Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 174

delik yang bersangkutan. Apa yang kini harus dilakukan oleh seseorang hakim apabila unsur melanggar hukum itu ternyata tidak terbukti didalam peradilan. Jawabannya tergantung pada kenyataan apakah unsur melanggar hukum tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik atau tidak. Apabila unsur melanggar hukum itu oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu pembebasan. Apabila unsur melanggar hukum itu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan menyebabkan putusan terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan.

Di dalam kuliah-kuliah Profesor Mr. Satochid Kartanegara telah menggunakan perkataan unsur sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut element di atas dan kini kita akan menggunakan perkataan unsur dalam arti luas yakni meliputi perkataan-perkataan element. Penggunaan dari perkataan-perkataan unsur di atas bukan disebabkan karena telah menjadi bingung karena adanya perkataan-perkataan element di dalam kepustakaan Belanda dimana dua perkataan tersebut sesungguhnya juga dapat diartikan

sebagai unsur , melainkan karena pembentuk undang-undang sendiri sebenarnya telah memberikan arti kepada perkataan element atau unsur itu di dalam pengertiannya yang luas, yang meliputi semua element dari tindak pidana dan semua persyaratan-persyaratan lainnya untuk membuat sesorang itu menjadi dapat dihukum.

Ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik melainkan di dalam buku ke-1 KUHPidana atau dapat dijumpai sebagai asas-asas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai elemen, yakni :

1. Hal dapat dipertanggung jawabkannya sesuatu tindakan atau

sesuatu akibat terhadap pelakunya.

2. Hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas tindakkan

yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan. 3. Hal dapat dipermasalahkan sesuatu tindakan atau suatu akibat

tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan

unsur kesengajaan ataupun unsur ketidak sengajaan .

4. Sifatnya yang melanggar hukum.

Menurut Profesor van Bemmelen, walupun elemen-elemen itu oleh pembentuk Undang-undang telah tidak pernah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang manapun di dalam undang-undang, akan tetapi elemen-elemen tersebut haruslah dianggap sebagai juga diisyaratkan di dalam setiap rumusan delik. Oleh karena elemen-elemen tersebut tidak pernah sebagai bagian dari delik, maka dengan sendirinya penuntut umum juga tidak perlu mencantumkannya di dalam surat dakwaan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di dalam persidangan. Apabila hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, maka hakim harus membebaskan terdakwa tersebut dari segala tuntutan hokum.

Elemen di atas telah diterjemahkan sebagai hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau telah menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, yaitu apabila tindakannya atau perbuatannya untuk menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang itu harus didasarkan pada suatu kesengajaan ataupun didasarkan pada suatu ketidak sengajaan.

Untuk mengetahui apakah sesuatu tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, seperti oleh undang-undang disebutkan sebagai kejahatan masalahnya sangat mudah, oleh karena dari rumusan-rumusannya di dalam buku ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan mudah kita dapat mengetahui apakah sesuatu kejahatan itu harus dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja,. Dengan demikian maka seseorang itu dapat dikatakan bersalah telah melakukan sesuatu kejahatan, apabila kejahatannya itu telah ia lakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.

Di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak dapat diketahui apakah sesuatu pelanggaran itu harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja atau sebaliknya. Hingga tahun 1916 Hoge Raad menganut suatu paham yang juga dikenal sebagai de leer van het materieelie feit atau paham mengenai tindakan secara material di dalam (oge Raad telah berpendapat,

bahwa sudah cukup untuk menyatakan sesorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan suatu pelanggaran, apabila orang tersebut secara material atau secara nyata telah berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.

Untuk membuat suatu ringkasan mengenai ajaran Profesor Van Bammelen dengan membuat suatu perbandingan antara apa yang beliau sebutkan sebagai bestanddelen van het delict, dengan apa yang beliau sebutkan sebagai elementen van het delict, maka akan didapat hal-hal sebagai berikut

Bestanddelen atau bagian-bagian dari delik itu :

1. Terdapat di dalam rumusan dari delik;

2. Oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat

dakwaan;

3. Harus di buktikan di dalam persidangan;

4. Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat

dibuktikan, maka hakim harus membebaskan terdakwa atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu

vrijspraak.

Elementen atau elemen-elemen dari delik itu :

1. Tidak terdapat di dalam rumusan dari delik;

2. Terdiri dari toerekenbaarheid van het feit,

toerekeningsvatbaarheid van de dader, verwijtbaarheid van het feit dan wederrechtelijk heid;

3. Harus dianggap sebagai juga diisyaratkan di dalam setiap rumusan delik;

4. Oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan di dalam surat

dakwaan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di persidangan;

5. Bilamana terdapat keragu-raguan mengenai sebuah elemen,

maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, atau dengan perkataan lain hakim harus

memutuskan suatu ontslag van alle rechtsveolging.

Jadi untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

b. Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana hal di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehinga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri dari elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif.

Dalam dokumen DIMENSI KORUPSI DALAM PENGELOLAN KEUANGA (Halaman 172-178)