• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

B. Budaya Jawa

2. Unsur-unsur Budaya Jawa

Dalam suatu kebudayaan terdapat macam-macam unsur yang masuk bahkan membentuk suatu kebudayaan itu sendiri. Bakker (1990: 38-48) mengatakannya sebagai unsur karena pokok-pokok tersebut dapat digabungkan menjadi paduan yang lebih tinggi. Unsur-unsur ini yang menjiwai dan menjadi pokok dari setiap kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian. Pembagian unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan Koentjaraningrat (2009: 165) dan ditemukan pada

semua bangsa di dunia berjumlah tujuh buah, yang dapat disebut sebagai pokok dari setiap kebudayaan, yaitu:

a. Bahasa, yaitu sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Bahasa yang digunakan oelh suku bangsa yang bersangkutan memiliki variasi-variasi dari bahasa itu sendiri. b. Sistem pengetahuan, yaitu pemahaman suatu suku bangsa tetang suatu hal.

Setiap bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang alam sekitar, flora, fauna, zat-zat atau benda di lingkungannya, tubuh manusia, sifat dan tingkah laku manusia, serta ruang dan waktu.

c. Sistem kekerabatan dan Organisasi sosial, yaitu adat-istiadat dan aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat suatu bangsa hidup dan bergaul di kehidupan sehari-hari.

d. Sistem peralatan hidup dan teknologi, yaitu cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suatu suku bangsa. Yang dimaksud sistem peralatan hidup ini seperti bentuk serta cara membuat pakaian, bentuk rumah, bentuk serta pemakaian senjata, bentuk serta cara membuat dan mempergunakan alat transportasi dan sebagainya.

e. Sistem mata pencaharian hidup, yaitu sistem produksi lokal termasuk sumber daya alam hingga pengembangannya. Sistem mata pencaharian dalam hal ini terbatas pada sistem-sistem yang bersifat tradisional terutama untuk lebih memperhatikan kebudayaan suatu bangsa secara holistik.

f. Sistem religi, yaitu menyangkut hal-hal yang dipercaya dan dijadikan pedoman hidup suatu suku bangsa.

g. Kesenian, yaitu segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan dalam suatu kebudayaan bangsa. Benda-benda hasil kesenian budaya dapat berwujud gagasan, ciptaan pikiran, ceritera, dan syair yang indah. Selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah seperti candi, kain tenun dan sebagainya.

Unsur-unsur budaya Jawa sangat menonjol dan mencirikhaskan budaya Jawa. Di dalam pergaulan aktifitas sosialnya masyarakat Jawa sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Pada waktu pengucapan dan pengguna bahasa Jawa seseorang harus memperhatikan dan membeedakan keadaan lawan bicara atau yang sedang dibicarakan berdasarkan usia maupun status sosialnya. Pada dasarnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari tingkatanya, yaitu:

a. Bahasa Jawa Ngoko, dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap.

b. Bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab dan juga orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.

Dari kedua macam derajat bahasa ini kemudian ada variasi dan kombinasi antara kata-kata dari bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa karma yang pemakaiannya disesuaikan dengan keadaan perbedaan usia, serta derajat sosial. Misalnya bahasa Jawa Madya yang terdiri dari tiga macam bahasa Madya Ngoko, Madyaantara, Madya Krama. Selain itu juga ada bahasa Krama Inggil, bahasa Kedaton, bahasa Krama Desa, dan bahasa Jawa Kasar yang digunakan pada saat- saat dan lingkungan sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1999: 329-330).

Selain perbedaan penggunaan bahasa yang disebabkan oleh perbedaan tingkatan, masyarakat Jawa juga memiliki keberagaman pada logat dan karakter bahasa berdasarkan geografi. Sesuai pada keadaan gegrafis pulau Jawa, maka dapat dibedakan beberapa subdaerah linguistik yang masing-masing mengembangkan logat bahasa Jawa. Beberapa daerah yang ebrada disekitar peradaban suka Jawa juga mempengaruhi logat Bahasa Jawa yang beragam (Koentjaraningrat, 1984: 23).

Selain bahasa, masyarakat Jawa juga mengenal tulisan asli yang merupakan identitas mereka yaitu tulisan Jawa. Tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta Dewanagari dari India Selatan yang biasa disebut dengan tulisan Palawa, tetapi dalam waktu berabad-abad tulisan itu mengalami perubahan hingga menjadi Tulisan Jawa yang sering digunakan pada kesusastraan Jawa. Namun sekarang dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa menggunakan huruf latin tidak menggunakan tulisan Jawa (Koentjaraningrat, 1984: 21-22).

Sedangkan untuk sistem teknologi masyarakat Jawa dipengaruhi oleh mata pencahariannya. Mata pencaharian masyarakat Jawa berasal dari pekerjaan- pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, tapi yang menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat Jawa di desa adalah bertani. Mata pencaharian masyarakat Jawa sangat berpengaruh terhadap kebudayaanya. Masyarakat Jawa masa kini sudah lebih modern dalam hal teknologi dan mata pencahariannya juga lebih beragam.

Menurut Kodiran (Koentajaraningrat, 1999: 344), masyarakat Jawa membedakan membedakan kelompok masyarakat menjadi priyayi dan bendara

yang terdiri dari pegawai negeri, kaum terpelajar, keluarga kraton dan keturunan bangsawan yang hidup di kota dengan wong cilik seperti petani-petani, tukang- tukang, pekerja kasar dan lain sebagaiya. Berdasarkan gengsi kelompok priyayi dan bendara merupakan lapisan paling atas, sedangkan wong cilik berada di lapisan paling bawah. Meskipun saat ini perbedaan antara kedua kelompok masyarakat di atas tidak terlalu mencolok dan terlihat, namun hal itu mempengaruhi proses pembentukan kebudayaan masyarakat Jawa. Misalnya pada kelompok masyarakat wong cilik dalam bertani muncul budaya-budaya menanam atau teknologi menanam mulai dari cara membajak (luku), persemaian benih (pawinih), pemindahan tunas (nguriti/ndaut), hingga menuai padi. Dalam proses itu pun masyarakat Jawa juga sering membuat suatu pertunjukkan seni budaya sebagai wujud syukur kepada sang pencipta atas hasil panennya. Mereka juga memiliki cara sendiri dalam berekreasi dan berkesenian. Sedangkan pada kelompok masyarakat priyayi dan bendara, budaya timbul kehidupan sehari-hari mereka dalam hal busana, cara bergaul, dan lain sebagainya. Biasanya kebudayaan Jawa yang hidup di kota-kota Yogyakarta dan Surakarta (Solo) merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di Kraton.

Dalam pola rekreasi dan kesenian terdapat keberagaman yang dimiliki oleh budaya Jawa. Masyarakat Jawa sejak dulu di berbagai lapisan masyarakat memiliki kesenian sendiri-sendiri. Misalnya para petani dan masyarakat pedesaan biasanya mengadakan kegiatan yang menyenangkan pada bulan-bulan setelah akhir musim panen atau jika ada acara hajatan. Kebanyakan acara yang dibuat merupakan acara yang menunjukkan wujud syukur kepada tuhan dan dibuat

secara bersama-sama atau gotong royong yang melibatkan semua warga desa. Hal ini dikarenakan kemampuan ekonomi masyarakat desa khusunya petani yang tidak memungkinkan membuat acara sendiri.

Menurut Koentaraningrat (1984: 212), Kesenian yang biasanya selalu ada di masyarakat desa adalah penari wanita (ledhek), tarian tayuban, dan pertunjukkan wayang kulit. Kesenian-kesenian itu yang dikembangkan bervariasi pada setiap daerah. Tak jarang pelaku seni desa yang tersohor dan berbakat diminta untuk mengadakan pertunjukkan di kota. Tarian-tarian rakyat Jawa sejak dulu merupakan sumber ilham kesenian istana atau kraton. Sehingga kesenian masyarakat kota berpengaruh terhadap kesenian masyarakat kota di kebudayaan Jawa. Dibandingkan dengan masyarakat desa, kelompok priyayi lebih sering mengadakan acara yang mempertunjukkan kesenian dan budaya Jawa seperti pada upacara khitanan, perkawinan dan kelahiran. Di kota kelompok priyayi merasa harus memenuhi undangan acara yang diselenggarakan para kenalannya. Sebelumnya kesenian seperti wayang dan kethoprak dianggap hanya hiburan untuk tiyang alit, namun seiring dengan meningkatnya kualitas kesenian wayang dan kethoprak kelompok priyayi tertarik dengan pertunjukan ini.

Kemudian ditegaskan kembali oleh Koentaraningrat (1984: 286) bahwa bentuk kesenian Jawa yang begitu digemari priyayi Jawa, yaitu seni drama wayang kulit maupun wayang orang, seni suara gamelan yang erat kaitannya dengan tarian-tarian Jawa istana. Tarian-tarian Jawa yang ada di istana atau kraton sangat banyak dan beragam serta terus berkembang hingga saat ini. Tarian-tarian di istana dan kraton adalah tarian yang sakral dan penuh dengan arti kehidupan.

Dalam sistem sosialisasi masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesantunan. Adat istiadat masyarakat Jawa mengedepankan sopan santun untuk menghargai orang lain. Tingkah laku inilah yang menjadi karakteristik masyarakat Jawa. Budaya sopan selalu diajarkan secara turun menurun oleh masyarakat Jawa melalui segala aspek komunikasi yang mempertimbangkan lawan bicara atau dengan siapa mereka bicara. Pada dasarnya tingkah laku dan adat sopan santun orang Jawa memang sangat berorientasi secara kolateral. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi sikap tenggang rasa (tepa selira) antar sesama. Masyarakat Jawa pada kelompok priyayi dan wong cilik memiliki nilai-nilai budaya vertikal. Meskipun kelompok masyarakat Jawa terbagi menjadi dua namun untuk orientasi nilai sosial pada dasarnya sama. Hanya saja terdapat perbedaan ukuran dalam penerapan adat sopan santun secara kolateral dan budaya vertikal pada kelompok priyayi dan wong cilik (Koentaraningrat, 1984: 440).

Budaya kelompok priyayi dan wong cilik pada masyarakat Jawa pada dasarnya sama-sama bertujuan menghargai hidup yang bermakna di lingkungan mereka. Inilah budaya Jawa yang merupakan budaya luhur yang menjunjung tinggi kesopanan, keindahan dan kearifal lokal. Masyarakat Jawa memiliki budaya yang sangat beragam dan penuh makna budi pekerti. Budaya ini lah yang menjadikan identitas masyarakat Jawa sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur dan memiliki nilai budaya yang tinggi. Budaya yang berbudi pekerti luhur ini yang perlu dilestarikan keberadaannya di masyarakat Jawa untuk mempertahankan kualitas hidup namun tetap berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Dokumen terkait