• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KERANGKA TEORITIS

C. Unsur-Unsur Dakwah

Unsur-unsur dakwah haruslah ada dalam proses dakwah, bilamana unsur-unsur itu tidak terpenuhi maka dakwah akan mengalami hambatan bahkan kegagalan. Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.

Adapun unsur-unsur dakwah itu antara : Da’i (pelaku dakwah), mad’u (penerima dakwah), materi dakwah (maddah), media dakwah (wasilah), metode dakwah (metode) dan efek dakwah (atsar).

Adapun pengertian-pengertiannya adalah sebagai berikut :

1. Da’i (pelaku dakwah)

8

Umi Musyarrofah. Dakwah KH.Hamam Dja’far dan Pondok Pesantren Pabelan.

Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok atau lewat organisasi.

Secara umum kata da’i ini sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam). Namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit, karena masyarakat cenderung mengartikannya sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan, seperti penceramah agama, khatib, dan sebagainya.

Nasaruddin Lathief mendefinisikan bahwa da’i adalah muslim dan muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama.9

Dalam Al-Qur’an dan sunnah, terdapat penjelasan tentang amr ma’ruf nahi munkar dan perintah terhadap mereka yang layak untuk membawa bendera dakwah Islam. Merekalah yang mampu mengajarkan agama, baik melalui tulisan, ceramah maupun pengajaran sehingga individu dan masyarakat dapat memahaminya.

Dalam kegiatan dakwah peranan da’i sangatlah esensial, sebab tanpa da’i ajaran Islam hanyalah idiologi yang tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat.

Adapun sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang da’i yaitu :

1. Mendalami Al-Qur’an dan Sunnah dan Sejarah kehidupan Rasul serta khulafaurrasyidin.

9

2. Memahami keadaan masyarakat yang akan dihadapi.

3. Berani dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan di mana pun.

4. Ikhlas dalam melaksanakan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara.

5. Satu kata dengan perbuatan.

6. Terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri.10

Karena pentingnya fungsi da’i ini, maka banyak Al-Qur’an dan Hadist yang memberikan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh da’i. demikian pula banyak buku yang ditulis oleh yang memberikan syarat ideal bagi juru dakwah.

Oleh karena itu, da’i yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masyarakat yang akan menjadi mitra dakwahnya adalah calon-calon da’i yang akan mengalami kegagalan dalam dakwahnya.

2. Mad’u (penerima dakwah)

Mad’u dalam isim maf’ul dari da’a, berarti orang yang diajak, atau dikenakan perbuatan dakwah. Mad’u adalah objek dan sekaligus subyek dalam dakwah yaitu seluruh manusia tanpa terkecuali. Siapapun mereka, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, seorang bayi yang baru lahir ataupun orang tua menjelang ajalnya, semua adalah mad’u dalam dakwah islam. Dakwah tidak hanya ditujukan kepada orang Islam, tetapi

10

orang-orang diluar Islam, baik mereka itu atheis, penganut aliran kepercayaan, pemeluk agama-agama lain, semua adalah mad’u.

Sesuai dengan firman Allah QS. Saba’ 28 :

                      

“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Saba’ : 2 ).

Mereka yang menerima dakwah ini lebih disebut mitra dakwah dari pada sebutan objek dakwah sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berfikir tentang keimanan, syari’ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dan diamalkan secara bersama-sama.11

Di awal surat Al-Baqoroh, mad’u dikelompokkan dalam tiga rumpun, yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Mujahid berkata: “ empat ayat di awal surah Al-Baqoroh mendeskripsikan tentang sifat orang mukmin, dua ayat mendeskripsikan sifat orang kafir, dan tiga belas ayat berikutnya mendeskripsikan sifat orang munafik”.

Muhammad Abu al-Fath Al Bayununi mengelompokkan mad’u dalam dua rumpun besar yaitu : rumpun muslimun atau mukminun (umat yang telah menerima dakwah), dan non muslim atau umat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah Islam).

11

Cahyadi Takariawan. Prinsip-Prinsip Dakwah, ( Yogyakarta: ‘Izzan Pustaka, 2005),

3. Materi Dakwah (Maddah)

Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i pada mad’u. dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Sebab semua ajaran Islam yang sangat luas itu bisa dijadikan maddah dakwah Islam. Secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi 4 masalah pokok, yaitu :

a. Masalah Akidah

Akidah secara harfiah berarti sesuatu yang tersimpul secara erat dan kuat. Wacana tersebut lalu dipakai dalam istilah agama Islam, yang mengandung pengertian “ pandangan pemahaman, ataui ide yang diyakini kebenarannya oleh hati.

Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiah. Karena akidah mengikat kalbu manusia dan menguasai hatinya. Dari akidah inilah yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah akidah atau keimanan.

Akidah yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai cirri-ciri yang membedakan kepercayaan dengan agama lain, yaitu :

1. Keterbukaan melalui persaksian (syahadat). Dengan demikian seorang muslim selalu jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain.

2. Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalakan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan

kelompok atau bangsa tertentu. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 3 :

                                  

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulallah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Hujarat: 3).

3. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam ghaib sangat mudah untuk dipahami.

4. Ketahanan antara iman dan Islam maupun amal perbuatan.

Aspek ajaran Islam tentang ketuhanan dan kepercayaan (akidah) pada intinya mengandung keyakinan terhadap ke-Maha Esa-an Allah SWT.12

b. Masalah Syari’ah

Hukum atau syari’ah sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syari’ah merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang

12

melestarikan dan melindunginya dalam sejarah. Syari’ah inilah yang akan selalu menjadi kekuatan peradaban di kalangan kaum muslim.

Dan materi dakwah dalam bidang syariah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar, pandangan yang jernih, kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat setiap persoalan pembaruan, sehingga umat tidak terperosok ke dalam kejelekan, sementara yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.

Dan inilah yang akan dijadikan materi dakwah sebagaimana da’i mampu mengemas masalah syariah ini ke dalam permasalahan umat era sekarang yang bisa menjawab atau memberikan solusi terhadapnya. Dan terpenting materi syariat ini tidak bertentangan dengan sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan Hadist.13

c. Masalah Muamalah

Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam muamalah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan denga Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Dan muamalah jauh lebih luas daripada ibadah. Hal demikian dengan alasan :

a. Dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar sumber hukum itu berkenaan dengan urusan muamalah.

13

b. Adanya sebuah realita bahwa jika urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan).

c. Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu sholat jamaah lebih tinggi nilainya daripada sholat sendirian.

d. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya tebusannya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah.

e. Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah sebagaimana yang tertera dalam hadits berikut : “orang yang bekerja untuk menyantuni janda dan “ orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kata beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus sholat malam dan terus menerus puasa.”14

Dari hadist tersebut, dapat dianalisa bahwa ibadah sosial seperti menyantuni kaum dhuafa, meringankan beban orang lain adalah lebih besar ganjarannya daripada ibadah-ibadah sunnah.

d. Masalah Akhlak

14

Pengertian akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab, yang berarti perangai, tabi’at, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama.

Secara linguistic (kebahasaan) kata akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlak adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan diatas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakainnya di dalam Al-Qur’an maupun Hadist sebagai berikut :         

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-Qalam: 4).15

Menurut istilah, pengertian akhlak adalah akhlak yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran atau pertimbangan.

Sementara menurut Al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbullkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Akhlak tidak dapat begitu saja dimiliki oleh seseorang. Akhlak adalah sesuatu yang sudah menempel pada seseorang dan menjadi bagian dari dirinya.

15

Moh.Ardani, Akhlak Tasawuf Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan

Dari definisi tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa akhlak adalah suatu kondisi atau sifat yang meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.16

Untuk itu salah satu materi dakwah Islam dalam rangka memanifestasikan penyempurnaan martabat manusia serta membuat harmonis tatanan hidup masyarakat, disamping aturan legal formal yang terkandung dalam syariat, salah satu ajaran etis Islam adalah akhlak.

Dengan demikian, orang bertakwa adalah orang yang mampu menggunakan akalnya dan mengaktualisasikan pembinaan akhlak mulia yang menjadi ajaran paling dasar islam.

4. Wasilah (Media Dakwah)

Unsur dakwah yang keempat adalah wasillah (media) dakwah, yaitu alat yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u. untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunkan berbagai wasillah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu :

a. Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.

16

b. Tulisan, buku majalah, surat kabar, surat menyrat spanduk, lukisan, gambar dan sebagainya.

c. Audio Visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, internet dan sebagainya.

d. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad’u.17

5. Thariqoh (Metode Dakwah)

Sebelum kita membicarakan metode dakwah, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian metode. Kata metode berasal dari bahasa latin methodus yang berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodus berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris methode dijelaskan dengan metode atau cara. 18

Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajatan materi dakwah Islam. Dalam meyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, karena suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Ketika membahas tentang metode dakwah, maka pada umumnya merujuk pada surat An-Nahl: 125

17

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, hlm. 120 18

                                          

“Seluruh ( manusia ) kepada jalan Tuhanmu degan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantalah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125).

Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu :

1. Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi saran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga didalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan. 2. Mau’izatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan

nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.

3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan yang memberatkan pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah.19

6. Atsar (Efek Dakwah)

Dalam setiap aktifitas dakwah pasti akan menimbulkan reaksi. Artinya, jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da’i dengan materi

19

dakwah, wasilah, dan thariqah tertentu, maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada mad’u (penerima dakwah).

Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya tanpa menganalisis atsar dakwah, maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat, maka kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya.20

Evaluasi dan koreksi terhadap atsar dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah. Seluruh komponen system dakwah harus dievaluasi secara komprehensif. Sebaliknya, evaluasi itu dilakukan oleh beberapa da’i, para tokoh masyarakat, dan para ahli.

Jadi dengan menerima pesan melalui kegiatan dakwah, diharapkan akan dapat mengubah cara berfikir seseorang tentang ajaran agama sesuai dengan pemahaman yang sebenarnya. Begitu pula dengan perbuatan atau perilaku seseorang itu pada hakikatnya, adalah perwujudan dari perasaan dan pikirannya. Adapun dalam hal ini perilaku yang diharapkan adalah

20

perilaku yang sesuai dengan pesan dakwah, yakni perilaku positif sesuai dengan ajaran Islam baik bagi individu taupun masyarakat.21

Dokumen terkait