BAB II KAJIAN PUSTAKA
E. Novel
2. Unsur-Unsur Intrinsik Novel
Sebuah karya sastra novel dibangun oleh unsur-unsur intrinsik (Nurgiyantoro, 2012:68) sebagai berikut:
a. Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro, 1995:68). Tema mengikat seluruh cerita dan peristiwa dalam novel serta merupakan dasar pembangunan jalannya cerita. b. Alur
Alur disebut juga dengan plot. Pengertian alur atau plot menurut Kenny yang dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro (1995:113) adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat. Dalam alur akan dijelaskan cerita serta kaitan antara peristiwa-peristiwa dalam cerita. Untuk mempertimbangkan nilai estetika novel, kausalitas antar peristiwa akan disusun sedemikian rupa oleh pengarang baik secara implisit maupun eksplisit.
Alur dapat dibagi menjadi tiga, alur maju, alur mundur, dan alur campuran (http://www.pengertianku.net/2015/06/pengertian-alur-dan-macamnya-serta-unsurnya.html, diakses 27 April 2018). Alur maju, yaitu alur yang peristiwa ditampilkannya secara kronologis, maju, secara runtut dari tahap awal, tahap tengah, hingga tahap akhir cerita. Biasanya, alur maju ini untuk menceritakan cerita yangg mudah untuk dipahami. Alur mundur yaitu alur yang ceritanya dimulai dengan penyelesaian. Alur ini sering ditemui pada cerita yang memakai setting waktunya pada masa lampau.
Alur campuran yaitu alur yang diawali dengan klimaks dari cerita, yang kemudian melihat lagi masa lalu atau masa lampau dan diakhiri dengan penyelesaian dari cerita tersebut. Alur campuran sering digunakan dalam karya sastra novel, karena dalam novel menceritakan banyak sekali peristiwa yang dialami para tokoh, sehingga membutuhkan alur maju dan mundur untuk menceritakan peristiwa secara nyata. Namun hal tersebut juga membutuhkan kejelian pengarang, agar cerita yang dihasilkan tidak membingungkan
c. Latar atau Setting
Latar merupakan lingkungan tempat peristiwa terjadi (Rokhmansyah, 2014: 38). Latar dalam arti lengkap terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar suasana atau sosial. Latar tempat menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa dalam tokoh. Latar waktu dibagi menjadi dua, yaitu waktu cerita dan waktu penceritaan. Waktu cerita adalah waktu yang ada di dalam cerita atau lamanya cerita itu terjadi. Waktu penceritaan adalah waktu untuk menceritakan cerita.
Latar suasana menggambarkan kondisi atau situasi saat terjadinya adegan atau konflik seperti gembira, sedih, tragis. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. yang diceritakan dapat mencakup adat istiadat, tradisi, keyakinan dan pandangan hidup (Rokhmansyah, 2014:39). Latar akan menunjukkan bagaimana situasi dan kondisi dalam suatu peristiwa yang ditulis pengarang.
d. Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya atau pelaku dalam
cerita. Misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Istilah penokohan lebih luas maknanya dibandingkan dengan tokoh. Penokohan berarti bagaimana
perwatakan tokoh, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita serta teknik perwujudan dan pengembangan tokoh.
Menurut Nurgiantoro, teknik pelukisan atau penggambaran tokoh ada dua cara (1995:195). Pertama, teknik ekspositori yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung. Kedua, teknik dramatik artinya pelukisan tokoh secara tidak langsung namun melalui drama dalam berbagai aktivitas yang dilakukan.
e. Sudut Pandang (Point of View)
Menurut Stanton yang dikutip oleh Rokhmansyah dalam bukunya Studi dan Pengkajian Sastra (2014:39) menyebutkan bahwa sudut pandang adalah posisi yang menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan pengarang pada karya sastranya merupakan cara pengarang untuk menceritakan cerita dalam karyanya. Dalam karya sastra, sudut pandang dapat dibagi menjadi dua, sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.
Sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan kata ganti
“Aku, Saya, dan Kami”. Pengarang seolah olah menjadi pelaku atau
tokoh dalam cerita yang dibuat. Sudut pandang orang pertama dapat berupa tokoh utama dan tokoh sampingan. Jika menjadi tokoh utama,
menjadi tokoh sampingan, tokoh “Aku” hanya menjadi tokoh
tambahan atau sampingan dalam cerita.
Sudut pandang orang ketiga biasanya menggunakan kata ganti dia, ia, mereka dan nama orang. Sudut pandang orang ketiga dapat berupa sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sebagai pengamat. Dalam sudut pandang orang ketiga serba tahu, si pengarang maha tahu perihal tentang tokoh utama. Sedangkan dalam sudut pandang orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang tidak mengetahui secara keseluruhan perihal tokoh utama. Si pengarang hanya menceritakan sepengetahuannya saja yang ia ketahui melalui penangkapan panca indera yang ia dapatkan.
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Penggunaan bahasa dalam suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Pemilihan ragam bahasa pada suatu karya sastra dapat memperkuat latar yang digunakan pengarang (Rokhmansyah, 2014:39). Pemilihan ragam bahasa yang sesuai akan memberikan pemahaman yang baik kepada pembaca serta akan memberi nilai estetika pada karya sastra yang dibuat.
Gaya bahasa adalah cara penggunaan susunan kata dalam kalimat yang dapat melampaui batas makna kata yang lazim, karena cara tersebut dapat mengimbau pancaindra pembaca untuk lebih cepat
memahami sesuatu yang dikemukakan pengarang (Ganie, 2015:194). Dengan demikian, penggunaan gaya bahasa diharapkan akan dapat mempermudah pembaca dalam meresepsi cerita dengan baik dan benar. Tidak sebaliknya, yang akan mempersulit pembaca untuk memahami kandungan isi cerita dalam novel.
Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Karya bahasa yang baik harus mengandung 3 unsur, yakni kejujuran, sopan santun, dan menarik (Ganie, 2015:193). Pengarang dalam menulis gaya bahasa harus mempertimbangkan ketiga unsur tersebut. Gaya bahasa yang baik akan menambah keindahan dan kesempurnaan kaarya yang ditulis, karena disinilah pengarang dapat memperlihatkan kepiawaiannya dalam menulis dengan baik, benar, dan mempunyai nilai estetika yang sempurna.
Klasifikasi gaya bahasa menurut Hasanuddin WS dkk yang dikutip oleh Tajuddin Noor Ganie (2015:197) dapat dibagi menjadi empat. Pertama, gaya bahasa perbandingan yaitu gaya bahasa yang menggunakan perbandingan untuk menarik perhatian orang terhadap sesuatu yang hendak disampaikan. Pengarang dapat menggunakan kata pembanding dalam penulisan gaya bahasa, misalnya umpama, bak, bagaikan, dan sejenisnya.
gaya bahasa ini, tidak membutuhkan penafsiran makna lagi. Contoh: gunakan sehatmu sebelum datang sakitmu. Ketiga, gaya bahasa penegasan, yaitu gaya bahasa yang menggunakan bermacam-macam pilihan atau jalinan kata untuk menegaskan maksud yang hendak disampaikan. Penggunaan gaya bahasa ini untuk lebih mengukuhkan makna dari bahasa yang digunakan. Contoh: darah merah, hatinya sekeras baja.
Keempat, gaya bahasa sindiran, yakni gaya bahasa yang menggunakan sindiran untuk menyatakan sesuatu yang hendak dikemukakan. Ada banyak hal yang dianggap tabu, kurang sopan, dan lain-lain jika menyampaikan sesuatu secara langsung keadaan orang lain. Oleh sebab itu, untuk menyampaikannya dipergunakan sindiran. Maksudnya sama, tetapi cara penyampaiannya dimanipulasi. Contoh: keluarga itu kurang harmonis (berantakan).
g. Amanat
Amanat merupakan pesan pengarang yang disampaikan melalui tulisannya baik berupa cerpen maupun cerbung. Amanat yang disampaikan pengarang harus dicari oleh pembacanya (Rokhmansyah, 2014: 33). Karena pengarang menyampaikan amanat tersebut secara tersirat dalam cerita yang dibuat. Amanat akan memberikan manfaat secara praktis terhadap pembacanya.