• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks ada sebagai teks sastra, unsur-unsur yang hampir dapat ditemukan ketika orang membaca karya sastra. Unsur

intrinsik novel ialah unsur-unsur yang (secara langsung) ikut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat suatu novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika membaca suatu novel (Nurgiyantoro, 2018: 30). Unsur intrinsik novel yakni tema, latar, amanat, alur, tokoh serta penokohan, sudut pansertag serta gaya bahasa.

1) Tema

Stanton serta Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2018: 114) mengemukakan bahwa tema ialah makna yang dikandung oleh suatu cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung serta ditawarkan oleh cerita fiksi itu, maka masalahnya ialah: makna khusus yang bisa dinyatakan sebagai tema itu. Tema ialah gagasan dasar umum yang menopang suatu karya sastra serta yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik serta yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik serta situasi tertentu.

Tema menurut Hartoko serta Rahmanto, 1986: 142 (dalam Nurgiyantoro, 2018: 115) ialah gagasan dasar umum yang menopang suatu karya sastra serta yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis serta yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Di pihak lain, Baldic, 2001: 258 (dalam Nurgiyantoro, 2018: 115) mengemukakan bahwa tema ialah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam suatu karya sastra atau

yang secara berulang-ulang dimunculkan baik secara eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit melalui pengulangan motif. Walau berbeda rumusan, kedua definisi tersebut secara makna tidak berbeda serta bahkan bisa saling melengkapi.

Berlandaskan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa tema ialah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan menganai kehidupan yang membentuk gagasan utama dari suatu perangkat. Jadi, tema ialah ide atau gagasan dasar umum yang menopang suatu karya sastra sebagai struktur semantis serta bersifat abstrak yang secara berulag-ulang dimunculkan melalui motif-motif serta biasanya dilakukan secara implisit.

2) Latar

Moody, 1972: 48 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 93) mendefinisikan latar sebagai tempat, sejarah, sosial, pengalaman politik atau latar cerita yang berlangsung. Menurut Parkamin serta Bari, 1973: 62 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 93) latar ialah penempatan waktu serta tempat termasuk lingkungan. Artinya bahwa lingungan mencakup adat istiadat, kebiasaan, latar alam atau keadaan yang terjadi di sekitar kita. Latar dapat berarti lingkungan sekitar. Lingkungan bisa dipandang berperan sebagai metonimia atau metafora, dan ekspresi karakter. Latar juga dapat berarti ungkapan kehendak manusia. Jika diibaratkan dengan cerita modern seperti saat

ini maka kota-kota besar seperti latar tokoh-tokohnya (Wellek serta Warren, 1992: 291 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 93-94)).

Latar menjadi satu kesatuan dalam cerita para tokoh dalam karya sastra.

Perbuatan tokoh selalu berkaitan dengan latar tertentu, yang bagi Chatman, 1978: 141- 145 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 94) terdiri dari latar internal serta latar eksternal. Latar internal antara lain berbentuk perasaan bahagia, sedih, gembira, marah serta lain-lain. Latar eksternal mencakup cuaca, alam, tempat-tempat tertentu serta sebagainya. Unsur latar sebagai unsur cerita memilki peranan, sedangkan latar berperan utama memberikan suasana (mood) dalam suatu cerita.

Abrams, 1981: 175 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 94) memberikan gambaran latar dalam karya sastra dalam tiga bagian yakni latar tempat, waktu serta sosial. Latar tempat terkait dengan masalah geografis;

pengaturan waktu terkait dengan waktu; serta latar belakang sosial erat kaitannya dengan kehidupan sosial atau sosial budaya. Dengan demikian secara sederhana bisa dikatakan, bahwa latar cerita bisa berbentuk latar tempat, latar waktu serta latar lingkungan. Latar lingkungan terutama latar belakang sosial budaya dalam lingkup kehidupan tokoh. Nah, setting atau latar berperan dalam suasana pada suatu cerita.

Berlandaskan pengertian di atas penulis bisa menyimpulkan bahwa latar ialah salah satu unsur pembangun terpenting dalam suatu karya sastra karena latar tidak bisa terlepas dari tokoh. Latar ialah penempatan mengenai waktu

serta tempat termasuk lingkungannya. Latar atau setting pada suatu karya sastra dibagi menjadi tiga bagian yakni latar tempat, latar waktu serta latar social atau latar suasana.

3) Amanat

Menurut Siswanto, 2008: 161 (dalam Rizky, 2019: 18) amanat ialah suatu gagasan yang menjadi dasar karya sastra yang ialah pesan yang ingin disampaikan oleh sastrawan atau pembaca. Pesan yang ingin disampaikan sastrawan kepada pembaca serta biasanya dilakukan secara tersirat. Amanat biasanya berbentuk pesan moral yang ingin disampaikan sastrawan kepada pembaca melalui karya sastra.

Rokhmansyah, 2014: 33 (dalam Ailia, dkk, 2018: 13-14) menuturkan bahwa amanat novel ialah pesan dari sastrawan untuk pembaca, yang disampaikan melalui novel. Rokhmansyah pula menambahkan bahwa pembaca harus teliti dalam mencari amanat. Hal ini dikarenakan amanat bisa jadi diungkapkan sastrawan secara tersirat.

Amanat menurut Esten, 2013: 20 (dalam Ailia, dkk, 2018: 14) didefisikan sebagai pemecahan dari suatu tema. Esten pula menambahkan, di dalam amanat, cita-cita serta pandangan hidup sastrawan terlihat. Amanat bersifat implisit serta eksplisit. Amanat implisit berarti amanat yang tersirat pada novel. Amanat yang bersifat eksplisit berarti amanat tersurat pada novel.

Amanat ialah pesan atau ajaran moral yang bisa dipelajari dari karya sastra, misalnya pada novel, drama, teater, puisi dan lain sebagainya. Penafsiran

terhadap karya sastra tentunya diperlukan untuk dapat menyeleksi atau mengambil pesan atau ajaran moral dalam sebuah karya sastra. Untuk dapat memaknai karya sastra, pembaca memerlukan kumpulan pengetahuan, wawasan, serta pengalaman batin yang dapat mereka alami dengan membaca banyak buku, di samping “membaca” realitas kehidupan di lingkungannya (Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 71).

Berlandaskan dari pendapat ahli di atas, penulis bisa mengambil simpulan bahwa amanat ialah suatu gagasan, pandangan hidup sastrawan atau pesan moral yang ingin disampaikan sastrawan kepada pembaca. Sastrawan mengungkapkan amanat pada suatu novel bisa dalam bentuk amanat yang bersifat implisit yakni amanat tersirat pada novel ataupun amanat yang bersifat eksplisit berarti amanat tersurat pada novel.

4) Alur

Alur ialah rangkaian peristiwa yang terus menerus terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat untuk membangun suatu alur cerita yang terpadu serta utuh. Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita bisa diatur menurut urutan terjadinya. Namun, tidak semua peristiwa dalam kehidupan karakter ditampilkan secara berurutan, sepenuhnya sejak karakter tersebut lahir.

Peristiwa yang dipilih dengan memperhatikan pentingnya membangun cerita (Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 86).

Alur (plot) ialah salah satu unsur utama pendukung pengorganisasian cerita secara kronologis. Alur mengetengahkan peristiwa-peristiwa yang tidak

hanya sebagai unsur dalam rangkaian yang sementara, tetapi pula sebagai pola yang rumit mengenai sebab serta akibatnya (Warsiman, 2016: 117). Alur ialah rangkaian peristiwa yang terpilih yang menggiring pembaca untuk melihat peristiwa yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, jalinan peristiwa harus memperlihatkan sebab akibat. Plot mengandung penyebab/ motivasi, serta akibat serta saling berhubungan antara keduanya (Al-Ma’ruf serta Farida, 2017:

86).

Nurgiyantoro, 1998: 142 (Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 86-87) menuturkan bahwa struktur alur suatu novel secara umum terbagi menjadi tiga fase, yakni tahap awal, tengah, serta akhir . Fase awal ini biasa disebut fase perkenalan. Tahap perkenalan biasanya mengandung informasi penting mengenai hal-hal yang akan diceritakan pada tahap-tahap selanjutnya. Pada tahap ini menyampaikan informasi yang diperlukan untuk memahami cerita berikutnya. Peran tahap awal suatu cerita ialah memberikan informasi serta penjelasan yang dperlukan terutama yang berkaitan dengan set-up dan penokohan.

Tahap selanjutnya yaitu tahap tengah. Pada tahap ini termasuk fase konflik yang menunjukkan kontradiksi atau konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya, yang menjadi semakin tegang. Pada fase ini terjadi komplikasi, penggawatan (complication) serta klimaks (climax). Konflik erat kaitannya dengan unsur kontrol yang terdapat pada kejadian awal. Fase tengah ialah bagian fiksi yang terpanjang dan terpenting. Pada tahap akhir atau tahap penyelesaian, menampilkan adegan tertentu karena klimaks. Tahap ini

memberikan penjelasan tentang bagaimana cerita berakhir atau fragmen masalah (denouement).

Plot dengan demikian merupakan salah satu elemen utama yang secara kronologis mendukung organisasi cerita. Alur ialah rangkaian peristiwa yang terus menerus terjalin dalam hubungan sebab-akibat menggiring pembaca untuk melihat perisitiwa yang terjadi berikutnya. Struktur alur terbagi atas tiga tahap yakni tahap awal yang lazim disebut tahap perkenalan, tahap tengah yakni tahap perselisihan atau konflik serta tahap akhir yakni tahap solusi atau tahap pemecahan masalah.

5) Tokoh serta Penokohan

Menurut Nurgiyantoro, 2018: 247 tokoh ialah menunjukkan pada orangnya. Abrams (Nurgiyantoro, 2018: 247) menambahkan bahwa karakter naratif ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang menafsirkan pembaca sebagai kualitas moral yang diungkapkan dalam ucapan serta yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh dalam karya fiksi selalu memilki sikap, ciri, perilaku atau watak tertentu. Walaupun tokoh naratif hanyalah tokoh yang diciptakan oleh seorang penulis, ia harus merupakan tokoh yang hidup sesuai dengan kodrat karena kehidupan manusia terdiri dari darah serta daging, yang memilki pikiran serta perasaan. Kehidupan seorang tokoh cerita ialah kehidupan di dalam dunia fiksi, sehingga ia harus bersikap serta bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan karakter yang dibawanya.

Tokoh dalam cerita mendapatkan suatu proses, yakni proses penokohan.

Penokohan istilah lainnya karakterisasi. Karakterisasi atau penokohan atau perwatakan ialah cara seorang penulis menggambarkan tokoh-tokohnya. Jadi, hal tersebut telah menggambarkan serta secara tidak langsung menerangkan mengenai penokohan seorang tokoh, atau perwatakan seorang watak dalam cerita yang dikisahkan sastrawannya (Warsiman, 2016: 118).

E.M. Foster (Warsiman, 2016: 118-119) membagi tokoh dalam fiksi naratif menjadi dua, yakni tokoh (round character) serta karakter pipih (flat character). Demikian pula Wellek serta Warren (1993:288) membedakan penokohan mereka sebagai penokohan memilah penokohan dengan sebutan penokohan tetap dan penokohan dinamis atau berkembang. Karakter bulat (round character) atau karakter dinamis (evolving) dapat berubah, belajar dari pengalaman dan beradaptasi dengan keadaan, sedangkan karakter datar atau statis, sebaliknya, tidak memiliki kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman. Dari awal hingga akhir, karakter datar tidak mengalami perubahan karakter sama sekali. Dalam dunia sastra, bagaimanapun, ada karakter yang tampaknya tidak berubah tetapi pada dasarnya berubah.

Menurut Nurgiantoro, 2005: 176-178 (dalam Warsiman, 2016: 119), tokoh dibedakan berdasarkan sudut pandang fungsi tokoh menjadi tokoh utama (central character) dan tokoh tambahan (peripheral character), serta berdasarkan fungsi penampilan karakter, dibedakan berdasarkan karakter protagonis dan antagonis. Lebih lanjut Nurgiantoro, 2005: 176-178 (dalam Warsiman, 2016:119) menjabarkan bahwa yang disebut tokoh utama (central character)

ialah tokoh yang ceritanya diprioritaskan pada suatu novel tertentu (narasi fiksi). Ia adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku peristiwa maupun yang menjadi sasaran peristiwa, serta yang disebut tokoh tambahan (periferal character) dalam keseluruhan cerita semakin tidak penting, dan kehadirannya hanya jika ada hubungan dengan tokoh utama, langsung atau tidak langsung.

Tokoh protagonis ialah karakter dalam karya sastra yang dikagumi atau tokoh populer (pahlawan). Eksistensinya merupakan perwujudan norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenberd dan Lewis, 1966: 56, dalam Warsiman, 2017: 140), dan selalu menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan kita (pembaca) . Bahkan, kita sering berpura-pura menjadi seperti pemeran utama. Semua masalah yang kita hadapi, seolah-olah itu adalah masalah kita, sekaligus menyikapinya. Selain itu, antagonis sering disebut sebagai tokoh oposisi, atau tokoh penyebab konflik. Tokoh antagonis dalam sebuah karya sastra dibenci oleh para penikmatnya dianggap sebagai sumber bencana. Meskipun sering dibenci para penikmatnya namun tokoh antagonis termasuk tokoh yang membuat cerita semakin menarik.

Berlandaskan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa tokoh ialah orang atau pelaku yang terlibat dalam suatu karya sastra yang memilki ciri, sifat, tingkah laku atau watak tertentu. Meskipun tokoh naratif hanyalah tokoh yang diciptakan sastrawan, tokoh tersebut harus merupakan tokoh yang hidup secara kodrat, karena kehidupan manusia terdiri dari darah dan daging, yang memiliki pikiran dan perasaan. Dilihat dari peran tokohnya, tokoh dibedakan menjadi

tokoh utama (central character) dan tokoh tambahan (peripheral character), dan berdasarkan peran penampilan tokoh dibedakan menjadi protagonist dan antagonistik. karakter. Tokoh-tokoh dalam cerita mendapatkan suatu proses, yaitu proses penokohan. Penokohan adalah istilah lain dari karakterisasi atau perwatakan. Penokohan atau perwatakan adalah cara seorang pengarang menggambarkan tokoh-tokohnya.

6) Sudut Pandang

Aminudin, 2014: 90-91 (dalam Nursavitri, 2019:16) sudut pandang atau perspektif adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau tokoh dalam sebuah cerita yang dideskripsikan. Sudut pandang atau biasa disebut point of view atau sudut pandang cerita, yaitu: a. Narrator omniscient ialah narrator yang berperan sebagai tokoh dalam cerita, karena tokoh dalam cerita sebagai pembicara maha tahu tentang apa yang ada dalam pikiran, perilaku, batin, nasib dan kehidupan beberapa tokoh lainnya. Segala sesuatu yang tidak digambarkan dalam cerita, bahkan jika itu hanya bayangan atau mimpi karakter, adalah sesuatu yang akan terjadi, sudah diketahui oleh narator yang maha tahu. b.

Narrator observer ialah narrator yang berperan sebagai pengamat terhadap penampilan tokoh lain, narator ini hanya mengetahui batas-batas perilaku dan pikiran tokoh. Narator ini selalu menyebut tokoh utama sebagai dirinya sendiri atau bahkan dengan nama lain, hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan penulis tentang kepribadian tokoh.

7) Gaya Bahasa

Menurut Sudjiman, 1995:15-16 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017:

97) Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra ialah insrumen sastra yang memberikan kontribusi sangat berarti bagi perolehan efek estetika dan penciptaan berarti. Stilistika sering membawa beban makna. Setiap pemilihan

kata yang digunakan dalam karya sastra memilki keterkaitan emosional, moral, serta ideologis di samping maknanya yang bebas. Ratna, 2007: 231 (dalam Al-Ma’ruf serta Farida, 2017: 97) mengungkapkan bahwa aspek keindahan sastra sebenarnya terkandung dalam penggunaan gaya bahasa. Dengan demikian, gaya bahasa memegang peranan penting dalam menentukan nilai estetika karya sastra.

b) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik ialah komponen-komponen yang berasal dari luar karya sastra, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap struktur atau sistem organisme teks sastra. Unsur ekstrinsik sangat berpengaruh (belum dikatakan: krusial) terhadap keseluruhan struktur cerita. Dengan demikian, unsur ekstrinsik suatu novel harus dianggap penting (Nurgiyantoro, 2018: 30). Komponen-komponen ekstrinsik meliputi subjektivitas individu sastrawan yang memilki keyakinan, sikap, serta pandangan hidup yang semuanya dapat mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya. Unsur ekstrinsik suatu karya sastra bergantung pada sastrawan yang menceritakan karya tersebut.

Dokumen terkait