• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT OLEH NEGARA-

C. Unsur-Unsur Prinsip National Treatmentment

Unsur-Unsur Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:

1. Adanya kepentingan lebih dari satu Negara

2. Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.

3. Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.

4. Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.35

Perlakuan Nasional (National Treatment), Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, yaitu:

1. pungutan dalam negeri; 2. undang-undang;

3. peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan; 4. penawaran penjualan;

35

Mahfudz Razi dalam http://mahfudfahrazi86.blogspot.com/2012/05/v- behaviorurldefaultvmlo.htmll. Tanggal akses 25 Mei 2013

5. pembelian; 6. transportasi;

7. distribusi atau penggunaan produk;

8. pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran; 9. pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

Pasal 2, mengatur tentang penerapan prinsip “National Treatment” dan “Quantitative

Restrictions” tersebut berbunyi:

“Without prejudice to other rights and obligations under GATT 1994, no Member shall apply by TRIMs that is inconsistent with the provisions of Article III or Article XI of GATT 1994.” “An illustrative list of TRIMs that are inconsistent with the obligation of national treatment provided for in paragraph 4 of Article III of GATT 1994 and the obligation of general elimination of quantitative restrictions provided for in paragraph 1 of Article XI of GATT 1994 is contained in Annex to this Agreement.”36

Pasal diatas menyatakan bahwa peraturan investasi yang berhubungan dengan perdagangan barang tidak boleh bertentangan dengan Pasal III dan XI dari

“Tanpa mengurangi hak dan kewajiban GATT 1994 lain, tidak ada Anggota berlaku oleh TRIMs yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal III atau Pasal XI GATT 1994." "Daftar ilustrasi TRIMs yang tidak sejalan dengan kewajiban perlakuan nasional diatur dalam ayat 4 Pasal III GATT 1994 dan kewajiban penghapusan pembatasan kuantitatif sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal XI GATT 1994 yang terkandung dalam Lampiran Persetujuan ini. "

36

Erman Rajaguguk, Trims dan Hukum Investasi dalam

http://www.ermanhukum.com/Kuliah/TRIMs%20&%20 Hukum%20Investasi%20- %20Pendahuluan.pdf. Tanggal akses 25 Mei 2013

GATT dan daftar ilustrasi sebagai apa yang dianggap sebagai TRIMs berdasarkan Pasal III ayat 4 dan Pasal XI ayat 1 dari GATT. Pasal III GATT berhubungan dengan “national treatment” dibidang perpajakan dalam negeri dan Pasal XI berhubungan dengan larangan umum pembatasan kwantitatif. Kedua Pasal tersebut berhubungan dengan pemakaian instrument tersebut untuk melakukan diskriminasi barang-barang import, melarang perdagangan internasional atau melindungi produksi lokal.37

D. Pengaturan dan Penerapan Prinsip National Treatment Dalam Hukum Internasional

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini dapat lihat HaKIkat sistem hukum itu. Sistem hukum tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntunan masyarakat, dalam bidang intellectual property rights

didasarkan pada tuntunan perkembangan peradaban dunia.

Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi

37

dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.24 Bergabung dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.25 Prinsip- prinsip “Most -Favoured - Nation.” “Transparency,’’ “National Treatment..’ “Non -Dicrimination” menjadi dasar WTO dan blok ekonomi regional.38

Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peratutan yang extra-teritirial yang mennyangkut tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak harus memenuhi (pengaturan)

Oleh karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakata internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Embodying The Uruguay of Multilateral Trade Negotiation,

yang ditandatangani di Marakesh, pada bulan April oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.

38

Carl J Green, ”APEC and Trans-Pasific Dispute Management, “Law & Policy in International Business,” vol. 26 (1995) h. 729. Gerard de Graaf and Matthew King, ”Towards a More Global Government Procurement

Market : The Expansion of the GATT Government Procurement Agreement in the Context of the Uruguay Round,” The International Lawyer, vol. 29, No. 2 (summer 1995), h. 452

standard minimum. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.39

Selain pertimbangan akses pasar dan penurunan tariff, prinsip National Treatment berpotensi untuk mengurangi konflik antar pelaku PMA yaitu Pemerintah Negara tuan tumah, Pemerintah Negara asal dan Penanam modal karena prinsip ini akan memberikan jaminan keamanan terutama bagi penanam Penerapan prinsip National Treatment dalam penanaman modal asing di Indonesia di satu sisi telah menghilangkan kesempatan Indonesia untuk mempromosikan industri dalam Negeri melalui kebijakan local content requirement dan trade balancing policy, hal tersebut dicatat sebagai sebuah kerugian karena kesepakatan ini telah membuka paksa pasar Indonesia bagi masuknya pesaing-pesaing dari Negara yang lebih kuat. Melalui ketentuan ini batas-batas Negara tidak lagi menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan bebas diperjual belikan di mana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Di sisi lain politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mengisyaratkan Indonesia untuk berperan serta secara aktif mewujudkan iklim kondusif bagi persaingan bebas dalam perekonomian global dan mengambil manfaat dari kebijakan-kebijakan non diskriminasi tersebut bagi kepentingan nasional.

39

modal, sedangkan bagi Negara penerima modal prinsip ini memungkinkan mereka memberlakukan aturan yang sama mengikatnya terhadap Investor asing dan domestik. Sehingga apabila Investor asing melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia maka mereka mereka akan dijerat dengan hukum yang berlaku tanpa adanya keistimewaan tertentu.

Urgensinya perlindungan HKI, selain karena faktor-faktor seperti tersebut diatas (karya intelektual pribadi, pengorbanan dan nilai ekonomi),juga karena : Pertama, adanya pembajakan ( unfair trade practice ) sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak itu dapat menimbulkan kerugian terhadap produsen, misalnya penurunan omzet produksi, besarnya biaya untuk penjejakan pembajak, merosotnya daya hidup perusahaan; kerugian terhadap konsumen, misalnya konsumen mendapat barang palsu yang kualitasnya sering lebih buruk. Kedua, menguatnya kecendrungan negara-negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, menggunakan tuntutan dan keharusan untuk melindungi hak milik intelektual di negara-negara berkembang.

Saluh satu contoh adanya perbedaan dalam penerapan prinsip tersebut adalah kasus gugatan Indonesia ke WTO adalah adanya diskriminasi perlakuan nasional yang dilakukan oleh Amerika atas rokok kretek terhadap rokok mentol dalam pasar domestik Amerika. Ketentuan 907(a) melarang produk rokok yang mengandung rasa (flavor), termasuk didalamnya rokok kretek, untuk dipasarkan di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk melindungi generasi muda Amerika dari bahaya rokok. Namun, ketentuan tersebut tidak memasukkan rokok mentol dalam larangan tersebut. Fakta yang ada adalah bahwa rokok kretek sebagian besar

merupakan rokok impor dari Indonesia sedangkan rokok mentol sebagian besar merupakan produk dalam negeri. Atas dasar itulah Indonesia menggugat Amerika karena melakukan diskriminasi terhadap produk rokok kretek impor dari Indonesia.

Seperti diketahui bersama bahwa tujuan adanya WTO adalah untuk menghapuskan hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, antarnegara. Akan tetapi, WTO masih membolehkan adanya pengecualian untuk melakukan pembatasan-pembatasan tersebut demi alasan tertentu (dalam kasus ini alasan kesehatan). Pembatasan itu pun memiliki syarat agar dapat diberlakukan yaitu; tidak diskriminatif.

Indonesia dalam kasus ini tidak mempersoalkan ketentuan yang dibuat oleh Amerika atas pelarangan peredaran rokok kretek dengan alasan kesehatan. Yang dipersoalkan adalah mengapa ketentuan tersebut diberlakukan secara diskriminatif. Jika alasanya kesehatan, harusnya rokok mentol juga dilarang sebab apapun jenisnya semua rokok sudah pasti merusak kesehatan. Ketentuan tersebut jelas saja melanggar pondasi utama dari WTO yaitu perihal perlakuan nasional atas produk sejenis dalam suatu pasar domestik sebuah negara. Indonesia kemudian mendalilkan bahwa Amerika telah melanggar ketentuan Pasal III:4 GATT 1944, yang berbunyi :

“The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favorable than that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. The provisions of this paragraph shall not prevent the application of differential internal transportation charges

which are based exclusively on the economic operation of the means of transport and not on the nationality of the product.”

“Produk-produk dari wilayah pihak kontraktor yang diimpor ke dalam wilayah pihak kontraktor lain harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada produk nasional terhadap setiap hukum, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal mereka, menawarkan untuk penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan. Ketentuan dalam ayat ini tidak menghalangi penerapan biaya transportasi internal yang diferensial yang didasarkan hanya pada operasi ekonomi sarana transportasi dan bukan pada kebangsaan produk. "

Dokumen terkait