• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN KONSUMEN YANG

UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PEREDARAN MINUMAN

KADALUWARSA A.Upaya Hukum melalui Pengadilan

Pengadilan merupakan lembaga formal yang umum digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang dihadapinya, termasuk penyelesaian sengketa konsumen. Tetapi tidak semua sengketa konsumen layak untuk diajukan ke pengadilan karena jumlah nominal sengketa tersebut sangat kecil sedangkan untuk beracara di pengadilan membutuhkan biaya yang cukup besar serta jangka waktu penyelesaian yang sangat lambat.93

1. Upaya Hukum secara Perdata

Pada umumnya kasus yang sampai di pengadilan biasanya menyangkut kerugian konsumen dalam jumlah nominal yang cukup besar dan diajukan secara berkelompok (class action) atau dengan mempergunakan mekanisme gugatan organisasi non pemerintah (ornop) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau

legal standing. Hal tersebut efektif untuk menyiasati biaya berperkara di

pengadilan yang sangat mahal serta dapat mewakili kepentingan semua anggota kelompok.

93

a. Gugatan Class Action.

Gugatan kelompok (class action) merupakan gugatan perdata biasa yang diajukan oleh satu orang atau lebih atas nama sejumlah orang lain yang mempunyai tuntutan yang sama terhadap tergugat. Orang yang menjadi wakil tersebut mewakili kepentingan hukum mereka sendiri serta mewakili kepentingan anggota kelas yang lain. Dengan perkataan lain, wakil kelas maupun anggota kelas, keduanya adalah pihak korban atau pihak yang mengalami kerugian.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dijelaskan pengertian gugatan perwakilan kelompok adalah:

“suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”

Pada pokoknya gugatan kelompok ini disediakan bagi perkara/perkara- perkara yang peristiwanya merupakan peristiwa yang terjadi terhadap sekelompok orang, sedangkan kelompok tersebut dalam jumlah besar, sehingga tidak praktis apabila diajukan satu persatu.94

Untuk memastikan bahwa masing-masing konsumen yang mengajukan gugatan kelompok adalah konsumen yang benar-benar dirugikan akibat perbuatan pelaku usaha, pengadilan akan menilainya berdasarkan bukti-bukti hukum yang

Pada dasarnya gugatan kelompok dilakukan oleh perwakilan konsumen berupa perwakilan individual, sekelompok orang atau diwakili oleh LPKSM.

94

Az Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1994), hal 87

diajukan para konsumen sebagai anggota kelompok, misalnya dengan bukti transaksi.95

b. Gugatan Legal Standing

Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing, sebagimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c UUPK:

“Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.” Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat organisasi non pemerintah (Ornop) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).96 Kemungkinan untuk mempergunakan gugatan Ornop/LSM dalam rangka penyelesaian sengketa konsumen ini, hanya diberikan kepada LSM yang bergerak dalam rangka perlindungan konsumen atau dalam UUPK dikenal sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).97

Selain memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat 1 huruf c, LPKSM tersebut diwajibkan untuk didaftarkan dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan tersebut, LPKSM tidak dapat menyandang haknya sebagai para pihak dalam proses beracara dengan mekanisme

95

Pasal 46 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

96

Shidarta, Op Cit, hal 55

97

gugatan Ornop/LPKSM di pengadilan. Menurut Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, terdapat 2 (dua) syarat untuk mendapatkan pengakuan sebagai LPKSM, yaitu:

1) Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota.

2) Bergerak dalam bidang perlindungan konsumen sebagimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan Ornop atau LSM adalah, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan pokok antara gugatan kelompok dengan gugatan Ornop/LSM.

2. Upaya Hukum melalui Pidana

Dari segi politik hukum pidana Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menempatkan kepatuhan terhadap norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) atau norma-norma perlindungan konsumen dengan mendayagunakan seluruh instrumen hukum yang ada, termasuk disitu instrumen hukum acara pidana.

Di dalam praktek hukum acara pidana sebagaimana lazimnya dikenal dengan adanya “saksi korban” baik pada proses penyidikan, penuntutan dan peradilan. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selanjutnya disebut Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP), tidak mengenal sebutan dan batasan saksi korban.98

Dalam konteks pelanggaran norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), posisi tersangka/terdakwa ada pada pelaku usaha baik

Pasal 1 butir 26 KUHAP menentukan sebagai berikut:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Sedangkan kata “korban” dapat dilihat pada Pasal 108 KUHAP menentukan sebagai berikut:

“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan penyidik baik secara lisan maupun tertulis.”

Dalam pendekatan sistemik hukum (Pasal 1 butir 26 jo Pasal 108 KUHAP), saksi korban adalah korban peristiwa tindak pidana yang memberikan keterangan tentang apa-apa yang ia dengar, lihat dan/atau alami sendiri guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam sistem peradilan pidana

(criminal justice system), posisi saksi korban sering disebut sebagai saksi a decharge (saksi yang memberatkan terdakwa/tersangka).

98

Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-undang Perlindungan

perorangan maupun korporasi. Paradigma peran konsumen dalam sistem peradilan pidana hingga kini sebagimana halnya korban-korban dalam perkara lainnya, masih tetap terbatas pada saksi korban. Pada tataran empirik, seorang saksi yang bersedia untuk memberikan keterangan pada setiap tingkat proses peradilan pidana, tentunya memperhitungkan pula untung ruginya bila ia memberikan atau tidak memberikan keterangan.99

Posisi saksi dilematis sekali dalam sistem peradilan pidana. Pada satu sisi dalam perspektif hukum pidana, saksi korban yang dengan sengaja tidak bersedia bersaksi diancam pidana penjara maksimal 9 (sembilan) bulan berdasarkan tindak pidana kejahatan Pasal 224 KUHP. Ia dapat pula dituntut melakukan tindak pidana pelanggaran Pasal 522 KUHP yaitu dengan melawan hak tidak datang untuk bersaksi sesudah di panggil menurut undang-undang. Sedangkan pada sisi lainnya jika saksi korban bersaksi berarti ia telah mengambil:100

a. Risiko penderitaan fisik dan psikis yang mungkin dialaminya dalam bentuk tindakan-tindakan pembatasan yang dilakukan pendukung- pendukung terdakwa/tersangka.

b. Pemberian keterangan dalam setiap tingkat proses (penyidikan, penuntutan dan peradilan) membawa akibat emosional dan menimbulkan hambatan-hambatan masif bagi perkembangan psikologi saksi.

Masalah korban bukanlah masalah yang sama sekali baru dalam dunia akademik dan praktek penegakan hukum.101

99

Yusuf Shofie, Pelaku usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal 60

100

Mulyana W Kusumah, Aneka Permaslahan dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1981), hal 112

101

Selanjutnya disebut dalam Yusuf Shofie 2, Op Cit, hal 63

Di bidang perlindungan konsumen, tidak jarang sulit menentukan siapa sebenarnya yang menjadi korban pelanggaran

norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), belum lagi penentuan akibat-akibat kebijakan hukum yang ditempuh pada setiap tingkat proses pemeriksaan. Benjamin Mendelson tahun 1937 membuat kategori korban ditinjau dari derajat kesalahan yang dibuat yaitu:102

a. Korban yang sama sekali tidak bersalah.

b. Korban yang menjadi korban karena kelalaiannya. c. Korban yang sama salahnya dengan pelaku. d. Korban yang lebih bersalah daripada pelaku.

e. Korban yang satu-satunya bersalah dalam hal pelaku dibebaskan. Reaksi negara terhadap konsumen sebagai korban tindak pidana di bidang perlindungan konsumen seharusnya tidaklah sama dengan reaksi yang ditempuh negara sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Reaksi negara melalui instrumen hukum acara pidana pada waktu itu terbatas pada menempatkan korban sebagai saksi korban. Jika saksi korban berupaya memperoleh kompensasi dari tersangka/terdakwa maka ia dapat menggunakan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.

Pasal 98 ayat 2 KUHAP mensyaratkan permintaan penggabungan tuntutan ganti kerugian diajukan selambat-lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana. Mestinya suatu proses hukum yang adil dan layak

(due processof law) memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum untuk

mewakili kepentingan umum. Dalam hal ini kepentingan korban tindak pidana untuk memperoleh kompensasi karena peran korban dalam sistem peradilan

102

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal 73

pidana telah direduksi hanya sebagai saksi korban. Dalam Pasal 99 ayat 3 KUHAP berbunyi:

“Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.”

Nasib tuntutan (gugatan) ganti kerugian korban tindak pidana sangat bergantung pada putusan perkara pidana terdakwa. Dalam hal terdakwa pun dijatuhi pidana, menurut Pasal 99 ayat 2 KUHAP tuntutan (gugatan) ganti kerugian yang dikabulkan terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak ketiga (termasuk saksi korban) yang dirugikan.103

1. Pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Dalam Pasal 63 butir c undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menempatkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi dalam sistem pidana di Indonesia atas pelanggaran-pelanggaran norma-norma Undang- undang Perlindungan Konsumen (UUPK), di samping sanksi pidana (pokok) Undang-undang Perlindungan Konsumen (Pasal 62) berupa:

2. Pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau pidana denda maksimal Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dengan paradigma baru ini, tanpa diajukannya tuntutan (gugatan) ganti kerugian oleh saksi korban dan/atau pihak ketiga lainnya yang dirugikan akibat tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, Penuntut Umum ketika mengajukan tuntutan pidana (requisitor) di persidangan semestinya mengajukan tuntutan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi. Sedangkan hakim

103

yang mengadili semestinya tidak terpaku pada Pasal 99 ayat 2 KUHAP yang menentukan bahwa tuntutan (gugatan) ganti kerugian yang dikabulkan terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak ketiga (termasuk saksi korban) yang dirugikan. Sikap yang semestinya ini tidaklah melanggar hukum acara pidana (KUHAP).104

Kedua, kasus pidana yang dimaksudkan Pasal 22 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) itu terkait dengan ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 19 ayat 4 UUPK Instrumen hukum acara pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengedepankan suatu sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 22 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) berbunyi sebagai berikut:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat 4 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”

Sistem pembuktian terbalik pada Pasal 22 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) itu terbatas pada kasus pidana. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicermati pada Pasal 22 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut. Pertama, dikatakan kasus pidana bila unsur-unsur sistem peradilan pidana telah menjalankan wewenang penyidikan, penuntutan dan/atau peradilan suatu tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

104

menegaskan bahwa pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa tidaklah menghapuskan kemungkinan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian terbalik ada tidaknya unsur kesalahan.105

3. Upaya Hukum melalui Tata Usaha Negara

Konsumen perorangan 1 (satu) orang atau lebih yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN)/Surat Keputusan (SK)/Penetapan Tertulis/memo atau nota (beschiking) menggunakan instrumen hukum peradilan tata usaha negara (Pasal 1 butir 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN)) jo Pasal 1 butir 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam konteks Undang- undang Perlindungan Konsumen (UUPK), badan hukum atau korporasi bukanlah sebagai konsumen meskipun tetap sebagai subjek penggugat menurut Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN).

Maksudnya untuk kepentingan perlindungan konsumen dengan merujuk pada Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), badan hukum atau korporasi tidak dapatlah sebagai subjek penggugat dengan merujuk pada Undang- undang Perlindungan Konsumen (UUPK) untuk membela kepentingan hukumnya di Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN), dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), senantiasa berada dalam posisi sebagai tergugat di pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) atas gugatan perbuatan melawan hukum

105

penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) berupa penerbitan keputusan Tata Usaha Negara (TUN)/beschikking yang diduga menimbulkan akibat hukum yang membawa kerugian bagi konsumen.106

Keputusan Tata Usaha Negara (TUN)/ beschikking tersebut berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara (TUN) berdasarkan peraturan perundang- undangan bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi konsumen/penggugat (Pasal 1 butir 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN)). Konkret berarti objek yang diputuskan dalam keputusan Tata Usaha Negara (TUN) itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.107

Individual berarti keputusan Tata Usaha Negara (TUN) itu tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Sedangkan final berarti akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dalam keputusan Tata Usaha Negara (TUN) itu harus sudah merupakan akibat hukum yang definitif.108

Terkait dengan akibat hukum yang definitif ini, Indroharto mengemukakan bahwa dalam praktek dijumpai 2 (dua) kelompok keputusan yang tidak memiliki watak melahirkan akibat hukum secara definitif yaitu:109

a. Kelompok keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang memang belum menimbulkan suatu akibat hukum.

b. Kelompok keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang memang tidak dapat dikatakan sebagai keputusan yang berdiri sendiri.

106

Ibid, hal 58-59

107

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hal 116

108

Ibid

109

Gugatan konsumen diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum) (Pasal 54 ayat 1 Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN)) dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) objek sengketa.110

Sesuai dengan asas point d’interet, point d’action (no interest, no action) maka dalam posita gugatan (alasan-alasan gugatan) diuraikan kepentingan hukum konsumen terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) objek sengketa. Dasar hukum gugatan yang diuraikan dalam posita gugatan (Pasal 56 ayat 1 sub c Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jo Pasal 53 ayat 2 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) yaitu:111

1. Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) objek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Tergugat telah menyalahgunakan wewenangnya dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) objek sengketa

(detournement de pouvair).

3. Tergugat telah berbuat sewenang-wenang dalam Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschkking) objek sengketa (willekeur).

Apa yang dimintakan konsumen dalam gugatan (petitum gugatan), yaitu: a. Pembatalan atau tidak sahnya Keputusan Tata Usaha Negara (TUN)

(beschikking) yang bersangkutan dengan/atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dengan jumlah terbatas (Rp 250.000,00 – Rp 5.000.000,00) atau rehabilitasi.

110

Selanjutnya disebut dalam Yusuf Shofie 1, Op Cit, hal 63

111

b. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) yang dimohonkan konsumen, dalam hal objek gugatan dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) sesuai Pasal 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Ada 2 (dua) hal yang dikemukakan menyangkut penyelesaian sengketa konsumen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pertama, konsumen sebagai penggugat tidak perlu khawatir pihak tergugat akan mengajukan gugatan rekonvensi (gugatan balik), karena dalam sengketa konsumen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) posisi tergugat selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN)

(beschikking) objek sengketa, konsumen tidak mungkin dalam posisi sebagai

tergugat apalagi tergugat rekonvensi dan fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah untuk melindungi masyarakat Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) memang tidak melarang secara tegas pengajuan gugatan balik, namun bila sistemnya dipahami dengan baik maka secara prinsipil gugatan rekonvensi tidak diperkenankan.

Kedua, gugatan konsumen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMD) penerbit Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) tersebut (Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) (asas

presumtio justae causa). Menghadapi hal ini, konsumen dalam gugatannya dapat

mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) (beschikking) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD) (Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN)).112

B.Upaya Hukum di luar Pengadilan

1. Melalui Upaya Perdamaian.

Penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak melalui cara-cara damai. Perundingan dilakukan secara musyawarah dan/atau mufakat antara para pihak bersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan cara ini juga disebut orang pula “penyelesaian secara kekeluargaan”.

Penyelesaian sengeketa ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan mediasi yang mana merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.113

Mekanisme penyelesaian sengketa secara damai ini sering sekali dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang bertindak sebagai mediator.114

Sedangkan penyelesaian dengan cara konsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa untuk mencapai perdamaian diluar pengadilan. Dalam

112

Ibid

113

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op Cit, hal 186

114

konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan di antara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang berselisih. Konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi perselisihan tersebut. Hasil kesepakatan para pihak melalui penyelesaian sengketa secara konsiliasi harus dibuat tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat para pihak.115

Penyelesaian sengketa secara damai ini sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian yang mudah, murah dan relatif lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian tersebut terdapat dalam KUHPerdata Indonesia (Buku Ketiga, Bab 18, Pasal-pasal 1851-1854 tentang perdamaian/dading) dan dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 45 ayat 2 jo Pasal 47.116

Dalam penyelesaian sengketa seperti ini, seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengkonsumsi produk kadaluwarsa hanya akan mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa berhak untuk mendapatkannya. Tidak akan ada

115

Celina Tri Siwi Kritiyanti, Op Cit, hal 187-188

116

penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu.117

Cara yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat 1 itu tidak jelas. Akan tetapi, dengan melihat Pasal 19 ayat 3, pastilah yang dimaksud bukan melalui suatu badan dengan acara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi sebagimana disebut dalam Pasal 19 ayat 3 maka dapat diduga bahwa penyelesaian sengketa yang dimaksudkan disini bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih dahulu melainkan bentuk penyelesaian yang sederhana dan praktis yang ditempuh dengan jalan damai. Sebagai penyelesaian perdamaian maka tetap terbuka kemungkinan untuk menuntut pelaku usaha secara pidana.

Menurut Pasal 19 ayat 1 dan ayat 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung.

118

Apabila mengikuti ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehubungan penyelesaian sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan ini

117

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal 145

118

berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih dahulu dengan pertemuan langsung antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui bantuan pihak ketiga.

Dengan konsultasi atau negosiasi, terjadi proses tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen. Dengan cara mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli ada pihak ketiga yang ikut membantu pihak yang bersengketa menemukan jalan penyelesaian diantara mereka. Pihak ketiga yang dimaksud adalah pihak yang netral, tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Disini pihak ketiga tidak memberi putusan atau sengketa tetapi membantu para pihak menemukan penyelesaiannya.119

Pada penyelesaian seperti ini, kerugian yang dapat dituntut sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 terdiri dari kerugian karena kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Bentuk penggantian kerugiannya dapat berupa:120

a. Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya. a. Pengembalian uang seharga pembelian barang dan/atau jasa.

b. Perawatan sederhana

c. Pemberian santunan yang sesuai.

Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh konsumen dan disesuaikan dengan hubungan