• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBERIAN DAN PENGAWASAN IZIN TRAVEL

B. Upaya mengatasi kendala Pemberian Izin Travel Ibadah

Tahun 2012

Upaya mengatasi kendala pemberian izin travel ibadah haji berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, antara lain:

1. Sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat sehingga dapat menimbulkan kesadaran masyarakat akan pentingnya proses perizinan travel ibadah haji. 2. Melakukan sosialisasi di media cetak seperti standing banner di setiap

kantor camat dan di media elektronik.

3. Di samping itu, penindakan tegas terhadap oknum-oknum yang terbukti melaksanakan tugasnya tidak berdasarkan prosedur yang telah ditentukan, termasuk pungutan liar. Tindakan yang dapat diambil adalah mulai dari teguran lisan, tulisan, dan sanksi lainnya seperti mutasi, penundaan kenaikan pangkat dan lain sebagai

4. Perlu adanya kontrol yang ketat dari pemerintah sehingga aparat tidak melakukan pelanggaran dan kesalahan prosedur, serta tidak terjadi pungutan di masyarakat di luar yang telah ditetapkan.

5. Harus ada sinergi antara perencanaan dengan pemerintah daerah. Terutama dari segi anggaran sering terlambat dicairkan. Hal ini jelas akan menghambat program kerja yang telah dibuat.

6. Peningkatan pengawasan sebagai instrumen kendali disiplin Aparat Pelayanan Permohonan izin.

74

7. Penerapan pola pembinaan yang tepat dan berdaya guna dengan Pendisiplinan yang Manusiawi dalam meningkatkan kualitas pelayanan permohonan Izin kepada Masyarakat

8. Keteladanan Pimpinan dalam menyegerakan melayani pemohon Izin.83

83 Peraturan Menteri Agama No. 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan penyajian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya didepan, maka pada bab akhir ini dapat ditarik kesimpulan didalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut dibawah ini :

1. Adapun yang menjadi dasar hokum izin travel ibadah haji khusus Indonesia, diawali pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan pada pal grims ordanantie yang menetapkan Ordonantie Haji tahun 1922. Kemudian p;ada tahun 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a menjadikan dasar hukum atau pemberian izin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (Umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayanan haji dan perdagangan. Kemudian, pada zaman kemerdekaan adapun dasar atau payung hukum izin travel haji khusus haji adalah : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29

yang menyatakan ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

b. Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1979 tentang penggabungan Urusan Haji Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Ditjen Urusan

76

Haji yang memiliki dua unit teknis yaitu Direktorat Penyelenggaraan Urusan Haji dan Direktorat Pembinaan Urusan Haji.

c. Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji.

e. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

2. Pemberian dan pengawasan izin travel ibadah haji Penyelenggaraan ibadah haji khusus yaitu Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus pada ayat (1) menteri menetapkan izin PIHK, ayat (2) izin PIHK diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada biro perjalanan setelah memenuhi persyaratan antara lain ; memiliki izin sebagai PPIU yang masih berlaku, memiliki izin usaha, memiliki nomor Pokok wajib Pajak (NPWP), memiliki akta pendirian perseroaan terbatas yang telah disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, memiliki surat keterangan domisili perusahaan, memiliki rekomendasi dari instansi pemerintah provinsi yang membidangi pariwisata, memiliki susunan pengurus dan komisaris perseroan terbatas, memiliki laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir yang sudah diaudit, menyerahkan uang jaminan sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam bentuk bank garansi yang

77

diterbitkan oleh bank umum milik Negara dan berlaku selama 3 (tiga) tahun, telah menyelenggarakan perjalanan ibadah umroh sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dengan jumlah jemaah umroh paling sedikit 300 (tiga ratus) orang dan tidak memiliki catatan negatif dalam penyelenggaraan ibadah umroh dan ayat (3) Kementerian agama melakukan verifikasi terhadap keabsahan dokumen persyaratan.

3. Kendala pemberian izin travel ibadah haji berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, kurang lengkapnya dokumen-dokumen pemohon, kurangnya pengetahuan pemohon dalam mengurus izin travel haji khusus.

D. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka diteruskan saran-saran yaitu sebagai berikut dibawah ini :

1. Kepada Dirjen Penyelenggaraan dan Pembinaan Haji Departemen Agama Republik Indonesia, BPUH terutama travel ibadah haji maupun calon jemaah haji Indonesia disarankan agar mematuhi dan melaksanakan segala dasar payung hukum yang telah ditetapkan didalam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, karena sekalipun umat Islam Indonesia harus memilih berangkat menunaikan rukun islam yang kelima yaitu ibadah haji ke tanah suci Mekkah bagi yang sudah mampu, tentu BPIH khusus lebih menjanjikan fasilitas dan keuntungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan BPIH biasa.

78

2. Kepada pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Agama khususnya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, pihak swasta terutama yang sudah maupun belum memiliki travel atau biro penyelenggaraan Ibadah Haji khusus dan terakhir kepada seluruh umat Islam yang ingin menggunakan jasa travel atau biro penyelenggaraan Ibadah Haji khsusus disarankan agar dapat memperhatikan segala ketentuan yang menjadi dasar atau payung hukum penyelenggaraan Ibadah Haji khusus seperti yang telah dijelaskan agar tujuan ibadah haji yang merupakan rukun islam yang kelima tersebut dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan

3. Biro penyelenggara ibadah haji khusus dan umroh dalam menjalankan bisnisnya harus mengedepankan kepentingan calon jemaah haji tidak hanya mengejar keuntungan semata.

17

BAB II

DASAR HUKUM PEMBERIAN IZIN TRAVEL IBADAH HAJI

D. Sejarah Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya setelah berdirinya kerjaan Pasai di Aceh pada tahun 1292.22 Sejarah dan pengaturan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia telah dilakukan sejak jaman penjajahan hingga saat ini, dan merupakan perjalanan yang panjang, yang tidak mungkin kita bahas dalam satu artikel. sehingga untuk mempermudah dalam penjelasannya, kita Klasifikasikan sejarah penyelenggaraan Ibadah Haji plus ke dalam beberapa Periode. pertama, Periode Masa penjajahan belanda, kedua Periode Haji setelah kemerdekaan, ketiga, periode 1966 s/d 1998, keempat, periode haji 1999 s/d sekarang.

Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk menarik hati rakyat sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji meskipun dengan keterbatasan fasilitas yang sebenarnya kurang bermartabat, dimana pengangkutan haji dilakukan dengan kapal Kongsi Tiga yaitu kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan, demikian juga tempat istirahat jamaah haji di kapal sama dengan apabila kapal tersebut mengangkut ternak. Faktor yang dominan dalam masalah perjalanan haji pada masa penjajahan

22

http://www.travelhajiumroh.web.id/2012/08/sejarah-penyelenggaraan-haji-indonesia.html (diakses tanggal 1 September 2015).

18

ini, yaitu keamanan di perjalanan dan fasilitas angkutan jamaah haji masih sangat minim. Namun demikian hal tersebut tidak mengurangi animo dan keinginan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, bahkan jumlahnya mulai meningkat secara cepat, yang diperkirakan mulai sejak tahun 1910.

Pada tahun 1921 umat Islam mulai bergerak melakukan upaya perbaikan ibadah haji yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, dengan menuntut KONGSI TIGA melakukan perbaikan pelayanan pengangkutan ibadah haji Indonesia. Pada tahun 1922 volksraad mengadakan perubahan pada pelgrims ordannantie, sedangkan Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus anggotanya, KHM Sudjak dan M Wirjopertomo ke Makkah untuk meninjau dan mempelajari masalah yang menyangkut perjalanan haji. Hasil dari upaya-upaya tersebut ditetapkan dalam Ordanansi Haji 1922 Pemerintah Hindia Belanda. Ordonansi tersebut diantaranya mengatur mengenai angkutan jamaah haji, keamanan dan fasilitas angkutan selama dalam perjalanan. Karena kedua permasalahan, yaitu keamanan dan fasilitas angkutan pada dasarnya telah teratasi, maka dengan sendirinya jumlah jamaah haji Indonesia pada saat itu terus melonjak. Pada tahun 1928, Muhammadiyah mengaktifkan penerangan tentang cita-cita perbaikan perjalanan haji. Sedangkan Nahdatul Ulama melakukan pendekatan dengan Pemerintah Saudi Arabia dengan mengirimkan utusan, KH Abdul Wahab Abdullah dan Syech Ahmad Chainaim Al Amir, menghadap Raja Saudi Arabia (Ibnu Saud) guna menyampaikan keinginan untuk memberikan kemudahan dan kepastian tarif haji (yang ketika itu banyak diselenggarakan oleh syech-syech) melalui penetapan tarif oleh Baginda Raja.

19

Pada tahun 1930 Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau mencetuskan pemikiran untuk membangun pelayaran sendiri bagi jamaah haji Indonesia. Pada tahun 1932, berkat perjuangan anggota Volskraad, Wiwoho dan kawan-kawan, Pelgrims Ordanantie 1922 dengan Staatblaad 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a yang memberikan dasar hukum atas pemberian izin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayaran haji dan perdagangan.

Sejarah penyelenggaraan haji zaman dahulu, yakni sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Umat Islam Indonesia menunaikan Ibadah Haji secara sendiri-sendiri dengan menggunakan kapal layar yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari dua tahun.23

Permulaan perjalanan haji dari Indonesia sangat tergantung pada keadaan transportasi antara kepulauan nusantara dengan Jazirah Arab melalui pelayaran perdagangan dan berkaitan erat dengan masuk dan tersebarnya Islam serta pembentukan komunitas muslim di Indonesia sebagai faktor-faktor anteseden haji Indonesia.24 Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Kementerian Agama dan diatur dalam ketentuan peraturan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 sebagai kebijakan pemerintah pertama yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji. Namun, dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, pihak swasta tetap diberi kesempatan untuk mengurus

23

Haji- Nusantara.blogspot.com, (diakses tanggal 29 Juni 2015).

20

pelaksanaan ibadah haji melalui yayasan yang dibentuk oleh organisasi keagamaan.

Penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh pihak swasta pada waktu itu terdapat banyak masalah yang timbul, karena pelaksanaannya dipengaruhi oleh badal-badal syekh, broker atau tengkulak haji, bermunculan usaha-usaha perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan pihak-pihak swasta dan jasa haji. Panitia-panitia penyokong haji swasta ini tidak mempunyai rasa tanggung jawab, mereka cenderung mencari keuntungan semata. Mereka mempengaruhi calon jemaah haji dengan prosedur yang mudah dan pelayanan yang ramah, ternyata tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan izin yang diberikan pemerintah sehingga di lapangan banyak terjadi penipuan, kesulitan teknis, adiministrasi dan tidak seperti yang dipropagandakan dan dijanjikan. Akhirnya menimbulkan kekecewaan, kesulitan, kericuhan yang berkepanjangan dan tidak berjalan seperti yang diharapkan.25.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 8 ayat (2) menjelaskan bahwa kebijakan dan pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Atas dasar itu maka pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan setiap warga negara (Umat Islam) yang akan menunaikan ibadah haji.26

25

www.informasihaji.com, (diakses tanggal 29 Juni 2015).

21

Penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji telah lama menjadi satu isu penting yang mengundang banyak perhatian masyarakat. Perhatian tersebut terutama berkisar pada masalah penyelenggaraan yang dinilai kurang optimal. Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan haji bukan tanpa alasan, kasus-kasus yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini memunculkan kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Agama. Sebagian respon masyarakat terkesan mengesampingkan aspek lain dari haji, yaitu perangkat perundang-undangan yang jarang tersosialisasi dengan baik.

Banyak permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji akibat sosialisasi kebijakan pemerintah yang kurang baik, diantaranya kasus terjadinya jama‟ah haji waiting list pada tahun 1995, dimana jama‟ah haji yang terdaftar sebanyak 231.000 orang yang melebihi kuota yang diberikan sebanyak 195.000 orang. Kuota tersebut telah ditetapkan oleh OKI di Amman, Jordania tahun 1987 sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk muslim suatu negara.27 Tingkat kenaikan yang sangat tinggi ini tidak terdeteksi secara dini karena sistem pendataan, pelaporan dan monitoring masih menggunakan sistem manual yang lambat dan konvensional, karena pada saat itu dilakukan dengan telepon,

22

faksimili, dan hard copy berupa daftar nominatif yang dikirim secara berkala melalui pos atau kurir.28

Berbekal pengalaman tersebut, pemerintah melakukan kaji ulang terhadap sistem penyelenggaraan haji secara keseluruhan, baik dari aspek perencanaan, pendataan, operasional manajerial, sumber daya manusia, dan perkembangan teknologi informasi. Salah satu aspek dalam pemanfaatan teknologi informasi ini adalah dengan terbentuknya sistem komputerisasi yang beroperasi secara online dan real time yang disebut Media Centre Haji (MCH), walaupun pada saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal disebabkan terutama karena kurangnya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai pengelola sebuah devisi sistem informasi, sehingga kemajuan atau alih teknologi dari manual ke komputerisasi belum terimplementasi secara nyata.

Ada beberapa masalah seputar organisasi penyelenggara haji. Pertama, struktur organisasi penyelenggara perlu disusun efisien, independen, dan mandiri, tetapi baiknya mewakili lima departemen terkait, yaitu Depag, Depdagri, Deplu, Depkumham, dan Depkes. Selama ini tidak ada tim lintas departemen sehingga menyebabkan penyelenggaraan haji merepotkan serta high cost. Model kantor bersama „Samsat‟ mungkin satu model yang patut dipertimbangkan. Tetapi, pilihan ideal tentu ketika penyelenggara haji adalah badan khusus milik pemerintah yang mampu mengambil keputusan sendiri. Kedua, memiliki sistem dan prosedur (sisdur) yang baku. Sistem dan prosedur yang berganti-ganti selama

28Loc.Cit., hal 2

23

ini menggambarkan penyelenggara haji tidak memiliki sisdur yang baku. Ketiga, sistem perekrutan petugas haji mesti profesional dan tepat kebutuhan. 29

Pembatasan jama‟ah haji yang dikenal dengan pembagian kuota haji (quontum) yang telah dikenal sejak tahun 1952, diterapkan kembali pada tahun 1996 didukung dengan sistem komputerisasi haji terpadu untuk mencegah terjadinya over quota seperti yang pernah terjadi pada tahun 1995 dan sempat menimbulkan keresahan dan kegelisahan di masyarakat khususnya calon jama‟ah haji yang terdaftar pada tahun itu. Pembagian kuota selanjutnya disebut dengan porsi, didistribusikan secara proporsional untuk masing-masing daerah dalam beberapa tahun terakhir. Sistem pembagian porsi ini terbukti efektif dalam membantu perencanaan penyelenggaraan ibadah haji meskipun unsur kepastian bagi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji belum sepenuhnya dapat diterapkan secara konsisten. Saat ini, Indonesia memiliki kuota haji terbanyak di

dunia, yaitu sebanyak 210 ribu jama‟ah.30

Sebagai seorang muslim yang akan menunaikan ibadah haji harus memiliki kemampuan (Istitho’ah). Dalam ibadah haji, Istitho’ah merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki dan dikuasai oleh jama‟ah haji sebelum melaksanakan ibadah haji, artinya seseotrang diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji karena Istitho’ah. Dalam Bimbingan Manasik Haji.31 Istitho’ah artinya mampu, dalam hal ini mampu melaksanakan haji/ umrah ditinjau dari segi: a. Jasmani:

Sehat dan kuat, agar tidak sulit melakukan ibadah haji/ umrah.

29 Republika online, (diakses tanggal 29 Juni 2015).

30

Realita Haji Indonesia, Edisi September 2008, (diakses tanggal 29 Juni 2009)

24 b. Rohani:

1) Mengetahui dan memahami manasik haji/ umrah.

2) Berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melakukan ibadah haji/ umrah dengan perjalanan yang jauh

c. Ekonomi:

1) Mampu membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

2) BPIH bukan berasal dari penjualan satu-satunya sumber kehidupan yang apabila dijual menyebabkan kemudaratan bagi diri dan keluarganya. 3) Memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.

d. Keamanan:

1) Aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji/ umrah.

2) Aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan dan tidak terhalang/ mendapat izin untuk perjalanan haji.32 Selain kemampuan atau Istitho’ah, calon jama‟ah haji harus pula menguasai manasik haji atau tata cara melaksanakan ibadah haji, meliputi rukun dan wajib haji. Penguasaan manasik haji mutlak harus dimiliki oleh setiap calon

jama‟ah haji sebelum berangkat ke tanah suci Makkah. Sebagai contoh rukun haji,

yang meliputi Ihram (niat), Wukuf di Arafah, Tawaf Ibadah, Sa‟i, Cukur dan tertib (Bimbingan Manasik Haji).33

Pelaksanaan program pelatihan dan bimbingan atau tata cara pelaksanaan haji perlu diperhatikan karena hal ini didasarkan pada dua aspek, yaitu: pertama, aspek teologis bahwa haji merupakan rukun islam kelima, aspek ini memberikan

32

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2008, hal 7.

25

penyadaran bahwa pelaksanaan ibadah haji memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal. Tanggung jawab vertikal menandakan bahwa haji adalah masalah ibadah kepada Allah SWT, oleh karena itu tanggung jawab ini terkait erat dengan masalah sah atau tidaknya suatu pelaksanaan ibadah. Tanggung jawab horisontal menandakan bahwa haji adalah memiliki makna sosial, oleh karena itu dalam tanggung jawab ini terkait erat dengan masalah hasil dan manfaat ibadah haji (spiritual expertence) bagi jama‟ah haji yang harus mampu menjaga perilaku yang baik sebagai makhluk sosial. Kedua, pemerintah selaku penyelenggara memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan jama‟ah haji untuk mencapai personal haji yang diharapkan.

Untuk memenuhi keinginan dan harapan tersebut, maka pemerintah berupaya untuk menyempurnakan dan meningkatkan pelayanan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan kebutuhan dan diselaraskan dengan perkembangan sosial budaya, ekonomi, politik, dan aspirasi masyarakat yang variatif sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kepentingan negara dan masyarakat serta tidak meninggalkan akuntabilitas publik.

E. Pengertian Izin dan Travel 1. Pengertian izin

Berbicara izin pada dasarnya mencakup suatu pengertian yang sangat kompleks yaitu berupa hal yang membolehkan seseorang atau badan hukum melakukan sesuatu hal yang rnenurut peraturan perundang-undangan harus

26

memiliki izin. terlebih dahulu, maka akan dapat diketahui dasar hukum dari izinnya tersebut.

Kata perizinan diperoleh atau didengar dan sepintas lalu kata perizinan mengandung arti yang sederhana yaitu pemberian izin terhadap sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas atau kegiatan, namun bila kita telusuri lebih jauh mengenai pengertian perizinan itu tidaklah semudah apa yang kita sebutkan tadi. Lalu apa sebenarnya perizinan tersebut.

Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan maksudnya dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan izin untuk melaksanakan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan.

Hukum perizinan adalah ketentuan yang berkaitan dengan pemberian izin atau bentuk lain yang berkaitan dengan itu yang dikeluarkan oleh pemerintah sehingga dengan pemberian izin tersebut melahirkan hak bagi pemegang izin baik terhadap seseorang, badan usaha, organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya untuk beraktivitas.

Izin (vergunning) juga dijelaskan sebagai perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada

27

umumnya tidaklah dianggap sebagai hal -hal yang sama sekali tidak dikehendaki.34

N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon mengemukakan pengertian izin dalam arti luas adalah: Izin adalah instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga. Izin adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan dalam undang-undang.35

Sutedi menyatakan bahwa izin merupakan keputusan pejabat atau badan tata usaha negara yang berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut:36

a. Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin.

b. Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya bergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan mengaturnya misalnya, IMB, izin HO, izin usaha industry, izin usaha travel.

34 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII press, 2010, hal 152

35 Hadjon, Philipus M. et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta :Gajah Mada University Press, 2005, hal 78.

28

c. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan, izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan di berikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada tanpa keputusan tersebut, misal, SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain.

d. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan kepadanya. Di samping itu izin yang bersifat memberatkan merupakan izin

Dokumen terkait