• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosedur Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

79

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahmat, Fathoni, Organisasi dan Manajemen, cetakan pertama, Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta, 2006

Aziz, Abdul Bin Abdullah Bin Baaz, Haji, Umrah dan Ziarah berdasarkan

tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah,Jakarta: CV. Firdaus, 1993.

Has, Sanusi. Pengantar Penologi, Medan: Monore,2008.

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, 2010

Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Admininistrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Natabaya, H.A.S. Penegakan Supremasi Hukum, Majalah Hukum Nasional Edisi No. 1-2001, Jakarta : BPHN, 2001.

Philipus, Hadjon, M. et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogjakarta, 2005.

Putuhena, Shaleh, Historiografi Haji Indonesia. Jogjakarta : LKIS, 2007 Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya, Bakti, 2000. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004.

Raya, Ahmad Thib, Siti Musdah Mulia, Menyelami Selut-Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta : prenada media, 2003.

Reksohadiprodjo, Sukanto, Dasar-dasar Manajemen, edisi keenam, cetakan kelima, BPFE, Yogyakarta, 2008.

Sarwoto, Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen, cetakan keenambelas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.

Siswandi dan Indra Iman, Aplikasi Manajemen Perusahaan, edisi kedua, Penerbit : Mitra Wicana Media, Jakarta, 2009.

Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.

(2)

80

Situmorang ,Victor, M., dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat , Rineka Cipta, Yogyakarta, 1994.

Sugono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Rajagrafindo Persada. 2006. Sutedi, Adrain, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,

Jakarta, 2010.

Terry, R, George dan Leslie W, Rue, Dasar-dasar Manajemen, edisi bahasa Indonesia, cetakan ketigabelas, Bumi Aksara, Jakarta, 2010.

Trisnawati, Sule Erni, dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, edisi pertama, cetakan pertama, Prenada Media Jakarta, 2005.

Tono, Sidik, dkk. Ibadah dan Akhlak dalam Islam, Yogyakarta, UII Press, 1998.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang penyelenggaraan Ibadah Haji Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

Departemen Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Hikmah Ibadah Haji, Jakarta, 2003.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Departemen Agama Republik Indonesia, 2008.

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2006.

Internet

http://www.okezone.co/read/news/2012/11/15/173441976 diakses pada tanggal 21 Agustus 2015

http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-perijinan/, diakses pada tanggal 29 Juni 2015.

(3)

81

http://www.travelhajiumroh.web.id/2012/08/sejarah-penyelenggaraan-haji-indonesia.html diakses tanggal 1 September 2015.

Haji- Nusantara.blogspot.com, diakses tanggal 29 Juni 2015. www.informasihaji.com, diakses tanggal 29 Juni 2015. Republika online, diakses tanggal 29 Juni 2015.

Realita Haji Indonesia, Edisi September 2008, diakses tanggal 29 Juni 2015. http://harmonitravel.com/pengertian-travel/ diakses tanggal 29 Juni 2015

(4)

44

BAB III

PEMBERIAN DAN PENGAWASAN IZIN TRAVEL IBADAH HAJI

D. Prosedur Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Khususnya

Konteks penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia, selain diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang, sejak dekade 80-an telah muncul penyelenggara haji swasta yang dikelola oleh Biro Perjalanan Haji (BPH). Jemaah haji yang menunaikan haji melalui BPH ini disebut dengan haji khusus, karena mereka membayar biaya perjalanan ibadah haji yang lebih atau khusus. Dengan adanya penyelenggara haji khusus yang menawarkan fasilitas yang lebih baik, umat Islam tentu memiliki alternatif untuk menunaikan rukun Islam kelima. Umat Islam bebas memilih berangkat ke tanah suci dengan BPIH biasa atau dengan BPIH khusus. Dalam konteks ini, tidak ada pemaksaan kepada seseorang untuk menunaikan ibadah haji melalui satu jalan, semuanya diserahkan kepada kedewasaan berpikir dan kecermatan memilih sarana bagi umat Islam itu sendiri.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila seseorang menunaikan ibadah haji dengan penyelenggaraan ibadah haji khusus, diantaranya.

1. Dari segi waktu menjadi lebih efektif dan efisien, dan tentu saja tanpa menafikan kekhusyukan menjalankan ibadah haji;

2. Fasilitas yang disediakan sangat memadai;

(5)

45 4. Pelayanan yang diberikan lebih baik.46

Pemberian dan pengawasan izin travel ibadah haji Penyelenggaraan ibadah haji khusus yaitu Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus pada ayat (1) menteri menetapkan izin PIHK, ayat (2) izin PIHK diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada biro perjalanan setelah memenuhi persyaratan antara lain ; memiliki izin sebagai PPIU yang masih berlaku, memiliki izin usaha, memiliki nomor Pokok wajib Pajak (NPWP), memiliki akta pendirian perseroaan terbatas yang telah disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, memiliki surat keterangan domisili perusahaan, memiliki rekomendasi dari instansi pemerintah provinsi yang membidangi pariwisata, memiliki susunan pengurus dan komisaris perseroan terbatas, memiliki laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir yang sudah diaudit, menyerahkan uang jaminan sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam bentuk bank garansi yang diterbitkan oleh bank umum milik Negara dan berlaku selama 3 (tiga) tahun, telah menyelenggarakan perjalanan ibadah umroh sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dengan jumlah jemaah umroh paling sedikit 300 (tiga ratus) orang dan tidak memiliki catatan negatif dalam penyelenggaraan ibadah umroh dan ayat (3) Kementerian agama melakukan verifikasi terhadap keabsahan dokumen persyaratan.47

Untuk dapat menjadi Biro Perjalanan Umrah (Penyelenggaran Perjalanan Ibadah Umrah/PPIU) syarat-syaratnya adalah:

46 Ibid.

47

(6)

46

1. Telah memperoleh izin sebagai biro perjalanan wisata dari kementerian/instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pariwisata;

2. Telah beroperasi paling singkat 2 (dua) tahun sebagai biro perjalanan wisata;

3. Memiliki kemampuan teknis untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah yang meliputi kemampuan sumber daya manusia, manajemen, serta sarana dan prasarana;

4. Memiliki kemampuan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank;

5. Memiliki mitra biro penyelenggara Ibadah Umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi; dan

6. Memiliki komitmen untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan untuk memperoleh izin sebagai PPIU:

E. Pengawasan Pemberian Izin Travel Ibadah Haji

(7)

47

dicapai, maka segera diambil langkah-langkah yang dapat meluruskan kegiatan berikutnya sehingga terarah pelaksanaanya.

Menurut Sule dan Saefullah mendefinisikan bahwa : ”Pengawasan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambialan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut ”.48

Iman dan Siswandi mengemukakan bahwa pengawasan adalah sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.49

Reksohadiprodjo mengemukakan bahwa:”Pengawasan merupakan usaha

memberikan petunjuk pada para pelaksana agar mereka selalu bertindak sesuai dengan rencana.”50

Terry dan Leslie berpendapat bahwa : ”Pengawasan adalah dalam bentuk

pemeriksaan untuk memastikan, bahwa apa yang sudah dikerjakan adalah juga dimaksudkan untuk membuat sang manajer waspada terhadap suatu persoalan potensial sebelum persoalan itu menjadi serius.”51

48 Sule Erni Trisnawati, dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, edisi pertama,

cetakan pertama, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 317.

49

Siswandi dan Indra Iman, Aplikasi Manajemen Perusahaan, edisi kedua, Jakarta: Penerbit Mitra Wicana Media, 2009, hal 195.

50 Reksohadiprodjo, Sukanto, Dasar-dasar Manajemen, edisi keenam, cetakan kelima,

Yogyakarta: BPFE, 2008, hal 63.

51

(8)

48

Sarwoto menyatakan bahwa : ” Pengawasan adalah kegiatan manajer yang

mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki.52

Fathoni mendefinisikan bahwa : ” Pengawasan adalah suatu proses untuk

menetapkan aparat atau unit bertindak atas nama pimpinan organisasi dan bertugas mengumpulkan segala data dan informasi yang diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan pekerjaan ”.Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa

pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Kepentingannya tidak diragukan lagi seperti halnya dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, karena pengawasan dapat menentukan apakah dalam proses pencapaian tujuan telah sesuai dengan apa yang direncanakan ataukah belum.53

Terwujudnya tujuan yang dikehendaki oleh organisasi sebenarnya tidak lain merupakan tujuan dari pengawasan. Sebab setiap kegiatan pada dasarnya selalu mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu pengawasan mutlak diperlukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Menurut Situmorang dan Juhir maksud pengawasan adalah untuk :

1. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak

2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru.

52 Sarwoto, Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen, cetakan keenambelas, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2010, hal 94.

53

(9)

49

3. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan.

4. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak. 5. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan

dalam planning, yaitu standard.54

Menurut Rachman (dalam Situmorang dan Juhir, juga mengemukakan tentang maksud pengawasan, yaitu:

1. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan

2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan

3. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki serta. mencegah pengulangan kegiatan-kegiatan yang salah.

4. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga mendapat efisiensi yang lebih benar. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksud pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau

54

(10)

50

tidak, serta mengukur tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu diperbaiki ke arah yang lebih baik.55

Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan :

1. Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan informasi-informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan.

2. Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.

3. Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada hasil-hasil yang diharapkan.56

Sedangkan Situmorang dan Juhir mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :

1. Agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.

2. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat.

55

Ibid.

(11)

51

3. Agar adanya keluasan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri masing-masing aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.57

Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Menurut Sule dan Saefullah ada empat tujuan pengawaqsan tersebut adalah adaptasi lingkungan, meminimumkan kegagalan, meminimumkan biaya, dan mengantisipasi kompleksitas dari organisasi.

1. Adaptasi lingkungan, adalah agar perusahaan dapat terus menerus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan perusahaan, baik lingkungan yang bersifat internal maupun lingkungan eksternal.

2. Meminimumkan kegagalan, adalah ketika perusahaan melakukan kegiatan produksi misalnya perusahaan berharap agar kegagalan seminimal mungkin.

3. Meminimumkan biaya, adalah ketiga perusahaan mengalami kegagalan. 4. Antisipasi komplesitas organisasi, adalah agar perusahaan dapat

mengantisipasi berbagai kegiatan organisasi yang kompleks.58 Menurut Siswandi mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :

1. Pengukuran kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, peraturan dan hukum yang berlaku

2. Menjaga sumber daya yang dimiliki organisasi

3. Pencapaian tujuan dan sasaran yang yang telah ditetapkan oleh organisasi

57

Ibid.

(12)

52

4. Dipercayainya informasi dan keterpaduan informasi yang ada di dalam organisasi

5. Kinerja yang sedang berlangsung dan kemudian membandingkan kinerja aktual dengan standar serta menetapkan tingkat penyimpangan yang kemudian mencari solusi yang tepat. 59

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah:

1. Membandingkan antara pelaksanaan dengan rencana serta instruksi-instruksi yang telah dibuat.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja.

3. Untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan, atau dengan kata lain disebut tindakan korekti

Direktur Jenderal melakukan pengawasan penyelenggaraan lbadah Haji Khusus.(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat bekerjasama dengan Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (selanjutnya disebut PIHK) (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di tanah air dan di Arab Saudi.(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.(5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan Kepada Menteri

Pengaturan mengenai penyelenggaraan ibadah haji ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

(13)

53

yang pada intinya bertujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal untuk jamaah haji yang akan menunaikan ibadah haji seperti pelayanan akomodasi, transportasi, konsumsi, dan kesehatan. Hal tersebut harus dapat dilaksanakan oleh penyelenggara ibadah haji. Pada dasarnya undang-undang tersebut mempunyai tujuan yang utama yaitu memberikan pembinaan yang meliputi pembimbing, penyuluhan dan penerangan, pelayanan yang meliputi pelayanan administrasi, kesehatan dan akomodasi serta pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji dari Tanah Air ke Arab Saudi hingga kembali lagi ke Tanah Air. Terkait mengenai pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji maksudnya adalah bahwa jamaah haji memperoleh hak untuk diberangkatan dari Embarkasi di Tanah Air ke Arab Saudi dan dipulangkan kembali dari Debarkasi di Arab Suadi ke Tanah Air dengan alat pengangkutan yang memadai dan baik sehingga jamaah haji selamat dalam perjalanan menuju Tanah Air. Selain pembinaan dan pelayanan tersebut, jamaah haji berhak mendapatkan perlindungan yang meliputi keselamatan dan keamanan selama proses kegiatan ibadah haji. Akan tetapi, dengan hak-hak yang diperoleh konsumen tersebut dalam menunaikan ibadah haji, penulis dalam hal ini hanya mengkaji dan menitikberatkan pada hak jamaah haji yang berupa pembimbingan ibadah haji, akomodasi, konsumsi dan kesehatan.

(14)

54

haji dapat memilih alternative tersebut untuk menunaikan ibadah haji melalui jasa yang diberikan oleh kedua penyelenggara ibadah haji tersebut.

Pada hakikatnya manusia sejak lahir dapat dikatakan sebagai konsumen sampai dengan meninggal dunia. Berdasarkan hal tersebut, maka jamaah haji juga dapat dikatakan sebagai konsumen, karena menggunakan suatu jasa dari pelaku usaha dalam penyelenggaraan ibadah haji baik oleh Pemerintah maupun Biro jasa perjalanan haji dan umrah. Dalam perkembangan masyarakat yang semakin modern dan diiringi dengan perkembangan teknologi konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Disebabkan posisi tawar konsumen yang relatif lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar

F. Sanksi dalam Pemberian Izin Travel Ibadah Haji

(15)

55

(16)

56

BAB IV

KENDALA PEMBERIAN IZIN TRAVEL IBADAH HAJI KHUSUS BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012

A. Kendala Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Khusus Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012.

Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan kewajiban pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji nasional yaitu memberikan pelayanan, mengatur serta mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh para calon jam‟aah haji. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan

ibadah haji dapat berjalan dengan lancar, aman dan nyaman serta para calon jama‟ah haji dapat menunaikan ibadah haji secara mandiri sesuai dengan tuntutan

agama sehingga pada akhirnya memperoleh haji yang mabrur.

Kendala Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, antara lain :

1. Aspek landasan hukum

Pemerintah dalam melaksanakan proses pelayanan publik dalam penerbitan dokumen kependudukan sangat lamban dalam merespon berbagai perkembangan yang terjadi. Pelaksanaan pelayanan publik dalam penerbitan dokumen kependudukan didasarkan pada Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

(17)

57

perilaku dalam mendirikan bangunan hanya dapat berfungsi secara efektif apabila apabila memenuhi tiga syarat yang menurut Satjipto Rahardjo adalah:

a. Syarat filosofis, yaitu bahwa hukum dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang dijadikan sasarannya. Tidak boleh suatu hukum menimbulkan diskriminasi tehadap beberapa individu atau kelompok masyarakat tertentu.

b. Syarat yuridis lebih menekankan pada segi kepastiaan hukumnya. Kepastian hukum merupakan suatu ukuran/derajat yang mementukan ketegasan atau kejelasan dari suatu ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban orang/badan hukum (subyek hukum) dalam kehidupan masyarakat, tentang apa-apa tindakan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap perbuatan yang melawan hukum dan terhadap pelakunya, dan lan-lain. Adanya kepastian hukum tersebut dapat diukur dari ada atau tidaknya peraturan hukum itu sendiri serta sinkronisasi dengan peraturan hukum yang ada di atasnya.

c. Syarat sosiologis, yaitu bahwa suatu hukum dapat berfungsi apabila norma-norma yang masih bersifat abstrak seperti yang termuat dalam pasal-pasalnya diimplementasikan oleh para pelaksananya baik masyarakat maupun aparat penegak hukumnya.60

Kaitanya dengan permasalahan pada tidak efektifnya peraturan dalam mendisiplinkan masyarakat untuk memohonkan izin, ketiga syarat tersebut belum terpenuhi seluruhnya, khususnya dalam hal ini syarat sosiologis. Dalam hal syarat

(18)

58

sosiologis, Penyebab utamanya adalah belum tersosialisasinya Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus tersebut kepada masyarakat dengan jelas dan tegas, hal ini menyebabkan keragu-raguan masyarakat yang mengajukan izin baik berkaitan perlu atau tidaknya serta berkaitan biaya dan prosedur.

2. Aspek Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM)

Pelaksanaan administrasi kependudukan yang ada di tingkat kabuapaten/kota belum didukung oleh perkembangan struktur kelembagaan. Pada tingkat tersebut tidak ada lembaga atau organisasi yang konsen dalam menyuarakan persoalan pelaksanaan administrasi kependudukan. Pertumbuhan kelembagaan ini diharapkan dapat menjadi kontrol pemerintah dalam melaksanakan administrasi kependudukan.

3. Faktor Aparat Petugas Pelayanan sebagai Lembaga Penegakan Hukum Belum Berfungsi secara Optimal

Lembaga penegakan hukum (Legal Structure) merupakan salah satu unsur yang cukup penting terlaksananya upaya penegakan hukum. Lembaga penegakan hukum tidak hanya berupa lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) tetapi juga lembaga non peradilan, tidak juga hanya lembaga penegakan hukum yang represif saja tetapi juga preventif, dan tidak juga hanya lembaga penerapan sanksi tetapi juga lembaga pengawasan.61

Ketiga lembaga tersebut harus menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila ketiga tersebut tidak

61

(19)

59

menjalankan fungsinya dengan baik/sesuai peraturan perundang-undanagan maka upaya penegakan hukum terhadap Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus tidak akan berhasil optimal. Dengan kata lain, fungsi lembaga penegak hukum yang lemah menyebabkan proses implementasi Pemberian Izin menjadi terganjal. Lemahnya fungsi lembaga penegak hukum peraturan perundang-undangan disebabkan oleh beberapa faktor, khususnya faktor aparatnya atau faktor sarana dan prasarana penunjang berfungsinya lembaga penegak hukum.

Faktor aparat penegak hukum sangat peting peranannya karena merekalah yang ditugaskan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan tidakan terhadap para pelanggaran Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Aparat penegak hukum yang tidak profesional menyebabkan penegakan hukum tidak mencapai sasaran. Hal ini dapat diuraikan menurut fungsi lembaga masing-masing. Satpol PP sebagai aparat penerap sanksi yang kurang profesional menjadi kendala berfungsinya lembaga penerap sanksi dalam mendukung terwujudnya implementasi pemberian izin. Beberapa tindakan yang kurang mencerminkan kurangnya profesionaslisme aparat penerap sanksi antara lain :

a. Kelambanan dalam penjatuhan sanksi Kelambanan dalam penjatuhan sanksi mengakibatkan efektifitas sanksi menjadi lemah.62 Selain itu juga dapat berakibat masyarakat menjadi tidak percaya sehingga wibawa Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang

62

(20)

60

Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus maupun Pemerintah Daerah sebagai penegaknya mengalami kemerosotan. Beberapa indikator yang menunjukkan kelambanan lembaga penerapan sanksi dalam menjatuhkan hukuman disiplin kepada para Pelangar peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari maraknya kasus pelanggaran yang tidak ditindak. Penjatuhan sanksi yang tidak setimpal sebagaimana diketahui bahwa terhadap setiap bentuk pelanggaran akan dikenakan sanksi oleh Pemerintah sebagai pejabat yang berwenang menghukum agar menjadi jera. Dalam hal ini bila perlu digunakan teori penghukuman secara absolut yaitu membuat jera pelaku. 63 Dalam rangka menegakkan peraturan perundang-undangan maka ketentuan itu sendiri harus benar-benar dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah selaku pejabat yang berwenang. Tidak melaksanakan ketentuan itu, sama halnya dengan tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran yang telah terjadi, sama pula halnya artinya telah membiarkan berlangsungnya pelanggaran.64Membiarkan berlangsungnya pelanggaran adalah juga tidak berdisiplin. Hal ini menjadi factor penyebab menurunnya disiplin masyarakat dalam memohon izin.

b. Lembaga pengawasan, aparat pengawas yang kurang profesional menjadi kendala berfungsinya lembaga Penegak Hukum peraturan perundang-undangan dalam mendukung terwujudnya Implementasi Pemberian Izin gunakesejahteraan masyarakat. Padahal Semua pihak dewasa ini bertekad untuk menyempurnakan dan lebih mendayagunakan aparatur pemerintah dan

63

Sanusi Has, Pengantar Penologi, Medan: Monore,2008, hal 9.

(21)

61

aparatur pembangunan guna menciptkan aparatur yang bersih, berwibawa, dan berkemampuan “good governance”.Semua pihak juga bertekad untuk lebih

meningkatkan secara lebih terpadu pengawasan dan langkah-langkah penindakannya. Hal ini mengandung pengertian bahwa masih terdapat aparatur yang kurang berwibawa, dan kurang berkemampuan serta belum terpadunya pengawasan serta belum nyatanya langkah-langkah penindakannya. Setiap pimpinan semua satuan organisasi pemerintah, merupakan aparatur negara, abdi negara yang bertindak sebagai aparatur fungsional pengawasan, sedang di lain pihak (selebihnya) terdapat Pegawai Negeri Sipil, aparatur negara, abdi negara sebagai kelompok aparat yang diawasi. Meskipun demikian pada hakikatnya semua Pegawai Negeri Sipil merupakan pengawas, paling tidak kepada dirinya sendiri, yang harus mampu mengendalikan diri, mengawasi diri ke arah pelaksanaan peraturan perundang-undangan umumnya pada khususnya. Sebagai aparat fungsional pengawasan, sebagai atasan yang masing-masing mempunyai bawahan, maka pertama-tama harus memahami Perda yang akan ditegakkan. Sebagai atasan langsung harus mengetahui hal-hal apa yang menurut peraturan perundang-undangan di larang dan hal apa saja yang wajib dilakukan.65 Dalam rangka melaksanakan pengawasan, aparat atasan harus berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Selama ini upaya pengawasan terhadap tingkat kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil masih lemah. Adapun faktor penyebabnya

(22)

62

antara lain adalah masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut pengawasan terhadap disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping itu disebabkan juga karena pemahaman akan isi materi peraturan Perda yang ditegakkan juga masih kurang.66

Adapun yang disebutkan tadi baru salah satu bentuk pengawasan yaitu pengawasan fungsional. Lemahnya pengawasan juga disebabkan karena selama ini fungsi pengawasan melekat belum dipergunakan secara optimal oleh atasan untuk mengetahui sejauhmana tingkat kinerja bawahannya.67Ketidakprofesionalan aparat penegak peraturan perundang-undangan seperti diuraikan di atas tidak terlepas dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Seperti yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “dalam menjalankan peranannya,

aparat penegak hukum terlibat dalam suatu proses diskresi oleh karena dia harus menyerasikan antara penerapan hukum secara konsekuen dengan faktor-faktor manusiawi”yang meliputi (tiga), yakni: raw input, yaitu latar belakang keluarga

dan pendidikan; intrumental input, yang merupakan pengaruh lembaga di mana dia bekerja; serta environmental input, yakni pengaruh masyarakat luas.68

Pengaruh yang tidak serasi dari ketiga factor tersebut akan mengakibatkan terjadinya frustasi, konflik, dan kekhawatiran-kekhawatiran dalam berperan (role

performance atau role playing).69 Keadaan ini akan mengakibatkan penggunaan

defense mechanisme yang dapat berakibat negatif. Penggunaan defense

66 Ibid.

67 Ibid. 68

Ibid.

(23)

63

mechanisme dalam proses diskresi kemungkinan besar akan mengakibatkan

terjadinya hambatan terhadap penegakan hukum yang fungsional.70

Sebagai suatu unsur yang sangat menentukan upaya penegakan hukum Perda, setiap aparat Pemerintah Khususnya Satpol PP dituntut mampu menjalankan tugasnya secara profesional. Sehingga tugasnya untuk menegakkan hukum peraturan perundang-undangan dapat berjalan secara lancar dan upaya penegakan hukum menjadi lebih efektif.

Pengaruh latar belakang keluarga dan pendidikan kesadaran untuk profesional dalam setiap tindakan hanya dapat terwujud melalui suatu pembinaan sejak dini yang dimulai dari keluarga. Begitu juga kesadaran hukum dari aparat juga akan dipengaruhi oleh proses pembinaan dikeluarganya. Seorang aparat penegak hukum yang kurang mendapatkan pembinaan keluarga cenderung akan melakukan tindakan-tindak pelanggaran dalam pelaksanaan tugasnya.

Latar belakang keluarga aparat penegak hukum peraturan perundang-undangan yang sering dirundung konflik juga akan membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi pola-pola perilaku atau tindakan-tindakan aparat. Kecenderungan sikap yang ditimbulkan adalah sikap emosional dan cenderung mengambil jalan-jalan kekerasan/sewenang-wenang yang jelas merupakan suatu pelanggaran. Seperti halnya pengaruh latar belang keluarga, kesadaran profesionalitas dalam bekerja juga akan sangat dipengaruhi oleh tingat pendidikan. Seorang yang pendidikannya tinggi pada umumnya lebih bersikap hati, hati, teliti, cermat, dan cepat dalam mengambil keputusan. Tingkat

(24)

64

pendidikan yang rendah atau mungkin lingkungan pendidikan yang kurang memenuhi standar kualitas akan menimbulkan dampak pada perilaku kedisiplinan seseorang. Begitu pula aparat penegak hukum, mereka yang pada umumnya berpendidikan tinggi lebih cenderung mengambil keputusan dan tindakan-tindakan yang begitu hati-hati, teliti, dan cermat. Kondisi pendidikan di Indonesia yang masih beroientasi pada pencapaian prestasi secara formal (nilai) bukan materiil juga sangat berpengaruh pada tingkat profesionalitas seseorang, karena pada orang yang hanya mengejar nilai formal saja dengan menggunakan cara-cara yang negatif (menyontek dan sebagainya) umumnya lebih menonjolkan sikap ingin dipuji “exhibitionist” hal ini tentu sangat berpengaruh pada saat orang itu

bekerja, dia akan berusaha untuk menonjolkan sisi-sisi positif terutama jika berhadapan dengan pimpinan.

c. Pengaruh lembaga di mana aparat penegak hukum bekerja

(25)

65

1. Kurangnya pelayanan terhadap tuntutan hak-hak Pegawai Negeri Sipil terutama mengenai gaji yang layak. Dengan gaji dan tunjangan yang tidak seimbang dengan beban tugas Pegawai Negeri Sipil karena disamping itu juga mereka mempunyai tugas-tugas lain seperti pada umumnya yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Hal ini akan mendorong mereka melakukan praktek-praktek yang tidak disiplin seperti dengan melakukan pungutan liar dalam permohonan izin

2. Pengelolaan manajemen administrasi di lingkungan lembaga yang bersangkutan juga sangat berpengaruh pada kinerja setiap petugas.

3. Pengaruh masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat Pegawai Negeri Sipil pada khususnya

(26)

66

penegak hukum) sehingga banyak Permohonan izin yang tidak dapat ditangani dengan cepat dan tepat.

2. Faktor sarana dan prasarana penunjang

Agar fungsi pemerintah dapat lebih optimal dalam memberikan pelayanan izin maka berbagai macam sarana dan prasarana penunjangnya harus tersedia dengan baik dan layak, khususnya sarana dan prasarana administratif seperti buku Panduan, komputer, dan lain-lain masih terbatas. Sehingga dalam melakukan suatu pelayanan sering mengalami hambatan.

a. Tidak efektifnya sanksi bagi masyarakat yang melanggar peraturan perundang-undangan

Ada kalangan-kalangan tertentu yang berpendapat bahwa salah satu upaya penting untuk mengusahakan agar hukum itu efektif (jadi mempunyai dampak hukum positif), adalah dengan menetapkan sanksi. Sanksi tersebut sebenaranya merupakan suatu rangsangan untuk berbuat atau tidak berbuat. Kadang-kadang sanksi dirumuskan sebagai suatu persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian maka terdapat sanksi yang negatif dan sanksi yang positif. Secara sempit sanksi negatif berarti suatu hukuman, sedangkan sanksi yang positif merupakan imbalan (sebagai akibat kepatuhan hukum tertentu). Di dalam kenyataannya tidaklah terlalu mudah untuk menetapkan bahwa hukum tertentu pasti akan efektif apabila disertai dengan sanksi-sanksi (baik yang positif maupun yang negatif).

(27)

67

karakteristik dari sanksi itu sendiri. Bagaimanakah sanksi itu apakah sanksinya berupa sanksi berat atau ringan-ringan saja. Hal yang berkaitan erat dengan itu ialah persepsi warga masyarakat di dalam menanggung risiko, terutama kalau melanggar suatu peraturan yang disertai dengan suatu sanksi yang negatif. Kalau seseorang warga masyarakat berani menanggung risiko, walaupun sifatnya spekulatif maka akan dapat diduga bahwa sanksi yang negatif tersebut sangat terbatas akibat-akibatnya. Masalah tersebut berhubungan erat dengan jangka waktu penerapan sanksi negatif tersebut. Kalau sanksi tersebut segera dijatuhkan maka ada kemungkinan bahwa akibatnya akan jauh lebih efektif dari pada apabila pelaksanaannya ditunda.71

Kelambanan dalam menerapkan sanksi negatif terhadap perilaku tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sanksi menjadi tidak efektif. Artinya, warga masyarakat seolah-olah tidak mempercayainya lagi, sehingga wibawa hukum dan penegakannya akan mengalami kemerosotan.72 Efektifitas sanksi juga tergantung pada karakteristik orang-orang yang terkena oleh sanksi tersebut. Hal itu antara lain menyangkut jumlah orang yang terkena, di mana semakin sedikit orang yang terkena semakin tinggi juga efektifitasnya. Selain dari itu, maka hal itu juga tergantung pada kepribadian masing-masing. Ada manusia tertentu semata-mata untuk memuaskan perasaan saja.73 Agaknya sulit sekali mempengaruhi tingkah lakunya dengan sanksi-sanksi, yang pada umumnya akan dapat membatasi perilaku orang yang lebih banyak mempergunakan pikirannya.74

71 Ibid,

72 Op. cit., Soerjono Soekanto hal. 37. 73

Ibid,

(28)

68

Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan efektifitas implementasi Pemberian izin, peraturan perundang-undangan telah mengatur beberapa tingkat dan jenis sanksi. Apabila dilihat dari sifatnya sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah sanksi-sanksi yang negatif berupa “Denda” Namun dari segi efektifitasnya ternyata sanksi-sanski tersebut belum membuat jera para pelaku pelanggar disiplin atau dengan kata lain sanksi berupa denda belum efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu :

a. Penerapan sanksi berupa denda terhadap pelaku pelanggaran izin cenderung lamban dan kurang tegas. Kelambanan dalam penjatuhan denda mengakibatkan efektifitas sanksi menjadi lemah.75 Selain itu juga dapat berakibat masyarakat menjadi tidak percaya sehingga wibawa hukum maupunpenegaknya mengalami kemerosotan yang dapat memunculkan kecenderungan masyarakat untuk melakukan berbagai bentuk pelanggaran izin peraturan perundang-undangan untuk mencoba apakah denda tersebut benar dikenakan atau malah lepas. 76 Beberapa permasalahan yang menunjukkan kelambanan dalam menjatuhkan pengenaan denda kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran izin dapat dilihat dari maraknya kasus pelanggaran membangun bangunan tanpa memiliki izin oleh masyarakat. Dan pelanggaran tersebut tidak segera dikenakan denda namun justru yang mengajukan izin tetapi terlambat malah dikenai denda dengan segera.

75

Ibid., hal 35.

(29)

69

b. Penjatuhan denda yang tidak setimpal sebagaimana diketahui bahwa terhadap setiap bentuk pelanggaran akan dikenakan hukuman disiplin oleh pemerintah.

Dalam rangka menegakkan disiplin masyarakat maka ketentuan itu sendiri harus benar-benar dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah yang berwenang. Tidak melaksanakan ketentuan itu, sama halnya dengan tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran yang telah terjadi, sama pula halnya artinya telah membiararkan berlangsungnya pelanggaran izin. Membiarkan berlangsungnya pelanggaran adalah juga tidak berdisiplin. Hal ini menjadi factor penyebab menurunnya disiplin masyarakat dalam mengajukan permohonan izin. Penegakan peraturan dengan demikian menjadi kewajiban melalui Satuan Polisi Pamong prajanya. Bukan kekerasan yang diutamakan, tetapi ketegasannya, dan sikapnya yang pertama-tama dan yang paling utama sebagai pelaku dalam penegakan peraturan perundang-undangan. Adakalanya pemerintah merasa “kasihan” menindak masyarakat. Bahkan ada yang takut kepada masyarakat

dianggap tidak populis sebab takut berdampak politis.

(30)

70

kepada masyarakat Pelanggar izin akan terasa “mendidik” bila tepat dan cepat dijatuhkan dan tepat hukumannya.77

Penjatuhan sanksi yang tidak setimpal juga dapat membuat masyarakat pelaku pelanggaran izin menjadi tidak merasa jera. Kondisi demikian juga akan mendorong munculnya pelanggar-pelanggar baru karena mereka menganggap hukuman sanksi yang dikenakan masih belum seberapa misalnya dengan nilai keuntungan yang mereka dapatkan. Selain itu, dengan denda yang tidak setimpal akan menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak yang merasa dirugikan.

3. Kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat berkaitan dengan kesadaran mengajukan permohonan izin

a. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan kesadaran mengajukan permohonan izin, kesadaran hukum adalah kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau hukum yang diharapkan ada. Kesadaran hukum merupakan wadah jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Kesadaran hukum sebagai suatu wadah nilai mempunyai hubungan yang erat dengan perikelakukan manusia oleh karena :

b. Manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya. Pengalaman berinteraksi tersebut menghasilkan;

c. Sistem nilai, yaitu konsepsi abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang baik (wadahnya adalah antara lain kesadaran hukum. Sistem nilai berpengaruh pada pola pikir manusia yang kemudian menentukan sikap

(31)

71

manusia yakni kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap sesama, benda atau keadaan tertentu.

Sikap ini kemudian menghasilkan perikelakuan yang kemudian menjadi pola perikelakuan yang apabila diabstraksikan menjadi norma atau kaidah yang merupakan patokan tentang perikelakukan yang pantas. Norma kemudian mengatur interaksi antar manusia.78

Taraf kesadaran hukum dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu : a. Pengetahuan tentang hukum;

b. Pemahaman tentang hukum; c. Sikap terhadap hukum; d. Perilaku hukum.79

Pengetahuan tentang hukum diartikan sebagai keadaan di dalam pikiran seseorang mengenai hukumhukum tertentu. Orang yang hanya mengetahui hukum, taraf kesadarn hukumnya paling rendah. Sedangkan orang yang sudah memahami hukum taraf kesadarannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang disebutkan pertama.80

Sebab-sebab kesadaran hukum masyarakat rendah dapat dikembalikan pada faktor-faktor sebagai berikut:

1) Taraf sinkronisasi yang rendah dari peraturan perundang-undangan seperti berupa peraturan menteri dan perundang-undangan mengatur tentang sanksi hukum yang pasti.

78 Op. cit., Ronny Hanitijo Sumitro, hal 147 79

Ibid

(32)

72

2) Mentalitas yang kurang baik dari masyarakat oleh karena sikap tindaknya yang impulsif dan emosional yang didasarkan pada didasarkan pada kekayaan materiil, kekuasaan, kedudukan, ketenaran.

3) Fasilitas pendukung proses hukum yang relatif tidak memadai; seperti kurangnya kuatnya sanksi izin yang dikenakan, belum dioptimalkannya peralatan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, internet, dan intranet untuk memudahkan pengelolaan adaministrasi pemberian izin 4) Membudayanya shame culture dan bukan gult culture;

5) Kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan beleid; 6) Lebih mementingkan kelaziman dari pada kebenaran.81 b. Taraf kepatuhan hukum masyarakat

Kepatuhan hukum merupakan suatu bentuk perilaku hukum hasil manifestasi kesadaran hukum. Adapun taraf kepatuhan hukum adalah relatif, karena seorang patuh bisa disebabkan karena :

a. Rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar hukum;

b. Ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan; c. Ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa; d. Sesuai dengan nilai-nilai yang dianut; atau

e. Sebagian besar dari kepentingan-kepentingan di jamin dan dilindungi oleh hukum.82

81 Ibid.

(33)

73

B. Upaya mengatasi kendala Pemberian Izin Travel Ibadah Haji Khusus Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012

Upaya mengatasi kendala pemberian izin travel ibadah haji berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, antara lain:

1. Sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat sehingga dapat menimbulkan kesadaran masyarakat akan pentingnya proses perizinan travel ibadah haji. 2. Melakukan sosialisasi di media cetak seperti standing banner di setiap

kantor camat dan di media elektronik.

3. Di samping itu, penindakan tegas terhadap oknum-oknum yang terbukti melaksanakan tugasnya tidak berdasarkan prosedur yang telah ditentukan, termasuk pungutan liar. Tindakan yang dapat diambil adalah mulai dari teguran lisan, tulisan, dan sanksi lainnya seperti mutasi, penundaan kenaikan pangkat dan lain sebagai

4. Perlu adanya kontrol yang ketat dari pemerintah sehingga aparat tidak melakukan pelanggaran dan kesalahan prosedur, serta tidak terjadi pungutan di masyarakat di luar yang telah ditetapkan.

5. Harus ada sinergi antara perencanaan dengan pemerintah daerah. Terutama dari segi anggaran sering terlambat dicairkan. Hal ini jelas akan menghambat program kerja yang telah dibuat.

(34)

74

7. Penerapan pola pembinaan yang tepat dan berdaya guna dengan Pendisiplinan yang Manusiawi dalam meningkatkan kualitas pelayanan permohonan Izin kepada Masyarakat

8. Keteladanan Pimpinan dalam menyegerakan melayani pemohon Izin.83

83 Peraturan Menteri Agama No. 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

(35)

75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan penyajian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya didepan, maka pada bab akhir ini dapat ditarik kesimpulan didalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut dibawah ini :

1. Adapun yang menjadi dasar hokum izin travel ibadah haji khusus Indonesia, diawali pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan pada pal grims ordanantie yang menetapkan Ordonantie Haji tahun 1922. Kemudian p;ada tahun 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a menjadikan dasar hukum atau pemberian izin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (Umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayanan haji dan perdagangan. Kemudian, pada zaman kemerdekaan adapun dasar atau payung hukum izin travel haji khusus haji adalah : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29

yang menyatakan ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(36)

76

Haji yang memiliki dua unit teknis yaitu Direktorat Penyelenggaraan Urusan Haji dan Direktorat Pembinaan Urusan Haji.

c. Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji.

e. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

(37)

77

diterbitkan oleh bank umum milik Negara dan berlaku selama 3 (tiga) tahun, telah menyelenggarakan perjalanan ibadah umroh sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dengan jumlah jemaah umroh paling sedikit 300 (tiga ratus) orang dan tidak memiliki catatan negatif dalam penyelenggaraan ibadah umroh dan ayat (3) Kementerian agama melakukan verifikasi terhadap keabsahan dokumen persyaratan.

3. Kendala pemberian izin travel ibadah haji berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, kurang lengkapnya dokumen-dokumen pemohon, kurangnya pengetahuan pemohon dalam mengurus izin travel haji khusus.

D. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka diteruskan saran-saran yaitu sebagai berikut dibawah ini :

(38)

78

2. Kepada pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Agama khususnya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, pihak swasta terutama yang sudah maupun belum memiliki travel atau biro penyelenggaraan Ibadah Haji khusus dan terakhir kepada seluruh umat Islam yang ingin menggunakan jasa travel atau biro penyelenggaraan Ibadah Haji khsusus disarankan agar dapat memperhatikan segala ketentuan yang menjadi dasar atau payung hukum penyelenggaraan Ibadah Haji khusus seperti yang telah dijelaskan agar tujuan ibadah haji yang merupakan rukun islam yang kelima tersebut dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan

(39)

17

BAB II

DASAR HUKUM PEMBERIAN IZIN TRAVEL IBADAH HAJI

D. Sejarah Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya setelah berdirinya kerjaan Pasai di Aceh pada tahun 1292.22 Sejarah dan pengaturan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia telah dilakukan sejak jaman penjajahan hingga saat ini, dan merupakan perjalanan yang panjang, yang tidak mungkin kita bahas dalam satu artikel. sehingga untuk mempermudah dalam penjelasannya, kita Klasifikasikan sejarah penyelenggaraan Ibadah Haji plus ke dalam beberapa Periode. pertama, Periode Masa penjajahan belanda, kedua Periode Haji setelah kemerdekaan, ketiga, periode 1966 s/d 1998, keempat, periode haji 1999 s/d sekarang.

Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk menarik hati rakyat sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji meskipun dengan keterbatasan fasilitas yang sebenarnya kurang bermartabat, dimana pengangkutan haji dilakukan dengan kapal Kongsi Tiga yaitu kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan, demikian juga tempat istirahat jamaah haji di kapal sama dengan apabila kapal tersebut mengangkut ternak. Faktor yang dominan dalam masalah perjalanan haji pada masa penjajahan

22

(40)

18

ini, yaitu keamanan di perjalanan dan fasilitas angkutan jamaah haji masih sangat minim. Namun demikian hal tersebut tidak mengurangi animo dan keinginan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, bahkan jumlahnya mulai meningkat secara cepat, yang diperkirakan mulai sejak tahun 1910.

(41)

19

Pada tahun 1930 Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau mencetuskan pemikiran untuk membangun pelayaran sendiri bagi jamaah haji Indonesia. Pada tahun 1932, berkat perjuangan anggota Volskraad, Wiwoho dan kawan-kawan, Pelgrims Ordanantie 1922 dengan Staatblaad 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a yang memberikan dasar hukum atas pemberian izin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayaran haji dan perdagangan.

Sejarah penyelenggaraan haji zaman dahulu, yakni sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Umat Islam Indonesia menunaikan Ibadah Haji secara sendiri-sendiri dengan menggunakan kapal layar yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari dua tahun.23

Permulaan perjalanan haji dari Indonesia sangat tergantung pada keadaan transportasi antara kepulauan nusantara dengan Jazirah Arab melalui pelayaran perdagangan dan berkaitan erat dengan masuk dan tersebarnya Islam serta pembentukan komunitas muslim di Indonesia sebagai faktor-faktor anteseden haji Indonesia.24 Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Kementerian Agama dan diatur dalam ketentuan peraturan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 sebagai kebijakan pemerintah pertama yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji. Namun, dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, pihak swasta tetap diberi kesempatan untuk mengurus

23

Haji- Nusantara.blogspot.com, (diakses tanggal 29 Juni 2015).

(42)

20

pelaksanaan ibadah haji melalui yayasan yang dibentuk oleh organisasi keagamaan.

Penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh pihak swasta pada waktu itu terdapat banyak masalah yang timbul, karena pelaksanaannya dipengaruhi oleh badal-badal syekh, broker atau tengkulak haji, bermunculan usaha-usaha perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan pihak-pihak swasta dan jasa haji. Panitia-panitia penyokong haji swasta ini tidak mempunyai rasa tanggung jawab, mereka cenderung mencari keuntungan semata. Mereka mempengaruhi calon jemaah haji dengan prosedur yang mudah dan pelayanan yang ramah, ternyata tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan izin yang diberikan pemerintah sehingga di lapangan banyak terjadi penipuan, kesulitan teknis, adiministrasi dan tidak seperti yang dipropagandakan dan dijanjikan. Akhirnya menimbulkan kekecewaan, kesulitan, kericuhan yang berkepanjangan dan tidak berjalan seperti yang diharapkan.25.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 8 ayat (2) menjelaskan bahwa kebijakan dan pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Atas dasar itu maka pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan setiap warga negara (Umat Islam) yang akan menunaikan ibadah haji.26

25

www.informasihaji.com, (diakses tanggal 29 Juni 2015).

(43)

21

Penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji telah lama menjadi satu isu penting yang mengundang banyak perhatian masyarakat. Perhatian tersebut terutama berkisar pada masalah penyelenggaraan yang dinilai kurang optimal. Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan haji bukan tanpa alasan, kasus-kasus yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini memunculkan kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Agama. Sebagian respon masyarakat terkesan mengesampingkan aspek lain dari haji, yaitu perangkat perundang-undangan yang jarang tersosialisasi dengan baik.

Banyak permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji akibat sosialisasi kebijakan pemerintah yang kurang baik, diantaranya kasus terjadinya jama‟ah haji waiting list pada tahun 1995, dimana jama‟ah haji yang

terdaftar sebanyak 231.000 orang yang melebihi kuota yang diberikan sebanyak 195.000 orang. Kuota tersebut telah ditetapkan oleh OKI di Amman, Jordania tahun 1987 sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk muslim suatu negara.27 Tingkat kenaikan yang sangat tinggi ini tidak terdeteksi secara dini karena sistem pendataan, pelaporan dan monitoring masih menggunakan sistem manual yang lambat dan konvensional, karena pada saat itu dilakukan dengan telepon,

(44)

22

faksimili, dan hard copy berupa daftar nominatif yang dikirim secara berkala melalui pos atau kurir.28

Berbekal pengalaman tersebut, pemerintah melakukan kaji ulang terhadap sistem penyelenggaraan haji secara keseluruhan, baik dari aspek perencanaan, pendataan, operasional manajerial, sumber daya manusia, dan perkembangan teknologi informasi. Salah satu aspek dalam pemanfaatan teknologi informasi ini adalah dengan terbentuknya sistem komputerisasi yang beroperasi secara online dan real time yang disebut Media Centre Haji (MCH), walaupun pada saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal disebabkan terutama karena kurangnya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai pengelola sebuah devisi sistem informasi, sehingga kemajuan atau alih teknologi dari manual ke komputerisasi belum terimplementasi secara nyata.

Ada beberapa masalah seputar organisasi penyelenggara haji. Pertama, struktur organisasi penyelenggara perlu disusun efisien, independen, dan mandiri, tetapi baiknya mewakili lima departemen terkait, yaitu Depag, Depdagri, Deplu, Depkumham, dan Depkes. Selama ini tidak ada tim lintas departemen sehingga menyebabkan penyelenggaraan haji merepotkan serta high cost. Model kantor bersama „Samsat‟ mungkin satu model yang patut dipertimbangkan. Tetapi,

pilihan ideal tentu ketika penyelenggara haji adalah badan khusus milik pemerintah yang mampu mengambil keputusan sendiri. Kedua, memiliki sistem dan prosedur (sisdur) yang baku. Sistem dan prosedur yang berganti-ganti selama

(45)

23

ini menggambarkan penyelenggara haji tidak memiliki sisdur yang baku. Ketiga, sistem perekrutan petugas haji mesti profesional dan tepat kebutuhan. 29

Pembatasan jama‟ah haji yang dikenal dengan pembagian kuota haji

(quontum) yang telah dikenal sejak tahun 1952, diterapkan kembali pada tahun 1996 didukung dengan sistem komputerisasi haji terpadu untuk mencegah terjadinya over quota seperti yang pernah terjadi pada tahun 1995 dan sempat menimbulkan keresahan dan kegelisahan di masyarakat khususnya calon jama‟ah

haji yang terdaftar pada tahun itu. Pembagian kuota selanjutnya disebut dengan porsi, didistribusikan secara proporsional untuk masing-masing daerah dalam beberapa tahun terakhir. Sistem pembagian porsi ini terbukti efektif dalam membantu perencanaan penyelenggaraan ibadah haji meskipun unsur kepastian bagi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji belum sepenuhnya dapat diterapkan secara konsisten. Saat ini, Indonesia memiliki kuota haji terbanyak di

dunia, yaitu sebanyak 210 ribu jama‟ah.30

Sebagai seorang muslim yang akan menunaikan ibadah haji harus memiliki kemampuan (Istitho’ah). Dalam ibadah haji, Istitho’ah merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki dan dikuasai oleh jama‟ah haji sebelum

melaksanakan ibadah haji, artinya seseotrang diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji karena Istitho’ah. Dalam Bimbingan Manasik Haji.31 Istitho’ah artinya mampu, dalam hal ini mampu melaksanakan haji/ umrah ditinjau dari segi: a. Jasmani:

Sehat dan kuat, agar tidak sulit melakukan ibadah haji/ umrah.

29 Republika online, (diakses tanggal 29 Juni 2015). 30

Realita Haji Indonesia, Edisi September 2008, (diakses tanggal 29 Juni 2009)

(46)

24 b. Rohani:

1) Mengetahui dan memahami manasik haji/ umrah.

2) Berakal sehat dan memiliki kesiapan mental untuk melakukan ibadah haji/ umrah dengan perjalanan yang jauh

c. Ekonomi:

1) Mampu membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

2) BPIH bukan berasal dari penjualan satu-satunya sumber kehidupan yang apabila dijual menyebabkan kemudaratan bagi diri dan keluarganya. 3) Memiliki biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.

d. Keamanan:

1) Aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji/ umrah.

2) Aman bagi keluarga dan harta benda serta tugas dan tanggung jawab yang ditinggalkan dan tidak terhalang/ mendapat izin untuk perjalanan haji.32 Selain kemampuan atau Istitho’ah, calon jama‟ah haji harus pula menguasai manasik haji atau tata cara melaksanakan ibadah haji, meliputi rukun dan wajib haji. Penguasaan manasik haji mutlak harus dimiliki oleh setiap calon

jama‟ah haji sebelum berangkat ke tanah suci Makkah. Sebagai contoh rukun haji,

yang meliputi Ihram (niat), Wukuf di Arafah, Tawaf Ibadah, Sa‟i, Cukur dan

tertib (Bimbingan Manasik Haji).33

Pelaksanaan program pelatihan dan bimbingan atau tata cara pelaksanaan haji perlu diperhatikan karena hal ini didasarkan pada dua aspek, yaitu: pertama, aspek teologis bahwa haji merupakan rukun islam kelima, aspek ini memberikan

32

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, 2008, hal 7.

(47)

25

penyadaran bahwa pelaksanaan ibadah haji memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal. Tanggung jawab vertikal menandakan bahwa haji adalah masalah ibadah kepada Allah SWT, oleh karena itu tanggung jawab ini terkait erat dengan masalah sah atau tidaknya suatu pelaksanaan ibadah. Tanggung jawab horisontal menandakan bahwa haji adalah memiliki makna sosial, oleh karena itu dalam tanggung jawab ini terkait erat dengan masalah hasil dan manfaat ibadah haji (spiritual expertence) bagi jama‟ah haji yang harus mampu menjaga perilaku yang baik sebagai makhluk sosial. Kedua, pemerintah selaku penyelenggara memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan jama‟ah haji untuk mencapai personal haji yang diharapkan.

Untuk memenuhi keinginan dan harapan tersebut, maka pemerintah berupaya untuk menyempurnakan dan meningkatkan pelayanan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan kebutuhan dan diselaraskan dengan perkembangan sosial budaya, ekonomi, politik, dan aspirasi masyarakat yang variatif sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kepentingan negara dan masyarakat serta tidak meninggalkan akuntabilitas publik.

E. Pengertian Izin dan Travel

1. Pengertian izin

(48)

26

memiliki izin. terlebih dahulu, maka akan dapat diketahui dasar hukum dari izinnya tersebut.

Kata perizinan diperoleh atau didengar dan sepintas lalu kata perizinan mengandung arti yang sederhana yaitu pemberian izin terhadap sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas atau kegiatan, namun bila kita telusuri lebih jauh mengenai pengertian perizinan itu tidaklah semudah apa yang kita sebutkan tadi. Lalu apa sebenarnya perizinan tersebut.

Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan maksudnya dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan izin untuk melaksanakan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan.

Hukum perizinan adalah ketentuan yang berkaitan dengan pemberian izin atau bentuk lain yang berkaitan dengan itu yang dikeluarkan oleh pemerintah sehingga dengan pemberian izin tersebut melahirkan hak bagi pemegang izin baik terhadap seseorang, badan usaha, organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya untuk beraktivitas.

(49)

27

umumnya tidaklah dianggap sebagai hal -hal yang sama sekali tidak dikehendaki.34

N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon mengemukakan pengertian izin dalam arti luas adalah: Izin adalah instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga. Izin adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan dalam undang-undang.35

Sutedi menyatakan bahwa izin merupakan keputusan pejabat atau badan tata usaha negara yang berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut:36

a. Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin.

b. Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya bergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan mengaturnya misalnya, IMB, izin HO, izin usaha industry, izin usaha travel.

34 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII press, 2010, hal 152 35 Hadjon, Philipus M. et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta

:Gajah Mada University Press, 2005, hal 78.

(50)

28

c. Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan, izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan di berikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada tanpa keputusan tersebut, misal, SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain.

d. Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan kepadanya. Di samping itu izin yang bersifat memberatkan merupakan izin yang memberikan beban kepada orang lain atau masyarakat disekitarnya misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu, bagi mereka yang tinggal disekitarnya yang merasa dirugikan izin tersebut merupakan suatu beban. Pembedaan antara izin yang bersifat menguntungkan dengan izin yang memberatkan adalah penting dalam hal penarikan kembali atau pencabutan dan perubahannya. Izin sebagai keputusannya yang menguntungkan tidak begitu gampang dapat ditarik kembali atau di ubah atas kerugian yang berkepentingan. Adapun penarikan kembali/pencabutan dan perubahan izin yang bersifat memberatkan biasanya tidak terlalu menjadi soal.

(51)

29

f. Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, berhubungan dengan lingkungan.

g. Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya bergantung pada sifat atau kualitas pribadi dan permohonan izin misalnya, Surat Izin Mengemudi (SIM).

h. Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya bergantung pada sifat dan objek izin, misalnya izin HO, SITU, dan lain-lain.37

Menurut Ridwan38, izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai satu tujuan konkrit. Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengaruh, perekayasa, dan perancang masyarakat yang adil dan makmur.hal ini berarti lewat izin yang berarti dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat yang adil dan makmur itu terwujud. Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu, fungsi penertiban dan sebagai fungsi pengatur. Sebagai fungsi penertiban dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha,bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama yang lain sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud. Sebagai fungsi pengaturan yang di maksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga dapat penyalah gunaan izin yang teah diberikan,

37

Op.cit., Sutedi., hal 9.

(52)

30

dengan kata lain fungsi ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah.

Secara teoritas, perizinan memiliki beberapa fungsi sebagaimana dijelaskan berikut:

a. Instrumen rekayasa pembangunan pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan instensif bagi pertumbuhan sosial ekonomi. Demikian juga sebaliknya regulasi dan keputusan tersebut dapat juga menjadi penghambat (sekaligus sumber korupsi) bagi pembangunan. Perinzinan adalah instrumen yang memanfaatkannya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang ditetapkan pemerintah. Jika perizinan hanya dimaksudkan untuk income daerah, maka hal ini tentu akan memberikan dampak negatif (disensif) bagi pembangunan, pada sisi yang lain jika prosedur perizinan dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan, tidak ada kapasitas hukum, berbelit-belit, dan hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang tidak sehat, maka perizinan juga bisa menjadi penghambat bagi pertumbuhan sosial ekonomi daerah. Dengan demikian, baik buruknya, tercapai atau tidaknya tujuan perizinan akan sangat ditentukan oleh prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan, semakin mudah, cepat, dan transparan prosedur pemberian perizinan, maka semakin tinggi potensi perizinan menjadi instrumen rekayasa pembangunan.

b. Budgtering

(53)

31

mendapatkan kedaulatan dari rakyat, maka retribusi perizinan hanya dibenarkan jika ada dasar hukum, yaitu undang-undang dan/atau peraturan daerah.hal ini untuk menjamin bahwa hak-hak dasar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah tidak terlukai karena penarikan retribusi perizinan yang sewenang-wenang dan tidak memiliki dasar hukum.

Pada sisi lainnya, jika secara imperatif melalui perundang-undangan pemerintah telah memperoleh mandat untuk menarik retribusi perizinan, maka masyarakat juga tidak boleh menghindari untuk membayarnya. Hal itu karena retribusi perizinan juga menjadi sumber pendapatan yang membiayai pelayanan-pelayanan perizinan lainnya harus diberikan pemerintah kepada masyarakat .meskipun demikian, pemerintah harus memperhatikan aspek keberlangsungan dan kelestarian daya dukung pembangunan, serta pertumbuhan sosial ekonomi. Penetapan tarif retribusi perizinan tidak boleh melebihi kemampuan masyarakat untuk membayarnya. Sebaiknya, untuk beberapa aspek strategis yang terkait dengan daya dukung lingkungan dalam pembangunan, tarif retribusi perizinan juga tidak boleh terlalu murah dan mudah yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menurunnya daya dukung dan kelestarian lingkungan.

c. Reguleren

(54)

32

maka prosedur dan syarat harus ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, harus pula terkait dengan pertimbangan-pertimbangan strategis tersebut. Dengan demikian, harus ada keterkaitan antara pemerintah perizinan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Disamping itu pula penetapan tarif terhadap perizinan harus memperhatikan tujuan dan fungsi pengatura yang akan dicapai oleh perizinan tersebut.

Menurut Prajudi Atmosudirjo yang dikutip oleh Ridwan, berkenaan de

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2030, atau bahkan mungkin lebih cepat dari itu, satu dari enam manusia akan meninggal akibat kebiasaan merokok Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang

Terdapat 4 jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat diferensiasi mereka menurut (Kotler, 2005:221-222), yaitu :.. a)

Di Indonesia Undang- Undang Pengesahan Perjanjian Paris yang merupakan ratifikasi Perjanjian Paris dalam penjelasannya menyatakan kontribusi yang ditetapkan

Universitas Negeri

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran

Lan honetan, FTLD multzoan sartzen diren gaixotasun familiar eta esporadi- koak dituzten gaixo serie baten analisi kliniko, molekular eta patologikoak aur- kezten ditugu, eta

korelasi antar variabel terikat tersebut tinggi atau rendah. Karena, jika korelasi antar variabel terikat tinggi maka variabel terikat tidak dapat dipisahkan, sedangkan

Dokumen Penilaian Risiko yang terdiri dari Daftar Tujuan, Daftar Risiko dan Dokumen Rencana Tindak Pengendalian merupakan kelengkapan dari dokumen Rencana Kerja