• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta

C. Upaya Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

a. Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah Kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak menyebabkan sulitnya mengintegrasikan perspektif anak dalam

commit to user

pemerintah membekali pengetahuan tentang hak-hak anak dan hal-hal yang menyangkut perlindungan anak. Diharapkan agar aparat pemerintah paham akan makna perlindungan anak. Hal ini sebagaimana dikemuakan oleh Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1):

“…dalam setiap rapat mengenai permasalahan anak, pemerintah berusaha menekankan pemahaman akan perlindungan anak kepada aparatur-aparatur pemerintah…” (Wawancara tanggal 12 Februari 2009)

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui upaya pemerintah untuk meningkatkan pemahaman kepada aparatur pemerintah.

b. Meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait

Ego sektoral memberikan kesan bahwa para stakeholder dalam perlindungan anak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai upaya peningkatan pelayanan, Pemerintah Kota Surakarta berusaha meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Contoh upaya pemerintah tersebut yaitu dalam hal dana. Sumber dana diperoleh dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Dana dari pemerintah diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi maupun APBD kota Surakarta sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh staf Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) :

“Dana diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah kita sepakati bersama, dana APBD juga terbatas. Jika tidak bisa dilaksanakan tahun ini, ya dilaksanakan tahun depan”

Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting bagi PTPAS untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan. PTPAS memulai proses advokasi dengan cara melakukan audiensi bersama dengan masing- masing Kepala Dinas terkait dan Bapeda, setelah terlebih dahulu melakukan

workshop untuk menyusun program dan kebutuhan anggaran. Upaya lobby juga dilakukan melalui audiensi dengan Walikota Surakarta. Dalam proses tersebut, PTPAS juga mengusulkan adanya kebijakan (peraturan daerah) yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, sekaligus menjadi landasan yang kuat bagi bekerjanya PTPAS. Proses lobby ini juga diperkuat melalui kunjungan serta audiensi kepada partai politik dan calon anggota legislatif pada tahun 2004.

Selain itu, pemerintah bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Seperti yang diungkapkan oleh Staf Bidang Sosial Rehabilitasi DINSONAKER & TRANS (N4) :

“…permasalahan sosial itu tidak ada habisnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, kita juga bekerjasama dengan stakeholder dan LSM. Jangan semua masalah dibebankan pada pemerintah semua, karena masalah ini juga tanggungjawab masyarakat juga…” (Wawancara tanggal 25 Februari 2009)

Pernyataan tersebut diperkuat oleh salah satu staf Bidang Pendidikan Dasar SD dan Anak Usia Dini DISDIKPORA (N13):

“Agar anak tidak putus sekolah, pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana ini dari pusat. Selain itu ada juga Bantuan Pelayanan Pendidikan (BPP), dana ini berasal dari Walikota yang berasal dari APBD2. Selain itu, banyak bantuan pendidikan yang dari pengusaha swasta seperti Jarum (rokok).” (Wawancara tanggal 3 Maret 2009)

Dari penjelasan di atas, terlihat peningkatan kerjasama antara pemerintah dengan pihak-pihak yang peduli terhadap perlindungan anak.

c. Optimalisasi kegiatan sosialisasi

Guna menangani kasus kekerasan pada anak, pemerintah melalui PTPAS sudah melakukan kegiatan sosialisasi menyangkut kekerasan perempuan dan anak. Salah satu kegiatan sosialisasi tersebut adalah sosialisasi penghapusan kekerasan

commit to user

terhadap perempuan dan anak di sekolah-sekolah. Sosialisasi tersebut meliputi beberapa kegiatan, antara lain:

1) Pelatihan pendampingan korban kekerasan bagi guru-guru BP sekolah se Kota Surakarta.

2) Mengajak anak sekolah untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan dapat mensosialisasikan tentang UU.

3) Perlindungan anak dan hak anak dan mengajak guru-guru BP supaya tidak terjadi kekerasan terhadap anak sekolah.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Seksi Pemberdayaan Masyarakat DKRPP&KB (N1) :

“Untuk mengatasi hambatan, kami melakukan sosialisasi penghapusan kekerasan anak, melakukan pendampingan terhadap korban, dan memberikan pelatihan kepada guru-guru BP tentang pendampingan anak korban kekerasan.” (Wawanara tanggal 16 Februari 2009)

Dalam kasus anak gizi buruk, pemerintah melakukan sosialisasi sosialisasi melalui PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi buruk terhadap anak dan akibatnya. Dalam sosialisasi tersebut juga dijelaskan mengenai program pemerintah untuk mengatasi kasus anak gizi buruk yaitu program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sie Perbaikan Gizi Masyarakat, DINKES (N2):

“...kita sosialisasi lewat PKK untuk memberikan informasi kepada masyarakat akan bahayanya gizi buruk terhadap anak dan akibatnya. Anggaran peningkatan gizi sebesar Rp 10.000 per hari minimal selama tiga bulan. Apabila belum sembuh bisa diperpanjang lagi. Kami juga memberdayakan kader di wilayah balita yang terkena gizi buruk untuk program PMT ini dengan pola ibu asuh…” (Wawancara tanggal 10 Maret 2009)

Sosialisasi juga dilakukan pada kasus anak putus sekolah dan partisipasi anak. Sosialisasi dilakukan di setiap kecamatan dan kelurahan, agar masyarakat kooperatif dan tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan anak.

Khususnya dalam program Solo Kota Layak Anak pemerintah melakukan sosialisasi di setiap kelurahan. Sosialisasi juga dilakukan ke Sekolah TK kota Surakarta untuk melihat pengembangan sekolah yang ramah anak. Dalam hal ini orang tua harus bekerja sama dengan guru, antara lain dengan diterapkan surat menyurat antar guru dan orang tua. Rasa aman pada anak diciptakan antara lain dengan penyambutan guru-guru di depan sekolah ketika anak-anak tiba. Demikian pula pada waktu jam pulang sekolah; guru-guru mengantar ke gerbang sekolah dan selanjutnya diterima orang tua. Manajemen sekolah juga menerapkan peraturan tanpa kekerasan bagi para guru dan diterapkannya sanksi bagi yang melanggar.

Dalam acara sosialisasi KLA di Kelurahan, beberapa hal yang didiskusikan dengan masyarakat langsung adalah sebagai berikut (DKRPP&KB):

1) Pelajaran budi pekerti di sekolah yang hilang

2) Sistem evaluasi dan pendataan masalah pekerja anak, pemerintah kota Solo sedang menyusun mekanisme penanganan pekerja anak

3) Dalam masalah pekerja anak, permasalahan utamanya adalah bukan anak, tetapi orang dewasa yang mengeksploitasi anak-anak tersebut. Sehingga perlu dilakukan pendekatan terhadap orang tua.

4) Seringnya dibangun prasarana, seperti taman, namun tanpa dilengkapi toilet, sehingga anak kesulitan untuk buang air.

commit to user

5) Untuk pembuatan akte kelahiran, diusulkan kerjasama dengan RS/tempat bersalin untuk langsung memberikan akte kelahiran bagi anak yang lahir di tempat-tempat tersebut.

6) Tindak lanjut dari sosialisasi KLA diharapkan agar dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan.

7) Untuk keberlanjutan forum anak, pendampingan bagi anak-anak di forum anak dianggap perlu.

Dalam rangka mewujudkan Kota Surakarta yang layak anak tersebut, Pemerintah Kota juga telah mulai melakukan upaya terciptanya Lapas yang ramah anak sehingga permasalahan anak yang bersinggungan dengan hukum mendapat tempat penanganan yang layak.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

1. Pemerintah Kota Surakarta sudah cukup responsif terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak, namun responsivitas tersebut belum optimal . Hal ini bisa dilihat dari:

a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak. Begitu kompleksnya kebutuhan anak terkait dengan perlindungan anak. Pemerintah Kota Surakarta tidak mempunyai kapasitas yang memadai dalam mengumpulkan data dasar mengenai permasalahan anak di Surakarta. Pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga- lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak.

b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar.

c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Pemerintah melibatkan Lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, LSM, Organisasi masyarakat, Perguruan Tinggi, dan pihak-pihak yang peduli dengan masalah anak untuk bersama-sama mengatasi permasalahan anak. Namun, dalam mengembangkan

commit to user

program perlindungan anak, Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga- lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak.

2. Kendala dalam melaksanakan perlindungan anak menuji Solo Kota Layak Anak. Beberapa kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral, pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence. Dalam penanganan permasalahan anak di Surakarta, aparat pemerintah tidak mengerti sepenuhnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis anak sehingga hal ini menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan anak. Walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi jumlah kasus lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Lingkungan anak menjadi kendala pemerintah dalam menangani permasalahan anak, karena lingkungan yang memberi efek negatif mudah mempengaruhi anak. Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak. Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA adalah hal yang tabu dan merupakan aib keluarga sehingga berkembang culture of silence (budaya menyembunyikan).

3. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Sebagai upaya peningkatan pelayanan dengan kendala keterbatasan dana, pemerintah Kota Surakarta melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Sosialisasi juga dilakukan untuk mengatasi

permasalahan anak, baik di bidang perlindungan anak, kesehatan, pendidikan, serta partisipasi anak.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti ajukan agar dapat dijadikan sabagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah. Beberapa saran tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak.

2. Pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak dengan cara mengoptimalkan kemitraan/kerjasama dengan pihak-pihak yang peduli dengan perlindungan anak.

3. Belum tersentuhnya pendidikan untuk anak jalanan/terlantar, maka pemerintah harus membuat program yang bisa mengatasi hal tersebut. Pemerintah juga harus memfasilitasi lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perlindungan anak, sehingga terwujud pendidikan untuk anak jalanan/terlantar.