• Tidak ada hasil yang ditemukan

Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan

Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

DISUSUN OLEH :

Niken Irmawati

D0105016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ABSTRAK

Niken Irmawati. D0105016. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi Program Studi Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2009.

Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Penelitian ini dilaksanakan pada institusi pemerintah di Surakarta yaitu DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER&TRANS. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data didapat dengan cara wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif.

(3)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia maka perlu dikembangkan

penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan karakteristik yang selama ini melekat

dalam good governance. Karakteristik tersebut seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas,

responsibilitas dan responsivitas dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam

penyelenggaraan pelayanan publik (Agus Dwiyanto, 2005:147).

Responsivitas sebagai salah satu karakteristik good governance sangat diperlukan

dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat (Dilulio dalam Agus Dwiyanto, 2002:62). Dengan demikian birokrasi publik

dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang

tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi

masyarakat yang diwakilinya. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah,

warga sipil, dan para stakeholder melakukan interaksi secara intensif sehingga apabila

pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat

dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para stakeholder. Tujuan pelayanan publik

adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang

(4)

sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

masyarakat.

Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good

governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.

Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan

kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek

dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa

Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah modal

pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil

pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia.

Oleh sebab itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah

memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan

Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat

kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan

kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.

Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah

diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin hak setiap

anak sebagai warga kota. Indikator Kota Layak Anak menurut Nirwono Joga (2007) adalah

tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan

(5)

commit to user

dan kebutuhan anak. Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun 2015 adalah 15 Kota,

termasuk Kota Solo.

Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan

bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena

permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Dari berbagai informasi

yang disarikan dari berbagai sumber, permasalahan anak di Kota Solo meliputi anak putus

sekolah, Anak yang dilacurkan/trafficking dan ESKA, Kekerasan Anak (perkosaan,

pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian), anak terlantar, anak terkena gizi buruk,

pekerja terburuk anak, anak jalanan, pekerja anak. Secara lebih terperinci ragam

permasalahan anak tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :

Tabel 1.1

Ragam Permasalahan Anak di Kota Solo

Kasus Jumlah Keterangan

1 2 3

Anak putus sekolah 547 anak Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007

Anak yang

dilacurkan/traficking dan ESKA

164 anak Radar Solo (Data PPK LPPM UNS Tahun 2008)

Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian)

49 anak Profil Anak Kota Surakarta (Data PTPAS Tahun 2007)

(6)

Tahun 2008

Pekerja terburuk anak 109 anak Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta Tahun 2005, 2006, dan 2007

Anak jalanan 1.168 anak Sumber : Surakarta belum butuh peraturan anak jalanan, www.korantempo.com 2007 Sumber : Disarikan dari berbagai data

Pemerintah dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai

responsivitas (daya tanggap) yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan,

kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya; mereka cepat memahami

apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya; ia

dapat menangkap masalah yang dihadapi publik dan berusaha untuk mencari solusinya;

mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau

mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan subtansi (Widodo, 2001 : 152).

Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah

mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). KLA merupakan istilah yang

diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005

melalui Kebijakan KLA. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima kabupaten/kota,

yaitu Jambi, Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, dan Gorontalo. Sedangkan pada tahun

2007 ditunjuk sepuluh kabupaten/kota lagi. Menurut Hamid Patilima (dalam

www.ykai.net) untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang

sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu prasyarat untuk mencapainya. Prasyarat yang

dimaksud adalah: (1) adanya kemauan dan komitmen pimpinan daerah, (2)tersedia sistem

data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan,

(7)

commit to user

anak, (6) pemberdayaan keluarga, (7) adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan

hak dan perlindungan anak, (8) instititusi perlindungan anak.

KLA menjamin setiap hak anak sebagai warga kota. Menurut Nirmono Joga dalam

Membangun Kota Layak Anak (www.kompas.com), indikator KLA adalah tersedianya

pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi

aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan

anak.

Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemeberdayaan

Perempun dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) banyak melakukan sosialisasi

menyangkut ditunjukkannya Kota Solo sebagai proyek percontohan oleh Kementrian

Pemberdayaan Perempuan, sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pertimbangan Kota Solo

sebagai KLA oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut didasarkan pada: (1)

Pertimbangan adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota

Solo, seperti kebijakan pembebasan biaya untuk pencatatan akta kelahiran. (2) Peraturan

daerah (Perda) tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial (Perda No. 3 tahun

2006). (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah tentang pembentukan organisasi tata kerja

komite aksi Provinsi Jawa Tengah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk

anak (Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 94 tahun 2006).

Mengingat anak sebagai aset bangsa, maka Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban

menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan

hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(8)

kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan

terbaik bagi anak.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan

Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak

menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?

2. Kendala dan upaya apa yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap

perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan

anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

2. Mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap

perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

D. Manfaat Penelitian

(9)

commit to user

1. Masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta terhadap upaya perlindungan anak menuju

Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

2. Peningkatan wawasan dan pengetahuan terhadap permasalahan dan upaya perlindungan

anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

3. Sebagai referensi bagi peneliti lain.

E. Tinjauan Pustaka

1. Responsivitas

UNDP (1997) dalam Sedarmayanti (2004:247) mengemukakan bahwa

karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek

penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi participation, rule of law,

transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and

efficiency, accountability, strategic vision. Atas dasar uraian tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan

Negara yang bertanggung jawab serta efisien dan efektif.

Menurut Joni Rahman (n.d) yang mengutip karakteristik good governance dari

jurnal internasional (Pubic Administration Journal): Good governance has 8 major

characteristics. It is parcipatory, consensus oriented, accountable, transparent,

responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law.

Karakteristik good governance tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1

(10)

Dengan demikian, responsivitas merupakan salah satu karakteristik good

governance. Lenvine dalam Agus Dwiyanto (2005:147), produk dari pelayanan

publik di dalam Negara demokratis paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni

responsiveness, responsibility, dan accountability.

Responsivitas yang merupakan salah satu karakteristik good governance adalah

kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun

prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan.

Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan

aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik

adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang

diinginkan dan memuaskan. (Agus Dwiyanto, 2005:152)

Pengertian responsivitas dapat dipahami dari beberapa pendapat para ahli

berikut ini: Dilulio dalam Agus Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa

responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut

merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,

menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program

(11)

commit to user

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta

mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat.

Wyer PC (2007)menyatakan bahwa:

“Responsiveness can be defined as the ability of research, education, quality improvement, and electronic system to adapt to and incorporate the changes in knowledge that produce changes in practice”

Smith dalam Joko Widodo (2001:152) mengartikan responsivitas

(responsiveness) adalah “ability to provide what people demand. In this sense it is an

efficient way of managing local affairs and providing local services”. Dapat dipahami

bahwa responsivitas merupakan kemampuan untuk menyediakan apa yang menjadi

tuntutan rakyat.

Indikator responsivitas pelayanan publik adalah keluhan pengguna jasa, sikap

aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan

pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat

birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat

birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2002:60-61).

Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini pengukuran

responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo

Kota Layak Anak (KLA) ditentukan dari indikator 1) kemampuan mengenali

kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan

perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan anak.

Di Indonesia, responsivitas pemerintah terhadap permasalahan anak sebagai

(12)

1) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Implementasi program melalui penanganan permasalahan anak merupakan

upaya pemerintah untuk melindungi hak anak. Konvensi Hak-Hak Anak menjadi

dasar membangun Kota Layak Anak.

Keberhasilan program pengembangan Kota Layak Anak akan sangat ditentukan

oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap

tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.

Atas kerjasama lintas sektor dan pemangku kepentingan telah berhasil

menyusun sebuah kerangka kebijakan yang bersifat umum sebagai acuan pemerintah

kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor

swasta, masyarakat, dan anak-anak sebagai subjek dari hak-haknya untuk

bersama-sama mengembangkan Kota Layak Anak.

Khususnya di Kota Surakarta, Pemerintah berusaha responsif terhadap

permasalahan anak, yaitu dengan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Program

Kota Layak Anak dibagi dalam 4 bidang yaitu bidang kesehatan, pendidikan,

perlindungan anak, dan partisipasi anak. Akan tetapi, masih banyak permasalahan

yang masih belum terselesaikan seperti anak putus sekolah, eksploitasi anak, anak

jalanan, dan sebagainya.

Melalui DKRPP&KB Kota Surakarta yang menangani masalah perlindungan

(13)

commit to user

mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya

persoalan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk segera diselesaikan,

menyangkut permasalahan anak-anak. Seperti kasus anak-anak yang dipekerjakan

pada sektor industri, anak jalanan, pemulung anak, anak yang dilacurkan, anak putus

sekolah, anak berkonflik dengan hukum, dan anak yang menjadi korban kekerasan

dalam rumah tangga, serta permasalahan anak-anak lainnya.

Dalam menghadapi dan menanggulangi masalah anak secara kompleksitas,

berbagai perbuatan perlu ditangani secara lebih serius, sebagai proses untuk

mengantisipasi perkembangan fisik, jiwa dan mental maupun kehidupan sosiologis

yang lebih baik. UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

anak mengatur mengenai hak-hak anak yang dijumpai pada pasal 2 sebagai berikut:

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan

kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk

tumbuh dan kembang dengan wajar.

2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan

sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.

3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan

maupun sesudah dilahirkan.

4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan

wajar.

Jelas dalam pasal tersebut mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam

(14)

mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap mereka. Hal ini

penting demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah

penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diharapkan dalam upaya

perlindungan anak. Dengan demikian, dituntut adanya suatu rasa tanggung jawab

dalam pelaksanaan perlindungan anak dan juga rasa keadilan yang dapat

mempengaruhi kelangsungan kegiatan dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak

tersebut.

2. Perlindungan Anak

Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan

berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan,

tetapi harus secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggungjawab

bersama. Untuk mengetahui terjadinya perlindungan yang baik atau buruk, tepat atau

tidak tepat, maka harus memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang

mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita

(1985:3) mengatakan bahwa perlindungan anak/remaja adalah suatu kegiatan bersama

yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan

rohaniah dan jasmaniah anak/remaja itu dilindungi dan yang bertanggung jawab

terhadap adanya dan pelaksanaan perlindungan tersebut. Menurut Undang-Undang

Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan:

(15)

commit to user

Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana

setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan

manusiawi. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam

suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam

berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2

ayat (2) dan (3) menyatakan :

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.

Undang-undang di atas dengan jelas menyatakan perlu adanya perlindungan

anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil

terhadap anak.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak

yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai

berikut (Sumber: www.kotalayakanak.org):

a. Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat.

b. Harus dilakukan secara bersama, kerjasama dan koordinasi.

c. Perlu diteliti terlebih dahulu masalah yang merupakan faktor kriminogen atau

faktor viktimogen.

d. Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi.

e. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam

(16)

f. Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta

melindungi diri sendiri.

g. Tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi.

h. Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.

Perlindungan anak merupakan tanggungjawab secara individu, kolektif, dan

pemerintah demi tercapainya kepentingan bersama dan nasional. Dalam rangka

membuat kebijakan mengenai perlindungan anak, perlu diusahakan inventarisasi

faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.

Kepastian hukum sangat dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak

dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan.

Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan

anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta

menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya

perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15 menyatakan :

Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

Ayat (4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

(17)

commit to user

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk

umum.

Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good

governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.

Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab III

Undang-Undang Perlindungan pasal 4 sampai 19 menjelaskan hak-hak anak sebagai

berikut: hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berhak atas

suatu nama sebagai identitas diri, berhak untuk beribadah, berhak mengetahui orang

tuanya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak

memperoleh pendidikan, berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak

beristirahat, berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti

akan memfokuskan pada empat kategori hak anak, yaitu bidang perlindungan anak,

bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.

3. Kota Layak Anak

Menurut Nirwono Joga (2007) Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di

dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap

(18)

menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta

diskriminasi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan

Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.

Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga

kota berarti :

a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun

terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan

pelayanan kota.

b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga,

komuniti sosial lainnya.

c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.

d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas

(sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan,

persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan.

e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa

memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota

Layak Anak adalah: (Kebijakan Pengembangan KLA, 2007)

a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan

(19)

commit to user

memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam

mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda.

b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik

untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua

tindakan yang terkait dengan urusan anak.

c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang

maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan

kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan

kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam

konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual,

moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak.

d. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan

didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif

berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan

mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang

mempengaruhi mereka.

Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh

pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang

harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi

menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya.

Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang

dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah

(20)

1) Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan

kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga

melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.

2) Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI

sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis

untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk

memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.

3) Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab

dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,

evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan

KLA.

4) Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non

Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam

menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.

5) Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan

kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan

yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung

terwujudnya KLA.

6) Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi

dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya

(21)

commit to user

7) Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan

pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan

masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi.

8) Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan

pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan

perlindungan anak.

9) Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi

peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.

Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan

anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan

situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara

langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan :

Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan

sebagai upaya terakhir.

Ayat(4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa.

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam

(22)

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak

yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk

umum.

F. Kerangka Pemikiran

Salah satu karakteristik good governance adalah responsivitas, yaitu kemampuan

organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan,

dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya

tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga

pengguna layanan (Agus Dwiyanto, 2005:152).

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan

tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu:

bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi

anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Surakarta dalam pelaksanaan perlindungan anak

harus responsif apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan

berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk:

1) Mengenali kebutuhan anak

2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak

3) Mengembangkan program perlindungan anak

Namun, upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang

mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai kendala.

Kendala tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Kendala

(23)

commit to user

eksternal pemerintah yaitu culture of silence, pengaruh lingkungan, dan rendahnya

kesadaran orang tua dan anak.

Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak,

menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan

program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka

upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah

tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan

prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan

anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud

Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

(24)

G. Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif

dengan tujuan mengetahui responsivitas pemerintah Surakarta dalam memberikan

perlindungan terhadap anak di Surakarta. Data yang dikumpulkan pada penelitian

kualitatif yaitu data berupa kata, kalimat, gambar yang memiliki arti lebih daripada

sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002 : 35). Selain data kualitatif, juga

Kendala –kendala : a. Internal:

· Kapasitas sumber daya manusia

· Kapasitas sumber dana

· Ego sektoral b.Eksternal:

· Culture of silence

· Pengaruh lingkungan

(25)

commit to user

dikumpulkan data kuantitatif, khususnya dalam upaya mempertegas temuan

penelitian kualitatif.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta khususnya pada beberapa

Dinas yang terkait yaitu:

a. Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

(DKRPP&KB) Kota Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis

mengurusi tentang perlindungan anak di Kota Surakarta.

b. Dinas Kesehatan (DINKES) Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara

teknis mengurusi perlindungan anak di bidang kesehatan.

c. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DISDIKPORA) Surakarta sebagai

Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah pendidikan anak.

d. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat (DINSONAKER & TRANS)

Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling di mana

peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan

dianggap mengetahui permasalahan perlindungan anak secara mendetail. Selain itu

peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling di mana pemilihan informasi

pada waktu di lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya, dan

seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. Pada tahap

penelitian awal, peneliti melakukan penelitian di DKRPP&KB. Selanjutnya

(26)

DINKES, DISDIKPORA, DINSONAKER&TRANS. Setelah mendapat informasi

dari masing-masing instansi/dinas yang terkait, maka didapat titik jenuh dari

informasi ini dan bisa ditarik kesimpulan dari penelitian.

4. Jenis Data

Data adalah suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Data yang

digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung dari

informan yang dianggap tepat dan mengetahui tentang permasalahan

perlindungan anak. Informan penelitian berasal dari unsur Pemerintah Kota

Surakarta dan unsur di luar Pemerintah Kota Surakarta. Informan dari unsur

Pemerintah Kota Surakarta berasal dari: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA,

dan DINSONAKER & TRANS. Informan dari luar Pemerintah Kota Surakarta

adalah dari Perguruan Tinggi yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender

(P3G) UNS, LSM di Surakarta yaitu PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas,

dan LSM Sari. Data yang dikumpulkan adalah data-data terkait dengan

kemampuan mengenali kebutuhan anak, kemampuan menyusun agenda dan

prioritas pelayanan perlindungan anak, dan kemampuan mengembangkan

program perlindungan anak. Selain itu ditanyakan pula kendala dan upaya yang

dihadapi Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui

penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan perlindungan anak. Data

sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan

(27)

commit to user

Data Sekunder yang dimaksud adalah data dan analisis permasalahan anak Di

Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/1/2008 Tentang

Tim Pelaksana Pengembangan KLA Kota Surakarta, Profil Anak Kota Surakarta

Tahun 2007 (DKRPP&KB Surakarta), dan informasi dari internet tentang

permasalahan anak di Surakarta.

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi

dengan bertanya langsung kepada informan. Menurut Moleong (1998:135),

wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban

atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman

wawancara. Hasil wawancara disajikan dan dianalisis sesuai dengan fokus

kajian dan digunakan sebagai acuan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin

kerahasiaan informan, pada laporan penelitian ini tidak disebutkan nama

informan, tetapi diberi kode N1, N2, N3, dan seterusnya. Pada penulisan

laporan ini, ada kemungkinan penyebutan N dari halaman ke halaman tidak

berurutan. Hal ini terjadi karena di bab sebelumnya sudah disebutkan.

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui proses

(28)

kembali informasi yang telah tersimpan, misalnya buku-buku, arsip, tabel-tabel,

dan bahan-bahan dokumentasi lainnya yang bermanfaat sebagai sumber data.

Menurut W. Gulo (2004:123) dokumentasi adalah catatan tertulis tentang

berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip yang

ada pada lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak antara lain:

DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, DAN DINSONAKER&TRANS,

Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,LSM Sari, dan P3G UNS. Di

samping dokumen tertulis yang berupa data-data, juga dilakukan pencarian

informasi melalui internet.

6. Validitas Data

Validitas data merupakan pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti

sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Untuk menguji validitas

data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber yaitu mendapatkan data

tidak hanya dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber untuk

mengumpulkan data yang sama dan kemudian melakukan kroscek dengan beberapa

sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data mengenai

responsivitas diperoleh dari berbagai sumber yaitu informasi dan data dari

pemerintah Surakarta melalui DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan

DINSONAKER & TRANS dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu :

Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja,

Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari, dan Lembaga Pusat Penelitian dan

(29)

commit to user 7. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis

interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam H.

B. Sutopo (2002 : 94-96), dalam model ini terdapat tiga komponen pokok, yaitu:

a. Reduksi Data (Data Reduction). Merupakan proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus

sampai laporan akhir Penelitian selesai disusun.

b. Sajian Data (Data Display). Merupakan suatu rakitan informasi yang

memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu

penyajian data, Penulis akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan

Penulis untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan

pemahaman tersebut.

c. Penarikan Simpulan (Conclusion Drawing). Dalam awal pengumpulan data

Penulis sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan

melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan,

konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi sehingga

memudahkan dalam pengambilan data kesimpulan.

Proses analisis data dengan menggunakan model interaktif ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.3

(30)

Sumber: H.B Sutopo (2002:96)

Secara keseluruhan, aspek yang akan dianalisis, fokus kajian, sumber data, teknik

pengumpulan data serta teknik analisis data disajikan pada tabel 1.3 berikut ini:

Tabel 1.2

Matriks Aspek Analisis, Fokus Kajian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis

Data

No Aspek yang dianalisis

Fokus Kajian Sumber Data dan Teknik

Pengumpulan Data

b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak

c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak

a. Kendala internal

· Kapasitas sumber daya manusia

1. Sumber Data:

a. Data Primer berasal dari dalam Pemerintah

(31)

commit to user

· Rendahnya kesadaran orang tua dan anak terkait yaitu : Ketua LSM PPAP Seroja, Yayasan

GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA

DAN PERMASALAHAN ANAK

A. Gambaran Umum

Masyarakat seringkali menyebut Kota Surakarta dengan sebutan Kota Solo, Kota

Surakarta disebut Solo karena ditemukan oleh Kiai Sala. Solo adalah rumah bagi dua

keluarga kerajaan yang telah berpengaruh selama beberapa abad dan keberadaannya masih

(32)

dari Kerajaan Mataram. Jadi tidak mengherankan jika masyarakat menyebut Kota

Surakarta sama dengan Kota Solo.

Berdasarkan data dari Kota Surakarta dalam Angka tahun 2005, Kota Surakarta

merupakan salah satu kota besar di provinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota

lainnya seperti Semarang dan yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta dikenal dengan nama

‘KOTA SOLO’ merupakan dataran rendah dan berada antara pertemuan sungai Pepe, Jenes

dengan bengawan Solo, dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan air laut dan terletak

antara 110˚45'35" bujur timur dan antara 7˚36' dan 7˚56' lintang selatan. Kota Surakarta

merupakan kota yang terletak di tengah, antara kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan

Surakarta, yang berbatasan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali,

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangannyar dan Kabupaten Sukoharjo,

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo,

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.

Keadaan iklim Kota Surakarta ditandai dengan suhu udara rata-rata berkisar antara

25,9˚ C sampai dengan 27,9˚ C. Kelembapan udara berkisar antara 69% sampai dengan

86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember dengan jumlah 27 hari. Curah hujan

terbanyak sebesar 1025,8 mm jatuh pada bulan Desember. Rata-rata curah hukan saat hari

hujan terbesar juga jatuh pada bulan Desember sebesar 37,59 mm per hari hujan. Arah

angin rata-rata 5,08 knot. Tekanan udara rata-rata 1010,2 Mbs.

Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan yang terbagi menjadi 51 Kelurahan, dengan

(33)

commit to user

Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pada tahun 2006 10,8 % penduduk

Kota Surakarta termasuk kedalam kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah laki-laki

sebanyak 30.441 orang dan perempuan sebanyak 25.185 orang. Adapun penggolangan

penduduk Kota Surakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2006

dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Penduduk Kota Surakarta

Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006

No Tahun Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Laki-laki Perempuan

1 2 3 4 5 6

1 0-4 18.177 9.053 27.230 5,3 2 5-9 21.243 16.425 37.668 7,3 3 0-14 20.367 21.024 41.391 8,1 4 15-19 20.805 21.681 42.486 8,3 5 20-24 26.061 24.747 50.808 9,9 6 25-29 30.441 25.185 55.626 10,8 7 30-34 23.433 22.557 45.990 9 8 35-39 15.330 17.520 32.850 6,4 9 40-44 18.834 22.338 41.172 8 10 45-49 14.454 18.177 32.631 6,4 11 50-54 16.863 15.111 31.974 6,2 12 55-59 9.855 10.512 20.367 4 13 60-64 6.570 8.541 15.111 2,9 14 65+ 11.826 15.768 27.594 5,4 Jumlah 254.259 258.639 512.898 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta Tahun 2006

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, jumlah anak di Surakarta umur

(34)

meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu dari tahun 2004 sejumlah 173.103 jiwa dan

tahun 2005 sebanyak 170.628 jiwa serta tahun 2006 sebanyak 158.775 jiwa. Hal ini berarti

bahwa populasi anak Kota Surakarta masih harus diperhatikan dan juga harus

diperjuangkan peningkatan kesejahteraannya. Beban untuk menanggulangi masalah

kesehatan anak juga terus meningkat.

Tabel 2.2

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada usia Anak 0-19 tahun Kota Surakarta

Tahun 2004/2005/2006

No Tahun Usia 0-4 tahun Usia 5-9 tahun Usia 10-14 tahun Usia 15-19 tahun

L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1. 2004 14.839 15.884 30.723 19.228 17.974 37.303 19.437 18.810 38.247 24.871 25.498 50.369 2. 2005 18.880 16.284 35.164 17.936 23.128 41.054 23.476 24.780 46.256 24.072 24.072 48.144 3. 2006 18.177 19.053 37.230 21.243 16.425 37.658 20.367 21.024 41.391 20.805 21.681 42.486 Sumber: Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2004/2005/2006

Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun

keatas adalah tamat SD (22, 1%), tamat SLTP (21, 7%), dan tamat SLTA (20, 8 %).

Sedangkan yang merupakan tamatan akademi (PT) hanya 7,2 % dan selebihnya tidak tamat

SD (9,2%), belum tamat SD (5,2%) dan tidak sekolah (5,2%). Tabel 2.3 berikut ini

memperlihatkan penggolongan penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun ke atas menurut

tingkat pendidikan pada tahun 2006.

Tabel 2.3

Penduduk Kota Surakarta Usia 5 Tahun Ke Atas

Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

(35)

commit to user

2 Tamat SLTA 98.186 20,8

3 Tamat SLTP 102.494 21,7

4 Tamat SD 104.270 22,1

5 Tidak Tamat SD 43.302 9,2

6 Belum Tamat SD 66.223 14 7 Tidak Sekolah 24.389 5,2

Jumlah 472.687 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta

Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduknya, rata-rata penduduk Kota Surakarta

tergolong dalam kelompok Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III),

dan Keluarga Sejahtera I (KS I) ekonomi dan non ekonomi. Tabel 2.4 berikut ini

memperlihatkan banyaknya keluarga sejahtera menurut tahapan di Kota Surakarta pada

tahun 2006.

Tabel 2.4

Banyaknya Keluarga Sejahtera Menurut Tahapan

di Kota Surakarta Tahun 2006

No Tahapan Keluarga Sejahtera Jumlah Persentase (%)

1 2 3 4

1 Pra KS (ekonomi dan non ekonomi) 12.622 10,7 2 KS I (ekonomi dan non ekonomi) 29.038 24,7

3 KS II 30.268 25,7

4 KS III 30.072 25,5

5 KS II Plus 15.745 13,4

Jumlah 117.745 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta

1. Visi dan Misi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2001 tentang Visi dan

Misi Kota Surakarta, menyebutkan bahwa:

(36)

Terwujudnya Kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi

perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.

b. Misi Kota Surakarta

1) Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam

semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat

dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota

Budaya”.

2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan

dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang

berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3) Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh

dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta

mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah

lingkungan.

4) Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia

dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para

penyelenggara pemerintahan.

Misi Kota Surakarta tersebut juga memuat tentang pelaksanaan

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termasuk di dalamya adalah

perlindungan terhadap anak di Surakarta. Oleh karena itu, pemerintah berupaya

mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) melalui Tim Pelaksana

(37)

commit to user

Perguruan Tinggi. Adapun institusi internal pemerintah yang menangani bidang

kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak yang dapat dilihat

pada tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5

Institusi Internal Pemerintah dalam Program Kota Layak Anak

VISI-MISI TUJUAN PERANAN DALAM

KLA

1 2 3

1. DKRPP&KB VISI:

Terwujudnya sumber daya manusia dalam keluarga dan masyarakat yang mampu mandiri dan sejahtera.

MISI:

a) Tersusunnya data yang akurat di bidang kemasyarakatan guna

Terwujudnya budaya hidup bersih dan sehat serta mutu pelayanan menuju Solo Sehat 2010

(38)

kesehatan yang dinamis dan akuntabel.

3. DINSONAKER & TRANS VISI:

Terwujudnya tenaga kerja yang profesional. Berdaya saing tinggi dan hubungan industrial yang harmonis serta perlindungan tenaga kerja.

MISI:

a) Menciptakan kualitas profesinalisme aparatur. b) Perluasan kesempatan kerja dan

penempatan tenaga kerja. c) Menciptakan tenaga kerja yang

terampil, mandiri serta profesinal. d) Menciptakan hubungan industrial yang harmonis guna mewujudkan ketenangan kerja dan usaha agar tercipta kesejahteraan pekerja dan yang beriman dan bertaqwa, cerdas, sehat, berprestasi dan berbudaya. daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif serta menguasai ilmu

d) Mewujudkan generasi muda yang tangguh, terampil dan produktif. yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga

Dari tabel 2.5 dapat diketahui peranan masing-masing institusi internal

(39)

commit to user

pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit dan monitoring &

evaluasi, DINSONAKER&TRANS berperan melaksanakan pelayanan di bidang

pelayanan umum dan monitoring & evaluasi, dan DISDIKPORA berperan

Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah dan

monitoring & evaluasi.

Bagan organisasi pada masing-masing institusi internal (lihat lampiran 1-4).

B. Gambaran Permasalahan Anak di Surakarta

Permasalahan anak di Surakarta mencakup masalah anak putus sekolah, masalah

kekerasan anak, masalah anak terlantar, dan masalah pekerja anak. Tabel 2.6 berikut ini

menggambarkan berbagai persoalan tentang pendidikan anak di Kota Surakarta.

Tabel 2.6

Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang, dan Putus Sekolah di Kota Surakarta Tahun

2006/2007

Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007

Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat kondisi pendidikan dasar dan menengah di Kota

Surakarta di mana masih banyak jumlah anak putus sekolah di Kota Surakarta termasuk

dalam usia wajar 9 tahun. Angka putus sekolah di jenjang SMK sebesar 242 anak, SMP

(40)

Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah kekerasan anak. Anak

yang menjadi korban kekerasan adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, psikis,

ekonomi, dan seksual. Ada beberapa faktor penyebab anak terjebak dalam ESKA, yaitu (1)

pengalaman seksual dini terutama pengalaman menjadi korban kekerasan seksual.

Akibatnya, anak merasa tidak berharga lagi dan tidak memiliki masa depan. Situasi ini

sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk membujuk anak masuk dunia prostitusi. (2)

Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Di banyak kasus

dijumpai anak dilacurkan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ini

menyebabkan anak mencari sosok tempat perlindungan alternatif dari teman maupun

lingkungan yang mau menerima mereka. Dua faktor tersebut merupakan faktor utama yang

menyebabkan anak terjebak dalam ESKA. Anak korban ESKA sangat rentan memperoleh

kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dan ditampar. Tabel 2.7 berikut ini

menggambarkan kekerasan anak yang dibagi ke dalam beberapa kategori.

Tabel 2.7

Kategori Kekerasan yang Dialami Anak

No

Kategori

Kekerasan Jumlah

Persentase (%)

1 2 3 4

1

Kekerasan

Seksual 26 53,06

2 Penganiayaan 4 8,16

3 Pelarian 2 4,08

4 ESKA 17 34,69

Jumlah 49 100

Sumber Data : PTPAS Tahun 2007

Berdasarkan tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kategori kekerasan yang paling banyak

dialami anak yaitu kekerasan seksual dengan persentase 53,06%. Sedangkan persentase

(41)

commit to user

Selain masalah anak putus sekolah dan masalah kekerasan anak, masalah anak

terlantar juga terjadi di Surakarta. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi

kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (UU No. 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan data Kota Surakarta pada tahun 2006

tercatat jumlah anak terlantar sebanyak 1.048 anak. Adapun gambaran banyaknya anak

terlantar di Surakarta dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini:

Tabel 2.8

Jumlah Anak Terlantar di Kota Surakarta Tahun 2006

Kategori

Jenis Kelamin

Jumlah L P

1 2 3 4

Usia <5 tahun 199 167 366 Usia - 18 tahun 378 304 682

Jumlah 577 471 1.048

Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta tahun 2006

Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah anak terlantar. Faktor

utama yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak yakni persoalan ekonomi, sehingga

anak-anak dengan sukarela atau terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian

keluarga. Permasalahannya adalah semakin banyak anak yang bekerja di sektor pekerjaan

terburuk anak. Sebetulnya anak tidak boleh bekerja. Kalaupun anak menjadi pekerja anak,

maka mereka harus mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan haknya. Tabel 2.9

menunjukkan jenis pekerjaan dan jumlah anak yang bekerja menurut jenis kelamin tahun

2005, 2006, dan 2007.

Tabel 2.9

Pekerja Terburuk Anak Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005, 2006, dan 2007

No Jenis Pekerjaan L P Jumlah

1 2 3 4 5

1 Pedagang asongan - - -

2 Pemulung 5 3 8

(42)

4 Tetap 1 1 2 5 Sektor industri kecil/RT 25 20 45

6 Besar/sedang - - -

7 Sektor Pertanian - - -

8 Sektor Angkutan - - -

9 Sektor Jasa 16 38 54

10 Pengamen - - -

47 62 109

Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta

Tabel 2.9 diketahui dari tahun 2005-2007 jumlah anak yang bekerja sebesar 109 anak.

Anak yang bekerja di sektor jasa menunjukkan angka tertinggi sebesar 54 anak sedangkan

anak yang bekerja tetap menunjukkan angka terendah sebesar 2 anak. Hal ini menjadi

keprihatinan kita bersama karena hak-hak anak kurang terpenuhi karena dia dituntut untuk

bekerja.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang

responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak mencakup 1)

(43)

commit to user

anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan

perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak.

1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak

Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan

bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan

hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota

Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan

permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya

untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta

diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117

korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan

perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode

2005-2008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa

faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan,

permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh

staf Yayasan Kakak (N9):

“...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2009)

Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering

mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA

yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam

kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan

(44)

Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak

ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIV/AIDS, mereka hanya tahu kalau dia

harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua

PPAP Seroja (N10):

“...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIV/AIDS, taunya cuma suntik KB...” (Wawancata tanggal 17 Maret 2009)

Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja,

anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan

pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain :

· Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA.

· Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.

· Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang

berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIV/AIDS.

Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat

perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006

meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak

(N8) :

“Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” (Wawancara tanggal 6 April 2009)

Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi

buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini

adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya

(45)

commit to user

balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan

ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua

yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga

bisa menjadi penyebab gizi buruk.

Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak

membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya

program-program yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk.

Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti

diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah,

orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak

untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan

dasar yang wajib gratis bagi semua anak (Pasal 28). Dengan demikian asumsinya

adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia.

Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada

henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini

memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo.

Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak

dan perempuan 6030 anak.

Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang

dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia

kerja guna membantu orang tua. (www.kr.com). Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua

(46)

“…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” (Wawancara tanggal 6 Mei 2009)

Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa

anak-anak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli

terhadap permasalahan anak, antara lain :

· Adanya sekolah gratis/terjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua

mereka tidak merasa terbebani.

· Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan

masyarakat menyadari pentingnya pendidikan.

Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses

pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian

penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan

dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda

bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada

berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan.

Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan

difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak

tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari

pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS

(N11) :

“…fasilitas anak untuk anak yang marginal/anak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anak-anak marginal dan difabel. (Wawancara tanggal 7 April 2009)

(47)

commit to user

· Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak.

· Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta

baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali

kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa

upaya mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dilakukan Pemerintah Kota Surakarta

melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan

lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender,

organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli

terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa

penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk

mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga

yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. (Wawancara tanggal 16 Maret

2009)

2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan

anak

Dalam menangani permasalahan anak di Surakarta, pemerintah menyusun agenda

dan prioritas pelayanan yang dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu: perlindungan,

kesehatan, pendidikan, dan partisipasi anak.

Tabel 3.1

Agenda dan Prioritas Pelayanan

Bidang Perlindungan Anak

Permasalahan Agenda dan Prioritas Pelayanan

1 2 3

Gambar

Tabel 1.1
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Standar ini menguraikan kompetensi jabatan sertifikasi tenaga teknis khusus pertambangan juru ledak penambangan bahan galian dan berlaku bagi semua tenaga teknis khusus juru

Porta hiçbir şey öğrenmemiş olduğu halde bir mekanik dehasıdır, fakat bunu en iyi ve en kötü amaçlar için kullanmayı sever..

Laporan keuangan adalah ringkasan dari proses akutansi selama tahun buku yang bersangkutan yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan

4 Menguji secara empiris pengaruh karakteristik pekerjaan dan iklim komunikasi terhadap kepuasan kerja karyawan operator bagian Trimming 1 PT Krama Yudha Ratu Motor. 1.4

Penduduk yang bekerja di Objek Wisata Pantai Dewi Mandapa berjumlah 40 orang tetapi dari jumlah 40 orang tersebut hanya 34 orang yang telah berumah tangga

Transaksi Pembelian Fungsi ini untuk melakukan penginputan data pembelian item berdasarkan analisa perhitungan reorder point.. Bagian Pembelian mendapatkan informasi waktunya

a) Penggarap karet atau orang yang menggarappunya orang lain ialah orang yang tidak memiliki kebun karet untuk mereka garap sendiri, tetapi mereka menggarap punya orang

Makna dari ayat itu ialah bahwa Allah Swt berfirman ‘beritahukanlah kepada-Ku nama dari benda-benda yang Aku sodorkan kepada kalian wahai para Malaikat