commit to user
Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan
Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)
DISUSUN OLEH :
Niken Irmawati
D0105016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
ABSTRAK
Niken Irmawati. D0105016. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi Program Studi Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2009.
Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Penelitian ini dilaksanakan pada institusi pemerintah di Surakarta yaitu DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER&TRANS. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data didapat dengan cara wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia maka perlu dikembangkan
penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan karakteristik yang selama ini melekat
dalam good governance. Karakteristik tersebut seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas dan responsivitas dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Agus Dwiyanto, 2005:147).
Responsivitas sebagai salah satu karakteristik good governance sangat diperlukan
dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat (Dilulio dalam Agus Dwiyanto, 2002:62). Dengan demikian birokrasi publik
dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang
tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi
masyarakat yang diwakilinya. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah,
warga sipil, dan para stakeholder melakukan interaksi secara intensif sehingga apabila
pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para stakeholder. Tujuan pelayanan publik
adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang
sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat.
Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good
governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan
kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek
dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa
Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah modal
pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil
pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia.
Oleh sebab itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah
memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan
Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat
kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan
kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.
Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah
diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin hak setiap
anak sebagai warga kota. Indikator Kota Layak Anak menurut Nirwono Joga (2007) adalah
tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan
commit to user
dan kebutuhan anak. Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun 2015 adalah 15 Kota,
termasuk Kota Solo.
Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan
bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena
permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Dari berbagai informasi
yang disarikan dari berbagai sumber, permasalahan anak di Kota Solo meliputi anak putus
sekolah, Anak yang dilacurkan/trafficking dan ESKA, Kekerasan Anak (perkosaan,
pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian), anak terlantar, anak terkena gizi buruk,
pekerja terburuk anak, anak jalanan, pekerja anak. Secara lebih terperinci ragam
permasalahan anak tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1
Ragam Permasalahan Anak di Kota Solo
Kasus Jumlah Keterangan
1 2 3
Anak putus sekolah 547 anak Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007
Anak yang
dilacurkan/traficking dan ESKA
164 anak Radar Solo (Data PPK LPPM UNS Tahun 2008)
Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian)
49 anak Profil Anak Kota Surakarta (Data PTPAS Tahun 2007)
Tahun 2008
Pekerja terburuk anak 109 anak Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta Tahun 2005, 2006, dan 2007
Anak jalanan 1.168 anak Sumber : Surakarta belum butuh peraturan anak jalanan, www.korantempo.com 2007 Sumber : Disarikan dari berbagai data
Pemerintah dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai
responsivitas (daya tanggap) yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan,
kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya; mereka cepat memahami
apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya; ia
dapat menangkap masalah yang dihadapi publik dan berusaha untuk mencari solusinya;
mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau
mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan subtansi (Widodo, 2001 : 152).
Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). KLA merupakan istilah yang
diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005
melalui Kebijakan KLA. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima kabupaten/kota,
yaitu Jambi, Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, dan Gorontalo. Sedangkan pada tahun
2007 ditunjuk sepuluh kabupaten/kota lagi. Menurut Hamid Patilima (dalam
www.ykai.net) untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang
sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu prasyarat untuk mencapainya. Prasyarat yang
dimaksud adalah: (1) adanya kemauan dan komitmen pimpinan daerah, (2)tersedia sistem
data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan,
commit to user
anak, (6) pemberdayaan keluarga, (7) adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan
hak dan perlindungan anak, (8) instititusi perlindungan anak.
KLA menjamin setiap hak anak sebagai warga kota. Menurut Nirmono Joga dalam
Membangun Kota Layak Anak (www.kompas.com), indikator KLA adalah tersedianya
pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi
aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
anak.
Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemeberdayaan
Perempun dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) banyak melakukan sosialisasi
menyangkut ditunjukkannya Kota Solo sebagai proyek percontohan oleh Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pertimbangan Kota Solo
sebagai KLA oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut didasarkan pada: (1)
Pertimbangan adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota
Solo, seperti kebijakan pembebasan biaya untuk pencatatan akta kelahiran. (2) Peraturan
daerah (Perda) tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial (Perda No. 3 tahun
2006). (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah tentang pembentukan organisasi tata kerja
komite aksi Provinsi Jawa Tengah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak (Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 94 tahun 2006).
Mengingat anak sebagai aset bangsa, maka Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban
menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan
hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak.
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan
Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak
menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?
2. Kendala dan upaya apa yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan
anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
2. Mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap
perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
D. Manfaat Penelitian
commit to user
1. Masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta terhadap upaya perlindungan anak menuju
Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
2. Peningkatan wawasan dan pengetahuan terhadap permasalahan dan upaya perlindungan
anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
3. Sebagai referensi bagi peneliti lain.
E. Tinjauan Pustaka
1. Responsivitas
UNDP (1997) dalam Sedarmayanti (2004:247) mengemukakan bahwa
karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi participation, rule of law,
transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and
efficiency, accountability, strategic vision. Atas dasar uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
Negara yang bertanggung jawab serta efisien dan efektif.
Menurut Joni Rahman (n.d) yang mengutip karakteristik good governance dari
jurnal internasional (Pubic Administration Journal): Good governance has 8 major
characteristics. It is parcipatory, consensus oriented, accountable, transparent,
responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law.
Karakteristik good governance tersebut digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
Dengan demikian, responsivitas merupakan salah satu karakteristik good
governance. Lenvine dalam Agus Dwiyanto (2005:147), produk dari pelayanan
publik di dalam Negara demokratis paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni
responsiveness, responsibility, dan accountability.
Responsivitas yang merupakan salah satu karakteristik good governance adalah
kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun
prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan.
Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan
aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik
adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang
diinginkan dan memuaskan. (Agus Dwiyanto, 2005:152)
Pengertian responsivitas dapat dipahami dari beberapa pendapat para ahli
berikut ini: Dilulio dalam Agus Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa
responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut
merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program
commit to user
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
Wyer PC (2007)menyatakan bahwa:
“Responsiveness can be defined as the ability of research, education, quality improvement, and electronic system to adapt to and incorporate the changes in knowledge that produce changes in practice”
Smith dalam Joko Widodo (2001:152) mengartikan responsivitas
(responsiveness) adalah “ability to provide what people demand. In this sense it is an
efficient way of managing local affairs and providing local services”. Dapat dipahami
bahwa responsivitas merupakan kemampuan untuk menyediakan apa yang menjadi
tuntutan rakyat.
Indikator responsivitas pelayanan publik adalah keluhan pengguna jasa, sikap
aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan
pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat
birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2002:60-61).
Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini pengukuran
responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo
Kota Layak Anak (KLA) ditentukan dari indikator 1) kemampuan mengenali
kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan
perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan anak.
Di Indonesia, responsivitas pemerintah terhadap permasalahan anak sebagai
1) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Implementasi program melalui penanganan permasalahan anak merupakan
upaya pemerintah untuk melindungi hak anak. Konvensi Hak-Hak Anak menjadi
dasar membangun Kota Layak Anak.
Keberhasilan program pengembangan Kota Layak Anak akan sangat ditentukan
oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap
tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.
Atas kerjasama lintas sektor dan pemangku kepentingan telah berhasil
menyusun sebuah kerangka kebijakan yang bersifat umum sebagai acuan pemerintah
kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor
swasta, masyarakat, dan anak-anak sebagai subjek dari hak-haknya untuk
bersama-sama mengembangkan Kota Layak Anak.
Khususnya di Kota Surakarta, Pemerintah berusaha responsif terhadap
permasalahan anak, yaitu dengan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Program
Kota Layak Anak dibagi dalam 4 bidang yaitu bidang kesehatan, pendidikan,
perlindungan anak, dan partisipasi anak. Akan tetapi, masih banyak permasalahan
yang masih belum terselesaikan seperti anak putus sekolah, eksploitasi anak, anak
jalanan, dan sebagainya.
Melalui DKRPP&KB Kota Surakarta yang menangani masalah perlindungan
commit to user
mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya
persoalan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk segera diselesaikan,
menyangkut permasalahan anak-anak. Seperti kasus anak-anak yang dipekerjakan
pada sektor industri, anak jalanan, pemulung anak, anak yang dilacurkan, anak putus
sekolah, anak berkonflik dengan hukum, dan anak yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga, serta permasalahan anak-anak lainnya.
Dalam menghadapi dan menanggulangi masalah anak secara kompleksitas,
berbagai perbuatan perlu ditangani secara lebih serius, sebagai proses untuk
mengantisipasi perkembangan fisik, jiwa dan mental maupun kehidupan sosiologis
yang lebih baik. UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak mengatur mengenai hak-hak anak yang dijumpai pada pasal 2 sebagai berikut:
1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan kembang dengan wajar.
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan.
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar.
Jelas dalam pasal tersebut mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap mereka. Hal ini
penting demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diharapkan dalam upaya
perlindungan anak. Dengan demikian, dituntut adanya suatu rasa tanggung jawab
dalam pelaksanaan perlindungan anak dan juga rasa keadilan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan kegiatan dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak
tersebut.
2. Perlindungan Anak
Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan
berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan,
tetapi harus secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggungjawab
bersama. Untuk mengetahui terjadinya perlindungan yang baik atau buruk, tepat atau
tidak tepat, maka harus memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang
mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita
(1985:3) mengatakan bahwa perlindungan anak/remaja adalah suatu kegiatan bersama
yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan
rohaniah dan jasmaniah anak/remaja itu dilindungi dan yang bertanggung jawab
terhadap adanya dan pelaksanaan perlindungan tersebut. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan:
commit to user
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan
manusiawi. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2
ayat (2) dan (3) menyatakan :
“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.
Undang-undang di atas dengan jelas menyatakan perlu adanya perlindungan
anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil
terhadap anak.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak
yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai
berikut (Sumber: www.kotalayakanak.org):
a. Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat.
b. Harus dilakukan secara bersama, kerjasama dan koordinasi.
c. Perlu diteliti terlebih dahulu masalah yang merupakan faktor kriminogen atau
faktor viktimogen.
d. Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi.
e. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam
f. Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta
melindungi diri sendiri.
g. Tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi.
h. Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.
Perlindungan anak merupakan tanggungjawab secara individu, kolektif, dan
pemerintah demi tercapainya kepentingan bersama dan nasional. Dalam rangka
membuat kebijakan mengenai perlindungan anak, perlu diusahakan inventarisasi
faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.
Kepastian hukum sangat dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak
dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan.
Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan
anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta
menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya
perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15 menyatakan :
Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Ayat (4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
commit to user
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk
umum.
Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good
governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab III
Undang-Undang Perlindungan pasal 4 sampai 19 menjelaskan hak-hak anak sebagai
berikut: hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri, berhak untuk beribadah, berhak mengetahui orang
tuanya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak
memperoleh pendidikan, berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak
beristirahat, berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti
akan memfokuskan pada empat kategori hak anak, yaitu bidang perlindungan anak,
bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.
3. Kota Layak Anak
Menurut Nirwono Joga (2007) Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di
dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta
diskriminasi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan
Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.
Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga
kota berarti :
a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun
terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan
pelayanan kota.
b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga,
komuniti sosial lainnya.
c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.
d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas
(sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan,
persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan.
e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa
memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota
Layak Anak adalah: (Kebijakan Pengembangan KLA, 2007)
a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan
commit to user
memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam
mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda.
b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik
untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua
tindakan yang terkait dengan urusan anak.
c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang
maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan
kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan
kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam
konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak.
d. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan
didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif
berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan
mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang
mempengaruhi mereka.
Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh
pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang
harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi
menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya.
Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah
1) Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga
melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
2) Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI
sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis
untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk
memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab
dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan
KLA.
4) Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non
Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam
menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
5) Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan
kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan
yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung
terwujudnya KLA.
6) Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi
dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya
commit to user
7) Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan
masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
8) Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan
pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan
perlindungan anak.
9) Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi
peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan
anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan
situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara
langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan :
Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Ayat(4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk
umum.
F. Kerangka Pemikiran
Salah satu karakteristik good governance adalah responsivitas, yaitu kemampuan
organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan,
dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya
tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga
pengguna layanan (Agus Dwiyanto, 2005:152).
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan
tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu:
bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi
anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Surakarta dalam pelaksanaan perlindungan anak
harus responsif apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk:
1) Mengenali kebutuhan anak
2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak
3) Mengembangkan program perlindungan anak
Namun, upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang
mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai kendala.
Kendala tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Kendala
commit to user
eksternal pemerintah yaitu culture of silence, pengaruh lingkungan, dan rendahnya
kesadaran orang tua dan anak.
Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan
program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka
upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah
tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan
prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan
anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud
Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
G. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif
dengan tujuan mengetahui responsivitas pemerintah Surakarta dalam memberikan
perlindungan terhadap anak di Surakarta. Data yang dikumpulkan pada penelitian
kualitatif yaitu data berupa kata, kalimat, gambar yang memiliki arti lebih daripada
sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002 : 35). Selain data kualitatif, juga
Kendala –kendala : a. Internal:
· Kapasitas sumber daya manusia
· Kapasitas sumber dana
· Ego sektoral b.Eksternal:
· Culture of silence
· Pengaruh lingkungan
commit to user
dikumpulkan data kuantitatif, khususnya dalam upaya mempertegas temuan
penelitian kualitatif.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta khususnya pada beberapa
Dinas yang terkait yaitu:
a. Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
(DKRPP&KB) Kota Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis
mengurusi tentang perlindungan anak di Kota Surakarta.
b. Dinas Kesehatan (DINKES) Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara
teknis mengurusi perlindungan anak di bidang kesehatan.
c. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DISDIKPORA) Surakarta sebagai
Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah pendidikan anak.
d. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat (DINSONAKER & TRANS)
Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling di mana
peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan
dianggap mengetahui permasalahan perlindungan anak secara mendetail. Selain itu
peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling di mana pemilihan informasi
pada waktu di lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya, dan
seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. Pada tahap
penelitian awal, peneliti melakukan penelitian di DKRPP&KB. Selanjutnya
DINKES, DISDIKPORA, DINSONAKER&TRANS. Setelah mendapat informasi
dari masing-masing instansi/dinas yang terkait, maka didapat titik jenuh dari
informasi ini dan bisa ditarik kesimpulan dari penelitian.
4. Jenis Data
Data adalah suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Data yang
digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung dari
informan yang dianggap tepat dan mengetahui tentang permasalahan
perlindungan anak. Informan penelitian berasal dari unsur Pemerintah Kota
Surakarta dan unsur di luar Pemerintah Kota Surakarta. Informan dari unsur
Pemerintah Kota Surakarta berasal dari: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA,
dan DINSONAKER & TRANS. Informan dari luar Pemerintah Kota Surakarta
adalah dari Perguruan Tinggi yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender
(P3G) UNS, LSM di Surakarta yaitu PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas,
dan LSM Sari. Data yang dikumpulkan adalah data-data terkait dengan
kemampuan mengenali kebutuhan anak, kemampuan menyusun agenda dan
prioritas pelayanan perlindungan anak, dan kemampuan mengembangkan
program perlindungan anak. Selain itu ditanyakan pula kendala dan upaya yang
dihadapi Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui
penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan perlindungan anak. Data
sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan
commit to user
Data Sekunder yang dimaksud adalah data dan analisis permasalahan anak Di
Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/1/2008 Tentang
Tim Pelaksana Pengembangan KLA Kota Surakarta, Profil Anak Kota Surakarta
Tahun 2007 (DKRPP&KB Surakarta), dan informasi dari internet tentang
permasalahan anak di Surakarta.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi
dengan bertanya langsung kepada informan. Menurut Moleong (1998:135),
wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara. Hasil wawancara disajikan dan dianalisis sesuai dengan fokus
kajian dan digunakan sebagai acuan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin
kerahasiaan informan, pada laporan penelitian ini tidak disebutkan nama
informan, tetapi diberi kode N1, N2, N3, dan seterusnya. Pada penulisan
laporan ini, ada kemungkinan penyebutan N dari halaman ke halaman tidak
berurutan. Hal ini terjadi karena di bab sebelumnya sudah disebutkan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui proses
kembali informasi yang telah tersimpan, misalnya buku-buku, arsip, tabel-tabel,
dan bahan-bahan dokumentasi lainnya yang bermanfaat sebagai sumber data.
Menurut W. Gulo (2004:123) dokumentasi adalah catatan tertulis tentang
berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip yang
ada pada lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak antara lain:
DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, DAN DINSONAKER&TRANS,
Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,LSM Sari, dan P3G UNS. Di
samping dokumen tertulis yang berupa data-data, juga dilakukan pencarian
informasi melalui internet.
6. Validitas Data
Validitas data merupakan pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti
sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Untuk menguji validitas
data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber yaitu mendapatkan data
tidak hanya dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber untuk
mengumpulkan data yang sama dan kemudian melakukan kroscek dengan beberapa
sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data mengenai
responsivitas diperoleh dari berbagai sumber yaitu informasi dan data dari
pemerintah Surakarta melalui DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan
DINSONAKER & TRANS dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu :
Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja,
Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari, dan Lembaga Pusat Penelitian dan
commit to user 7. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam H.
B. Sutopo (2002 : 94-96), dalam model ini terdapat tiga komponen pokok, yaitu:
a. Reduksi Data (Data Reduction). Merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus
sampai laporan akhir Penelitian selesai disusun.
b. Sajian Data (Data Display). Merupakan suatu rakitan informasi yang
memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu
penyajian data, Penulis akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan
Penulis untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan
pemahaman tersebut.
c. Penarikan Simpulan (Conclusion Drawing). Dalam awal pengumpulan data
Penulis sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan
melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan,
konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi sehingga
memudahkan dalam pengambilan data kesimpulan.
Proses analisis data dengan menggunakan model interaktif ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.3
Sumber: H.B Sutopo (2002:96)
Secara keseluruhan, aspek yang akan dianalisis, fokus kajian, sumber data, teknik
pengumpulan data serta teknik analisis data disajikan pada tabel 1.3 berikut ini:
Tabel 1.2
Matriks Aspek Analisis, Fokus Kajian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis
Data
No Aspek yang dianalisis
Fokus Kajian Sumber Data dan Teknik
Pengumpulan Data
b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak
c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak
a. Kendala internal
· Kapasitas sumber daya manusia
1. Sumber Data:
a. Data Primer berasal dari dalam Pemerintah
commit to user
· Rendahnya kesadaran orang tua dan anak terkait yaitu : Ketua LSM PPAP Seroja, Yayasan
GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA
DAN PERMASALAHAN ANAK
A. Gambaran Umum
Masyarakat seringkali menyebut Kota Surakarta dengan sebutan Kota Solo, Kota
Surakarta disebut Solo karena ditemukan oleh Kiai Sala. Solo adalah rumah bagi dua
keluarga kerajaan yang telah berpengaruh selama beberapa abad dan keberadaannya masih
dari Kerajaan Mataram. Jadi tidak mengherankan jika masyarakat menyebut Kota
Surakarta sama dengan Kota Solo.
Berdasarkan data dari Kota Surakarta dalam Angka tahun 2005, Kota Surakarta
merupakan salah satu kota besar di provinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota
lainnya seperti Semarang dan yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta dikenal dengan nama
‘KOTA SOLO’ merupakan dataran rendah dan berada antara pertemuan sungai Pepe, Jenes
dengan bengawan Solo, dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan air laut dan terletak
antara 110˚45'35" bujur timur dan antara 7˚36' dan 7˚56' lintang selatan. Kota Surakarta
merupakan kota yang terletak di tengah, antara kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan
Surakarta, yang berbatasan:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali,
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangannyar dan Kabupaten Sukoharjo,
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo,
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
Keadaan iklim Kota Surakarta ditandai dengan suhu udara rata-rata berkisar antara
25,9˚ C sampai dengan 27,9˚ C. Kelembapan udara berkisar antara 69% sampai dengan
86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember dengan jumlah 27 hari. Curah hujan
terbanyak sebesar 1025,8 mm jatuh pada bulan Desember. Rata-rata curah hukan saat hari
hujan terbesar juga jatuh pada bulan Desember sebesar 37,59 mm per hari hujan. Arah
angin rata-rata 5,08 knot. Tekanan udara rata-rata 1010,2 Mbs.
Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan yang terbagi menjadi 51 Kelurahan, dengan
commit to user
Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pada tahun 2006 10,8 % penduduk
Kota Surakarta termasuk kedalam kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah laki-laki
sebanyak 30.441 orang dan perempuan sebanyak 25.185 orang. Adapun penggolangan
penduduk Kota Surakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2006
dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1
Penduduk Kota Surakarta
Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006
No Tahun Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Laki-laki Perempuan
1 2 3 4 5 6
1 0-4 18.177 9.053 27.230 5,3 2 5-9 21.243 16.425 37.668 7,3 3 0-14 20.367 21.024 41.391 8,1 4 15-19 20.805 21.681 42.486 8,3 5 20-24 26.061 24.747 50.808 9,9 6 25-29 30.441 25.185 55.626 10,8 7 30-34 23.433 22.557 45.990 9 8 35-39 15.330 17.520 32.850 6,4 9 40-44 18.834 22.338 41.172 8 10 45-49 14.454 18.177 32.631 6,4 11 50-54 16.863 15.111 31.974 6,2 12 55-59 9.855 10.512 20.367 4 13 60-64 6.570 8.541 15.111 2,9 14 65+ 11.826 15.768 27.594 5,4 Jumlah 254.259 258.639 512.898 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta Tahun 2006
Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, jumlah anak di Surakarta umur
meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu dari tahun 2004 sejumlah 173.103 jiwa dan
tahun 2005 sebanyak 170.628 jiwa serta tahun 2006 sebanyak 158.775 jiwa. Hal ini berarti
bahwa populasi anak Kota Surakarta masih harus diperhatikan dan juga harus
diperjuangkan peningkatan kesejahteraannya. Beban untuk menanggulangi masalah
kesehatan anak juga terus meningkat.
Tabel 2.2
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada usia Anak 0-19 tahun Kota Surakarta
Tahun 2004/2005/2006
No Tahun Usia 0-4 tahun Usia 5-9 tahun Usia 10-14 tahun Usia 15-19 tahun
L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1. 2004 14.839 15.884 30.723 19.228 17.974 37.303 19.437 18.810 38.247 24.871 25.498 50.369 2. 2005 18.880 16.284 35.164 17.936 23.128 41.054 23.476 24.780 46.256 24.072 24.072 48.144 3. 2006 18.177 19.053 37.230 21.243 16.425 37.658 20.367 21.024 41.391 20.805 21.681 42.486 Sumber: Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2004/2005/2006
Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun
keatas adalah tamat SD (22, 1%), tamat SLTP (21, 7%), dan tamat SLTA (20, 8 %).
Sedangkan yang merupakan tamatan akademi (PT) hanya 7,2 % dan selebihnya tidak tamat
SD (9,2%), belum tamat SD (5,2%) dan tidak sekolah (5,2%). Tabel 2.3 berikut ini
memperlihatkan penggolongan penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun ke atas menurut
tingkat pendidikan pada tahun 2006.
Tabel 2.3
Penduduk Kota Surakarta Usia 5 Tahun Ke Atas
Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
commit to user
2 Tamat SLTA 98.186 20,8
3 Tamat SLTP 102.494 21,7
4 Tamat SD 104.270 22,1
5 Tidak Tamat SD 43.302 9,2
6 Belum Tamat SD 66.223 14 7 Tidak Sekolah 24.389 5,2
Jumlah 472.687 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduknya, rata-rata penduduk Kota Surakarta
tergolong dalam kelompok Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III),
dan Keluarga Sejahtera I (KS I) ekonomi dan non ekonomi. Tabel 2.4 berikut ini
memperlihatkan banyaknya keluarga sejahtera menurut tahapan di Kota Surakarta pada
tahun 2006.
Tabel 2.4
Banyaknya Keluarga Sejahtera Menurut Tahapan
di Kota Surakarta Tahun 2006
No Tahapan Keluarga Sejahtera Jumlah Persentase (%)
1 2 3 4
1 Pra KS (ekonomi dan non ekonomi) 12.622 10,7 2 KS I (ekonomi dan non ekonomi) 29.038 24,7
3 KS II 30.268 25,7
4 KS III 30.072 25,5
5 KS II Plus 15.745 13,4
Jumlah 117.745 100
Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta
1. Visi dan Misi
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2001 tentang Visi dan
Misi Kota Surakarta, menyebutkan bahwa:
Terwujudnya Kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi
perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.
b. Misi Kota Surakarta
1) Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam
semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat
dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota
Budaya”.
2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan
dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3) Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh
dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta
mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah
lingkungan.
4) Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia
dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para
penyelenggara pemerintahan.
Misi Kota Surakarta tersebut juga memuat tentang pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termasuk di dalamya adalah
perlindungan terhadap anak di Surakarta. Oleh karena itu, pemerintah berupaya
mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) melalui Tim Pelaksana
commit to user
Perguruan Tinggi. Adapun institusi internal pemerintah yang menangani bidang
kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak yang dapat dilihat
pada tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5
Institusi Internal Pemerintah dalam Program Kota Layak Anak
VISI-MISI TUJUAN PERANAN DALAM
KLA
1 2 3
1. DKRPP&KB VISI:
Terwujudnya sumber daya manusia dalam keluarga dan masyarakat yang mampu mandiri dan sejahtera.
MISI:
a) Tersusunnya data yang akurat di bidang kemasyarakatan guna
Terwujudnya budaya hidup bersih dan sehat serta mutu pelayanan menuju Solo Sehat 2010
kesehatan yang dinamis dan akuntabel.
3. DINSONAKER & TRANS VISI:
Terwujudnya tenaga kerja yang profesional. Berdaya saing tinggi dan hubungan industrial yang harmonis serta perlindungan tenaga kerja.
MISI:
a) Menciptakan kualitas profesinalisme aparatur. b) Perluasan kesempatan kerja dan
penempatan tenaga kerja. c) Menciptakan tenaga kerja yang
terampil, mandiri serta profesinal. d) Menciptakan hubungan industrial yang harmonis guna mewujudkan ketenangan kerja dan usaha agar tercipta kesejahteraan pekerja dan yang beriman dan bertaqwa, cerdas, sehat, berprestasi dan berbudaya. daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif serta menguasai ilmu
d) Mewujudkan generasi muda yang tangguh, terampil dan produktif. yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga
Dari tabel 2.5 dapat diketahui peranan masing-masing institusi internal
commit to user
pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit dan monitoring &
evaluasi, DINSONAKER&TRANS berperan melaksanakan pelayanan di bidang
pelayanan umum dan monitoring & evaluasi, dan DISDIKPORA berperan
Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah dan
monitoring & evaluasi.
Bagan organisasi pada masing-masing institusi internal (lihat lampiran 1-4).
B. Gambaran Permasalahan Anak di Surakarta
Permasalahan anak di Surakarta mencakup masalah anak putus sekolah, masalah
kekerasan anak, masalah anak terlantar, dan masalah pekerja anak. Tabel 2.6 berikut ini
menggambarkan berbagai persoalan tentang pendidikan anak di Kota Surakarta.
Tabel 2.6
Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang, dan Putus Sekolah di Kota Surakarta Tahun
2006/2007
Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007
Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat kondisi pendidikan dasar dan menengah di Kota
Surakarta di mana masih banyak jumlah anak putus sekolah di Kota Surakarta termasuk
dalam usia wajar 9 tahun. Angka putus sekolah di jenjang SMK sebesar 242 anak, SMP
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah kekerasan anak. Anak
yang menjadi korban kekerasan adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, psikis,
ekonomi, dan seksual. Ada beberapa faktor penyebab anak terjebak dalam ESKA, yaitu (1)
pengalaman seksual dini terutama pengalaman menjadi korban kekerasan seksual.
Akibatnya, anak merasa tidak berharga lagi dan tidak memiliki masa depan. Situasi ini
sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk membujuk anak masuk dunia prostitusi. (2)
Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Di banyak kasus
dijumpai anak dilacurkan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ini
menyebabkan anak mencari sosok tempat perlindungan alternatif dari teman maupun
lingkungan yang mau menerima mereka. Dua faktor tersebut merupakan faktor utama yang
menyebabkan anak terjebak dalam ESKA. Anak korban ESKA sangat rentan memperoleh
kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dan ditampar. Tabel 2.7 berikut ini
menggambarkan kekerasan anak yang dibagi ke dalam beberapa kategori.
Tabel 2.7
Kategori Kekerasan yang Dialami Anak
No
Kategori
Kekerasan Jumlah
Persentase (%)
1 2 3 4
1
Kekerasan
Seksual 26 53,06
2 Penganiayaan 4 8,16
3 Pelarian 2 4,08
4 ESKA 17 34,69
Jumlah 49 100
Sumber Data : PTPAS Tahun 2007
Berdasarkan tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kategori kekerasan yang paling banyak
dialami anak yaitu kekerasan seksual dengan persentase 53,06%. Sedangkan persentase
commit to user
Selain masalah anak putus sekolah dan masalah kekerasan anak, masalah anak
terlantar juga terjadi di Surakarta. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan data Kota Surakarta pada tahun 2006
tercatat jumlah anak terlantar sebanyak 1.048 anak. Adapun gambaran banyaknya anak
terlantar di Surakarta dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini:
Tabel 2.8
Jumlah Anak Terlantar di Kota Surakarta Tahun 2006
Kategori
Jenis Kelamin
Jumlah L P
1 2 3 4
Usia <5 tahun 199 167 366 Usia - 18 tahun 378 304 682
Jumlah 577 471 1.048
Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta tahun 2006
Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah anak terlantar. Faktor
utama yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak yakni persoalan ekonomi, sehingga
anak-anak dengan sukarela atau terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian
keluarga. Permasalahannya adalah semakin banyak anak yang bekerja di sektor pekerjaan
terburuk anak. Sebetulnya anak tidak boleh bekerja. Kalaupun anak menjadi pekerja anak,
maka mereka harus mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan haknya. Tabel 2.9
menunjukkan jenis pekerjaan dan jumlah anak yang bekerja menurut jenis kelamin tahun
2005, 2006, dan 2007.
Tabel 2.9
Pekerja Terburuk Anak Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005, 2006, dan 2007
No Jenis Pekerjaan L P Jumlah
1 2 3 4 5
1 Pedagang asongan - - -
2 Pemulung 5 3 8
4 Tetap 1 1 2 5 Sektor industri kecil/RT 25 20 45
6 Besar/sedang - - -
7 Sektor Pertanian - - -
8 Sektor Angkutan - - -
9 Sektor Jasa 16 38 54
10 Pengamen - - -
47 62 109
Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta
Tabel 2.9 diketahui dari tahun 2005-2007 jumlah anak yang bekerja sebesar 109 anak.
Anak yang bekerja di sektor jasa menunjukkan angka tertinggi sebesar 54 anak sedangkan
anak yang bekerja tetap menunjukkan angka terendah sebesar 2 anak. Hal ini menjadi
keprihatinan kita bersama karena hak-hak anak kurang terpenuhi karena dia dituntut untuk
bekerja.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang
responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak mencakup 1)
commit to user
anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan
perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak.
1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak
Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan
bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan
hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota
Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan
permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya
untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta
diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117
korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan
perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode
2005-2008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa
faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan,
permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
staf Yayasan Kakak (N9):
“...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2009)
Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering
mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA
yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam
kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan
Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak
ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIV/AIDS, mereka hanya tahu kalau dia
harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua
PPAP Seroja (N10):
“...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIV/AIDS, taunya cuma suntik KB...” (Wawancata tanggal 17 Maret 2009)
Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja,
anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan
pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain :
· Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA.
· Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
· Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang
berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIV/AIDS.
Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat
perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006
meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak
(N8) :
“Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” (Wawancara tanggal 6 April 2009)
Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi
buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini
adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya
commit to user
balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan
ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua
yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga
bisa menjadi penyebab gizi buruk.
Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak
membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya
program-program yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk.
Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti
diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah,
orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak
untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan
dasar yang wajib gratis bagi semua anak (Pasal 28). Dengan demikian asumsinya
adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia.
Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada
henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini
memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo.
Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak
dan perempuan 6030 anak.
Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang
dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia
kerja guna membantu orang tua. (www.kr.com). Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua
“…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” (Wawancara tanggal 6 Mei 2009)
Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa
anak-anak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli
terhadap permasalahan anak, antara lain :
· Adanya sekolah gratis/terjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua
mereka tidak merasa terbebani.
· Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan
masyarakat menyadari pentingnya pendidikan.
Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses
pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian
penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan
dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda
bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada
berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan.
Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan
difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak
tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari
pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS
(N11) :
“…fasilitas anak untuk anak yang marginal/anak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anak-anak marginal dan difabel. (Wawancara tanggal 7 April 2009)
commit to user
· Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak.
· Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta
baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali
kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa
upaya mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dilakukan Pemerintah Kota Surakarta
melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan
lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender,
organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa
penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk
mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga
yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. (Wawancara tanggal 16 Maret
2009)
2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan
anak
Dalam menangani permasalahan anak di Surakarta, pemerintah menyusun agenda
dan prioritas pelayanan yang dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu: perlindungan,
kesehatan, pendidikan, dan partisipasi anak.
Tabel 3.1
Agenda dan Prioritas Pelayanan
Bidang Perlindungan Anak
Permasalahan Agenda dan Prioritas Pelayanan
1 2 3