• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta pada Rumah Bernyanyi Karaoke yang Tidak Memperoleh Lisensi atas Hak Cipta

Dalam dokumen Penerapan Hukum Atas Pelanggaran Hak Cip (Halaman 102-112)

DITRES KRIMSU

C. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta pada Rumah Bernyanyi Karaoke yang Tidak Memperoleh Lisensi atas Hak Cipta

Lagu

Usaha penanggulangan pelanggaran hak cipta dengan hukum pidana di Indonesia sudah ada sepanjangan berlakunya Auteurswet 1912 sampai dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 dan akan terus berlanjut dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Terjadi kecenderungan terhadap penyelesaian masalah pelanggaran hak cipta sebelum tahun 1982 dilakukan dengan KUHP. Berbagai kasus diklasifikasikan sebagai pemalsuan (Pasal 263 KUHP) dan pencurian (Pasal 362 KUHP). Padahal kalau dikaji, ada sebuah pasal di dalam KUHP yang secara eksplisit mengatur masalah perlindungan hak cipta. Di dalam Bab XXV tentang “Perbuatan Curang“ (Bedrog) pada Pasal 380 KUHP dengan rumusan :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp. 75.000,-.

Ke-1 : Barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam suatu buah hasil kesusastraan keilmuan kesenian kerajinan atau memalsu nama atau tanda yang asli, dengan maksud supaya karenanya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya olehnya ditaruh diatas atau didalamnya tadi.

Ke-2: Barang siapa dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan, untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia, buah hasil kesusastraan keilmuan, kesenian atau kerajinan, yang didalam atau diatasnya telah ditaruh nama atau tanda yang palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu seakan-akan itu buah hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi.

(2) Jika buah hasil itu kepunyaan terpidana, boleh dirampas Kendati tidak difomulasikan secara tegas kata-kata hak cipta, tidak berarti rumusan tersebut bukan rumusan mengenai perlindungan hak cipta. Bidang- bidang kesusastraan, keilmuan dan kesenian merupakan bidang yang dapat membuahkan hak cipta. Tindak pidana yang terdapat di dalam bab tentang perbuatan curang ini oleh R. Soesilo diklasifikasikan sebagai “perbuatan-perbuatan penipuan tentang hak cipta“

Ketentuan pidana yang dipergunakan untuk melindungi hak cipta mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan dan perubahan mengenai ketentuan pidana ini senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan bidang-bidang hak cipta yang mencakup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan. Dinaikkannya ancaman pidana bagi pelanggar hak cipta dapat dikatakan mendapat pengaruh dari sektor ekonomi, karena pada dasarnya si pelaku

kejahatan hak cipta dapat memperoleh keuntungan finansial yang besar, terlebih lagi kalau tindak pidananya berupa pembajakan. Usaha penanggulangan kejahatan hak cipta disamping menaikkan ancaman pidana, juga merubah penyebutan delik aduan menjadi delik biasa.

Selanjutnya pembahasan mengenai ketentuan pidana ini meliputi: (1) jenis-jenis sanksi pidanya,

(2) lamanya sanksi pidana,

(3) bentuk perumusan pidananya.

Di dalam KUHP, jenis pidana yang diancamkan kepada si pelaku tindak pidana hak cipta berupa: pidana penjara atau denda dan pidana tambahan berupa perampasan barang hasil kejahatan jika dimiliki oleh terpidana. Tindak pidana hak cipta yang terdapat dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau maksimal denda Rp. 75.000,-. Di dalam KUHP sistem yang dipakai adalah alternatif.

Pasal 380 KUHP merumuskan: “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp. 75.000,-“. Dalam hal ini hakim diberi kesempatan untuk menjatuhkan pidana penjara saja atau pidana denda saja. Membahas mengenai lamanya pidana dapat ditafsirkan sebagai lamanya pidana yang dijatuhkan hukum dan lamanya pidana yang tercantum di dalam pasal yang memuat ancaman

pidana. Dua hal tersebut dapat memengaruhi usaha penanggulangan kejahatan hak cipta.

Ancaman pidana yang tinggi memang berpengaruh secara psikis terhadap pembuat dan calon pembuat dalam melakukan tindak pidana, tetapi kalau tidak diikuti dengan penjatuhan pidana maksimum atau paling tidak mendekati maksimum ancaman pidananya, maka prefensi spesial dan general akan sulit dicapai. Sudah barang pasti tercapainya usaha penanggulangan kejahatan hak cipta tidak dapat semata-mata digantungkan pada faktor tersebut. Keberhasilan tersebut juga ditentukan oleh usaha pelaksanaannya.

UUHC sendiri memberikan ancaman pidana juga berupa penjara dan denda. Lamanya pemidanaan di dalam UUHC maksimal 7 tahun penjara minimal 2 tahun penjara dan denda minimal Rp. 500.000.000,00 dan maksimal Rp. 1.500.000.000,00. Sistem yang dianut dalam menetapkan jenis pidana dalam UUHC menggunakan patokan komulatif dan alternatif. Komulatif dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana gabungan antara pidana penjara dan denda. Sedangkan Alternatif diartikan sebagai pilihan salah satu diantara dua jenis pidana yang dicantumkan.

Berdasarkan wawancara dengan Kompol T. Palulungan selaku Kanit Subdit I Reskrimsus Polda Sulsel mengemukakan bahwa pihak penyidik di Subdit I Reskrimsus Polda Sulsel ini telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat perihal bentuk-bentuk perbuatan yang tergolong pelanggaran

hak cipta sebagai bentuk penanggulangan terhadap pelanggaran hak cipta. Pihak kepolisian juga telah memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak cipta melalui situs resmi polri yang dapat diakses setiap saat di www.reskrimsus.metro.polri.go.id/info/informasi74.

Penanggulangan terhadap pelanggaran hak cipta juga dilakukan oleh YKCI. YKCI menganggap mereka adalah sebuah yayasan yang diberi tanggung jawab oleh pencipta untuk menagihkan royalti kepada users

sehingga YKCI merasa berkewajiban memberikan informasi atas ketentuan- ketentuan yang terdapat pada UUHC kepada pelaku usaha.

Adapun bentuk penanggulangan atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh YKCI yaitu melakukan sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan YKCI bukanlah berbentuk seminar tetapi sistem yang mereka pakai adalah “door to door” mendatangi setiap pelaku usaha hiburan yang mempergunakan lagu pencipta.

Prosedur pertama YKCI lakukan setelah melakukan sosialisasi yaitu apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran yaitu pertama pihak YKCI mengirimkan introduction letter (surat pemberitahuan) surat yang berisi pengenalan bahwa ciptaan lagu itu dilindungi oleh undang-undang75, kalau misalnya si pelaku usaha tetap tidak membayar royalti pihak YKCI mengirimkan reminder letter (mengingatkan bahwa pelaku usaha mempunyai

74 Hasil wawancara pada tanggal 29 Nopember 2012 75 Surat Pemberitahuan terlampir

kewajiban, dasar hukumnya terdapat dalam UUHC kalau tetap dilanggar maka akan berakibat hukum, kalau mau mengurus prosesnya seperti ini)76. Prosedur ketiga apabila pelaku usaha tetap membangkan adalah YKCI mengirimkan Warning letter (surat peringatan)77.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Permasalahan utama yang ditinjau dalam penelitian ini adalah :

1) Mengenai peranan pihak kepolisian dalam menerapkan delik biasa yang telah diklasifikasikan oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta di kota Makassar;

2) Mengenai pemberlakuan ketentuan Pasal 72 ayat (1), ayat (2), dan ayat (6) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta terhadap bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar hak cipta;

3) Mengenai seberapa jauh usaha penanggulangan pelanggaran Hak Cipta pada pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke di kota Makassar.

76Reminder letter terlampir

77 Hasil wawancara dengan Muhammad Mustafa, Kepala Cabang Wilayah Sulawesi dan Papua pada tanggal 20 Desember 2012

Secara keseluruhan, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan pembahasan terhadap tiga masalah utama di atas adalah sebagai berikut: 1. Dalam pemberantasan tindak pidana dibidang hak cipta pihak kepolisian

pada Subdit Industri dan Perdagangan Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan belumlah berperan secara aktif dalam melakukan pemberantasan terhadap pelanggaran hak cipta walaupun pihak dari penyidik tersebut mengakui bahwa perlunya penindaklanjutan persoalan yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang hak cipta. Apabila mendapatkan laporan atau menemukan sendiri pelanggaran tersebut penyidik kepolisian dapat melakukan penindakan. Hal ini pula disebabkan karena tingkat pengetahuan beberapa penyidik pada Subdit Industri dan Perdagangan Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel yang masih kurang terhadap Undang- Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta sehingga implikasinya adalah pelanggaran hak cipta sulit untuk diatasi.

2. Rumah bernyanyi karaoke selain melanggar hak ekonomi pencipta juga melanggar hak moral pencipta. Oleh karenanya ketentuan pidana yang dapat diterapkan selain Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke juga Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (6) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

3. Bentuk penanggulangan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yaitu dengan merumuskan ketentuan pidana dengan ancaman pidana maksimum penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Sistem yang dianut dalam menetapkan jenis pidana dalam UUHC menggunakan patokan komulatif dan alternatif. Upaya penanggulangan pelanggaran hak cipta dilakukan dengan sosialisasi oleh kepolisian daerah sulsel dan juga oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia. Sistem sosialisasi yang dilakukan oleh YKCI dengan “door to door” yang selanjutnya mengirimkan surat kepada pelaku usaha hiburan. Berikut macam-macam surat tersebut:

1. Introduction Letter (surat pemberitahuan) 2. Reminder Letter (surat pengingat)

3. Warning Letter (surat peringatan)

Dibentuknya Sub Direktorat Industri dan Perdagangan pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pada tahun 2011 juga merupakan sebagai salah satu upaya penggulangan pelanggaran hak cipta.

Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas maka dalam Penerapan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta Lagu (Studi Kasus di Rumah Bernyanyi Karaoke) diharapkan sebagai berikut:

1. Oleh karena Polisi merupakan salah satu penegak hukum yang menjadi tumpuan utama dalam melakukan pemberantasan terhadap pelanggaran hak cipta. Diharapkan lebih proaktif lagi dalam memberantas pelaku pelanggar hak cipta. UUHC telah memberikan kewenangan kepada pihak kepolisian buat melakukan penyidikan apabila pihak atau badan hukum yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dibidang hak cipta.

2. Dalam melakukan penyidikan pihak kepolisian dapat menggali lebih mendalam lagi mengenai asal usul lagu didapat darimana, apakah lagu-lagu tersebut di dapat karena didownload disitus-situs ilegal atau yang dibeli bukan CD aslinya melainkan CD bajakan, rumah bernyanyi karaoke tersebut melakukan perbuatan mengumumkan hasil pelanggaran hak cipta dengan meminta lisensi pengalihan haknya, apa saja batasan yang dapat dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke dengan lisensi tersebut, apabila rumah bernyanyi karaoke ini melakukan perbuatan diluar dari syarat yang ditentukan maka rumah bernyanyi karaoke dengan sengaja telah melakukan pengumuman lagu hasil pelanggaran hak cipta, lihat pula jangka waktu keberlakuan lisensi tersebut, serta membandingkan ukuran video yang terdapat

dalam player music dalam rumah bernyanyi karaoke dengan ukuran video dalam CD aslinya, apabila didapati ukuran videonya lebih kecil daripada video aslinya dan perbuatan itu tidaklah mendapat izin dari pencipta maka rumah bernyanyi karaoke tersebut telah melakukan eksploitasi terhadap lagu dengan melanggar hak moral dan perbuatan tersebut dapat digolongkan perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 72 ayat (1) ,(2), (6) UUHC. Dan apabila di dalam hard disc

tersebut terdapat video yang tidak sesuai dengan video aslinya yang seyogianya video asli lagu tersebut kemungkinan hanya diketahui oleh penciptanya tetapi hal ini dapat diatasi dengan membeli CD asli dan membandingkannya antara video yang terdapat dalam hard disc

rumah bernyanyi karaoke dengan video yang terdapat dalam CD aslinya, apabila kedua video tersebut berbeda maka kemungkinan yang telah dilakukan oleh rumah bernyanyi karaoke ini adalah membeli CD bajakan atau mengaransemen ulang lagu tersebut dengan menyinkronkan lagu dengan video yang bukanlah video asli lagu tersebut. Sama seperti perbuatan di atas perbuatan mengaransemen ulang ini merupakan perbuatan yang melanggar hak moral pencipta dan ketentuan yang dapat berlaku adalah Pasal 72 ayat (1), (2) dan ayat (6) UUHC.

3. Sosialisasi UUHC khususnya mengenai perlindungan atas hak moral dan hak ekonomi dari suatu karya cipta, adalah hal yang harus terus

dilakukan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk melakukan transformasi kepada pencipta dan pengguna yang notabene adalah objek dari sosialisasi itu sendiri. Agar sosialisasi dapat maksimal, maka harus didukung oleh konsep yang matang. Adapun capaian yang dapat dijadikan parameter efektivitas sosialisasi yang telah dilakukan adalah tumbuh dan meningkatnya kesadaran masyarakat (pencipta dan

users) dalam menghargai suatu karya cipta.

4. Kepada pelaku usaha agar lebih menghargai hasil karya pencipta hindarilah keinginan menghalalkan segala cara agar memperoleh suatu keuntungan dagang dengan cara yang mudah.

Dalam dokumen Penerapan Hukum Atas Pelanggaran Hak Cip (Halaman 102-112)