BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) yang pesat selalu diikuti atau diiringi dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang makin canggih dan maju pula. Hal ini
ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan (modus
operandi) maupun alat yang digunakan. Begitu juga dengan tindak pidana
hak cipta sebagai salah satu lembaga Hak Milik Intelektual atau Hak atas
Kekayaan Intelektual (HKI).
Di zaman serba modern ini industri musik dalam bentuk digital sudah
bukan barang yang langka lagi. Dengan fasilitas internet beberapa lagu bisa
diakses, ada yang secara komersil maupun non komersil alias bajakan. lagu
merupakan suatu hasil cipta seseorang, tentunya tidak terlepas hak
kekayaan intelektual. Membicarakan mengenai aspek musik digital, maka
secara spesifik akan terkait dengan hak cipta. Menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjut disingkat UUHC), ciptaan
yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra.
Dalam industri musik diera digital ini seringkali marak terjadi berbagai
pembajakan, hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi sekarang ini
bahkan mengunduhnya secara bebas di dunia maya. Sehingga semua orang
bisa mengaksesnya tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk
membayar royalti kepada penciptanya, tentunya hal ini merugikan pencipta
dari segi ekonomi. Industri musik Indonesia saat ini betul-betul dalam
keadaan gawat darurat. Semakin tingginya angka pembajakan terhadap
karya musisi Indonesia baik berupa kaset dan CD membuat royalty yang
seharusnya diterima oleh para musisi (setelah dibagi oleh para label rekaman
dan produser) harus dengan rela hati diberikan kepada para insan pembajak
tersebut.
Pada teori hubungan antar grup (intergroup relations theory)1 menjelaskan bagaimana hubungan antara sebuah kelompok dengan
kelompok lain dengan masing-masing anggotanya dan terdapat interaksi
antara satu orang atau kolektif satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Demikian dengan kronik pembajakan di industri musik ini. Kelompok dibagi
menjadi tiga, yaitu industri musik, pemerintah, konsumen dan pembajak itu
sendiri. Ketiga kelompok tersebut memainkan peran yang sangat signifikan
dan saling memengaruhi satu sama lainnya.
Hak cipta merupakan suatu hak yang terbit karena daya kreativitas
seseorang dalam menciptakan suatu karya dibidang ilmu, sastra, dan seni,
adapun hasil karya tersebut bernilai sangat tinggi. Apabila hasil karya cipta
tersebut dijadikan sebagai salah satu hal yang bernilai ekonomis, maka karya
cipta tersebut akan menghasilkan kekayaan materi yang tak terhingga.
Untuk menghasilkan sebuah karya, pencipta telah mengeluarkan pikiran
orisinilnya agar dapat dinikmati oleh orang lain. Dalam prosesnya, pencipta
juga membutuhkan pemikiran dan mengeluarkan tenaga yang tidak sedikit.
Oleh karenanya, apabila hasil karya mereka tidak dihargai dan dapat ditiru
setiap saat oleh siapa saja, hal ini dapat menghambat kreativitas penciptaan
yang berbuntut dapat mematikan daya kreasi anak-anak bangsa. Kondisi ini
seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung
jawab dan tidak menghargai hasil karya orang lain serta hanya untuk mencari
keuntungan pribadi. Akibatnya pencipta dirugikan, yang pada akhirnya
memengaruhi gairah dan kreativitas orang untuk mencipta.
Timbulnya pelanggaran hak cipta tersebut disebabkan karena
rendahnya pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta dan
keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang dengan cara yang mudah,
tentunya hal seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja karena kurang
menguntungkan bagi pencipta dan mengurangi minat seseorang di dalam
membuat suatu hasil karya cipta. Kebutuhan untuk mengakui, melindungi dan
memberi penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak
Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta, hukum menjamin
pencipta untuk menguasai dan menikmati secara ekslusif hasil karyanya itu
dan penghargaan terhadap hasil kreasi dari pekerjaan manusia yang
memakai kemampuan intelektualnya, maka pribadi yang menghasilkannya
mendapatkan kepemilikannya berupa hak milik dan tidak seorang pun bisa
mempunyai hak atas apa yang dihasilkannya.2
Hal ini menunjukkan, bahwa perlindungan hukum adalah merupakan
kepentingan pemilik hak cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai
subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu, hukum
memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat, jaminan ini
tercermin dalam sistem hak kekayaan intelektual yang berkembang dengan
menyeimbangkan dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta dan kebutuhan
masyarakat umum.3
Munculnya tindak pidana hak cipta dengan berbagai bentuk dan
jenisnya adalah sikap yang tidak menghargai hasil karya orang lain dan
memanfaatkan hasil ciptaan yang telah dilindungi oleh undang-undang hak
cipta hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Di berbagai wilayah di
Indonesia khususnya perkotaan terutama di Kota Makassar, bisnis rumah
bernyanyi karaoke marak dan mewabah. Terbukti di beberapa kota besar
tempat usaha bisnis karaoke tersebut makin banyak bermunculan, baik yang
berkelas biasa maupun yang sekelas hotel bintang lima semuanya
mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan hiburan bagi anggota
keluarga atau sejenak melepas penat dari rutinitas keseharian. Dalam hal ini
pelaku usaha telah mengumumkan dan memperbanyak hak cipta lagu
pencipta yang mungkin tidak memiliki lisensi akan lagu yang diumukan dan
diperbanyak oleh pelaku usaha dari pencipta dari lagu tersebut.
Lahirnya Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
menunjukkan upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum
yang memadai, meskipun pada prinsipnya hak cipta dilindungi sejak suatu
karya cipta dilahirkan. Dalam undang-undang hak cipta ditentukan, bahwa
semua bentuk ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra
termasuk di dalamnya lagu atau musik dengan atau tanpa teks, merupakan
ciptaan yang dilindungi serta berlaku selama si pemegang hak cipta hidup,
sampai dengan 50 (lima puluh) tahun setelah meninggal dunia4.
Undang-udang hak cipta Indonesia pun mengklasifikasikan tindak pidana hak cipta itu
sebagai delik biasa yang dimaksudkan untuk menjamin perlindungan yang
lebih baik dari sebelum Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 diundangkan,
dimana sebelumnya tindak pidana hak cipta dikategorikan sebagai delik
aduan. Seyogianya lewat delik biasa si pemegang hak cipta dapat lebih
terjamin haknya, sebab tanpa diperkarakan terlebih dahulu atau tanpa
pengaduan dari si pemegang hak, pihak kepolisian atau penyidik lainnya
dapat menindak si pembajak.
Namun realitas menunjukkan pembajakan belum juga berhenti. Saat
ini ditengarai begitu banyaknya VCD bajakan tersebar secara luas dan dijual
bebas di pasar tradisional dan juga di pusat-pusat perbelanjaan modern yang
terdapat di Makassar. Pelakunya secara terang-terangan memasarkan hasil
bajakan itu. Perkembangan pembajakan saat ini terjadi karena penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini pihak
kepolisian tidaklah dijalankan secara menyeluruh dan tuntas.
Persoalan ini memang perlu dikaji secara mendalam. Persoalan
penegakan hukum di Indonesia memang belum memperlihatkan tanda-tanda
yang menggembirakan5.
Belum lagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha rumah
benyanyi karaoke atas mengumumkan dan memperbanyak lagu atau musik
tanpa adanya lisensi yang diperolehnya dari pencipta lagu.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas menurut Penulis, ternyata
dalam kenyataan, masih banyak pelanggaran hak cipta, walaupun sudah
diklasifikasikan sebagai delik biasa. Oleh karenanya perlu kiranya diketahui
lebih jauh mengenai pemberlakuan ketentuan pidana dalam penanggulangan
pelanggaran hak cipta terutama hak cipta yang menyangkut lagu dan rumah
bernyanyi karaoke sebagai pelaku usaha serta peranan dari pihak penyidik
kepolisian sebagai penegak hukum. Untuk itulah penelitian ini Penulis angkat
dengan judul “Penerapan Hukum Atas pelanggaran Hak Cipta Lagu (Studi
Kasus di Rumah Bernyanyi Karaoke)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian dan latar belakang di atas maka ruang lingkup
masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan penyidik kepolisian dalam penerapan delik biasa
atas pelanggaran hak cipta di Kota Makassar?
2. Bagaimana Pemberlakuan ketentuan pidana terhadap kasus
pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah bernyanyi
karaoke di Kota Makassar?
3. Bagaimana upaya penanggulangan pelanggaran hak cipta pada
rumah bernyanyi karaoke yang tidak memperoleh lisensi atas hak
cipta lagu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok permasalahan
sebagaimana telah dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui peranan penyidik kepolisian dalam penerapan
delik biasa atas pelanggaran hak cipta di Kota Makassar.
2. Untuk mengetahui sejauhmana pemberlakuan ketentuan pidana pada
kasus pelanggaran hak cipta lagu yang dilakukan oleh rumah
bernyanyi karaoke di Kota Makassar.
3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan pelanggaran hak cipta
pada rumah bernyanyi yang tidak memperoleh lisensi atas hak cipta
lagu.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah
bahan pustaka mengenai penerapan delik biasa dalam undang-undang
hak cipta atas pelanggaran hak cipta terutama hak cipta lagu oleh rumah
bernyanyi yang berdasarkan sistem hukum pidana.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penulisan ini, yaitu :
Sebagai sumbangan pemikiran untuk penyelesaian masalah terhadap
kasus pelanggaran hak cipta sehingga dapat memberikan masukan
kepada aparat penegak hukum di dalam penyelesaian kasus-kasus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan
pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana
haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk
dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupam
masyarakat.
Pakar asing hukum pidana menggunakan istilah Tindak Pidana atau
Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
2. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah Perbuatan kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar, feit. Yang masing-masing memiliki arti
Straf diartikan sebagai pidana dan hukum
Baar diartikan sebagai dapat dan boleh
Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan delik dalam bahasa asing disebut
delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan
definisi mengenai delik, yakni:6
Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”
Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:7
Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”
Sementara Jonkers merumuskan bahwa:8
6 Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana,( Jakarta,1994) hlm. 72, hlm. 88.
Dalam Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. (Yogyakarta, 2012), hlm. 19
7Ibid.
Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai:9
“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah pelu demi terpeliharanya tertib hukum.”
Adapun Simons masih dalam buku yang sama dan juga dikutib dalam
buku karya Lamintang merumuskan strafbaarfeit adalah:10
“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit dimana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana
hukum diartikan secara berlainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.
Agar lebih jelasnya, Amir Ilyas11 mengelompokkan dalam 5 kelompok istilah
yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
Ke-1 : “Peristiwa Pidana” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1962:32),
Rusli Effendy (1981:46), Utrecht (Sianturi 1986:206) dan lain-lainnya;
Ke-2 : “Perbuatan Pidana” digunakan oleh Moeljatno (1983:54) dan lain-lain;
9 Lamintang, P.A.F.,Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, (Bandung, 1997) hlm. 34
10Ibid., hlm. 35
Ke-3 : “Perbuatan yang Boleh di Hukum” digunakan oleh H.J. Van
Schravendijk (Sianturi 1986 : 206) dan lain-lain;
Ke-4 : “Tindak Pidana” digunakan oleh Wirjono Projodikoro (1986:55),
Soesilo (1979:26) dan S.R Sianturi (1986:204) dan lain-lain;
Ke-5 : “Delik” digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1981:146) dan
Satochid Karta Negara (tanpa tahun: 74) dan lain-lain.
H.J. Van Schravendijk mengartikannya delik sebagai perbuatan yang
boleh dihukum, sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian istilah
peristiwa pidana, karena istilah pidana menurut beliau dalam buku Amir Ilyas,
meliputi perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau
nabetan atau met doen, negatif/maupun akibatnya)12.
Andi Zainal Abidin dalam buku yang sama13 mengemukakan pada
hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “delik” yang berasal dari bahasa
latin “delictum delicta” karena:
1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat ekonomis karena singkat;
3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “Peristiwa Pidana”,
“Perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi
pembuatnya); dan
4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang
diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana
ekonomi Indonesia.
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut
sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit) menurut Amir Ilyas, tidaklah mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah
makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah
peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke
V 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau
menggunakan istilah “tindak pidana”.
b. Jenis-Jenis Delik atau Tindak Pidana
Dalam membahas hukum pidana, akan ditemukan beragam tindak
pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan penulisan
ini, Penulis menitikberatkan pada jenis-jenis Tindak pidana yang dapat
dibedakan atas dasar-dasar menurut sistem di dalam KUHP, menurut cara
perumusannya, dan berdasarkan pada perlu tidaknya pengaduan dalam hal
penuntutan14.
a) Menurut Sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat
dalam buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam buku III
14 Lihat juga jenis-jenis tindak pidana dalam buku Amir Ilyas, Asas-asas Hukum
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis
pelanggaran lebih ringan daripada kejahatan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
dan tindak pidana materil
1. Tindak pidana formil itu adalah tindak pidana yang
perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Tindak pidana tersebut telah selesai dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik. Misal: penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum
menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau
penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210
KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat
(Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP).
2. Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak
dikehendaki (dilarang). Tindak pidana ini baru selesai apabila
akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum
maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP),
c) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan
Tindak pidana biasa dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang
untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak
disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak
pidana aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan
pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak
mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya, atau keluarga
tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus
untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
B. Tinjauan Umum tentang Hak Cipta a. Pengertian Hak Cipta
Perlindungan hak cipta akan meliputi pengekspresian dan tidak
meliputi gagasan, prosedur, metode kerja atau konsep matematika. Dengan
patokan rumusan perlindungan hukum terhadap ciptaan yang demikian itu,
maka di dalam UUHC 1997 dirumuskan, bahwa yang dimaksud dengan
“ciptaan” adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan
menunjukkan keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Kemudian rumusan tentang ciptaan tersebut diubah dengan menghapus
kalimat “dalam bentuk khas” sehingga menjadi “Ciptaan adalah hasil setiap
pengetahuan, seni, dan sastra” (Vide ketentuan Pasal 1 angka 3 UUHC
2002).
Dalam sejarah perkembangan istilah hak cipta (bahasa Indonesia
yang lazim dipakai sekarang) pada awal mulanya istilah yang dikenal adalah
hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda,
Auteursrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena
dipandang menyempitkan15 pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai
adalah hak pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak
dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karang-mengarang
saja, sedangkan cakupan hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang.
Karena itu, kongres memutuskan untuk mengganti istilah hak pengarang
dengan istilah hak cipta.
Istilah ini merupakan istilah yang diperkenalkan oleh ahli bahasa
Soetan Moh. Syah dalam suatu makalah pada waktu Kongres. Menurutnya
terjemahan Auteursrecht adalah hak pencipta, tetapi untuk penyederhanaan dan kepraktisan disingkat menjadi hak cipta16. Menurut bahasa Indonesia,
istilah hak cipta berarti hak seseorang sebagai miliknya atas hasil
penemuannya yang berupa tulisan, lukisan dan sebagainya yang dilindungi
oleh undang-undang. Dalam bahasa Inggris disebut Copy Right yang berarti
15 Stephen Fishmen, “The Copyright Handbook: How to Protect and Use Written Works”, dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta,(Bandung,2002), hlm. 111.
hak cipta. Adapun pengertian secara yuridis menurut Pasal 2 UUHC
menyatakan Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian dalam Pasal 1 UUHC yang dimaksud dengan Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Subjek Hak Cipta: Pencipta & Pemegang Hak Cipta
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama
melahirkan suatu ciptaan. Selanjutnya dapat pula diterangkan bahwa yang
mencipta suatu ciptaan menjadi pemilik pertama dari hak cipta atas ciptaan
bersangkutan17.
Pasal 1 angka (2) UUHC mendefinisikan pencipta secara rinci sebagai
berikut:
“Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dari bunyi Pasal 1 angka (2) UUHC tersebut, secara singkat bahwa
pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
melahirkan suatu ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra. Dengan sendirinya, pencipta juga menjadi pemegang hak cipta, tetapi
tidak semua pemegang hak cipta adalah penciptanya. Pengertian pemegang
hak cipta dinyatakan dalam Pasal 1 angka (4) UU Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta yaitu:
“Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”.
Dengan demikian, pencipta hak cipta otomatis menjadi pemegang hak
cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi
pemegang hak cipta tidak harus penciptanya, tetapi bisa pihak lain yang
menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak tersebut dari pencipta atau pemegang hak cipta yang
bersangkutan. Pada bagian kedua, UUHC mengatur orang-perorangan dan
badan hukum yang dapat menjadi pencipta dalam penggolongan:
a. Seorang tertentu (Pasal 5);
b. Dua atau lebih orang (Pasal 6 dan 7);
c. Seorang karyawan (Pasal 8);
Pembedaan pencipta dalam beberapa golongan memiliki implikasi
yang sangat penting terhadap hak dan kewajiban pencipta, pendaftaran
ciptaan, lama berlaku hak cipta dan pertanggungjawaban dalam hal
terjadinya pelanggaran hak cipta. Beberapa definisi mengenai pencipta di
atas menjelaskan bahwa pada dasarnya secara konvensional yang
digolongkan sebagai pencipta adalah seseorang yang melahirkan suatu
ciptaan untuk pertama kali sehingga ia adalah orang pertama yang
mempunyai hak-hak sebagai pencipta yang sebutan ringkasnya untuk
kepraktisannya disebut hak pencipta, dan lebih ringkas lagi menjadi hak
cipta.
Pada mulanya, untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta
pertama dari suatu ciptaan tertentu tidaklah terlalu sulit. Misalnya: pencipta
suatu ciptaan karangan ilmiah adalah seorang yang menulis tulisan ilmiah
bersangkutan; pencipta suatu ciptaan musik adalah komposer; dan pencipta
suatu ciptaan potret adalah fotografer. Meskipun demikian, dengan semakin
berkembangnya teknologi canggih pada akhir-akhir ini, untuk menentukan
siapa yang menjadi pencipta pertama dari suatu ciptaan tertentu,
memerlukan penjelasan dengan suatu pendekatan yang agak berbeda,
terutama dalam menentukan pencipta dari ciptaan-ciptaan yang tergolong
sebagai hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, misalnya: pencipta dari
adalah Produser rekaman suara; dan Pencipta dari tayangan
pertunjukan/pergelaran musik melalui siaran televisi adalah lembaga
penyiaran.
Mengetahui siapa yang merupakan pencipta pertama suatu ciptaan
adalah sangat signifikan, karena18 :
a. Hak-hak yang dimiliki seorang pencipta pertama sangat berbeda
dengan hak-hak pencipta terhadap hak terkait dengan hak cipta.
b. Masa berlakunya perlindungan hukum bagi pencipta pertama biasanya
lebih lama dari mereka yang bukan pencipta pertama.
c. Pengidentifikasian pencipta pertama secara benar merupakan syarat
bagi keabsahan pendaftaran ciptaan (Pasal 5 ayat (1) UUHC),
walaupun pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan.
Untuk menjelaskan tentang siapakah yang disebut sebagai pencipta,
UUHC menentukan bahwa pencipta adalah orang yang membuat atau
melahirkan suatu ciptaan. Akan tetapi, perkecualian dari pedoman umum
tersebut ditentukan sebagai berikut:
a. Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta
ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh
ciptaan itu, atau dalam hal tidak orang tersebut, yang dianggap
sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak
mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu
(Pasal 6).
b. Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang
yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan
itu (Pasal 7).
c. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak
yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada
perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak
pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar
hubungan dinas. (Pasal 8 ayat (1)).
c. Perlindungan Hak Cipta
Ciptaan atau karya cipta atau “works” adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Bandingkan dengan arti kata
“works” di dalam Pasal 102 UUHC Amerika Serikat bahwa yang dimaksud dengan “works” dalam lingkup ciptaan adalah karya cipta sastra, ciptaan musik termasuk kata-kata yang menyertainya, karya cipta drama termasuk
setiap musik yang menyertainya, pantomin dan tari, majalah menggambar
(sculptural), karya cipta film dan ciptaan audiovisual lainnya, rekaman suara, dan karya cipta arsitektur.
1. Jenis-Jenis Ciptaan yang Dilindungi
Menurut Pasal 1 angka (3) UUHC, “Ciptaan adalah hasil setiap
karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni atau sastra”. Lebih lanjut ditentukan, ciptaan-ciptaan
yang dilindungi berdasarkan UUHC adalah ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup19 :
a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, seni pahat, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
Menurut L. J. Taylor yang dilindungi hak cipta adalah ekspresi
dari sebuah ide, jadi bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan
demikian yang dilindungi adalah bentuk nyata dari sebuah ciptaan dan
19 Rachmadi Usman : Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi hukumnya di
bukan yang masih merupakan sebuah gagasan atau ide. Bentuk nyata
ciptaan tersebut bisa berwujud khas dalam bidang kesusastraan, seni
maupun ilmu pengetahuan20.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dalam Penjelasannya
menyatakan bahwa :
“Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar”.
Yang tidak mendapatkan perlindungan Hak Cipta terdapat
Pasal 3 UUHC yaitu:
1. Hasill rapat terbuka lembaga-lembaga negara Peraturan
perundang-undangan.
2. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah
3. Putusan pengadilan atau penetapan hakim, atau
4. Keputusan hadan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya.
2. Lamanya Perlindungan
Dasar filosofi berlakunya hak cipta adalah sesuai dengan
konsepsi hak milik yang bersifat immaterial yang merupakan hak
kebendaan. Hak kebendaan yang mempunyai sifat droit de suit,
20 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, & Praktiknya di
senantiasa mengikuti dimana benda tersebut berada, sehingga pemilik
boleh melakukan tindakan hukum apa saja terhadap haknya. UUHC
membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang
dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan buku, ceramah, alat
peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik,
terjemahan, tafsir, saduran, diberikan jangka waktu selama hidup
pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
Selanjutnya hak cipta atas ciptaan program komputer,
sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalihwujudan diberikan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
Ciptaan yang dimilki atau dipegang oleh badan hukum, berlaku selama
50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
Adanya batasan waktu pemilikan hak cipta dalam jangka waktu
selama hidup ditambah 50 tahun, diharapkan hak cipta tidak tertahan
lama pada tangan seseorang pencipta sebagai pemiliknya. Sehingga
setelah si pencipta meninggal dan ditambah dengan 50 tahun,
selanjutnya haknya dapat dinikmati oleh masyarakat luas secara bebas
sebagai milik umum (Public domain), artinya masyarakat boleh mengumumkan atau mernperbanyak tanpa harus minta izin kepada si
pencipta atau si pemegang hak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran
Pembatasan jangka waktu hak cipta yang tercantum pada
UUHC, dikenal juga pada aturan Belanda yaitu Auterswet 1912. Ketentuan auterswet ini merupakan pengambilalihan dari ketentuan Internasional Konvensi Bern.
Pembatasan hak cipta mempunyai makna supaya hak pencipta
sebagai pemilik suatu ciptaan senantiasa benar-benar dihormati sebagai
hak individu, dengan jangka waktu yang relatif panjang akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat yang dikenal
dengan konsepsi hak milik yang berfungsi sosial. Walaupun demikian
dalam praktik ternyata batasan kepemilikan hak cipta ini justru sering
menguntungkan pihak lain yaitu pihak prosedur dalam hal karya lagu
serta karya seni lainnya dan pada pihak penerbit dalam hal karya cipta
berupa buku. Hal ini tidak terlepas dari hak cipta yang mengandung sifat
komersial, yaitu ada unsur ekonomis dalam rangka mencari keuntungan.
d. Hak Moral dan Hak Ekonomi 1. Hak Moral
Teks Konvensi Bern yang ditandatangani di Roma tahun 1928
mencoba mengatur masalah hak moral dalam dua hal, yaitu paternity right
dan integrity. Di dalam teks yang ditandatangani di Brussels tahun 1948 diatur juga mengenai perbuatan yang merusak, memotong-motong atau
yang ditandatangani tahun 1967 dijamin bahwa hak moral akan berlangsung
paling tidak sampai dengan daluwarsanya hak ekonomi.
Definisi hak moral merujuk pada hak pencipta untuk melindungi
reputasi dan integritas ciptaannya dari penyalahgunaan dan penyelewengan
hak moral bersifat personal dan berbeda dengan hukum hak cipta. Hak moral
adalah bentuk hak cipta yang non ekonomi. Setelah pencipta menjual hak
ciptanya ia akan menerima dua hak yang spesifik yang tidak dapat dihapus
atau dijual yaitu pertama, hak untuk dicantumkan namanya pada ciptaan
bersangkutan dan kedua, hak untuk tujuan setiap perlakuan terhadap ciptaan
bahwa setiap tindakan yang merugikan atau berakibat merugikan
kehormatan dan reputasi artis.
Hak moral merupakan perwujudan dari hubungan yang terus
berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptanya walaupun si
penciptanya telah kehilangan atau telah memindahkan hak ciptanya kepada
orang lain, sehingga apabila pemegang hak menghilangkan nama pencipta,
maka pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut kepada pemegang
hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.
Dengan demikian sekalipun hak moral itu sudah diserahkan baik
seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain, namun penciptanya atau
ahli warisnya tetap mempunyai hak untuk menggugat seseorang yang tanpa
persetujuannya21 :
(a) meniadakan nama pencipta yang tercantum dalam ciptaan;
(b) mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
(c) mengganti atau mengubah judul ciptaan; dan
(d) mengubah isi ciptaan.
Menurut Desbois dalam bukunya Le Droit D Auteur22 (1966)
berpendapat bahwa sebagai suatu elektrin mengandung empat makna, yaitu:
a. Droit Depublication: hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaanya;
b. Droit De Repentier: hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik
dari peredaran atas ciptaan yang telah diumumkan;
c. Droit Au Respect: hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain
d. Droit A La Patemite: hak untuk mencantumkan nama pencipta: hak untuk tidak menyetujui perubahan atas nama pencipta yang
akan dicantumkan: dan hak untuk mengumumkan sebagai
pencipta setiap waktu yang diinginkan.
Pada dasarnya hak moral pencipta itu adalah tindakan yang berkaitan
dengan perubahan ciptaan yang menghina dan dapat merugikan kehormatan
atau nama baik si pencipta. Keberadaan hak moral dapat dibagi ke dalam
dua kelompok, yaitu: (1) attribution right, yang bertujuan untuk meyakinkan nama pencipta dicantumkan di dalam ciptaannya; dan (2) integrity right, yang bertujuan untuk melindungi ciptaan pencipta dari penyimpangan,
pemenggalan atau pengubahan yang merusak integritas pencipta.
2. Hak Ekonomi
Apabila memahami pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang
No. 19 Tahun 2002, maka pencipta memiliki hak eksklusif (eksklusif right) yang tersebar di dalam Pasal 2, Pasal 26, dan Pasal 45. Pasal 2 UUHC
menentukan, bahwa: (1) Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (2)
pencipta dan/atau penerima hak cipta atas karya film dan program komputer
memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang
bersifat komersial.
Hak Ekonomi (Economy Right) adalah hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ekonomi ini
merupakan hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya dan memberi izin untuk itu. Hak ekonomi ini dapat
a. Hak pengadaan atas ciptaan
Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini bisa di lakukan
secara tradisional maupun melalui peralatan modern Hak
penggandakan ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu
keciptaan lainnya misalnya: karya tulis, rekaman musik,
pertunjukan drama dan film.
b. Hak adaptasi
Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan
dari bahasa satu ke bahasa lainnya, aransemen musik, dramatisasi
dari non dramatik, merubah menjadi cerita fiksi dari karangan non
fiksi atau sebaliknya hak ini diatur baik dalam Konvensi Bern
maupun Konvensi Universal.
Karya cetak berupa buku, misalnya novel, mempunyai hak
turunan (derivative) yaitu diantaranya hak film (film rights), hak dramatisasi (dramatitation), hak menyimpan dalam media elektronik (electronic rights). Hak film dan hak-hak dramatisasi adalah hak yang timbul bila si novel tersebut dirubah menjadi isi
sekenario film, atau sekenario drama yang bisa berupa opera, balet
maupun drama musikal.
Hak distribusi adalah hak dimiliki pencipta untuk menyebarkan
kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut
dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang
maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. Dalam
hak ini termasuk pula bentuk dalam UUHC, disebut dengan
pengumuman yaitu pembacaan penyuaraan, penyiaran atau
penyebaran sesuatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun
dan dengan cara sedemikian rupa sehingga ciptaan dapat dibaca,
didengar atau dilihat oleh orang lain.
d. Hak penampilan
Hak ini dimiliki para pemusik, dramawan, maupun seniman
lainnya yang karyanya dapat terungkap dalam bentuk pertunjukan.
Pengaturan tentang hak pertunjukan ini dikenal dalam Konvensi
Bern maupun Konvensi Universal.
e. Pengalihan Hak Cipta
Hak cipta adalah kekayaan personal yang dapat disamakan dengan
bentuk kekayaan yang lain. Secara khusus pengaturan mengenai pengalihan
hak dan hukum hak cipta diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, bahwa hak cipta dianggap sebagai benda
dialihkan, dijualbelikan oleh pemilik atas pemegang haknya23, baik seluruhnya
maupun sebagian melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun melalui suatu
perjanjian seperti jual beli, maupun lisensi24.
Peralihan hak cipta yang merupakan benda bergerak tidak dapat
dilakukan dengan cara lisan, harus dengan akta otentik atau akta di bawah
tangan. Persetujuan secara lisan saja tidak diakui oleh undang-undang hak
cipta. Hal ini untuk menjaga jangan sampai timbul
penyimpangan-penyimpangan terhadap hak dan kewajiban dikemudian hari, sehingga di
dalam akta perjanjian harus dibuat sejelas mungkin hak-hak yang
dipindahkan atau yang dialihkan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
para pihak yang membuat perjanjian. Persetujuan secara tertulis akan lebih
menjaga kepastian hukum dan kejelasan daripada persetujuan secara lisan,
apalagi persetujuan yang dilakukan secara diam-diam. Hal ini mengingat
terlalu banyaknya kepentingan yang tersangkut dalam persoalan hak cipta,
termasuk kepentingan ahli waris di kemudian hari.
Menurut Meriam Darus Badrulzaman25, bahwa sistem hukum benda
mengandung sejumlah asas, antara lain hak kebendaan memberikan
wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan,
dijaminkan, dan disewakan. Dengan adanya asas ini hak cipta dapat
dialihkan oleh pencipta seperti halnya benda-benda yang lain, sehingga hak
23 OK. Saidin, Loc.Cit., hlm. 69. 24 Edy Damian, Op. Cit., hlm. 19.
tersebut masuk ke dalam ruang lingkup hukum jaminan sebagaimana
dituangkan ke dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa
segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang ada dikemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan.
Abdulkadir Muhammad26 mengemukakan bahwa pengalihan hak cipta
itu didasari oleh motif ekonomi, yaitu keinginan untuk memperoleh manfaat
ekonomi atau keuntungan secara komersil, pencipta mengalihkan hak cipta
dengan bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan
yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Hak cipta suatu ciptaan tetap ada di
tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh
hak ciptanya. Hal ini menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta
dengan penciptanya. Hak cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak
dapat dijual lagi untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama. Apabila timbul
sengketa antara beberapa pembeli hak cipta yang sama atas suatu ciptaan,
perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh hak
cipta tersebut.
Hak cipta dapat beralih baik seluruhnya maupun sebagian melalui
pewarisan, hibah, wasiat, dan dijadikan milik negara. Hak-hak eksploitasi dari
pemegang hak cipta, seperti misalnya hak reproduksi, hak mempertunjukkan,
hak mengadaptasi, dan hak menerjemahkan dapat dialihkan secara
keseluruhan, dapat juga secara satu persatu atau sebagian saja, bahkan
dapat juga hanya dalam bentuk tertentu saja, misalnya27:
a. Bidang hak reproduksi, yang dialihkan hanyalah hak
reproduksi/menerbitkan ciptaan itu dalam bentuk buku, bukan dalam
majalah, bukan dalam surat kabar, dan sebagainya;
b. Bidang hak mempertunjukkan/ memainkan, yang dialihkan hanyalah
hak untuk memainkan musik tertentu di Taman Ismail Mardjuki
(TIM) Jakarta saja, bukan untuk dimainkan di televisi, radio, dan
sebagainya;
c. Bidang hak adaptasi, yang dialihkan adalah hak untuk membuat film
dari ciptaan yang bersangkutan bukan untuk disandiwarakan;
d. Bidang hak terjemahan, yang dialihkan adalah hak untuk
menerjemahkan karangan yang bersangkutan hanya dalam bahasa
Jepang, bukan dalam bahasa Spanyol atau bahasa Rusia, dan
sebagainya.
Hak cipta menjadi milik negara yaitu apabila suatu ciptaan sama sekali
tidak diketahui penciptanya. Hal ini berarti bahwa harus telah didahului
dengan upaya untuk mengetahui dan menemukan pencipta yang
bersangkutan, baru setelah benar-benar diyakini bahwa ciptaan yang
bersangkutan tidak diketahui atau tidak ditemukan penciptanya, maka hak
cipta atau ciptaan tersebut ditetapkan dipegang oleh negara. Tetapi apabila
dikemudian hari ada pihak yang dapat membuktikan sebagai pencipta atau
adanya pencipta tersebut, maka negara akan menyerahkan kembali hak cipta
kepada yang berhak. Disamping itu hak cipta juga dapat dialihkan baik
sebagian maupun seluruhnya melalui jual beli maupun dengan perjanjian
lisensi.
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Lisensi a. Pengertian Perjanjian Lisensi
Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, didefinisikan sebagai:
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih megikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya
dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih
orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas
prestasi tersebut. Rumusan tesebut memberikan konsekuensi hukum bahwa
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah
pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang
berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat
terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu
Dalam Black’s law Dictionary28 lisensi diartikan sebagai:
A personal privilege to do some particular act or series of acts...
atau
The permission by competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would not allowable.
Ini berarti lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk
privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu. Dalam pengertian yang umum tersebut, dalam Black’s Law Dictionary,
penggunaan istilah lisensi jika kita baca lebih jauh senantiasa dikaitkan
dengan penggunaan atau pemanfaatan tanah berdasarkan pada izin yang
diberikan oleh otoritas atau pihak yang berwenang dalam hal ini adalah
pejabat atau instansi pemerintah terkait.
Lisensi sering diberikan di bidang intelectual property right, atau masyarakat lebih mengenalnya dengan hak milik intelektual, seperti misalnya
hak atas merek, hak cipta dan hak paten.
Dalam kepustakaan dikenal adanya beberapa jenis lisensi, yaitu:
a) Lisensi tunggal dan lisensi hak diberikan kepada beberapa badan hukum.
Dalam lisensi tunggal, satu perusahaan atau seseorang tertentu
memperoleh izin untuk menggunakan salah satu hak milik intelektual tadi.
Pemakaian hak itu dengan mengecualikan semua orang lain termasuk di
dalamnya pemegang hak itu sendiri. Dalam hal lisensi diberikan kepada
beberapa perusahaan atau badan hukum atau beberapa orang, maka
badan hukum atau orang-orang tersebut memakai hak itu bersama-sama
disamping perusahaan lain atau orang lain. Untuk selanjutnya hal itu
lebih dikenal dengan lisensi ekslusif dan lisensi non ekslusif.
b) Lisensi terbatas dan lisensi tak terbatas. Dalam lisensi ini yang
dibicarakan adalah perihal luasnya ruang lingkup pemberian lisensi itu.
Dalam hal lisensi tak terbatas, maka pemegang lisensi berhak melakukan
apa saja sebagaimana pemilik hak itu sendiri. Lain halnya dengan lisensi
terbatas. Pembatasan dapat dilakukan umpamanya mengenai luas
hak-hak yang diberikan dalam lisensinya. Misalnya untuk lisensi hak-hak cipta
atas lagu, hanya terbatas untuk lagu-lagu tertentu saja, atau pembatasan
mengenai wilayah edar lagu dan lain sebagainya.
Drupsteen memberikan ukuran lain untuk membedakan macam
bentuk perjanjian lisensi29. ukuran pertama adalah tujuan ekonomis apa yang
berhak dicapai oleh perjanjian lisensi itu. Ukuran kedua adalah acuan hukum
apa yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan ekonomi tadi. Istilah
perjanjian lisensi sering muncul dalam dunia perdagangan, dimana satu
pihak membutuhkan sesuatu untuk dipakai sebagai bahan untuk
mengembangkan usahanya serta mencari keuntungan. Sesuatu yang
dimaksud di sini adalah suatu karya hasil perwujudan imaginasi pihak lain.
Mau tidak mau pihak yang akan menggunakan hasil karya tadi harus
berhubungan dengan pihak pemilik hasil karya tadi untuk meminta
persetujuan agar bisa menggunakan hasil karya tersebut. Persetujuan inilah
yang oleh kalangan umum terutama yang bersangkutan langsung dengan
perjanjian lisensi ini, selain meminta pendapat dari kalangan umum yang
berhubungan langsung dengan perjanjian lisensi.
b. Pengaturan Perjanjian Lisensi dalam Undang-Undang Hak Cipta
Istilah lisensi ditentukan dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta pada Bab V Pasal 45-47. Pada dasarnya perjanjian lisensi hanya
bersifat pemberian izin atau hak yang dituangkan dalam akta perjanjian untuk
dalam jangka waktu tertentu dan dengan syarat tertentu menikmati manfaat
ekonomi suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptaan.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur
ketentuan-ketentuan lisensi dalam pasal 45 – 47, yaitu:
Pasal 45
1. Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2. Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
4. Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Pasal 46
Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 47
1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian Lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal.
3. Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur dengan Keputusan Presiden.
Dari bunyi pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 45 dan Pasal
46 UUHC, memberikan keleluasaan pemegang hak cipta dalam
menggunakan haknya apakah dilakukan sendiri atau dengan menyerahkan
kepada pihak lain untuk mengumumkan karya ciptanya (dalam hal ini lagu
atau musik tanpa teks) dengan dibuatnya perjanjian lisensi yang berisikan
hak dan kewajiban masing-masing. Sedangkan Pasal 47 memberikan
keabsahan dan kepastian hukum terhadap penggunaan hak yang ada dalam
sertipikat lisensi karena para pihak akan memperoleh perlindungan hukum.
Perjanjian lisensi lazimnya tidak dibuat secara khusus, artinya
pemegang hak cipta tetap dapat melaksanakan hak ciptaannya atau
bahwa untuk dapat berlaku bagi pihak ketiga, perjanjian lisensi harus
dicatatkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Perjanjian lisensi hak cipta atas lagu juga memerhatikan segala
ketentuan yang ada didalamnya beserta ketentuan-ketentuan tambahan di
luar perjanjian tersebut yang telah dan akan dibuat. Lisensi pengumuman
musik diberikan oleh pencipta lagu dalam bentuk sertipikat lisensi
pengumuman musik yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
perjanjian tersebut. Lisensi pengumuman musik yang diberikan oleh pencipta
lagu kepada pemakai lagu (user) berlaku tanpa hak substitusi (tidak dapat dialihkan oleh pihak manapun). Pemakai lagu (user) berkewajiban membayar biaya lisensi kepada pencipta lagu sebesar tarif yang telah ditetapkan.
Pemakai lagu (user) juga berkewajiban memberikan laporan secara benar setiap bulan kepada pencipta lagu yang berisi karya musik yang diumumkan,
nama pencipta/ penulis lirik, durasi dan frekuensi pemutaran dalam bentuk
dan dengan cara yang disepakati bersama. Pencipta lagu juga mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan sertipikat lisensi kepada pemakai lagu (user) dalam waktu 1 bulan setelah pemakai lagu (user) membayar biaya lisensi dan wajib memberikan izin mengumumkan kepada pemakai lagu (user) untuk seluruh repertoire yang dimilki oleh pencipta lagu.
Pemutusan perjanjian dalam perjanjian lisensi hak cipta atas lagu
dapat dilakukan apabila salah satu pihak, baik pencipta lagu atau pemakai
satu pihak dapat memberitahukan pemutusan perjanjian kepada pihak yang
melanggar ketentuan-ketentuan dalam perjanjian lisensi hak cipta atas lagu
secara tertulis, tetapi segala kewajiban kedua belah pihak masih tetap
berlaku dan mengikat sampai dengan tanggal pemutusan perjanjian. Apabila
terjadi perselisihan maupun perbedaan paham yang berkaitan dengan
perjanjian tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah. Jika jalan
musyawarah tidak menghasilkan kata sepakat tentang cara penyelesaian
maka dapat diselesaikan di pengadilan negeri setempat.
c. Pengertian Perjanjian Lisensi Hak Cipta Atas Lagu
Dalam perjanjian lisensi hak cipta atas lagu terdapat beberapa istilah
yang mempunyai arti sebagai berikut:
a) Hak Cipta adalah hak khusus yang dimiliki oleh pencipta lagu atau
pemegang hak cipta untuk mengumumkan, memperbanyak atau
memberikan lisensi untuk melakukan suatu pengumuman atau
perbanyakan suatu karya cipta musik sesuai ketentuan yang berlaku.
b) Pencipta adalah seseorang atau bebrapa orang secara bersama-sama
yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian
yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
c) Mengumumkan adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
apapun, termasuk media internet atau melakukan dengan cara apapun
sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
d) Pemegang Hak Cipta adalah pencipta lagu sebagai pemilik hak cipta
atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta lagu atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut.
e) Repertoire adalah seluruh ciptaan musik yang diserahkan oleh pencipta lagu atau pemegang hak cipta baik dalam maupun luar negeri kepada
pemakai lagu (user) untuk dikelola hak ekonomi pengumuman musiknya.
Perjanjian lisensi hak cipta atas lagu adalah persetujuan dimana
pencipta sebagai pemberi lisensi memberikan hak-hak tertentu dalam jangka
waktu tertentu kepada para user sebagai penerima lisensi untuk memanfaatkan (mengumumkan, memperbanyak, menjual dan
mengedarkan), lagu ciptaannya dengan memperoleh imbalan (royalti).
D. Tinjauan Umum tentang Rumah Bernyanyi Karaoke
Sebelum Penulis menjabarkan mengenai Rumah Bernyanyi Karaoke,
terlebih dahulu Penulis akan menjelaskan mengenai istilah Karaoke.
Istilah karaoke (カラオケ) terdiri dari dua kata bahasa Jepang, yaitu
kata kara yang merupakan singkatan dari karappo(からっぽ)yang berarti
orkestra. Jadi secara harafiah karaoke (カラオケ) berarti melodi yang tidak
ada vokalnya30.
Pengertian karaoke menurut kamus bahasa Jepang Kojien (広辞 苑)
adalah:
カラオケ(歌のないオーケストラの意味)
歌の伴奏音楽だけを録音し、それに合わせて歌うためのテー
プやデイスク。また、その演奏装置。一九七〇年より普及.
Terjemahan: Karaoke (berarti melodi tanpa lirik) Rekaman atau disc yang berisi rekaman iringan musik tanpa lirik, digunakan untuk menyanyi sesuai
dengan iringan tersebut. Ditambah lagi, perlengkapan karaoke telah
menyebar sejak tahun 1970.
Karaoke tidak hanya menyebar di seluruh Jepang namun juga di
Korea, China, Asia Tenggara, bahkan Amerika Serikat. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika istilah karaoke ini tidak hanya tertera dalam kamus
bahasa Jepang, namun juga Kamus Bahasa Inggris Oxford. Pengertian
karaoke menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford adalah:
A type of entertainment in which a machine plays only the music of popular songs so that people can sing the words themselves.31
Terjemahan: Sebuah jenis hiburan dimana sebuah mesin memainkan hanya musik dari lagu-lagu popular sehingga orang-orang dapat menyanyikan lirik
lagu tersebut sendiri.
Dari beberapa pengertian karaoke di atas dapat diartikan bahwa
karaoke adalah melodi yang hanya terdiri dari musik tanpa vokal, dan
vokalnya dinyanyikan oleh seseorang bernyanyi sambil mengikuti melodi
tersebut mendendangkan lirik yang ditampilkan di layar televisi atau buku.
Berikut penjabaran dari Rumah Bernyanyi Karaoke. Menurut
Muhammad Mustafa selaku Kepala Cabang Yayasan Karya Cipta Indonesia
Wilayah Sulawesi dan Papua mengatakan bahwa Istilah “Rumah Bernyanyi”
dengan “Tempat Karaoke” pada umumnya adalah sama. Merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang entertainment, menyediakan suatu jenis hiburan berupa karaoke. Istilah “Rumah Bernyanyi” hanya dipergunakan
di Makassar sedangkan di Jawa mereka menyebutnya Karaoke Keluarga32.
Sabriadi selaku staff dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Makassar mengatakan bahwa usaha karaoke itu adalah usaha yang terdiri
dari sekat-sekat ruangan yang dilengkapi fasilitas karaoke lengkap dan
modern dengan atau tanpa pemandu lagu (kurol)33.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah bernyanyi karaoke merupakan
sarana hiburan menyanyi indoor dengan perluasan fasilitas dari cafe atau
restaurant yang dilengkapi dengan sarana teknologi karaoke modern dan lengkap dengan atau tanpa pemandu lagu.
Industri retail karaoke dapat dibagi atas 2 kategori: yaitu Karaoke
Eksekutif dan Karaoke Keluarga. Kedua jenis tempat karaoke ini mempunyai
ciri-ciri, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Strategi bisnis yang
mengambil kelebihan dari kedua konsep ini dan menjadikan sebuah konsep
karaoke baru.
Karaoke keluarga bukanlah hiburan malam dengan segala pernak
pernik sisi negatifnya. Karaoke keluarga memang didesain dan menyasar
segmen masyarakat yang membutuhkan tempat hiburan yang
menyenangkan dan sehat. Dengan demikian karaoke keluarga tidak akan
mengalami berbagai masalah keamanan seperti yang dialami oleh bisnis
night club, pub, dan diskotik34.
E. Tinjauan Umum tentang Karya Cipta Lagu atau Musik a. Pengertian Lagu atau Musik
Lagu menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, berarti: 1. Langgam
suara yang berirama (dalam bercakap, bernyanyi, membaca, dan lain
sebagainya); 2. Nyanyian; 3. Ragam nyanyi/musik, gamelan, dan
sebagainya; 4. Tingkah laku, cara, lagak; -Lagu instrumental –Lagu yang
disampaikan hanya dengan alat-alat musik. Sedangkan yang dimaksud
dengan Musik, adalah: 1. Ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam
urutan kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi
(suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan; 2. Nada atau suara
yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan
keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat
menghasilkan bunyi - bunyi itu. Musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari
unsur lagu/melodi, syair atau lirik dan aransemen, termasuk notasinya35
Karya musik merupakan tiap ciptaan baik yang sekarang telah ada maupun
yang dibuat kemudian termasuk didalamnya melodi dengan maupun tanpa
lirik, gubahan / aransemen atau adaptasi.
Lagu atau musik sendiri dalam UUHC diartikan sebagai karya yang
bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik,
dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud dengan utuh adalah
bahwa lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta36.
Karya lagu atau musik adalah ciptaan utuh yang terdiri dari unsur lagu atau
melodi, syair atau lirik dan aransemen, termasuk notasinya, dalam arti bahwa
lagu atau musik tersebut merupakan suatu kesatuan karya cipta37
. Dalam UUHC, pengertian lagu dan musik merupakan satu kesatuan.
Berbeda dengan pengertian tentang lagu dan musik berdasarkan kamus
bahasa Indonesia dimana dalam pengertian tersebut dipisahkan antara
35 Hendratanu Atmadja, Op. Cit., hlm. 28.
36 Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf (d) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
37 Hulman Panjaitan, Maraknya Pembajakan Lagu Menunjukkan Rendahnya Pemahaman terhadap
pengertian lagu dengan musik. Lagu merupakan suatu syair atau lirik yang
mempunyai irama38. Sedangkan musik adalah suatu komposisi yang terdiri
dari notasi-notasi yang mempunyai melodi berirama39.
b. Pemilik dan Pemegang Hak Cipta Lagu atau Musik
Yang dimaksud dengan pemilik dan pemegang hak cipta lagu adalah:
a) Pemilik hak cipta adalah pencipta, yaitu seseorang atau beberapa
orang yang dengan kemampuan bakat dan pikiran serta melalui
inspirasi dan imajinasi yang dikembangkannya sehingga dapat
menghasilkan karya yang spesifik dan bersifat pribadi.
b) Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau
pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta sesuai dari batasan
yang tercantum dalam UUHC. Pemegang hak cipta karya musik
substansinya sama dengan pemegang hak cipta karya sastra, hanya
saja dalam praktiknya agak berbeda. Di dalam hak cipta karya musik
biasanya terjadi pemisahan antara pemilik hak cipta (Pencipta),
Pemegang Hak Cipta (Publisher, dll), dan Pengguna Hak Cipta (users)40
38 Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 657. 39Ibid., hlm. 761.
40 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, UndangUndang
Hak cipta yang dianggap sebagai "benda bergerak" seperti yang diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) UUHC bahwa hak cipta dapat dipindahtangankan,
dilisensikan, dialihkan dan dijual oleh pemiliknya, dengan batasan-batasan
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemilik
hak cipta sebagai pemegang hak cipta dalam hal ini sudah sangat jelas
kedudukannya. Di dalam karya musik dapat disimpulkan bahwa seorang
pencipta lagu memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan eksploitasi atas
lagu ciptaannya. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang ingin memanfaatkan
karya tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada penciptanya
sebagai pemilik dan pemegang hak cipta. Sedangkan pengertian umum
pemegang hak cipta di luar penciptanya (bentuk pengalihan) yang selama ini
berkembang banyak berorientasi pada kebiasaan yang berlaku pada hak
cipta karya sastra/tulis.
c. Pengguna dalam Karya Cipta Lagu atau Musik
Pengguna atau user dalam karya cipta lagu atau musik menurut Husain Audah dibagi menjadi:
a) Untuk Mechanical Rights (hak memperbanyak), pengguna atau user
adalah pengusaha rekaman (recording company).
b) Untuk Performing Right (hak mengumumkan), pengguna atau user
adalah badan yang menggunakan karya musik untuk keperluan
c) Untuk Printing Rights, pengguna atau user adalah badan yang menerbitkan karya musik dalam bentuk cetakan, baik notasi (melodi
lagu) maupun liriknya untuk keperluan komersil.
d) Untuk Synchronization Rights, pengguna atau user adalah pelaku yang menggabungkan karya cipta musik (audio) ke dalam
gambar/film (visual) untuk kepentingan komersil.
d. Eksploitasi Ciptaan Lagu atau Musik Melalui Lisensi
Salah satu aspek hak khusus pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
adalah hak ekonomi. Hak ekonomi itu diperhitungkan karena hak kekayaan
intelektual dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian
atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Dengan demikian Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) dapat menjadi obyek perdagangan41.
Hak ekonomi seperti halnya hak moral pada mulanya ada pada
pencipta. Namun jika pencipta tidak akan mengeksploitasinya sendiri,
pencipta dapat mengalihkannya kepada pihak lain yang kemudian menjadi
pemegang hak. Pengalihan hak eksploitasi ekonomi suatu ciptaan biasanya
dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam suatu
perjanjian.
Ada 2 (dua) cara pengalihan hak ekonomi yaitu42: