• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III.FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penghinaan Presiden

Dalam hal upaya penanggulangan kejahatan, berbagai pihak dapat mencegah terjadinya kejahatan penghinaan terhadap presiden. Salah satu yang paling dominan adalah orangtua karena orangtua yang tahu bagaimana tingkah laku

88 https://www.kompasiana.com/aprizkyjunior/5849919b2b7a6a21b5ea44a/maraknya-kata-kasar-kotor-jaman-sekarang (diakses pada 26 Februari 2019 pukul 18.00 WIB)

71

maupun sikap sehari-hari anaknya. Sebagai Orangtua yang baik sudah semestinya harus waspada terhadap perkembangan anak. Selain tempat berlindung, kesejahteraan, pendidikan, orangtua harus bisa memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap perkembagan anak-anaknya.

Orangtua bisa melakukan berbagai hal untuk melakukan edukasi dan pencegahan agar si anak tidak berperilaku buruk justru sebaliknya menjadi manusia berintelegensi tinggi.

1. Upaya Preventif

Yang dimaksud dengan upaya preventif adalah suatu tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan tersebut. Jadi tindakan ini adalah suatu perbuatan upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan jauh sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya ini dapat dilakukan setelah mengetahui terlebih dahulu faktor-faktor sebab-sebab terjadinya kejahatan tersebut. Dengan demikian upaya ini merupakan tugas masyarakat dan penegak hukum secara bersama-sama, dan metode ini dapat dilakukan dengan metode yaitu:89

a. Metode Abolisionistik

Yaitu suatu cara atau upaya penanggulangan kejahatan dengan cara menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, atau dengan kata lain mengilangkan sebab-sebab kejahatan.

89 https://text-id.123dok.com/document/ego5kn6ky-cara-abolisionistik-yaitu-suatu-cara- atau-upaya-penanggulangan-kejahatan-cara-moralistik-yaitu-suatu-upaya-penanggulanagan- kejahatan-dengan-cara-disamping-kedua-cara-tersebut-diatas-upaya-penanggulangan-kejahatan-dapat-usaha-pencegahan-seperti.html (diakses pada 26 Februari 2019 pukul 20.00 WIB)

1. Peran individu

Yang harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus membiasakan hal-hal yang baik agar tidak menjadi pelaku kejahatan, khususnya kejahatan penghinaan terhadap presiden. Salah satunya yaitu tidak membiasakan diri mengucapkan kata kasar atau kotor terhadap individu lainnya, karena jika dibiarkan akan berpotensi bahwa kata kasar atau hinaan itu tidak hanya akan ditujukan kepada orang biasa saja bahkan tidak segan-segan akan menujukan hinaan terhadap orang besar misalnya preisden.

2. Peran Orangtua

Anak yang dididik dengan baik dalam keluarga harmonis memungkinkan mereka memperoleh kepercayaan diri tinggi dan berdaya tahan lebih tangguh sehingga mereka tidak mudah terpengaruh akan hal-hal negatif dari dalam atau luar lingkup masyarakat. Keterbukaan anak terhadap orangtua dalam hal berkomunikasi, membuat anak dapat mengatakan apa saja secara bebas tentang apa yang mereka alami. Eratnya relasi orangtua-anak membantu orangtua memantau pergaulan anaknya mencegah lebih banyak problem yang terkait dengan masalah relasi sosial anaknya. Terbangunya komunikasi dua arah antara orangtua dan anak, maka disini anak dan orangtua akan mendengarkan dan memberikan pendapat masing-masing. Karna biasa yang terjadi adalah anak hanya mendengar saja akan apa yang dikatakan orangtuanya sehingga sering kali anak tidak akan berani memberikan pendapatnya ataupun tentang apa yang dialaminya. Kemudian juga orangtua sebagai teladan kehidupan bertatakramah

73

yang baik maka akan menjadikan arahan positif bagi anak tersebut mengembangkan sikap tatakramah yang baik pula.

b. Metode Moralistik

Yaitu upaya penanggulangan kejahatan dengan cara memberikan penyuluhan hukum, bimbingan agama, pembinaan mental dengan tujuan agar masyarakat tidak menjadi anggota pelanggar aturan.

1. Peran Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu komunitas manusia yang memiliki watak yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga kehidupan masyarakat sangat penting dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu kejahatan dilakukan. Dalam kehidupan bermasyarakat perlu adanya pola hidup yang aman dan tentram sehingga tidak terdapat ruang atau untuk terjadinya kejahatan khususnya kejahatan dibidang asusila dan kesopanan terutama penghinaan terhadap presiden.

Upaya yang dilakukan agar mencegah hal itu yaitu dengan menciptakan suasana yang tidak meyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh masyarakat. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat yaitu mengadakan silahturahmi antara anggota masyarakat yang diisi dengan ceramah-ceramah yang dibawakan oleh tokoh masyarakat dilingkungan tempat tinggal.

2. Peran Penggunaan Internet yang Baik

Sehubungan dengan pemakaian internet, pihak kepolisian ataupun lembaga-lembaga negara lainnya telah membuat situs internet yang berisikan tentang edukasi ataupun pembinaan terhadap mental seseorang menjadi lebih baik. Seperti

lembaga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang menyelenggarakan pembinaan kesadaraan hukum melalui penyuluhan hukum yang bertemakan

“Bijak Menekan Tombol di Internet” lembaga ini mengingatkan banyaknya kasus yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan computer related crime, sekaligus mengedukasi masyarakat untuk memilih dan memilah serta paham atas konsekuensi yang mungkin timbul sebelum bertingkah laku atau bertindak di dunia siber atau internet.90

Disamping kedua cara diatas , upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kehidupan keluarga yang harmonis yaitu dengan cara pemebentukan kesadaran mutu keluarga yang menyatu diatas segala kepentingan lainnya.

2. Upaya Represif

Upaya represif adalah bagaimana kebijakan yang diambil saat sesudah atau ketika terjadinya kejahatan. Dengan tujuan agar kejahatan itu tidak terjadi lagi atau paling tidak memperkecil kasus yang sama lagi.

Upaya penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan dan pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembagga pemasyarakatan.

90 https://jdih.bssn.go.id/berita/penyuluhan-hukum-siber--nasional-bijak-menekan-tombol-di-internet. (diakses pada 26 Februari 2019 pukul 21.00 WIB)

75

Tindakan represif yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan atas perintah atasan tertinggi kepolisian tersebut. Tindakan tersebut harus mendapat perintah dari atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosedur dan lain sebagainya yang mengakibatkan kerugian bagi pelaku ataupun masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab atasan, sehingga aparat yang bekerja dilapangan dalam melakukan tindakan tidak sewenang-wenang. Tindakan tersebut dapat berupa pelumpuhan terhadap pelaku, melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan lain sebagainya.

Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan penyidikan dari kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim pengadilan negeri.

Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksinal kepada pelaku diharapkkan agar pelaku dan calon pelaku mempertimbangkan kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera untuk mengulangi kembali.

Sementara bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap narapidana yang berada di lembaga Pemasyarakatan berupa pembinaan mental agama, penyuluhan hukum serta berbagai macam ketrampilan.

Pemerintah telah memberikan kebijakan dalam upaya pencegahan khususnya diterbitkannya Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) yang diharapkan memberikan kebijakan hukum yang lebih optimal.

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 dikeluarkan, yang menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat

atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi, pemerintah megeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP tahun 2015,yang mengatur kembali perbuatan tersebut sebagai tindak pidana.

Berdasarkan hal itu pemerintah masih berupaya memperbarui hukum menjadi lebih optimal, diakibatkan karena maraknya kembali kasus penghinaan terhadap presiden.

BAB IV

TINJAUAN KASUS PENGHINAAN PRESIDEN ( Putusan Mahkamah Agung Nomor 53 PK/ Pid/ 2010)

A. Perkara Putusan Nomor 53 PK/ Pid/ 2010 a. Kronologi Kasus

Nama Lengkap : DR. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si Tempat Lahir : Jakarta

Umur / Tangga Lahir : 47 Tahun/ 3 Desember 1959 Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Vila Pajajaran Permai Jalan

Sultan Agung No. 1 RT. 05/06 Kelurahan Babakan, Kota Bogor Jawa Barat

Agama : Islam

Pekerjaan : Advokat

Bahwa pada hari selasa, tanggal 03 Januari 2006 sekitar pukul 12.00 WIB, pada awalnya Terdakwa berada di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam rangka kepentingan kliennya atas nama ECW NELOE.

Bahwa selanjutnya ketika berada di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dihadapan orang lain atau dihadapan pers baik dari kalangan media cetak dan elektronik diantaranya Reporter RCTI, TPI, Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan Rakyat Merdeka, Kompas, Republika, yaitu

diantaranya saksi Alexander Zulkarnain (Reporter RCTI), saksi Ubaidillah (kameramen TPI), Terdakwa telah mengemukakan atau mengucapkan perkataan-perkataan yang menyerang nama baik, martabat atau keagungan Presiden Republik Indonesia, yakni diantaranya :

“... yang ingin saya klarifikasi dengan ketua KPK atau jajaran KPK, bahwa ada pengusaha yang memberikan mobil mungkin jenisnya Jaguar kurang lebih begitu, kepada Kementerian Sekab dan Juru Bicara Presiden juga Presiden yang kemudian diapakai oleh anaknya”.

“... oleh karena itu keberanian untuk mengungkap ada pada KPK yang katanya pemberantasan korupsi tidak pandang bulu, ini terjadi disekitar istana dan orang istana yang melakukan”. “... pengusaha itu namanya Hary Tanu, ya pers tahulah”.

Bahwa kata-kata yang dikemukakan atau diucapkan oleh Terdakwa, yang dimaksudkan Terdakwa Presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia saat itu, dan Terdakwa mengetahui bahwa kata-kata yang dikemukakannya atau diucapkannya akan didengarkan dan diketahui oleh Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) serta orang lain, sebab diucapkan dihadan pers baik dari kalangan media cetak maupun elektronik yang akan menyiarkan sehingga akan didengarkan dan diketahui pula oleh seluruh Rakyat Indonesia.

b. Dakwaan

Bahwa dia terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H., Msi, pada hari Selasa 03 Januari 2006 sekitar Pukul 12.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun

79

2006, bertempat di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III Nomor 2 Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, “ dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden, dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku dimuka umum, maupun tidak dimuka umum dengan lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau dihadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung “ sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 134 jo. Pasal 136 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c. Fakta-fakta Hukum (Pembuktian)

Sistem pembuktian hukum di Indonesia khususnya hukum pidana menganut sistem pembuktian negatif (negatief wetelijk stelsel). Sistem pembuktian negatif adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Sesuai dengan pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”.91

91 Andy Sofian, Hukum Acara Pidana, Prenamedia Group. Jakarta, 2014, hal 235

Dalam pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengakui terdapat 5 alat bukti yang menjadi dasar bagi hakim untuk menilai bersalah atau tidak bersalahnya seseorang. Kelima alat bukti tersebut ialah :92

1. Keterangan Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa;

Berkaitan dengan alat bukti tersebut, maka didalam kasus Penghinaan Terhadap Presiden yang dilakukan oleh Eggy Sujana, polisi telah menemukan sejumlah barang-barang bukti sebagaimana yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST. Di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST telah diungkapkan fakta-fakta hukum berupa barang-barang bukti yang di dapat dalam kasus Penghinaan Presiden yang dilakukan oleh terdakwa Eggi Sudjana.

Barang-barang bukti itu berupa:

1. Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tanggal 03 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No, 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI.

2. Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tangal 03 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, Reporter RCTI.

92 Andy Sofyan, Op.Cit, 2014, hal 237

81

d. Tuntutan

Berdasarkan surat tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 18 Januari 2007 yang isinya sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si bersalah melakukan tindak pidana “Penghinaan Presiden” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP.

2. Menuntut untuk menjatuhkan pidana terhadapnya dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan.

3. Memerintah barang bukti berupa :

- Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tanggal 03 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No, 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI.

- Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tangal 03 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, Reporter RCTI.

Agar tetap terlampir dalam berkas acara.

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).

e. Putusan Hakim

1. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (No.1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST) tanggal 22 Februari 2007 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

- Menyatakan terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si tersebut, telah terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah: melakukan tindak pidana “Penghinaan terhadap Presiden”

- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga bulan), dengan perintah bahwa pidana itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, oleh karena terpidana sebelum lewat 6 (enam) bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat dipidana:

- Memerintah barang bukti berupa:

a. Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tanggal 03 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No, 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI.

b. Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tangal 03 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, Reporter RCTI.

Tetap terlampir dalam berkas acara.

- Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.

1000.- (seribu rupiah)

2. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (No. 159/PID/2007/PT.DKI) tanggal 07 Juni 2007 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

- Menerima permintaan banding dari terdakwa tersebut

83

- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ( No.

1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST) dengan perbaikan mengenai kwalifikasi kesalahan terdakwa sehingga amar selengkapnya sebagai berikut

a. Menyatakan terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H, M.Si tersebut, telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah: melakukan tindak pidana “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden”

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga bulan), dengan perintah bahwa pidana itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, oleh karena terpidana sebelum lewat 6 (enam) bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat dipidana:

c. Memerintah barang bukti berupa:

- Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tanggal 03 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No, 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI.

- Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tangal 03 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, Reporter RCTI.

Tetap terlampir dalam berkas acara.

d. Membebankan biaya perkara sebesar kepada terdakwa dalam kedua tingakt peradilan dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 1000.- (seribu rupiah)

3. Putusan Mahkamah Agung

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 70 K/Pid /2008 tanggal 24 September 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi /Terdakwa: Dr.

Eggi Sudjana, S.H, Msi tersebut;

b. Membebankan Pemohon Kasasi /Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500, - (dua ribu lima ratus rupiah);

c. Membaca surat permohonan peninjauan kembali tertanggal 11 Juni 2010 yang di terima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 11 Juni 2010 dari terdakwa sebagai terpidana , yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali;

Membaca surat - surat yang bersangkutan ;

Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 26 Agustus 2009 dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;

Menimbang, bahwa alasan- alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa dalam putusan a quo, Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangannya menyatakan “bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ) tidak salah menerapkan hukum/melanggar hukum” ,

85

senyatanya pertimbangan tersebut adalah salah atau merupakan pertimbangan hukum yang nyata - nyata khilaf atau keliru karena hal-hal sebagai berikut :

a) Bahwa Judex Facti cenderung telah melanggar hukum karena tidak menerapkan peraturan hukum dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah Konsitusi No. 13-22/PUU- IV/2006 tanggl 4 Desember 2006, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

MENGADILI :

- Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya;

- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis , dan Pasal 137 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;

- Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ; - Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara

sebagaimana mestinya;

b) Bahwa dengan demikian , terbukti secara sah menurut hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya menguntungkan pemohon, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir menguji undang- undang i.c Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dengan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 c ayat (1)

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo . Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah dikesampingkan atau di langgar oleh Judex Facti ;

c) Bahwa Prof . DR. H. M. Laica Marzuki, S.H. , dalam bukunya “Berjalan di Ranah Hukum” , Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI,menyatakan :

“Bahwa yang dimaksud dengan pengujian Undang-Undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 (c ) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut diatas adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang- undang, yakni menguji sejauh mana undang- undang yang bersangkutan bersesuaian atau bertentangan ( tegengesteld ) dengan Undang- Undang Dasar. Constitutieisdehoogste wet?

manakala Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang- undang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar maka undang- undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat ” ;

Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Materi terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP amarnya telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis , dan Pasal 137 KUHP berten tangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya,

87

akan tetapi telah dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti dalam mengadili dan menjatuhkan pidana pada pemohon peninjauan ;

Dengan demikian terbukti putusan a quo telah salah atau khilaf dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum berkenaan dengan eksistensi dan daya laku Pasal 134, Pasal 136 bis , dan Pasal 137 KUHP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 13- 22/PUU- IV/2006 tangga l 4 Desember 2006 ;

2. Bahwa terbukti pertimbangan hukum dalam putusan a quo telah dipertimbangkan secara keliru dan khilaf dan cenderung bertentangan dengan konstitusional ataupun undang- undang, berdasarkan hal - hal sebagai berikut :

a.1. Bahwa secara nyata putusan a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. ” a.2. Bahwa DR. NY. Komariah Emong Sapardjaja, S.H dalam bukunya

“ jaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Bandung: Alumni, 2002, hal . 5- 6, mengutip M.S.

Groenhuijsen, menyatakan sebagai beriku t :

“ . . . ada empat makna yang terkandung dalam pasal ini. Dua dari yang pertama di tujukan kepada pembuat undang- undang (de wetgevende

macht ) , dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, bahwa pembuat undang- undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, dan keempat terhadap peraturan hukum pidana di larang diterapkan analogi. ”

a.3. Bahwa selanjutnya DR. NY. Komariah Emong Sapardjaja,S.H dalam bukunya yang sama, pada hal 6- 7, mengutip Lieven Dupont , menyatakan sebagai berikut: “ sas ini mengandung asas perlindungan, yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenangwenangan penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu Negara hukum liberal pada waktu itu. Sekarang pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun tunduk pada aturan- aturan hukum yang telah di tetapkan.”

a.4. Bahwa dengan demikian, prinsip “nullum delictum” yang menggariskan bahwa seseorang baru dapat dinyatakan telah melakukan

“perbuatan pidana” , yaitu apabila perbuatan yang telah diperbuat tersebut, terlebih dahulu dalam suatu undang- undang dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang di lakukan sebagai suatu perbuatan yang dilarang

89

dilakukan orang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, dari ketentuan tersebut terlihat adanya kehendak bahwa hanya pembentuk undang- undang sajalah yang dapat menentukan perbuatan apa dan yang bagaimanakah yang dilarang dan diancam pidana.

Dengan katalain Hakim tidak diberi kebebasan untuk menentukan bahwa

Dengan katalain Hakim tidak diberi kebebasan untuk menentukan bahwa

Dokumen terkait