TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Uraian Kimia .1 Alkaloida .1 Alkaloida
Alkaloida adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan dialam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan pada sebagian besar alkaloid atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006). Menurut Harborne, alkaloida adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik. Disamping itu alkaloida dapat didefinisikan sebagai suatu senyawa yang mengandung nitrogen, bersifat basa, terdapat pada tanaman dalam jumlah yang relatif kecil dan mempunyai aktivitas farmakologi. Pengertian ini terlalu luas, karena tidak semua senyawa yang mengandung nitrogen merupakan alkaloida. Protein, klorofil, asam amino misalnya bukanlah alkaloida walaupun mengandung nitrogen. Hegnauer memberikan batasan bahwa alkaloida adalah senyawa bersifat toksik yang bekerja terhadap sistem syaraf pusat, bersifat basa, mengandung nitrogen heterosiklik, disintesa dalam tumbuhan dari asam amino atau turunannya dan umumnya tersebar pada tumbuh-tumbuhan (Farnsworth, 1966).
Klasifikassi alkaloida menurut Hegnauer (Farnsworth, 1966) adalah sebagai berikut:
1. Alkaloida Sejati
Alkaloida ini dibentuk atau berasal dari asam amino yang umumnya mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan kebanyakan bersifat basa seperti vinkristina dan reserpina, kecuali kolkisina yang tidak mempunyai cincin heterosiklik dan tidak bersifat basa.
N O O O O N O O O HN N OH
Gambar 2.1 Struktur alkaloida vinkristina
N H N O H3CO OCH3 OCH3 OCH3 H COOCH3 H H OCH3 O
O O O O N C CH3 H3C H3C O H3C H3C
Gambar 2.3 Struktur alkaloida kolkisina 2. Protoalkaloida
Alkaloida ini dibentuk dari asam amino, tetapi unsur nitrogennya tidak terikat pada cincin heterosiklik dan bersifat basa. Contohnya meskalina dan efedrin. O CH3 O CH3 NH2 O CH3
Gambar 2.4 Struktur alkaloida meskalina
CH3 OH
HN CH3
3. Pseudoalkaloida
Alkaloid ini merupakan alkaloida bukan turunan asam amino, pada umumnya mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan biasanya bersifat basa. Alkaloida yang penting dari golongan ini adalah alkaloida golongan purina seperti kafeina.
N
N
N H N
Gambar 2.6 Struktur alkaloida golongan purin
N
N N
N O
O
Gambar 2.7 Struktur alkaloida kafeina
Menurut Evans (2009), pembagian alkaloida berdasarkan letak atom nitrogen adalah:
A. Non heterosiklik atau atipikal alkaloida, disebut juga protoalkaloida atau amin biologis misalnya efedrina yang terdapat dalam Ephedra distachya.
B. Heterosiklik atau tipikal alkaloida yang dibagi kedalam 12 grup berdasarkan struktur cincinnya, yaitu:
1. Alkaloida golongan pirol dan pirolidina, contohnya higrina pada tumbuhan Erythroxylon coca.
H N
Gambar 2.8 Struktur alkaloida golongan pirol
H N
Gambar 2.9 Struktur alkaloida golongan pirolidin
N CH3
H2
C C CH3
O
Gambar 2.10 Struktur alkaloida higrina
2. Alkaloida golongan pirolizidina, contohnya retronesina pada Crotalaria retusa.
N
Gambar 2.11 Struktur alkaloida golongan pirolizidina
N HO
OH
H
3. Alkaloida golongan piridina dan piperidina, contohnya nikotin pada tumbuhan Nicotiana tabaccum dan koniin pada tumbuhan Conium maculatum.
N
Gambar 2.13 Struktur alkaloida golongan piridina
N
N
CH3
Gambar 2.14 Struktur alkaloida nikotina
H N
Gambar 2.15 Struktur alkaloida golongan piperidina
N
H CH2
H2
C
CH3
Gambar 2.16 Struktur alkaloida koniin
4. Alkaloida golongan tropan, contohnya atropin pada tumbuhan Atropa belladonna.
Gambar 2.17 Struktur alkaloida tropan
CH3 N OCCH H3C HO O
Gambar 2.18 Struktur alkaloida atropin
5. Alkaloida isokuinolina, contohnya papaverina pada tumbuhan Papaver somniferum.
N
Gambar 2.19 Struktur alkaloida golongan isokuinolina
N
H3CO
H3CO
OCH3
OCH3
6. Alkaloida golongan kuinolizidina, contohnya sitisina pada tumbuhan Cytisus scoparius.
N
Gambar 2.21 Struktur alkaloida golongan kuinolizidina
N H
H NH
O
Gambar 2.22 Struktur alkaloida sitisina
7. Alkaloida golongan kuinolina, contohnya kuinina pada tumbuhan Cinchona ledgeriana.
N
Gambar 2.23 Struktur alkaloida golongan kuinolina
CH HO N CH OH3C CH2
8. Alkaloida golongan indol, contohnya reserpina pada tumbuhan Rauwolfia serpentina.
H N
Gambar 2.25 Struktur alkaloida golongan indol
N H N O H3CO OCH3 OCH3 OCH3 H COOCH3 H H OCH3 O
Gambar 2.26 Struktur alkaloida reserpina 9. Alkaloida golongan aporfina, contohnya morfina pada tumbuhan
Papaver somniferum.
N
10.Alkaloida golongan imidazol, contohnya pilokarpina pada tumbuhan Pilocarpus jaborandi.
H N
N
Gambar 2.28 Struktur alkaloida golongan imidazol
N N O O CH3 CH3
Gambar 2.29 Struktur alkaloida pilokarpina
11.Alkaloida golongan purina, contohnya kafeina pada tumbuhan Coffea arabica. N N N H N
Gambar 2.30 Struktur alkaloida golongan purina
N
N N
N O
O
12.Alkaloida golongan steroida, contohnya solanidina pada tumbuhan Solanum tuberosum.
Gambar 2.32 Struktur alkaloida golongan steroida
N HO CH3 CH3 H3C CH3
Gambar 2.33 Struktur alkaloida solanidina
Fungsi alkaloida dalam tumbuhan belum diketahui secara pasti, kemungkinan berfungsi sebagai penarik atau penghalau serangga, ataupun dapat bersifat sebagai zat pengatur tumbuh. Namun dari hasil pengamatan ternyata sebagian besar tumbuhan dapat melangsungkan kehidupan tanpa melibatkan alkaloida. Hal ini menunjukkan bahwa alkaloida dalam tumbuhan tidak begitu penting peranannya dan belum dapat dimengerti jelas (Harborne, 1987).
Alkaloida yang telah diisolasi berbentuk kristal dengan titik lebur tertentu. Beberapa diantaranya berbentuk amorf dan sebagian kecil berbentuk cair seperti nikotina dan koniina. Kebanyakan alkaloida tidak berwarna, tetapi alkaloida yang berstruktur kompleks dan mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi kebanyakan berwarna, misalnya: berberina berwarna kuning, betanina berwarna merah. Alkaloida dalam bentuk basa bebas umumnya larut dalam pelarut organik (Cordell, 1981).
Sifat alkaloida yang paling umum adalah basa lemah, kebasaan dari alkaloida ini bergantung pada ketersediaan pasangan elektron sunyi dari nitrogen (Cordell, 1981). Bila gugus fungsi yang berdekatan dengan nitrogen bersifat sebagai penolak elektron, seperti gugus alkali, maka ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan bertambah, mengakibatkan alkaloida bersifat lebih basa. Sebaliknya bila gugus fungsi yang melekat pada nitrogen bersifat sebagai penarik elektron, seperti gugus karbonil maka ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan berkurang, mengakibatkan alkaloida bersifat netral bahkan sedikit bersifat asam (Lenny, 2006).
Sifat kebasaan alkaloida sangat berpengaruh terhadap kestabilannya. Alkaloida dapat terurai oleh pengaruh oksigen, panas dan cahaya. Penguraian alkaloida selama atau setelah isolasi dapat menjadi masalah yang serius jika disimpan dalam waktu lama. Pembentukan garam dengan asam organik seperti tartrat, sitrat atau asam anorganik seperti asam klorida, asam sulfat dapat mengurangi penguraian alkaloida (Cordell, 1981).
2.2.2 Glikosida
Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Glikosida dihidrolisis dengan cara pendidihan dalam asam encer. Secara kimia dan fisiologi, glikosida alam cendrung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).
Berdasarkan hubungan ikatan antara glikon dan aglikonnya, glikosida dapat dibagi menjadi empat (Farnsworth, 1966) yaitu:
1. O-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom O, contohnya: salisin
CH2OH
O
C6H11O5
Gambar 2.34 Struktur salisin
2. S-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom S, contohnya: sinigrin
CHCH2C
CH
2NOSO
3K
C
6H
11O
5S
3. N-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom N, contohnya: krotonosida
N N N N NH2 OH C5H9O4
Gambar 2.36 Struktur kronotosida
4. C-glikosida, jika ikatan antara glikon dengan aglikon dihubungkan oleh atom C, contohnya: barbaloin
OH
H C6H11O5
CH2OH
OH O
Gambar 2.37 Struktur barbaloin
2.2.3 Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat, dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air, pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1995). Uji saponin yang sederhana ialah dengan mengocok ekstrak alkohol air dari tumbuhan dalam tabung reaksi, maka akan terbentuk busa yang bertahan lama pada permukaan cairan (Harborne, 1987). Saponin juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar
berdasarkan kemampuannya menghemolisis sel darah dan memberikan reaksi warna yang karakteristik pada uji Liebermann-Burchard (Farnsworth, 1966).
Berdasarkan bagian glikonnya dikenal dua jenis saponin, yaitu saponin steroida dan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966).
O O HO CH3 CH3 H3C CH3
Gambar 2.38 Struktur sapogenin steroida
HO
COOH
Gambar 2.39 Struktur sapogenin triterpenoida 2.2.4 Triterpenoida/steroida
Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isopren dan secara biosintesis dibuat dari senyawa
Gambar 2.40 Struktur skualena
Steroida merupakan triterpen yang mempunyai inti siklopentano perhidrofenantren (Harborne, 1987). Inti steroida dasar sama dengan inti kolesterol, tetapi pada posisi 10 dan 13 terdapat gugus metal yang terikat pada sistem cincin. Pada umumnya steroida tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3 sehingga steroida sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). 2 3 4 5 1 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 20 19 21 22 23 24 25 26 27
2.2.5 Flavonoida
Flavonoida merupakan salah satu metabolit sekunder. Keberadaannya dalam daun kemungkinan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda belum terlalu banyak mengandung flavonoida (Markham, 1988). Senyawa flavonoida mempunyai struktur C6-C3-C6. Tiap bagian C6 merupakan cincin benzena yang dihubungkan oleh atom C3 yang merupakan rantai alifatik (Sastrohamidjojo, 1996; Markham, 1988).
Flavonoida umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosida. Flavonoida terdapat dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai glikosida. Glikosidanya larut dalam air dan etanol tapi tidak larut dalam pelarut organik, sedangkan geninnya (aglikon) tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut-pelarut organik.
Klasifikasi flavonoida dalam tumbuhan berdasarkan sifat kelarutannya dan reaksi-reaksi warnanya, kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kertas satu dimensi dari ekstrak terhidrolisis dan dua dimensi dari ekstrak alkohol langsung. Kerangka dan skema pemberian nomor dan tipe-tipe flavonoiida adalah sebagai berikut:
O 1 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 O
O
O
OH
Gambar 2.43 Struktur flavonoida golongan flavonol
O
O
Gambar 2.44 Struktur flavonoida golongan isoflavon
O
O
Gambar 2.45 Struktur flavonoida golongan flavonon
O
O
OH
O
O
CH
Gambar 2.47 Struktur flavonoida golongan auron
O
Gambar 2.48 Struktur flavonoida golongan khalkon
O OH OH OH OH HO
Gambar 2.49 Struktur flavonoida golongan katekin
O
HO OH
OH
O+
OH
Gambar 2.51 Struktur flavonoida golongan antosianidin
2.2.6 Tanin
Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein (Harbone, 1987).
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1987) yaitu : 1. Tanin terkondensasi
Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin.