• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Teoritis

Ndraha dalam Tika (2006:2), mengemukakan definisi budaya menurut Edward Burnett dan Vijay Sathe sebagai berikut:

a. Edward Burnett

Mengatakan bahwa budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat.

b. Vijay Sathe

Mengatakan bahwa budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan (Triguna, 1995:3).

Wolseley dan Camplbell dalam Triguna (1995:9) menyatakan bahwa orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap:

1. Menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran;

2. Memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak menyukai penyimpangan dan pertentangan;

3. Berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya;

4. Mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiaban dalam bidangnya;

5. Memahami dan menghargai lingkungannya;

6. Berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangga, masyarakat dan organisasinya serta penuh rasa tanggung jawab.

Keberhasilan pelaksanaan program budaya kerja antara lain dapat dilihat dari peningkatan tanggung jawab, peningkatan kedisiplinan dan kepatuhan pada norma/aturan, terjalinnya komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan semua tingkatan, peningkatan partisipasi dan kepedulian, peningkatan kesempatan untuk pemecahan masalah serta berkurangnya tingkat kemangkiran dan keluhan.

2.1.1.1 Terbentuknya Budaya Kerja

Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang

dalam organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan kritik yang bersifat membangun dari ruang lingkup pekerjaaannya demi kemajuan di lembaga pendidikan tersebut, namun budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan adanya perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan pikirannya, karena setiap individu mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidangnya masing-masing (Kreitner dan Kinicki, 2003:127).

Untuk memperbaiki budaya kerja yang baik membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk merubahnya, maka itu perlu adanya pembenahan-pembenahan yang dimulai dari sikap dan tingkah laku pemimpinnya kemudian diikuti para bawahannya, terbentuknya budaya kerja diawali tingkat kesadaran pemimpin atau pejabat yang ditunjuk dimana besarnya hubungan antara pemimpin dengan bawahannya sehingga akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam perangkat satuan kerja atau organisasi.

Maka dalam hal ini budaya kerja terbentuk dalam satuan kerja atau organisasi itu berdiri, artinya pembentukan budaya kerja terjadi ketika lingkungan kerja atau organisasi belajar dalam menghadapi permasalahan, baik yang menyangkut masalah organisasi.

1. Disiplin, yaitu perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang berlaku di dalam maupun di luar perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur, berlalu lintas, waktu kerja, berinteraksi dengan mitra, dan sebagainya.

2. Keterbukaan, yaitu kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dari dan kepada sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan. 3. Saling menghargai, yaitu perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap

individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesama mitra kerja.

2.1.1.2 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Menurut Pascale dan Athos dalam Tika (2006:14) fungsi utama budaya organisasi adalah sebagai berikut:

a. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain. Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu organisasi atau kelompok yang tidak dimiliki organisasi atau kelompok lain.

b. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi.

Hal ini merupakan bagian dari komitmen kolektif dari karyawan. Mereka bangga sebagai seorang karyawan suatu organisasi atau perusahaan. Para karyawan mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan rasa tanggung jawab atas kemajuan perusahaannya.

c. Mempromosikan stabilitas sistem sosial.

Hal ini tergambarkan dimana lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung dan konflik serta perubahan diatur secara efektif.

d. Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Dengan dilebarkannya mekanisme kontrol, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim dan diberi kuasanya karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang diarahkan kearah yang sama.

e. Sebagai integrator.

Budaya organisasi dapat dijadikan sebagai integrator karena adanya sub-sub budaya baru. Kondisi seperti ini dialami oleh adanya perusahaan-perusahaan besar dimana setiap unit terdapat sub budaya baru.

f. Membentuk perilaku bagi para karyawan

Fungsi seperti ini dimaksudkan agar para karyawan dapat memahami bagaimana mencapai tujuan organisasi.

g. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah organisasi pokok organisasi. Masalah utamanya yang sering dihadapi organisasi adalah masalah adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal.

h. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan.

Fungsi organisasi atau perusahaan adalah sebagai acuan untuk menyusun perencanaan pemasaran, segmentasi pasar, menentukan positioning yang akan dikuasai perusahaan tersebut.

i. Sebagai alat komunikasi.

Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau sebaliknya serta antara anggota organisasi.

j. Sebagai penghambat berinovasi.

Budaya organisasi dapat juga sebagai penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya organisasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan eksternal dan integrasi internal.

2.1.1.3 Pembagian Budaya Kerja

Menurut Paramita dalam Ndraha (1999:81), budaya kerja dapat dibagi menjadi :

a. Sikap terhadap pekerjaan

Yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.

Sikap terhadap pekerjaan dipengaruhi oleh: 1) Pengetahuan dan informasi kerja 2) Kesadaran akan kepentingan b. Perilaku waktu bekerja

Seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya dan bersahabat seperti suka membantu sesama karyawan atau sebaliknya.

2.1.1.4 Budaya Kuat Versus Budaya Lemah

Menurut Robbins (2008:259), budaya yang kuat mempunyai dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan. Dalam budaya yang kuat, nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung tinggi secara bersama. Budaya organisasi itu kuat, lemah atau diantaranya tergantung pada faktor-faktor seperti ukuran organisasi itu, berupa lama organisasi itu telah berdiri, berapa banyak angka penggantian di antara karyawan dan intensitas asal muasal budaya tersebut.

2.1.2 Komitmen

Becker dalam Panggabean (2002:127) menggambarkan komitmen sebagai kecenderungan untuk terikat dalam garis kegiatan yang konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan yang lain (berhenti bekerja).

Mowdy, Porter & Steer dalam Munandar (2004:75), komitmen adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi

b. Mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya

c. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan organisasinya

2.1.2.1. Bentuk-Bentuk Komitmen Karyawan

Allen dan Meyer (dalam Luthans, 2006:249) menjelaskan ada tiga bentuk dalam komitmen karyawan yaitu:

a. Komitmen afektif adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi.

b. Komitmen kelanjutan adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi.

c. Komitmen normatif adalah seberapa jauh seorang karyawan secara psikologi atau kejiwaan terikat untuk menjadi karyawan dari seluruh organisasi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, kehangatan, pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan dan lain-lain.

2.1.2.2. Konsekuensi dari Komitmen Karyawan

Menurut Greenberg dan Baron (2000:184), konsekuensi dari komitmen yaitu:

a. Karyawan yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri. Semakin besar komitmen karyawan pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen mendorong karyawan untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada disana.

b. Karyawan yang memiliki komitmen bersedia untuk berkorban demi organisasinya. Karyawan yang memiliki komitmen menunjukka n kesadaran tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan.

2.1.2.3. Motif yang Mendasari Komitmen Karyawan

Ada dua motif yang mendasari sesorang untuk berkomitmen pada organisasi atau unit kerjanya (Reichers dalam Munandar, 2004:79) antara lain:

a. Side-best orientation

Hal ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang dialami atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh individu kepada organisasi apabila meninggalkan organisasi tersebut. Dasar pemikiran ini adalah bahwa meninggalkan organisasi akan merugikan karena takut kehilangan hasil kerja kerasnya yang tidak bisa diperoleh dari tempat lain.

b. Goal-congruance orientation

hal ini memfokuskan pada tingkat kesesuaian antara tujuan personal individu dan organisasi sebagai hal yang menentukan komitmen pada organisasi. Pendekatan ini menyatakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi dengan goal-congruance orientation akan menghasilkan karyawan yang memiliki penerimaan atas tujuan dan nilai-nilai organisasi, keinginan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, serta hasrat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

2.1.3 Kinerja Karyawan

Menurut Mangkunegara (2009:9), kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Mahsun (2006:25), kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.1.3.1 Penilaian Kinerja Karyawan

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian kinerja karyawan yaitu:

a. Karakteristik situasi

b. Deskripsi pekerjaan, spesialisasi pekerjaan dan standar kinerja c. Tujuan-tujuan penilaian kinerja

d. Sikap para karyawan dan manajer terhadap evaluasi

Dokumen terkait