BAB 1 PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori
3. Urgensi dan Pengembangan Budaya Religius di Sekolah
27
1) Faktor sosial, mencakup semua tekanan sosial, semua pengaruh social dalam perkembangan sikap keagamaan seperti pendidikan yang diterima sejak masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang disekitar dan tradisi yang diterima dari masyarakat. 2) Faktor Moral, yaitu pengalaman konflik antara religius prilaku yang
oleh seseorang dianggap akan membimbingnya ke arah yang lebih baik dan rangsangan-rangsangan yang dimatanya tampak tidak didapat didalamnya terdapat pengalaman mengenai perpecahan, keselarasan dan kebaikan dunia.
3) Faktor Emosional Tertentu, yaitu faktor yang sepenuhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri juga perasaan kematian.
4) Faktor Intelektual, manusia adalah mahluk yang berfikir, salah satu akibat dari pemikiran manusia adalah bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan keyakinan yang harus diterimanya33
3. Urgensi dan Pengembangan Budaya Religius di Sekolah
Lembaga pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa dan sikap religiusitas pada siswa. Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa kegamaan pada anak. Pendidikan agama pada
33
Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Terjemahan. Machmud Husein (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 19.
28
hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan selaras dengan tuntunan agama. Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Pembiasaan ini dapat dilakukan melalui pengulangan dan disengaja dan direncanakan.34 Oleh karena itu diciptakannya budaya yang religius sesuai norma dan nilai-nilai Islam akan berpengaruh dan membentuk karakter, moral dan religiusitas peserta didik.
Jika sekolah ingin menghasilkan Pendidikan Agama Islam dengan output siswa yang religius maka sekolah yang bersangkutan harus menciptakan kultur sekolah yang kondusif. Budaya religius sekolah merupakan cara berpikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Dengan demikian, secara umum terdapat empat komponen yang mendukung terhadap keberhasilan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya sekolah yang religius, yaitu:
1) Kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap pengembangan PAI
2) Keberhasilan kegiatan belajar mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama, semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS, khususnya seksi agama
34
29
3) Dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan pengembangan PAI.35
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah untuk selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekoloh terhadap nilai yang telah disepakati. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hicman dan Silva, sebagaimana dikutip Purwanto, bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya, yaitu
commitment, competence dan consistency36 Umumnya, budaya mengacu
pada seperangkat nilai – nilai, sikap, kepercayaan, dan norma. Penciptaan budaya sekolah yang bersifat religius pada Tuhan-Nya dapat diterapkan dengan mengadakan kegiatan keagamaan seperti sholat berjama‘ah, khatmil qur‘an, istigotsah bersama, dan sebagainya. Sedangkan penciptaan budaya yang religius secara horizontal yaitu melalui penanaman nilai-nilai saling menghormati, kejujuran, dan sebagainya.
Dalam meningkatkan budaya sekolah yang bersifat religius menurut muhaimin, ada tiga macam pendekatan. Pertama, pendekatan struktural yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi komitmen dan kebijakan pimpinan sekolah.
Kedua, pendekatan formal, yaitu strategi pengembangan PAI dalam
mewujudkan budaya religius sekolah dengan mengoptimalkan KBM PAI.
35
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 157. 36
30
Ketiga, pendekatan mekanik yaitu terintegrasi dengan bidang studi yang
lain dan segala aspek kehidupan.37 Dalam tataran praktik keseharian,
nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1) Sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah 2) Penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan
langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut dan pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan atau siswa sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen serta loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi yang bersifat ekonomis, melainkan juga dalam arti sosial, kultural, psikologik ataupun lainnya.
3) Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol-simbol budaya yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan
37
31
hasil karya siswa, foto-foto dan motto yang mengandung pesan-pesan serta nilai–nilai keagamaan dan lainnya.
Adapun strategi untuk menanamkan nilai-nilai religius di sekolah dapat dilakukan melalui tiga jalan. Pertama adalah power strategy, yaitu strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people's power. Dalam hal ini yang Pertama, adalah peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan. Kedua, adalah persuasive strategy yang dilaksanakan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah. Ketiga adalah normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan melalui pendidikan. Normative digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir warga sekolah yang lama dengan yang baru.
Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan reward dan punishment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yaitu membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi
32
warna dan arah perkembangan.38 Pengembangan budaya sekolah berbasis religius dalam lingkungan sekolah merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama kepada siswa dengan tujuan untuk dapat memperkokoh keimanan serta menjadi pribadi yang memiliki kesadaran beragama dan berakhlak mulia.
Hal ini sangat penting karena kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional dan dapat mempengaruhi sikap, sifat, dan tindakan siswa secara tidak langsung. Sekolah bukan hanya mengajarkan pengajaran agama sebagai ilmu pengetahuan saja, tetapi melalui budaya sekolah yang telah diterapkan, kita juga harus membuktikan bahwa siswa juga mempunyai religiusitas yang tinggi sehingga terjadi peningkatan sesuai tujuan yang diharapkan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diprediksikan bahwa budaya sekolah akan berpengaruh langsung terhadap tingkat religiusitas siswa.