• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi wirausaha dalam usaha sapi potong mempunyai variabel- variabel yang berhubungan positif dan signifikan. Salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri adalah karakteristik individu santri meliputi umur, pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan, pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren, dan motivasi mengikuti pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba. Karakteristik santri merupakan faktor internal yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Adapun hipotesis penelitian ini menduga berhubungan positif yang signifikan antara karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong.

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha yang dimilikinya pada usaha sapi potong adalah uji korelasi Rank Spearman karena data-data yang diolah merupakan data yang berbentuk skala ordinal. Hasil pengujian hubungan karakteristik santri dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Pengujian Hubungan antara Karakteristik Santri dengan Kompetensi Wirausaha Santri.

Karakteristik Santri

Kompetensi Wirausaha Santri

Kompetensi Teknis Kompetensi Manajerial

Koefisien (rs) p-value Koefisien (rs) p-value

Umur -0,261 0,219 -0,120 0.576

Pekerjaan Orangtua 0,265 0,211 0,192 0,370

Tingkat Pendidikan -0,184 0,390 0,076 0,724

Pengalaman Berwirausaha sebelum Masuk Pesantren

-0,037 0,865 0,338 0,106

Motivasi Mengikuti Pendidikan

Hasil analisis data berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa karakteristik santri tidak berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerialnya. Hal ini didasarkan dari hasil uji korelasi

Rank Spearman yang menunjukkan bahwa p-value semua variabel karakteristik santri lebih besar dari sign correlation sebesar 0,05 atau 5 persen. Makna dari hasil uji korelasi tersebut adalah tidak terdapat hubungan positif signifikan antar variabel. Semua variabel karakteristik tersebut tidak menjamin santri mempunyai kompetensi wirausaha pada usaha sapi potong. Hubungan antara variabel-variabel karakteristik santri dengan kompetensi wirausahanya pada usaha sapi potong berdasarkan Tabel 6 dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

7.1 Hubungan antara Umur dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Salah satu variabel dalam karakteristik santri yang diduga berhubungan dengan kompetensi wirausahanya adalah umur. Umur dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu muda, sedang, dan tua. Santri yang tergolong muda terdiri dari 58 persen, tergolong sedang 25 persen, dan tergolong tua 17 persen. Umur menurut Staw (1991) dalam Riyanti (2003) dapat mempengaruhi kompetensi dalam berwirausaha, semakin bertambahnya usia seseorang yang berwirausaha maka semakin banyak pengalaman di bidang usahanya dan usia sangat terkait dengan keberhasilan sebuah usaha. Akan tetapi berdasarkan uji korelasi Rank Spearman yang terlampir pada Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa umur tidak berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong yang berarti teori Staw tersebut tidak berlaku dalam penelitian ini.

Kompetensi wirausaha santri dapat dimiliki oleh berbagai kalangan umur. Karena semakin tua umur santri yang menempuh pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba tidak menjamin memiliki pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) dalam berwirausaha sapi potong. Kompetensi wirausaha saat ini tidak hanya dimiliki seseorang yang kategori umurnya tua, banyak wirausahawan saat ini berumur muda.

7.2 Hubungan antara Pekerjaan Orang Tua dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Pekerjaan orang tua diduga berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Pekerjaan orang tua dibagi menjadi dua kategori, yaitu non-wiraswasta dan wiraswasta. Data yang didapat, non-wiraswasta 42 persen dan wiraswasta 58 persen. Pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta sangat berpengaruh pada kompetensi wirausaha seseorang, sebagaimana yang disebutkan Staw (1991)

dalam Riyanti (2003). Wirausahawan mempunyai orang tua yang bekerja mandiri atau berbasis sebagai wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua akan melekat dalam diri anak-anaknya sejak kecil. Relasi dengan orang tua yang berwirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang menjadi wirausaha.

Kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial berdasarkan Tabel 6 tidak berhubungan positif yang signifikan dengan pekerjaan orang tua. Teori Staw (1991) dalam Riyanti (2003) dalam penelitian ini tidak berlaku. Pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta maupun non-wiraswasta tidak menjamin santri memiliki kompetensi wirausaha pada usaha sapi potong. Meskipun ada beberapa santri yang menyatakan berhubungan, salah satunya ungakapan dari PY, santri Perwira Aba.

“Pekerjaan orang tua saya adalah peternak ikan, dan itu

berpengaruh sekali terhadap mental wirausaha saya mbak. Karena

dari kecil, saya sudah diajari untuk menjadi seorang pengusaha”

7.3 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Salah satu variabel karakteristik santri yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong adalah tingkat pendidikan santri. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang sekolah yang ditempuh sebelum masuk Perwira Aba. Dikategorikan menjadi tiga, yaitu rendah (Tamat SD/MI), sedang (tamat SMP/MTs), dan tinggi (tamat SMA/MA). Hipotesis dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri. Hal ini diasumsikan dari semakin tinggi tingkat pendidikan maka seseorang akan mempunyai pengetahuan

yang tinggi juga. Seperti yang disebutkan Staw (1991) dalam Riyanti (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

Kesimpulan hasil uji hubungan tingkat pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial berdasarkan Tabel 6 tidak berhubungan positif yang signifikan antar kedua variabel tersebut. Artinya, semakin tinggi pendidikan belum menjamin untuk mempunyai kompetensi wirausaha dalam bidang agribisnis khususnya usaha sapi potong. Karena semua orang bisa mempunyai kompetensi wirausaha agribisnis meskipun tidak bersekolah.

7.4 Hubungan antara Pengalaman Berwirausaha sebelum Masuk Pesantren dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Pengalaman berwirausaha santri sebelum masuk Perwira Aba merupakan salah satu variabel karakteristik santri yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha baik teknis maupun manajerial. Pengalaman dalam menjalankan usaha menurut Staw (1991) dalam Riyanti (2003) merupakan indikator terbaik dalam berwirausaha dengan asumsi bahwa semakin banyak pengalaman wirausaha seseorang, maka kompetensi berwirausahanya juga akan meningkat. Hipotesis yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengalaman berwirausaha sebelum masuk pesantren terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha agribisnis.

Hasil uji hubungan antara pengalaman berwirausaha dengan kompetensi wirausaha santri berdasarkan Tabel 6, didapatkan hasil yaitu tidak berhubungan positif yang signifikan. Dari hasil tersebut, menjelaskan bahwa pengalaman berwirausaha santri di Perwira Aba belum menjamin adanya kompetensi wirausaha di bidang agribisnis terutama pada usaha sapi potong. Artinya, teori Staw yang telah disebutkan sebelumnya tidak berlaku dalam penelitian ini. Akan tetapi, teori yang berlaku adalah teori Meng dan Liang (1997) dalam Riyanti (2003), yang menyebutkan bahwa pengalaman tidak berpengaruh pada keberhasilan usahanya.

7.5 Hubungan antara Motivasi Mengikuti Pendidikan dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Motivasi dalam mengikuti pendidikan merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Motivasi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah jika motivasi berasal dari paksaan orang tua, sedang jika ikut-ikutan teman, dan tinggi jika motivasi berasal dari diri sendiri. Motivasi menurut Djiwandono (2006) merupakan salah satu prasyarat yang sangat penting dalam belajar. Hipotesis pada variabel ini adalah motivasi mengikuti pendidikan berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun kompetensi manajerialnya.

Hasil uji korelasi Rank Spearman antara motivasi mengikuti pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun manajerial berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antar kedua variabel. Motivasi tidak berhubungan dengan kompetensi wirausaha agribisnis santri Perwira Aba, menjelaskan bahwa motivasi tidak menjamin seseorang mempunyai kompetensi dalam wirausaha agribisnis. Dalam penelitian ini, pernyataan motivasi Djiwandono (2006) tidak berlaku.

BAB VIII

HUBUNGAN KARAKTERISTIK SANTRI

DENGAN KOMPETENSI WIRAUSAHA SANTRI

PADA USAHA SAPI POTONG

Penerapan pendidikan wirausaha agribisnis di Perwira Aba merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santrinya. Pendidikan wirausaha agribisnis yang diterapkan merupakan faktor eksternal dari santri dalam kompetensi wirausahanya. Pendidikan wirausaha agribisnis dalam penelitian ini dilihat dari aspek lingkungan belajar di pesantren, materi pembelajaran, tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan fasilitas pendidikannya.

Hipotesis dalam penelitian ini, menduga bahwa pendidikan wirausaha agribisnis berhubungan positif yang siginifikan dengan kompetensi wirausaha santri PERWIRA AbA pada usaha sapi potong. Hasil uji korelasi Rank Sperman

antar variabel menghasilkan nilai-nilai yaitu nilai koefisien (rs) dan nilai p-value

yang disajikan secara ringkas pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil Pengujian Hubungan antara Pendidikan Wirausaha Agribisnis dengan Kompetensi Wirausaha Santri.

Pendidikan Wirausaha Agribisnis

Kompetensi Wirausaha Santri

Kompetensi Teknis Kompetensi Manajerial

Koefisien (rs) p-value Koefisien (rs) p-value

Lingkungan Belajar di Pesantren -0,024 0,913 0,134 0.576 Materi Pembelajaran 0,137 0,524 0,385 0,064 Tujuan Pendidikan 0,255 0,230 0,334 0,111 Metode Pendidikan 0,374 0,072 0,459* 0,024 Fasilitas Pendidikan -0,029 0,891 0,475* 0,019

Keterangan: *.berhubungan nyata pada 0,05

8.1 Hubungan Lingkungan Belajar di Pesantren dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Lingkungan belajar di pesantren merupakan salah satu variabel pendidikan wirausaha agribisnis yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Sebagaimana yang disebutkan Arifin (2008), lingkungan adalah sarana untuk

mengembangkan fitrah (potensi) manusia. Potensi tersebut merupakan faktor pembawaan sejak manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Apabila lingkungan lebih kondusif untuk mengembangkan fitrah secara maksimal, akan terjadi perkembangan yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan bersifat destruktif, maka akan terjadi perkembangan yang negatif. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini menduga bahwa lingkungan belajar di pesantren terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri.

Hasil uji korelasi Rank Spearman antara lingkungan belajar di pesantren dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa tidak berhubungan positif yang signifikan antar variabel. Hal ini berarti, semakin tinggi dukungan (sangat mendukung) tidak menjamin adanya kompetensi wirausaha baik teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong. Pada penelitian ini teori Arifin (2008) tidak berlaku, karena kompetensi wirausaha bisa dimiliki santri tidak hanya berdasarkan lingkungan saja.

8.2 Hubungan Materi Pembelajaran dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Materi pembelajaran dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerialnya. Penilaian materi pembelajaran berdasarkan tingkat kemanfaatan materi dalam kehidupan sehari-sehari santri. Manfaat materi yang dinilai berdasarkan tiga pilar dalam kurikulum pendidikan Perwira Aba, yaitu materi tentang Islam, profesionalitas, dan materi kemandirian. Menurut Arifin (2008) penetapan materi pembelajaran mempengaruhi proses pembelajarannya. Sama seperti tujuan pendidikan, ketidakadaan materi pembelajaran akan menghambat proses belajar mengajar.

Hasil uji hubungan berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa materi pembelajaran tidak berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri baik teknis maupun manajerial pada usaha sapi potong. Semakin bermanfaat materi tidak menjamin santri mempunyai kompetensi wirausaha santri terutama dalam bidang usaha sapi potong.

8.3 Hubungan Tujuan Pendidikan dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Kompetensi wirausaha santri baik kompetensi teknis maupun manajerial dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikannya. Tujuan menurut Arifin (2008) merupakan faktor yang paling penting dalam proses kependidikan, karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan

(identerminisme) dalam prosesnya. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini menduga bahwa tujuan pendidikan berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi wirausaha santri. Tujuan pendidikan dinilai dari kesesuaiannya dengan kebutuhan santri.

Hasil uji korelasi Rank Spearman yang disajikan pada Tabel 7, menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak berhubungan positif dengan kompetensi wirausaha santri. Semakin sesuai tujuan pendidikannya tidak menjamin santri mempunyai kompetensi wirausaha dalam usaha sapi potong sehingga tujuan pendidikan tidak menjadi faktor utama dalam membentuk kompetensi wirausaha santri. Pada penelitian ini, tujuan pendidikan tidak menjadi faktor yang paling penting dan bertolak belakang dengan teori yang disebutkan Arifin (2008).

8.4 Hubungan Metode Pendidikan dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Metode pendidikan merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kompetensi wirausaha santri. Metode pendidikan dinilai berdasarkan ketepatan pihak pesantren dalam memberikan pengajaran kepada santri-santrinya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah berhubungan positif yang signifikan antara metode pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong. Menurut Arifin (2003), metode pendidikan yang tidak efektif (tepat) akan menjadi penghambat kelancaran proses belajar mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu yang terbuang sia-sia.

Hasil uji korelasi berdasarkan Tabel 7, menunjukkan perbedaan hubungan pada kompetensi teknis dan kompetensi manajerialnya. Koefisien (rs) kompetensi teknis mempunyai nilai sebesar 0,374 dengan p-value 0,072. Pada kompetensi manajerial koefisiennya (rs) sebesar 0,459 dan p-value 0,024 (lebih besar dari nilai

sign correlation). Pada kompetensi teknis, hubungan dengan metode pendidikan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sedangkan pada kompetensi manajerial, metode pendidikan berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi tersebut. Artinya, metode pendidikan yang semakin tepat akan meningkatkan kompetensi manajerial santri dalam usaha sapi potong. Hal ini tidak terlepas dari porsi penerapan metode pada manajerial yang lebih banyak dibandingkan dengan teknisnya. Seperti dalam metode magang, santri lebih banyak ditempatkan pada bidang manajemennya daripada teknisnya.

8.5 Hubungan Fasilitas Pendidikan dengan Kompetensi Wirausaha Santri

Fasilitas pendidikan merupakan sarana dan prasarana yang essensial dalam menunjang keberhasilan pendidikan. Pengajaran akan lebih sukses menurut Daulay (2007) apabila peserta didik terlibat secara fisik dan psikis. Oleh karena itu, hipotesis yang diduga dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara fasilitas pendidikan dengan kompetensi wirausaha santri pada usaha sapi potong.

Hasil uji korelasi berdasarkan Tabel 7, menunjukkan perbedaan hubungan pada kompetensi teknis dan kompetensi manajerialnya. Koefisien (rs) kompetensi

teknis mempunyai nilai sebesar -0,029 dengan p-value 0,891. Pada kompetensi manajerial koefisiennya (rs) sebesar 0,475 dan p-value 0,019 (lebih besar dari nilai sign correlation). Pada kompetensi teknis, hubungan dengan fasilitas pendidikan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sedangkan pada kompetensi manajerial, metode pendidikan berhubungan positif yang signifikan dengan kompetensi tersebut. Artinya, semakin baik fasilitas pendidikan akan meningkatkan kompetensi wirausahanya pada aspek manajerial. Dari beberapa data kualitatif yang dihimpun, sebagian besar santri menyatakan bahwa terdapat perbedaan fasilitas untuk teknis dan manajerialnya seperti jumlah bukunya. Jumlah buku untuk belajar teknis masih sangat minim, sedangkan jumlah buku tentang manajemen lebih banyak.

PADA USAHA SAPI POTONG

(Kasus: Pesantren Wirausaha Agrobisnis Abdurrahman bin Auf,

Desa Bulan, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah)

DEWI CHALIMATUS SHOLICHAH I34070129

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Dokumen terkait