• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS HUKUM SINKRONISASI ANTARA UNDANG-

C. Sinkronisasi Antara UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

1. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

CSR

Secara hierarki kedudukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) tentang Perseroan Terbatas adalah sejajar dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sehingga sinkronisasi antara kedua undang-undang ini merupakan sinkronisasi horizontal. Pada tahun 2008 dilakukan perubahan keempat kalinya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008. Pada penjelasan

211

angka 3 Undang-undang ini disebutkan bahwa arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:212

a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;

b. Lebih memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak;

c. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;

d. Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi; dan e. Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan

daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan telah mengakomodirnya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i,j,k,l,dan m, yaitu dengan dapat diakuinya beberapa jenis pengeluaran sumbangan terkait kegiatan tanggung jawab sosial (CSR) sebagai pengurang penghasilan yang dikenakan pajak atau mendapat insentif pajak. Pemberian pasilitas perpajakan untuk biaya tanggung jawawab sosial perusahan oleh Undang-Undang Nomor 36 tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan masih dalam lingkup yang terbatas.

Pengaturan lebih lanjut atas kegiatan tanggung jawab sosial perusahan terbit tiga tahun kemudian, yaitu diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahan agar biaya tanggung jawab sosial dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak atau memperoleh insentif pajak, yaitu:

212

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Penjelasan angka 3.

1) Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; 2) pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada

Tahun Pajak sumbangan diberikan; 3) didukung oleh bukti yang sah;

4) lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan

5) sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU PPh tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, hanya perusahan yang memperoleh laba pada tahun sebelumnya yang dapat membiayakan pengeluaran tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau memperoleh insentif pajak. Untuk memperoleh insentif pajak ketentuan perpajakan juga tidak memperbolehkan dana tanggung jawab sosial disalurkan langsung kepada masyarakat, melainkan harus lembaga yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Adanya syarat bahwa perusahaan/Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan harus memperoleh keuntungan secara fiskal tahun sebelumnya dan tidak menyebapkan rugi pada tahun pajak sumbangan diberikan menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menganggap bahwa kebutuhan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) diambil dari laba perusahaan (secara after profit) dan pelaksanaannya bersifat sukarela.

Ada dua danpak negatif yang mengancam dari cara berpikir after profit yaitu:

a) Dengan mengambil argumentasi CSR sebagai after profit maka perusahaan akan menghindari melakukan CSR sebelum masuk ke periode untung. Padahal, dampak negatif perusahaan bisa jadi sudah dimulai ketika perusahaan belum beroperasi (misalnya masa konstruksi). Sudah seharusnya CSR dilakukan oleh perusahaan sejak periode awal ia bersinggungan dengan pemangku kepentingannya.

b) Perusahaan juga bisa menghindari melakukan CSR apabila tahun sebelumnya ia mengalami kerugian. Secaralogis, perusahaan harus melakukan bisnisnya dengan bertanggung jawab, terlepas dari apakah ia untung atau tidak.

Semula eksistensi Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 36-56 Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam perkembangannya, oleh karena aturan- aturan yang terdapat dalam KUHD tersebut dianggap sudah tidak dapat menampung dinamika dan perkembangan dunia bisnis, maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.213 Beberapa prinsip hukum baru diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, antara lain:214

(1) Memberlakukan doktrin-doktrin baru yang apabila ditelusuri berasal dari tradisi

coomon law, misalnya doktrin piercing the corporate veil, doktrin derivative action, doktrin business judgment rule, ultra vires, doktrin corporate opportunity.

213

Tri Budiono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Salatiga: Grya Media: 2011), hal. 7.

214

(2) Pengaturan terhadap pemegang saham minoritas, utamanya ketika mereka harus berhadapan dengan demokrasi kapitalisme yang mendasarkan pada kekuatan modal.

(3) Pengaturan terhadap kombinasi perusahaan, yang dapat mengambil bentuk penggabungan (merger), pengambilalihan (akuisisi) atau peleburan (konsolidasi).

Dalam perkembangannya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang sudah berkembang pesat, khususnya pada era globalisasi. Melalui Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, telah dilakukan pengakomodasian terhadap berbagai ketentuan mengenai Perseroan Terbatas, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dianggap masih relevan. Salah satu perubahan yang ditegaskan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah munculnya pengatauran tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dipikul oleh perseroan terbatas yang melakukan usaha dalam bidang eksploitasi sumber daya alam.

Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 yang diatur dalam Pasal 74 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan harus merancang kegiatan tanggung jawab sosial sejak awal tahun dan dimasukkan dalam anggaran perseroan sehingga menganut konsep sebelum laba (before profit).

Kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan oleh perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sudah melekat pada perusahaan saat awal beroperasi tanpa melihat kinerja perusahaan dan pelaksanaannya bersifat mandatory. Pembatasan pemberian fasilitas pajak atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan jo. PP No. 93 Tahun 2010 mengakibatkan ketidaksinkronan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam mengatur biaya tanggung jawab sosial perusahaan. Perbandingan pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Jo. PP No. 93 Tahun 2010 dapat dirinci pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

Perbandingan Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Dengan UU No. 36 Tahun 2008

UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Jo. PP No. 93 Tahun 2010

Tidak mengatur standard CSR yang harus dilakukan perusahaan

Mengatur jenis biaya yang CSR yang memperoleh insentif pajak (diatur di Pasal 6 ayat (1) huruf i, j, k, l, dan m CSR merupakan kewajiban perseroan

yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya bagi perseroan.

Hanya perusahaan yang telah

memperoleh laba tahun sebelumnya yg dapat membiayakan biaya tanggung

Kewajiban sudah melekat sejak perusahaan beroperasi.

jawab sosial perusahaan (CSR) atau mendapat insentif pajak. Perusahan yang masih merugi tidak dapat membiayakan CSR

Hanya mewajibkan perusahaan yang bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya yang wajib

melaksanakan CSR

Tidak ada pembedaan perusahaan berdasarkan jenis usaha yang dapat membebankan CSR asal syarat-syarat yang ditetapkan dapat dipenuhi. Menganut konsep before profit Menganut konsep after profit (CSR

diambil dari laba perusahaan)

- Untuk memperoleh Insentif pajak dana CSR harus disalurkan melalui lembaga yang memiliki NPWP.

Tujuan dibentuknya perusahaan adalah untuk mencari laba semaksimal mungkin. Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan melakukan pembuatan keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus direncanakan dengan baik. Upaya untuk meminimalisasi beban pajak tersebut dilakukan dengan membuat perencanaan pajak. Dengan berubahnya kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dari yang bersifat sukarela menjadi kewajiban dapat memicu munculnya praktik penghindaran pajak di lapangan. Perusahaan memanfaatkan ketiadaan ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan bentuk-bentuk atau jenis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) untuk mengakomodasi pemenuhan aspek pajak.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Spicer menemukan hubungan yang signifikan antara tax fairness dan tax evasion, dimana ketika pembayar pajak

menganggap bahwa sistem pajak adalah adil maka tingkat penghindaran pajak (tax evasion) akan berkurang, atau dengan kata lain pembayar pajak semakin patuh dalam membayar pajaknya.

Adanya perlakukan yang berbeda terhadap Wajib Pajak (unfairness) yang berkomitmen melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak (tax compliance) dan bahkan dapat memicu Wajib Pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avidance). Perusahaan memanfatkan ketiadaan ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan bentuk-bentuk atau jenis tanggung jawab sosial perusahaan untuk mengakomodasi pemenuhan aspek pajak. Perusahaan melakukan penghindaran pajak dengan cara memilih pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat memperbesar biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Karena tidak ada ketentuan yang jelas mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, maka Wajib Pajak dapat memasukkan biaya-biaya yang lain dalam unsur biaya tanggung jawab sosial perusahaan.

Biaya tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak mendapat pasilitas perpajakan sangat memberatkan bagi pengusaha karena berdampak meningkatnya pengeluaran operasional perusahaan, disatu sisi adanya kewajiban pengeluaran pajak dan disisi lainnya harus melakukan pembiayaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengenaan pajak atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan akan mengurangi porsi dana tanggung jawab sosial yang disalurkan ke masyarakat.

Pemberikan insentif pengurangan pajak diharapkan mendorong pengusaha untuk semakin besar menyalurkan dana-dana CSR-nya kepada kegiatan-kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya serta tidak hanya sekedar bersifat karitatif belaka. Karena pada prinsipnya kewajiban CSR tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai bentuk penyaluran kekayaan perusahaan kepada masyarakat, namun harus diterjemahkan sebagai ikut sertanya perusahaan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial dimana mereka beroperasi, seperti merekrut karyawan dari masyarakat setempat, menjalin kemitraan dengan petani atau pengusaha lokal, serta menanggulangi masalah lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh kegiatan produksinya.215

Dari sudut pandang negara, pemberian insentif pengurangan pajak atas tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bagi perusahaan pada praktiknya menimbulkan suatu dilematis dalam hal penerapannya. Pada satu sisi Penghasilan dari pajak merupakan penyumbang terbesar dalam penerimaan negara di Indonesia.216

215

Mukti Fajar ND, Op. Cit, hal 193.

Sehingga dengan adanya pengurangan pajak atas tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maka akan mengurangi penerimaan negara atau tax expenditures, khususnya penerimaan pajak yang berasal dari perusahaan. Sedangkan sisi yang

216

Tax Expenditure adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari pajak yang harus dikorbankan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa tax relief atau pengurangan- pengurangan yang diperkenankan sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mencapai tujuantujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam implementasinya, tax expenditure ini diwujudkan dalam bentu pembebasan, pengurangan, penyesuaian, kredit dan penangguhan. Batasan untuk menentukan besaran dari pemasukan yang hilang umumnya bersifat subyektif dan berkaitan langsung dengan pengeluaran pemerintah. Namun, batasan itu bisa juga diperluas dengan tidak mengaitkannya secara langsung dengan pengeluaran pemerintah.

berbeda, CSR merupakan sebuah bentuk tanggung jawab moral perusahaan yang memerlukan insentif dalam pelaksanaannya sebagai suatu konsekuensi logis untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan yang merupakan tanggung jawab mutlak dari pemerintah menurut konstitusi.217

Ketidaksinkronan pengaturan biaya SCR antara UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan mengakibatkan hukum tidak mampu menciptakan stability, predictability dan fairness bagai para pelaku usaha. Kondisi ini dapat menghambat pembagunan ekonomi karena tidak dapat memenuhi unsur-unsur yang disebutkan oleh Burg’s.

2. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tidak sinkron dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM mengenai CSR

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adal

pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari

Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM tidak mengatur secara khusus, artinya atas penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai. Kegiatan CSR yang banyak dilakukan di Indonesia berupa pemberian Barang Kena Pajak atau memberikan produknya secara gratis atau membagikan hadiah kepada masyarakat sekitar terutang PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai barang

217

yang diberikan yang termasuk dalam kategori pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak, kecuali barang yang disumbangkan merupakan barang adalah jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga dengan pemberian jasa kena pajak tetap terutang PPN sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali jasa yang diberikan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN seperti pemberian pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial dan jasa pendidikan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM) tidak memberikan insentif pajak secara khusus terhadap penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan. Perusahan yang dalam pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial dibebani biaya tambahan sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan. Ketentuan ini mengakibatkan adanya beban tambahan yang harus dipikul oleh perusahaan, khususnya perusahaan yang masih belum memperoleh keuntungan disamping tidak memperoleh insentif Pajak Penghasilan atas biaya-biaya yang dikeluarkan, juga harus terbebani tambahan biaya sebesar 10% (sepuluh persen) Pajak Pertambahan Nilai.

D. Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Indonesia dan Pengaturan Perpajakannya

Dokumen terkait