• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

SINKRONISASI ANTARA HUKUM PAJAK

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS MENGENAI

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CSR)

TESIS

OLEH

ANTO SIBARANI

117005086 / HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

SINKRONISASI ANTARA HUKUM PAJAK

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS MENGENAI

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CSR)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ANTO SIBARANI

117005086 / HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL TESIS : SINKRONISASI ANTARA HUKUM PAJAK DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN

TERBATAS MENGENAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CSR)

N A M A : Anto Sibarani

N I M : 117005086

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof.Dr. Bismar Nasution, SH.,MH)

Pembimbing I

(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)

Pembimbing II

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH)

Ketua Program Studi Dekan

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

Anggota

: 1. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH

3. Dr. Dedy Harianto, SH., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pengaturan yang berbeda antara Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Hukum Pajak atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi perusahaan yang melaksanakan CSR, serta dapat memicu pengusaha melakukan upaya penghindaran pajak.

Penelitian hukum ini dilakukan untuk mengetahui sinkronisasi antara Hukum Pajak dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenai CSR dengan tiga pokok permasalahan yaitu: bagaimanakah pengaturan CSR di Indonesia, bagaimanakah pengaturan biaya CSR menurut Hukum Pajak Indonesia serta apakah sudah terdapat sinkronisasi pengaturan CSR antara Hukum Pajak dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan dengan teknik studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat sinkronisasi pengaturan CSR antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan hukum pajak di Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan sejak awal beroperasi melaksanakan CSR dan dianggarkan setiap awal tahun walaupun kinerja keuangan perusahaan belum mencapai laba (menganut konsep before profit), sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan melalui PP Nomor 93 Tahun 2010 mengatur bahwa hanya perusahaan yang telah memperoleh keuntungan pada tahun sebelumnya dan tahun CSR dilaksanakan yang dapat membebankan biaya CSR atau memperoleh insentif pajak (menganut konsep after profit). Disamping itu tidak semua biaya CSR dapat diberikan insentif pajak, kecuali pengeluaran atas sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan, fasilitas pendidikan, pembinaan olah raga dan pembangunan infrastruktur sosial

Hasil penelitian ini menyarankan agar dilakukan peninjauan ulang terhadap persyaratan perusahaan yang memperoleh insentive perpajakan atas biaya CSR yang diatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 serta mengakomodir laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam SPT Tahunan PPh Badan perusahaan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi porsi biaya CSR yang dilaporkan perusahaan.

(6)

ABSTRACT

Different regulations between Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies with Tax Law at the expense of corporate social responsibility cause injustice and legal uncertainty for companies that implement CSR, and can trigger the employer conducts tax evasion efforts.

Legal research was conducted to determine the synchronization between the Tax Law with Law No. 40 of 2007 on Limited Liability on CSR with three principal issues are: how is the setting of CSR in Indonesia, how the costings of CSR according to Indonesian Tax Law as well as whether there is synchronization settings CSR the Tax Law with Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies

This study uses normative legal research. The data used are secondary data consisting of primary legal materials, secondary and tertiary collected by literature techniques. Data analysis was performed with qualitative methods.

The study found that there is no synchronization between the CSR setting of Act Number 40 of 2007 on Limited Liability Company with the tax law in Indonesia. Law Number 40 of 2007 on Limited Liability Companies require companies since the beginning of operations implementing CSR and budgeted at the beginning of the year even though the company's financial performance has not reached the profit (before profit concept), while the Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax through GR 93 of 2010 stipulates that only the companies that have benefited in the previous year and the year that can be implemented CSR, charge or obtain tax incentives (after profit concept). Besides, not all the costs of CSR can be given tax incentives, except for expenditures on donations in order of national disaster management, research and development, educational facilities, sports coaching and development of social

From the results it is concluded that there is no synchronization between the CSR regulation Act No. 40 of 2007 on Limited Liability Company with the tax law in Indonesia. Law Number 40 of 2007 on Limited Liability Companies require companies since the beginning of operations implementing CSR and budgeted at the beginning of the year even though the company's financial performance has not reached the profit (before profit concept), while the Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax through GR 93 of 2010 stipulates that only the companies that have benefited in the previous year and the year that can be implemented CSR charge or obtain tax incentives (after profit concept).

infrastructure

The results of this study suggest that conducted a review of the requirements of the acquiring company at the expense of the tax incentives that regulated CSR Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax jo. Government Regulation No. 93 Year 2010 report on the implementation and accommodate corporate social responsibility in the company's Annual Income Tax Agency that the tax authorities may supervise the portion of the cost of the company's CSR reported.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, berkat dan karunia yang diberikan kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul: “Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan (CSR)”. Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Selama masa perkuliahan sampai penyelesaian Tesis ini, Peneliti banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM (K), Sp.A (K).

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

(8)

4. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat bermanfaat bagi saya dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini. Model diskusi hukum di luar kelas yang dipraktekkan Beliau sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan hukum para mahasiswa dan menjadi motivasi untuk mempelajari Ilmu Hukum lebih dalam.

5. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan telah banyak memberikan bantuan berupa motivasi, bimbingan, petunjuk, saran dan arahan, dalam menyelesaikan Tesis ini.

6. Dr. Dedy Harianto, SH., M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan masukan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini.

7. Dr. Utary Maharany Barus,SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji koreksi dan masukan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini.

8. Bapak/Ibu dosen pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan Ilmunya yang sangat berarti bagi saya.

(9)

10. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, ayahanda W. Sibarani dan kepada Ibunda S. boru Pangaribuan atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, dan membesarkan penulis, serta senantiasa mengiringi penulis dengan doa, selalu menekankan kepada anak-anak dan cucu-cucunya bahwa pendidikan harus diutamakan. Demikian juga kepada Ibu Mertua Op. Dinar br Hutahaean dan seluruh saudara-saudara saya terkasih, atas segala dukungan moril yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

11. Teristimewa kepada Istriku tercinta Delima Hutape, SE dan anak saya Garry Timothy Sibarani yang merupakan sumber inspirasi dan semangat dalam

menjalani hidup ini. Kalian berdua selau hadir memberikan dukungan dan dorongan semangat selama saya mangikuti pendidikan di Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga apa yang dicita-citakan Garry Timothy, yaitu menggapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari kedua orang tua dapat tercapai kelak.

12. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011.

(10)

Penulis menyadari tesis ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kiritik dan saran yang bersifat konstruktif demi menyempurnakan tesis ini.

Semoga Tesis ini dapat memenuhi maksud penelitiannya, dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa

Medan, Agustus 2013 Penulis,

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : ANTO SIBARANI

Tempat Tanggal Lahir : Sidulang/Toba 29 Juli 1971

Alamat : Jl. Bintra X, Perum Pondok Cipta Blok AA No. 30 Bekasi Barat

Status Perkawinan : Menikah Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

II. PEKERJAAN

1997-1998 : Auditor Pada KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (DeloitteTouche Tohmatsu Int) Jakarta

1998-Sekarang : Direktorat Jenderal Pajak

III. PENDIDIKAN

1977-1983 : SD Negeri Sidulang 1983-1986 : SMP Negeri 1 Laguboti

1986-1990 : SMA Negeri 2 Balige di Laguboti 1990-1996 : Fakulatas Ekonomi Jurusan Akuntansi

Universitas Sumatera Utara 2011-2013 : Magister Ilmu Hukum Universitas

(12)
(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang ... . 1

B. Perumusan Masalah .. ... . 16

C. Tujuan Penelitian .. ... 16

D. Manfaat Penelitian ... .. 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

1. Kerangka Teori ... 19

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... .. 33

1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian ... 33

2. Sumber Data ... . 34

3. Teknik Pengumpulan Data ... 35

4. Analisis Data ... .. 35

BAB II : PERKEMBANGAN DAN RELEVANSI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CSR) SERTA PENGATURANNYA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA ... 36

A. Sejarah dan Evolusi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).. 36

B. Tanggung Jawab Perusahaan ………... 43

(14)

C. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Shareholder

Theory dan Stakeholder Theory ………... 51

1. Shareholder Theory ………... 53

2. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Primacy Theory). 57 D.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Dalam

Sistem Hukum Indonesia ………. 61

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ……… 62

2. Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ... 69

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara………. 70

E. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Berbagai Negara .. 72

1. Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Belanda …. 73 2. Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Kanada ….. 74

3. Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Perancis … 76 4. Kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Jerman …. 77 BAB III : TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CSR) MENURUT PERATURAN PERPAJAKAN DI INDONESIA .. 78

A. Dasar Hukum dan Teori Pemungutan Pajak ... ... 78

1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak ………... 78

2. Landasan Filosofis Pemungutan Pajak ………... 79

3. Definisi Pajak ……….. 82

4. Fungsi pajak ………... 84

(15)

B. Pengaturan Perpajakan Biaya Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan Menurut Hukum Pajak di Indonesia ……….. 93

1. Pengaturan Biaya Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan ..……… 94

2. Pengaturan Biaya Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM ………... 102

BAB IV : ANALISIS HUKUM SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN HUKUM PAJAK ATAS BIAYA TANGGUNG JAWAB SOSIAL ……… 115

A. Dasar dan Azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan……… 115

1. Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ... 115

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 121

B. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ……… 123

1. Sinkronisasi Horisontal ……….. 126

2. Sikronisasi Vertikal ………. 127

C. Sinkronisasi Antara UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dengan Hukum Pajak Mengenai (CSR) …… 128

1. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tidak sinkron dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan mengenai CSR ……….. 129

(16)

D. Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di

Indonesia dan Pengaturan Perpajakannya... 139

1. Pelaksanaan CSR Tanpa Melalui Lembaga Tidak Mendapat Insentif Pajak ... 139

2. Penggunan Dana CSR Untuk Lingkungan Hidup Memperoleh Insentif Pajak ………... 141

3. Praktek CSR Dalam Bentuk Pemberian Hasil Produk Secara Cuma-cuma Tidak Memperoleh Insentif Pajak ... 142

4. CSR di Bidang Pendidikan dan Kesehatan Diberikan Insentif Pajak ... 143

5. CSR untuk Pengembangan Regional dan Komunitas Memperoleh Pasilitas Pajak ……….. 145

E. Sinkrosnisasi Ketentuan Perpajakan Yang Responsif Untuk Mendukung Keberlanjutan (Sustainability) Pelaksanaan CSR... 146 1. Sustainability Ekonomi ... 148

2. Sustainability Sosial ………... 148

3. Sustainability Lingkungan ... 149

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 151

A. Kesimpulan ... 151

B Saran ... 153

(17)

ABSTRAK

Pengaturan yang berbeda antara Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Hukum Pajak atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi perusahaan yang melaksanakan CSR, serta dapat memicu pengusaha melakukan upaya penghindaran pajak.

Penelitian hukum ini dilakukan untuk mengetahui sinkronisasi antara Hukum Pajak dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenai CSR dengan tiga pokok permasalahan yaitu: bagaimanakah pengaturan CSR di Indonesia, bagaimanakah pengaturan biaya CSR menurut Hukum Pajak Indonesia serta apakah sudah terdapat sinkronisasi pengaturan CSR antara Hukum Pajak dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan dengan teknik studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian menemukan bahwa tidak terdapat sinkronisasi pengaturan CSR antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan hukum pajak di Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan sejak awal beroperasi melaksanakan CSR dan dianggarkan setiap awal tahun walaupun kinerja keuangan perusahaan belum mencapai laba (menganut konsep before profit), sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan melalui PP Nomor 93 Tahun 2010 mengatur bahwa hanya perusahaan yang telah memperoleh keuntungan pada tahun sebelumnya dan tahun CSR dilaksanakan yang dapat membebankan biaya CSR atau memperoleh insentif pajak (menganut konsep after profit). Disamping itu tidak semua biaya CSR dapat diberikan insentif pajak, kecuali pengeluaran atas sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan, fasilitas pendidikan, pembinaan olah raga dan pembangunan infrastruktur sosial

Hasil penelitian ini menyarankan agar dilakukan peninjauan ulang terhadap persyaratan perusahaan yang memperoleh insentive perpajakan atas biaya CSR yang diatur Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 serta mengakomodir laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam SPT Tahunan PPh Badan perusahaan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi porsi biaya CSR yang dilaporkan perusahaan.

(18)

ABSTRACT

Different regulations between Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies with Tax Law at the expense of corporate social responsibility cause injustice and legal uncertainty for companies that implement CSR, and can trigger the employer conducts tax evasion efforts.

Legal research was conducted to determine the synchronization between the Tax Law with Law No. 40 of 2007 on Limited Liability on CSR with three principal issues are: how is the setting of CSR in Indonesia, how the costings of CSR according to Indonesian Tax Law as well as whether there is synchronization settings CSR the Tax Law with Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies

This study uses normative legal research. The data used are secondary data consisting of primary legal materials, secondary and tertiary collected by literature techniques. Data analysis was performed with qualitative methods.

The study found that there is no synchronization between the CSR setting of Act Number 40 of 2007 on Limited Liability Company with the tax law in Indonesia. Law Number 40 of 2007 on Limited Liability Companies require companies since the beginning of operations implementing CSR and budgeted at the beginning of the year even though the company's financial performance has not reached the profit (before profit concept), while the Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax through GR 93 of 2010 stipulates that only the companies that have benefited in the previous year and the year that can be implemented CSR, charge or obtain tax incentives (after profit concept). Besides, not all the costs of CSR can be given tax incentives, except for expenditures on donations in order of national disaster management, research and development, educational facilities, sports coaching and development of social

From the results it is concluded that there is no synchronization between the CSR regulation Act No. 40 of 2007 on Limited Liability Company with the tax law in Indonesia. Law Number 40 of 2007 on Limited Liability Companies require companies since the beginning of operations implementing CSR and budgeted at the beginning of the year even though the company's financial performance has not reached the profit (before profit concept), while the Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax through GR 93 of 2010 stipulates that only the companies that have benefited in the previous year and the year that can be implemented CSR charge or obtain tax incentives (after profit concept).

infrastructure

The results of this study suggest that conducted a review of the requirements of the acquiring company at the expense of the tax incentives that regulated CSR Law Number 36 Year 2008 regarding Income Tax jo. Government Regulation No. 93 Year 2010 report on the implementation and accommodate corporate social responsibility in the company's Annual Income Tax Agency that the tax authorities may supervise the portion of the cost of the company's CSR reported.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya ditulis CSR) merupakan salah satu isu global yang semakin marak diterapkan oleh berbagai perusahaan di berbagai belahan dunia. Sejak awal perkembangannya hingga kini, konsep dan definisi CSR senantiasa berubah baik dari sisi masyarakat bisnis maupun akademisi, salah satu alasannya adalah karena berubahnya permintaan atau harapan dari masyarakat terhadap peranan perusahaan terkait tanggung jawab sosialnya.1

Di Indonesia hubungan antara korporasi dengan stakeholdernya bersifat sangat dinamis khususnya pada sekitar satu dekade terakhir sejalan dengan perubahan politik, dinamika tantangan bisnis, serta lingkungan korporasi itu sendiri. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berkembang belakangan ini mengajarkan perseroan sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di tengah-tengah kehidupan masyarakat harus ikut bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial Gagasan tanggung jawab sosial perusahaan memaknai bahwa perusahaan tidak hanya mencari keuntungan untuk kepentingan para pemegang saham, direksi, komisaris dan karyawan, tetapi juga mengemban misi aktivitas sosial untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat bayak.

1

Dwi Hartanti, Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya,

(20)

masyarakat.2 Hal ini berlandaskan pada nilai-nilai moral, dan merupakan reaksi terhadap paham Neo Capitalism yang hanya bertujuan untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya untuk dibagikan pada para pemegang saham. Ajaran Neo Capitalism atau Neo Liberalism telah menimbulkan perkembangan perseroan yang tidak manusiawi (inhuman) dan tidak adil (unjust) mengeruk keuntungan tanpa memperdulikan kesengsaraan masyarakat dan kerusakan lingkungan sekitarnya.3

Di Indonesia sendiri sebenarnya secara tidak langsung telah mengenal dan menerapkan konsep CSR ini dalam istilah yang berbeda, yakni gotong royong. Gotong royong itu sendiri muncul sebagai wujud interaksi sosial dalam masyarakat Indonesia, yang oleh Soerjono Soekanto diartikan sebagai kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.4

Dalam pelaksanaan hukum ekonomi, penerapan tanggung jawab sosial perusahaan telah menyebabkan pro dan kontra di berbagai kalangan terutama di kalangan para pelaku bisnis. Debat tentang tanggung jawab sosial perusahaan dapat dirunut dari munculnya pernyataan Milton Friedman5

2

Yahya Harahap, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 298-299.

yang dimuat The New York

3

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.18.

4

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 67. 5

(21)

Times Magazine, tangga 13 September 1970, yang mengatakan bahwa: ”there is one and only one social responsibility of business-to use it’s resources and engage in

activities designed to increases it’s profit”. Menurut Friedman tugas untuk sosial dan lingkungan merupakan amanat milik pemerintah yang sudah mengeruk pajak dari masyarakat dan perusahaan. Milton Friedman mendapat hujatan dan fitnah sekaligus dihormati, namun tidak ada satu pendapat pun yang mampu menenggelamkan pemikirannya.6

Benedict Sheehy sebagaimana dikutip oleh Mukti Fajar ND, menyebut Friedman adalah tokoh ekonomi yang beraliran Neo Clasic Economic Chicagoan, yaitu yang membangun argumentasi bahwa peningkatan kesejahteraan dengan peningkatan efisiensi (increase wealth by increase efficiency).

Pernyataan ini mengandung banyak kecaman, karena dianggap tidak sejalan lagi dengan perkembangan pemikiran sosial politik dalam masyarakat dan bahkan bagi dunia bisnis itu sendiri.

7

menjadi terkenal dalam konteks ini adalah tulisannya yang dimuat dalam New York Times Magazine, 13 September 1970, dengan judul The social responsibility of business is to increase its profits.

Friedman juga dianggap sebagai kaum ultra liberalis oleh Hans Kung, karena membangun teori ekonomi dengan basis: kebebasan (individualistik), pasar bebas (kapitalistik), dan pembatasan intervensi negara (anti negara). Dalam konteks ini Friedman pada

6

Mukti Fajar ND, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi Tentang Penerapan Ketentuan Corporate Social Responsibility pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), hal. 11.

7

(22)

dasarnya telah mereduksi etika ekonomi dalam konsep penawaran dan permintaan akan kebebasan individu.8

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri juga telah mengalami perubahan. Konsep tanggung jawab sosial yang lama menyatakan bahwa perusahaan hanya mempunyai tanggung jawab kepada pemegang saham perusahaan saja (menganut shareholder theory). Sedangkan konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang baru menyatakan bahwa perusahaan juga harus mempunyai tanggung jawab kepada pekerja, pemasok, masyarakat, dan lingkungan di mana perusahaan itu menjalankan kegiatannya (menganut stakeholders theory). Perkembangan konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tersebut menimbulkan banyak perdebatan yang mencakup beberapa hal mengenai:

9

1. Tujuan perusahaan mencari keuntungan atau memperhatikan kepentingan sosial;

2. Luasnya ruang lingkup CSR;

3. Pengaturan CSR sebaiknya dalam bentuk kewajiban (mandatory) atau sukarela (voluntary);

4. Sumber pembiayaan untuk pelaksanaan CSR dan 5. Masalah perpajakan CSR.

Doktrin tanggung tanggung jawab sosial perusahaan yang diciptakan sebagai suatu etika atau moral dalam perilaku perusahaan telah diterima ke dalam aturan hukum, undang-undang, regulasi yang ada dalam Code-Code dan European System.

8

Ibid.

9

(23)

Namun demikian, istilah tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) memiliki makna yang berbeda dengan etika, moral, philantrophi, dan hukum.10

Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung jawab yang harus diajarkan dalam etika bisnis, yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana (crime liability), dan aspek tanggung jawab sosial (social responsibility) yang dibangun di atas landasan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat. Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak melanggar undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat atau merugikan masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).11

Selain tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), konsep CSR sendiri telah di diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara;

c. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM);

10

Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder, dan Dari Etika Bisnis ke Norma Hukum, Disampaiakan Pada Workshop Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Yogyakarta 6-8 Mei 2008, hal. 7-8.

11

(24)

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Mineba);

e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) oleh perseroan yang sebelumnya merupakan tanggung jawab non hukum berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Tanggung jawab sosial perusahaan harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Tanggung jawab sosial perusahaan dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.12

Banyak pihak berpendapat bahwa pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah tanggung jawab yang bersifat sukarela seperti International Labour Organization (ILO), Uni Eropa dan International Organization for Standardization (ISO), tetapi ada yang berpendapat lain, seperti Thomas McInerney atau Pablo Nieto mengatakan bahwa penerapan CSR dianggap perlu agar pelaksanaannya lebih efektif, terukur dan mempunyai konsep standar dari pada didasarkan degan prinsip sukarela. Pelaksanaan CSR dengan sukarela hanya akan dilakukan oleh korporasi yang mempunyai perhatian dan kesadaran pada persoalan

12

Sukarmi

(25)

sosial sekitarnya, sementara tidak ada daya paksa untuk korporasi yang tidak melaksanakan.13

Secara teoritis Irendell Jenkins mengatakan bahwa, tidak semua fenomena sosial dapat diatur oleh hukum dengan kekuatan sanksinya. Inilah salah satu keterbatasan hukum, tetapi ada pula hukum yang tidak mempunyai sanksi, yaitu hukum yang disebut dengan lex imperfecta. Berdasarkan lex imperfecta tersebut, dapat saja CSR diwajibkan secara hukum tanpa diberikan sanksi, karena sifatnya

voluntary, sehingga cukup diberikan sanksi sosial.14

Pengaturan sumber pembiayaan tanggung jawab sosial perusahaan masih belum seragam sehingga menimbulkan persoalan. Menurut amanah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dana tanggung jawab sosial perusahaan diambil dari laba bersih perusahaan yang berarti bukan merupakan biaya bagi perusahaan.

15

Dilain pihak Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 dalam Pasal 74 ayat (2) disebutkan dengan tegas bahwa sumber pembiayaan tanggung jawab sosial perusahaan wajib dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya bagi perseroan.16

Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyebutkan: “BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN”.

16

(26)

Di banyak negara pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan menjadi kewajiban moral semata, tetapi bagi perseroan yang bersedia melaksanakan kewajiban moral itu akan memperoleh insentif karena pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai pengurangan pajak. Di dalam pelaksanaanya di luar negeri, pada umumnya insentif tersebut telah mendorong perusahaan untuk menganggarkannya dan melaksanakan program-program tanggung jawab sosial perusahaan tersebut.17

Berbagai kegiatan CSR perusahaan umumnya berdampak pada pengeluaran, yang akhirnya akan mengurangi laba. CSR tanpa pengurangan pajak akan memberikan danpak negatif pada iklim investasi, sehingga secara politis apabila pemerintah ingin mendorong korporasi untuk melaksanakan CSR seharusnya memberikan pengurangan pajak (insentif pajak).

18

Selama ini perusahaan sudah diwajibkan membayar pajak dan berbagai pungutan, sehingga kewajiban CSR banyak ditanggapi pelaku usaha sebagai beban tambahan. Dari kondisi ini muncul wacana untuk memberikan insentif dalam bentuk pengurangan pajak (tax deductive) bagi perusahaan yang melaksanakan CSR.19

17

Jamal Wiwoho, Sinkronisasi Kebijakan Corporate Social Responsibility Dengan Hukum pajak Sebagai Upaya Mewujudkan Kesejahteran di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas Maret Surakarta, 20 Agustus 2009

Dengan berbagai pengeluaran CSR, profitabilitas perusahaan tersebut akan lebih rendah dari perusahaan lain yang tidak

18

Mukti Fajar ND, Op.Cit., hal. 22. 19

(27)

melaksanakan dan pada akhirnya membuat perusahaan tidak mempunyai daya saing.20

Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara berkembang khususnya Indonesia merupakan salah satu peranan yang sangat signifikan dalam memacu pembangunan ekonomi. Di negara-negara berkembang kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah utama dalam pembangunan ekonomi. Bahan pertimbangan Investor dalam berinvestasi bukan hanya sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi para investor.

21

Erman Rajagukguk mengatakan bahwa faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. 22

20

Sidharta Utama, Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, Jakarta: 14 November 2007, hal. 5.

Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi

21

Saiful Anam, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, disampaikan dalam kegiatan Seminar Nasional dengan Tema “Sinergitas Kemitraan Supremasi Hukum dan Manajemen Profesional untuk Pertumbuhan Investasi di Kepulauan Riau” diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Batam bertempat di Ruang Aula Harmoni One Hotel Harmoni One Batam, Jumat, 29 Juni 2012, hal. 7.

22

(28)

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil penting khususnya bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian (predictability), keadilan (fairness) dan efisiensi (efficiency) bagi para investor untuk menanamkan modalnya.

Peraturan perpajakan merupakan elemen yang sangat penting dalam menentukan struktur investasi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan ekonomi masyarakat mengharuskan dilaukannya perubahan terhadap hukum pajak di suatu negara. Negara-negara yang sudah maju (dalam caranya mengatur pajaknya) pada umumnya dapat dengan cepat bereaksi terhadap perubahan-perubahan, terutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian dengan menyesuaikan segala aparaturnya dengan kebutuhan masyarakatnya.23

Agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien serta memiliki daya saing dengan negara lain sejalan dengan perkembangan globalisasi, pada tahun 2008 dilakukan reformasi hukum pajak dengan mengamandemen beberapa Undang-Undang Pajak, yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan

23

(29)

Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU PPh), Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Prubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Berkaitan dengan biaya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan telah mengakomodirnya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai m yang mengatur jinis-jenis sumbangan sehubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat dibiayakan oleh perusahan yaitu:

a) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

b) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; c) Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah;

d) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

e) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(30)

Pada Pasal 2 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 diatur syarat-syarat sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau memperoleh insentif pajak yaitu:

(1) Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; (2) pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun

Pajak sumbangan diberikan; (3) didukung oleh bukti yang sah; dan

(4) lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Pajak Penghasilan.24 Peraturan Pemerintah tersebut membuat persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang diperbolehkan memberikan sumbangan, yaitu persyaratan bahwa korporasi yang melaksanakan CSR agar memperoleh insentif pajak harus memperoleh penghasilan neto fiskal (posisi laba) pada tahun sebelumnya dan tahun dilaksanakan program CSR, serta pemberian sumbangan tidak dapat diberikan secara langsung kepada masyarakat sekitar sebagaimana praktek pelaksanaan tanggung jawab sosial bayak dilaksanakan perusahaan selama ini. Menurut ketentuan tersebut pemberian sumbangan secara langsung oleh perusahaan ke masyarakat sekitar tanpa melalui lembaga yang memiliki NPWP tidak dapat dibiayakan oleh perusahaan atau tidak mendapat insentif pajak.

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 74 ayat (2) menyebutkan dengan tegas bahwa”

24

(31)

“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”

Berdasarkan ketentuan tersebut perseroan setiap awal tahun harus membuat rencana kerja pelaksanaan CSR beserta anggaran dana yang dibutuhkan dan biaya tersebut merupakan biaya bagi perseroan atau sebagai pengurang penghasilan perusahaan yang akan dikenakan Pajak Penghasilan Badan. Walaupun perusahaan tidak memperoleh keuntungan pada tahun sebelumnya dan tahun berjalan kewajiban CSR tetap harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kelayakan.

Korporasi yang bergerak dibidang pengelolaan sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan pada awal beroperasi membutuhkan dana investasi yang besar dan membutuhkan rentang waktu untuk memperoleh posisi laba atau bahkan untuk mencapai titik Break Event Point (BEP), dan danpak negetif pada lingkungan sekitar khususnya kerusakan lingkungan banyak terjadi pada masa awal beroperasinya perusahaan. Ketentuan tersebut akan menghambat dan bahkan merugikan perusahaan yang berniat melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan pada awal berdiri yang kemungkinan besar secara fiskal belum memperoleh laba, tetapi memiliki tanggung jawab untuk tumbuh dengan masyarakat sekitar.

Penelitian yang dilakukan Spicer, Song dan Yarbrough menemukan hubungan yang signifikan antara tax fairness dan tax evasion, dimana ketika pembayar pajak

(32)

(tax evasion) akan berkurang, atau dengan kata lain pembayar pajak semakin patuh dalam membayar pajaknya.25

Adanya perlakukan yang berbeda terhadap Wajib Pajak (unfairness) yang berkomitmen melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak (tax compliance) dan bahkan dapat memicu Wajib Pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avidance). Perusahaan memanfatkan ketiadaan ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan bentuk-bentuk atau jenis tanggung jawab sosial perusahaan untuk mengakomodasi pemenuhan aspek pajak. Perusahaan melakukan penghindaran pajak dengan cara memilih pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat memperbesar biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Karena tidak ada ketentuan yang jelas mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, maka Wajib Pajak dapat memasukkan biaya-biaya yang lain dalam unsur biaya tanggung jawab sosial perusahaan.

Adam Smith yang populer dengan The Four Maxims mengemukakan prinsip kepastian hukum (certainty) dalam pemunguan pajak tidak yaitu pajak yang harus

dibayar seseorang harus jelas dan pasti atau dapat ditawar-tawar (not arbitry). Dalam pemungutan pajak harus ada kepastian baik bagi fiskus maupun bagi wajib

pajak. Wajib Pajak perlu mengetahui secara jelas dan pasti mengenai siapa saja yang

25

(33)

akan dikenakan pajak, apa yang dijadikan obyek pajak serta besarnya jumlah pajak yang akan dibayar, juga prosedur pelaksanaannya.

Kebijakan tentang tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum terintegral. Pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan idealnya bersifat komplementer, ada sinkronisasi baik secara horizontal maupun vertikal antara hukum pajak dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga dan pada akhirnya dapat menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat.

Menurut Mochtar Kusuma Atmadja26

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang sinkronisasi antara Undang-Undang Perpajakan dengan Undang-undang

sebagaimana dikutip oleh Adi Sulistyono, permasalahan utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan oleh investor asing adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan perundang-undangan yang banyak hal tidak jelas dan saling bertentangan, dan juga mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu, menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin cepat, kompleks, dan unpredictable, substansi hukum ekonomi di Indonesia harus mampu menjamin adanya kepastian hukum, khususnya adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai tingkat peraturan daerah dan reformasi peraturan perpajakan.

26

(34)

Perseroan Terbatas mengenai tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan biaya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) menurut Hukum Pajak Indonesia?

3. Apakah sudah terdapat sinkronisasi pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Hukum Pajak Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia.

(35)

3. Untuk mengetahui sinkronisasi pengaturan biaya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) antara Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas dengan Hukum Pajak Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun dan masyarakat umum serta diharapkan dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan secara khusus hukum perusahaan dan hukum pajak di Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah/badan legislatif dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dan mensinkronisasikannya dengan hukum pajak di Indonesia.

(36)

c. Diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan untuk menjadikan pengeluaran dana-dana sosial oleh perusahaan melaui program tanggung jawab sosial mendapat fasilitas perpajakan yaitu dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak setiap perusahaan.

d. sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis LSM/NGO, masyarakat umum dan stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan, promotor sekaligus pengontrol perkembangan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang ada berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), tesis mengenai sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan hukum pajak atas biaya CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

(37)

1. Tesis atas nama Ika Safitri (067005033/HK) ditulis tahun 2008 berjudul Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini membahas permasalahan tentang konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam etika bisnis dan perusahaan, pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, dan peranan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sebagai kemitraan tripartit dalam penerapan Corporate Social Responsibility (CSR).

2. Tesis atas nama Hariyanto (087005007/HK) ditulis tahun 2010 dengan judul Tanggung Jawab Sosial Peruahaan Terhadap Stakeholder. Penelitian ini membahas permasalahan tentang tanggung jawab perusahaan terhadap

stakeholders dalam perspektif etika bisnis dan UUPT serta penerapan tanggung jawab sosial terhadap stakeholders dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(38)

Berdasarkan uraian pembahasan atas penelitian tersebut di atas, jelas bahwa permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut di atas.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.27 Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.28

Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.29

27

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hal. 8.

Sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan

28

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. M. Solly Lubis menyebutkan teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dunia fisik, juga merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

29

(39)

objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.30

Peraturan perundang-undangan yang baik adalah, apabila ketentuan-ketentuan di dalamnya merupakan rumusan-rumusan yang selaras, serasi, dan sesuai dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat (yang bersifat horisontal) maupun antara peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi (yang bersifat vertikal atau hierarkhis). Hal-hal inilah yang seringkali dimaksudkan dengan suatu sinkronisasi dan harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ada beberapa ukuran dasar agar peraturan perundang-undangan dinyatakan baik. Baik di sini dimaksudkan bahwa penaatan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan secara spontan (sadar) bukan karena ada paksaan. Paling tidak ada 4 (empat) dasar agar peraturan perundang-undangan dinyatakan baik, yaitu menyangkut dasar filosofis, dasar sosiologis, dasar yuridis, dan menyangkut teknik penyusunan peraturan undangan. Apabila perancang peraturan perundang-undangan dalam menyusun peraturan perundang-perundang-undangan memperhatikan dasar-dasar di atas, maka kaidah-kaidah yang tercantum dalam peraturan perundangundangan tersebut sah secara hukum dan berlaku secara efektif karena

30

(40)

dapat diterima secara wajar oleh masyarakat dan kemungkinan dapat berlaku untuk jangka waktu yang panjang.31

Aristoteles dalam bukunya yang sangat terkenal, Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. Sesuai dengan pendapat tersebut, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan hukum pajak pun adalah bertugas memberi keadilan dalam soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. Maka dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang-undang (pajak), juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan perbuatan-perbuatan yang adil pula.32

Dalam analisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat digunakan beberapa teori diantaranya adalah teori dari Hans Kelsen yang dikenal dengan

stufentheorie. Menurut Hans Kelsen (1881-1973), pemuka kaum positivism bahwa hukum itu adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan Stufentheorie mengenai jenjang norma hukum, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian

31

Ibid, hal. 18 32

(41)

seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).33

Norma dasar adalah norma yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dan merupakan gantungan bagi norma-norma yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre supposed. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, jika norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada dibawahnya.34 Demi kepastian hukum, suatu undang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lainnya dan suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan baik yang diatas, maupun dengan peraturan yang disampingnya.35

Radbruch (1878-1949) menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun,

33

Hans Kelsen, General Theory of Law and State.New York: Russel and Russel, 1945 hal. 113 seperti dikutip Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan ,( Yogyakarta: Kanisius 2007), hal. 41.

34

Maria Farida Indrati, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta:Kanisius 2007) hal 41-42.

35

(42)

apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan.36

Kerangka teori tesis ini juga menggunakan teori hukum Fuller yaitu delapan azas (principles of legality). Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Fuller menekankan pada isi hukum positif (positive legal content), oleh karena harus dipenuhi delapan azas (principles of legality) antara lain:37

a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud di sini adalam bahwa dia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut. Membolehkan peraturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan berlaku waktu yang akan datang;

d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;

e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;

f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

g. Tidak boleh ada kebiasan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi.

h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.

Alasan pemilihan teori Fuller adalah bahwa prinsip kelima yang dikemukakan Fuller yang berbunyi suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan yaitu mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan hukum positif tertulis tersebut telah

36

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta, Buku Kompas, Jakarta, 2007), hal. 84-85.

37

(43)

sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya baik secara horizontal maupun vetikal. Peraturan-peraturan juga harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti dan jelas sehingga tidak menimbulkan bermacam penapsiran.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya.38

Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1) Sinkronisasi Hukum Vertikal

Menurut Soerjono Soekanto Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.39

38

http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 25 Maret 2013.

39

(44)

Dalam penelitian sinkronisasi vertikal maka yang ditelaah adalah peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing perundang-undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas. Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang-undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang.40

2) Sinkronisasi Hukum Horizontal

Jenis penelitian ini menurut Soerjono Soekanto41

Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan, terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (preditability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special

bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama. Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

40

Ibid., hal. 79 41

(45)

development abilities of the lawyer).42

Beberapa ahli mengemukakan tentang asas perpajakan yang harus ditegakan dalam membangun suatu sistem perpajakan, Adam Smith menjabarkannya ke dalam 4 (empat) ajaran atau pedoman yang disebut dengan The four canons of Adam Smith

atau yang lebih popular dengan The Four Maxims. Azas-azas tersebut yang merupakan azas perpajakan, yaitu: Equality, Certainty, Convenience of Payment dan

Economy in Collection.

Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara. Untuk memenuhi unsur-unsur yang disebutkan oleh Burg’s perangkat perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab sosial (CSR) harus jelas dan sinkron sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha.

43

a) Equality (Keadilan).

Prinsip keadilan merupakan satu dari prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak, yang menjelaskan setiap warga negara berpartisipasi dalam pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara, secara profesional sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada dasarnya pengertian keadilan adalah suatu pengertian yang

42

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, Edisi Revisi, 2003), hal. 28.

43

(46)

tidak mutlak. Menurut Mansury, yang mengutip pendapat Adam Smith adalah sebagai berikut:44

Equality, bahwa pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak itu adil, apabila setiap wajip pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan dengan manfaat yang diterimanya dari pemerintah.

b) Certainty (Kepastian Hukum)

Prinsip pemungutan pajak certainty (kepastian hukum) yang dikemukakan Adam Smith dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti, tidak dapat ditawar-tawar (not arbitry). Kepastian hukum ini merupakan tujuan setiap undang-undang, sehingga dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum harus jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Dalam pemungutan pajak harus ada kepastian baik bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Wajib Pajak perlu mengetahui secara jelas dan pasti mengenai siapa saja yang akan dikenakan pajak, apa yang dijadikan obyek pajak serta besarnya jumlah pajak yang akan dibayar, juga prosedur pelaksanaannya.

44

(47)

c) Convenience (Kemudahan/Kenyamanan)

Dalam melakukan pemungutan pajak, hendaknya pemerintah memperhatikan saat-saat yang paling menyenangkan bagi si pembayar pajak dan sederhana dalam pengadministrasiannya. Mengutip pendapat Adam Smith, Mansury menjelaskan:45

Convenience, bahwa saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang tidak akan menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau menerima penghasilan lain. Berdasarkan azas ini timbul dukungan kuat untuk menerapkan sistem pemungutan yang disebut:

Pay As You Earn, yaitu bukan saja saatnya tepat, tetapi pajak setahun dipotong secara berangsurangsur, sehingga tidak terasa kepada Wajip Pajak.

45

(48)

d) Economy

Pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan hemat jangan sampai biaya untuk memungut pajak lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Asas

economy ini dapat dilihat melalui dua sisi yaitu dari sisi fiskus bahwa pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan yang dikeluarkan oleh kantor pajak dalam rangka pengawasan kewajiban perpajakan lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak bahwa pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Pemungutan pajak dikatakan efisien jika cost of compliancenya rendah.

2. Konsepsi

Demi memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahan penafsiran yang berbeda antara satu konsep dengan konsep lainnya maka digunakanlah kerangka konsep. Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi adalah pendapat, pangakalan pendapat, konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.46

46

(49)

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.47 Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.48

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.49

b. Tanggung jawab sosial dan lingkungan/ Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi

47

M. Solly Lubis, Op.Cit., hal. 80. 48

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), hal. 133.

49

(50)

berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.50

c. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

51

d. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

52

e. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan

50

Ibid, Pasal 1 angka 3. 51

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 1 angka 1.

52

(51)

bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.53

f. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.54

g. Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga meupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut wajib pajak).55

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh),

Hukum pajak dalam penelitian ini merupakan hukum pajak materiil yaitu:

2) Undang-Undang Nomor 8 Ta

sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 42 Ta (UU PPNdan PPnBM).

53

Ibid., Pasal 1 angka 3. 54

Ibid., Pasal 1 angka 5. 55

(52)

h. Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.56

i. Pemangku kepentingan (stakeholder) adalah segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat. Misalnya bilamana isu perikanan, maka stakeholder dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta di bidang perikanan, dan sebagainya.57

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan serta pengaturan perpajakannya. Penelitian ini bersifat yuridis-normatif. Disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.58

56

http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 25 Maret 2013.

57

Pemangku Kepentingan,

tanggal 22 Maret 2013. 58

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas (selanjutnya

Irma Hani Nasution : Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi Dalam Perseroan Terbatas, 2003 USU Repository © 2008... Irma Hani Nasution : Analisis Hukum Terhadap Tanggung

Saran yang dapat disumbangkan dalam skripsi ini terdiri dari 2 (dua) hal, yakni: Pertama, Kedudukan hukum dan tanggung jawab Direksi setelah dilakukannya pendaftaran dan

Tirta Investama Klaten melalui bank sampah belum memenuhi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Pasal 1 angka 3, adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan

Peran serta pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan kewajiban Tanggung Jawab Sosial di PTPN III dilakukan oleh stakeholders internal maupun stakeholders

Sifat tanggung jawab Direksi Perseroan yang secara bertanggung renteng atas setiap perbuatan pengurusan Perseroan yang dilakukan oleh mereka secara menyimpang,

Penulis menyarankan pemerintah membentuk suatu badan yang berfungsi melakukan kontrol atas pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan dan melakukan tindakan