• Tidak ada hasil yang ditemukan

VAKSIN MALARIA IRADIAS

Dalam dokumen KESELAMATAN, KESEHATAN DAN LINGKUNGAN IV (Halaman 117-122)

DALAM PENGEMBANGAN VAKSIN MALARIA DENGAN IRADIAS

VAKSIN MALARIA IRADIAS

Penelitian vaksin terus mengalami kemajuan antara lain melalui Malaria Vaccine Technology Roadmap yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan vaksin sehingga diharapkan pada tahun 2025 telah diperoleh vaksin dengan efektivitas lebih dari 80% dengan daya proteksi lebih dari 4 tahun serta aman. Namun pengembangan menemui kendala yang rumit, sehingga berbagai macam pendekatan dicoba seperti pemanfaatan radiasi untuk melemahkan parasit sebagai bahan dasar vaksin [24]. Radiasi sinar gamma dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu imunogen yang potensial dan dapat menghasilkan antibodi yang optimal dalam menahan serangan infeksi parasit [25].

Penelitian pada bakteri oleh Rachmilewitz D. dkk [26] dan sel ragi oleh Demicheli, MC dkk [27] diketahui bahwa vaksin

menstimulasi respon protektif dari sel imun (sel T) melalui protein toll-like receptor dan tidak perlu disimpan dalam ruang dingin. Meskipun vaksin yang dibuat dengan pemanasan atau kimia lebih aman dan mudah dibuat akan tetapi lebih kecil respon imunnya. Yadev MS. dkk [28] telah membuktikan bahwa pemberian vaksin iradiasi dari P. berghei lebih dari satu kali dapat memperpanjang masa hidup mencit dan lebih kebal dibandingkan dengan satu kali imunisasi. Dosis irradiasi optimal untuk melemahkan P. berghei adalah 150 – 200 Gy. Sebagai ”state of the art” dari pengembangan vaksin dengan

radiasi sinar gamma adalah penelitian oleh Hoffman SL dkk [29] yang menyatakan bahwa stadium yang paling efektif untuk mengatasi malaria adalah stadium sporozoit dengan dosis radiasi antara 150-200 Gy. Dosis radiasi optimum mampu mengatenuasi sporozoit, mempertahankan kemampuannya memasuki sel

mencegah menjadi shizon tahap-hati dewasa, dan oleh karenanya mengeliminir kemampuan menginfeksi eritrosit.

Dengan menggunakan sukarelawan, terbukti bahwa imunisasi dengan gigitan nyamuk yang diiradiasi sinar gamma 150 Gy setelah terinfeksi P. falciparum strain tertentu mampu memproteksi tantangan gigitan nyamuk pembawa P. falciparum dalam 2-9 minggu. Namun gigitan kurang dari jumlah tertentu dan lebih dari 9 minggu tidak bersifat protektif lagi. Pemberian tantangan kedua pada sukarelawan yang sebelumnya terproteksi juga mampu bersifat protektif hingga 23-42 minggu. Hasil- hasil tersebut menyiratkan bahwa imunisasi dengan ribuan pemajanan terhadap nyamuk pembawa sporozoit dari P. falciparum

teratenuasi sinar gamma adalah aman dan terdapat toleransi serta mampu bersifat protektif paling tidak selama 42 minggu. Sifat protektif ini diketahui dengan mengamati respon imun dalam tubuh host setelah uji tantang baik melalui uji enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mengetahui antibodi yang terbentuk atau uji sel-T dan IFN-gamma.

Hampir semua sistem biologi memerlukan komunikasi antar sel untuk pertumbuhan dan pengaturannya. Pada sistem imun komunikasi antar sel umumnya melibatkan sitokin. Mediator ini diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel hematopoitik dan untuk mengatur dan menentukan respon imun [30]. Sitokin dalam menjalankan fungsinya sebagai

mediator saling berinteraksi antara sitokin sendiri dan interaksi ini dapat berjalan sinergis atau antagonis. Oleh karena interaksi tersebut maka konsep kerja sitokin merupakan suatu “network”. Ada tiga sifat dari sitokin yaitu: pleiomorfik artinya sitokin tertentu dapat bekerja pada beberapa sel yang berbeda, redundant

(berlebihan) artinya sejumlah sitokin mempunyai fungsi yang sama, multi-fungsi artinya sitokin yang sama dapat mengatur beberapa fungsi yang berbeda. Sitokin dapat menimbulkan efek lokal atau sistemik; efek lokal artinya bekerja pada sel yang memproduksinya (autocrineaction) atau bekerja pada sel di sekelilingnya (paracrineaction). Bila diproduksi dalam jumlah banyak, sitokin dapat masuk ke dalam sirkulasi dan bekerja jauh dari sel yang memproduksinya (endocrine action). Oleh karena sitokin sebagai mediator atau pembawa pesan maka ia mempunyai reseptor untuk menerima pesan tersebut dan klasifikasi sitokin didasarkan dari reseptornya pada membran sel [30]. Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila ada mikroba yang masuk ke dalam tubuh, yaitu innate dan adaptive responses. Sel yang berperan dalam innate response adalah sel fagosit (neutropil, monosit dan makrofag). Hasil pengamatan makrofag dalam pengembangan vaksin malaria iradiasi disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Hasil pengamatan makrofag (anak panah) dalam sel darah yang terinfeksi Plasmodium sebagai dasar pengembangan vaksin malaria iradiasi.

PENUTUP

Vaksin diperlukan untuk menginduksi timbulnya imunitas humoral maupun seluler yang protektif terhadap terjadinya penyakit malaria sehingga seseorang yang mendapat imunisasi menjadi kebal terhadap infeksi oleh

Plasmodium falciparum. Hal ini selain sangat diperlukan di daerah endemis malaria, terutama untuk anak-anak di bawah 5 tahun dan ibu hamil yang sangat peka terhadap penyakit malaria, juga diperlukan untuk individu tidak kebal yang karena sesuatu hal harus mengunjungi daerah endemis malaria, seperti pelaku bisnis, anggota militer ataupun wisatawan. Yang merupakan hambatan dalam pembuatan vaksin terhadap penyakit malaria adalah siklus hidup plasmodium yang kompleks dengan melewati perubahan-perubahan bentuk dan habitat. Hal ini memberikan masalah tersendiri dalam mempelajari patofisiologinya [17].

Adanya berbagai spesies dan galur, besarnya diversitas gen dan banyaknya variasi antigen juga menyebabkan problema yang rumit,

pembuatan vaksin. Secara alami, imunitas hanya dapat diperoleh dengan pemaparan berulang- ulang dan kontinu. Penduduk dewasa yang tinggal di daerah endemik sejak kecil, tidak lagi menunjukkan gejala penyakit meskipun masih mengandung parasit. Perbedaan di antara penderita malaria tropika dan malaria tertiana tersebut mungkin dapat dihubungkan dengan adanya proses sekuestrasi sel darah merah terinfeksi dalam organ-organ yang terjadi pada P. falciparum dan tidak terjadi pada P. vivax. Sekuestrasi yang terjadi pada P. falciparum ini dapat berakibat akumulasi dari produksi TNF dalam organ-organ yang terlibat sehingga kadar TNF yang beredar dalam sirkulasi tidak mencerminkan kadarnya di dalam organ yang mengalami gangguan fungsi. Sekuestrasi juga dapat berakibat pooling faktor penghambat produksi TNF dalam organ tersebut [31].

DAFTAR PUSTAKA

1. JOY, D., FENG, X., dan MU, J., Early origin and recent expansion of Plasmodium falciparum, Science, 300, 318-21, 2003.

3. GLOBALIS INDONESIA, Indonesia:

Malaria Cases

(http://globalis.gvu.unu.edu/indicator _detail.cfm?IndicatorID=74&Country=ID [Cited on May 23, 2007]).

4. CLYDE DF, dkk, Immunization of man against falciparum and vivax malaria by use of attenuated sporozoites. Am J Trop Med Hyg 24(3), 397, 1975.

5. ESCALANTE, A.A., and AYALA., F.J., Phylogeny of the malarial genus Plasmodium, derived from rRNA gene sequences, Proc. Natl. Acad. Sci. USA 91:11373-11377, 1994.

6. NUGROHO, A., HARIJANTO, P., dan DATAU, E., Imunologi pada Malaria. In: Harijanto PN, editor. Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, Jakarta, EGC, 128-150, 2000. 7. KWIATKOWSKI, D. and MARSH, K.,

Development of a malaria vaccine, Lancet, 350, 1696-1701, 1997.

8. GARDINER, D. L., MCCARTHY, J.S. and TRENHOLME, K.R., Malaria in the post- genomics era: light at the end of the tunnel or just another train?, Postgrad. Med. J., 81, 505-509, 2005.

9. CARO-AGUILAR, I., RODRIGUEZ, A., CALVO-CALLE, J.M., GUZMAN, F., DE LA VEGA, P., PATARROYO, M.E., GALINSKI, M.R., and MORENO, A.,

Plasmodium vivax promiscuous T-helper epitopes defined and evaluated as linear peptide chimera immunogens, Infect. Immun., 70, 3479-3492, 2002.

10. NARDIN, E. H., and R. S. NUSSENZWEIG, R.S., T cell responses to pre-erythrocytic stages of malaria: role in protection and vaccine development against pre- erythrocytic stages, Annu. Rev. Immunol., 11,

687-727, 1993.

11. JOSHI, S. K., BHARADWAJ, A., CHATTERJEE, S., and CHAUHAN, V.S., Analysis of immune responses against T- and B-cell epitopes from Plasmodium falciparum liver-stage antigen 1 in rodent malaria models and malaria-exposed human subjects in India, Infect. Immun. 68, 141-150, 2000.

12. FAVRE, N., RYFFEL, B., BORDMANN, G., and RUDIN, W., The course of

13. STEVENSON, M. M., TAM, M.F., WOLF, S.F. and SHER, A., IL-12-induced protection against blood-stage Plasmodium chabaudi AS requires IFN-gamma and TNF- alpha and occurs via a nitric oxide- dependent mechanism, J. Immunol., 155,

2545-2556, 1995.

14. ARTAVANIS-TSAKONAS, K., and

RILEY, E.M., Innate immune response to malaria: rapid induction of IFN-gamma from human NK cells by live Plasmodium falciparum-infected erythrocytes, J. Immunol., 169, 2956-2963, 2002.

15. FRANCIS, N., and WARRELL, D.A., Pathology and Pathophysiology of human malaria, In : Bruce Schwatt’s Essential Malariology, 3rd Edition (Eds. Gilles H M and Warrell D A.), 1993, Pp 50-59.

16. DEVONSHIRE, A. L. and FIELD, L. M., Gene amplification and insecticide resistance, Ann. Rev. Entomol., 36, 1-23, 1991.

17. RAMHARTER, M., WILLHEIM, M., WINKLER, H., WAHL, K., LAGLER, H.,

GRANINGER, W., WINKLER, S.,

Cytokine profile of Plasmodium falciparum- specific T cells in non-immune malaria patients, Parasite Immunol., 25(4), 211-219, 2003.

18. NUSSENZWEIG R, dkk, Protective immunity produced by the injection of x- irradiated sporozoites of Plasmodium berghei. Nature, 216, 160, 1967.

19. ABATH, F.G.C., Development of vaccines against human parasitic diseases: tools, current status and perspectives, Expert Opinion on Investigational Drugs, 9(2), 301- 310, 2000.

20. KREMSNER, P.G., ZOTTER, G.M., FELDMEIER, H., et al. Immune response in patients during and after Plasmodium falciparum infection, J. Infect. Dis., 161, 1025-1028, 1990.

21. PEYRON, F., BURDIN, N., RINGWALD, P., et al. High levels of circulating IL-10 in human malaria, Clinical and Experimental Immunology, 95, 300-303, 1994.

22. KERN, P., HEMMER, C.J., DAMME, J.V., et al. Elevated tumor necrosis factor alpha and interleukin-6 serum levels as markers for complicated Plasmodium falciparum

23. TODRYK, S.M. and WALTHER, M., Building better T-cell-inducing malaria vaccines, Immunology, 115(2), 163–169, 2005.

24. WORLD HEALTH ORGANIZATION,

Initiative for Vaccine Research, State the art of vaccine research and development, 2005, http:/www.who.int/vaccines-documents. 25. HOOK RH, GREEN TJ and STUART MK.

Rheumatoid factor-like IgM in Plasmodium berghei (Apicomplexa Haemosporida) infections of Balb /C mice, Folia griculture cal 50, 176-182, 2003.

26. RACHMILEWITZ, D. dkk, Toll-like receptor 9 signaling mediates the anti- inflammatory effects of probiotics in murine experimental colitis, Gastroenterology, 126, 520-528, 2004.

27. DEMICHELI, M.C., REIS, B.S., GOES,

A.M., DE ANDRADE, A.S.R.,

Paracoccidioides brasiliensis: attenuation of yeast cells by gamma irradiation, Mycoses, 49(3), 184-189, 2006.

28. YADEV, M.S., SEKARAN, S.D., and DHALIWAL, J.S., Induction of protection in rats and mice with radiation attenuate

Plasmodiium berghei (in: Nuclear Techniques in the Study of Parasitic Infections, Proc. Symp. Vienna, 11) IAEA, Vienna 76, 1982.

29. HOFFMAN, S.L., GOH, M.L., LUKE, T.C., Protection of humans against malaria by immunization with radiation-attenuated

Plasmodium falciparum, The Journal of Infectious Diseases, 185, 1155 – 1164, 2002. 30. SRI HIDAJATI, B.S., Peran Tumor Necrosis Factor (TNF) dan faktor penghambat produksi TNF pada gejala klninik malaria falciparum dan malaria vivax

di daerah hipoendemik Lombok, PhD Thesis, Universitas Airlangga, 2008.

31. WORLD HEALTH ORGANIZATION

(WHO) South East Asia Regional Office. 2004. Situation Of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever In the South-East Asia Region: Prevention And Control Status In SEA Countries.

DISTRIBUSI KONSENTRASI

40

K,

226

Ra,

228

Ra DAN

228

Th

Dalam dokumen KESELAMATAN, KESEHATAN DAN LINGKUNGAN IV (Halaman 117-122)