• Tidak ada hasil yang ditemukan

VAKSIN MALARIA

Dalam dokumen KESELAMATAN, KESEHATAN DAN LINGKUNGAN IV (Halaman 111-117)

DALAM PENGEMBANGAN VAKSIN MALARIA DENGAN IRADIAS

VAKSIN MALARIA

Malaria sebagai salah satu penyakit menular dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini tidak hanya menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan

kematian, disamping menurunkan

produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya. Upaya pemberantasan malaria tropika dilakukan dengan pendekatan pengobatan, pemberantasan vektor dan pencegahan. Banyak kendala dalam penanggulangan antara lain resistensi obat terhadap berbagai strain dan resistensi vektor terhadap insektisida [16]. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah resistensi malaria tersebut adalah tindakan pencegahan dengan pemberian vaksin yang dapat dibuat berdasarkan stadium dari plasmodium. Vaksin atau imunisasi merupakan tindakan yang paling tepat. Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok. Yang pertama adalah populasi di daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara/daerah non- endemik yang berkunjung ke negara/daerah endemik. Untuk turis, sebenarnya malaria dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis, namun karena pertimbangan efek samping,

kenyamanan, maka diharapkan suatu alternatif pencegahan malaria yang lebih baik.

Perkembangan di bidang imunologi dan biologi molekuler telah menghasilkan berbagai produk vaksin yang kemudian dapat digunakan untuk diagnosis dan pencegahan malaria. Saat ini terdapat beberapa peptida yang menunjukkan potensi protektif pada binatang percobaan dan disebut kandidat vaksin (MSA-1, MSA-2, AMA-1, NANP, EENV). MSA-1, MSA-2 dan AMA-1 merupakan antigen yang diharapkan dapat dikembangkan menjadi vaksin, karena dalam penelitian patogenesis menunjukkan adanya hubungan dengan pertahanan diri terhadap malaria di daerah endemis. Jenis sitokin yang diproduksi dalam suatu individu saat terkena penyakit atau saat terinfeksi parasit dapat menunjukkan sel T yang berperan dalam keadaan tersebut [17].

Adanya memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau imunoglobulin diduga berperan pada proses pembentukan kekebalan terhadap malaria. Individu yang sudah terpapar Plasmodium dalam waktu yang lama kemungkinan telah membangun imunitas sehingga gejala infeksi tidak terlalu nyata, walaupun dari analisis darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum darah seorang dewasa yang sudah beberapa kali terpapar Plasmodium diberikan kepada orang lain yang belum pernah terpapar, maka resipien akan memperoleh sejumlah imunitas. Oleh karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat

memaparkannya pada Plasmodium yang dilemahkan. Dalam hal ini sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena sesuai dengan bentuk Plasmodium yang dimasukkan oleh nyamuk ke dalam tubuh manusia. Konsep ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit menggunakan radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat bervariasi membuat konsep ini tidak terlalu berkembang pada saat itu. Sedangkan pada masa sekarang, permasalahan utama adalah resistensi parasit terhadap obat yang berkembang dengan cepat [18].

Secara teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodium dalam tubuh manusia dapat dibuatkan vaksin. Selain tahap sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain dari siklus hidup Plasmodium. Vaksin pra-eritrositik (hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan tropozoit dari skizon hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang terinfeksi. Vaksin eritrositik diharapkan dapat menghambat multiplikasi tropozoit yang dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi trofozoit terhadap eritrosit. Ada pula konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah penularan lebih lanjut lewat nyamuk.

SPf66 adalah kandidat vaksin yang dikembangkan pada tahun 1987 dengan menggunakan antigen permukaan sporozoit dan merozoit P. falciparum. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal pada fase III, dimana efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.

CSP adalah vaksin terhadap P. falciparum

yang menggunakan rekombinan terhadap komposisi protein permukaan sporozoit (circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin Pseudomonas aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal pada fase I, karena efek protektifnya tidak terlalu kuat.

Vaksin multifase NYVAC-Pf7

(kombinasikan 7 antigen P. falciparum), vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4 antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA- 1, antigen serin, MSP-1) yang protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi protektif pada manusia.

RTS,S yang merupakan kandidat vaksin rekombinan mengandung protein permukaan sporozoit P. falciparum dari fase pra- eritrositik yang digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B sehingga diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21 (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup baik, terutama

anak mencapai 53% untuk adjuvan AS01E dan 65.2% untuk adjuvan AS02D.

PvRII (P. vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P. vivax

yaitu antigen Duffy.

PfSPZ Sanaria adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh P. falciparum yang dilemahkan dengan radiasi sebagai pemicu respon imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode iradiasi nyamuk yang mengandung P. falciparum

untuk melemahkan parasit yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.

Konsep vaksin malaria di masa mendatang tampaknya akan bertitik tolak dari tahapan siklus hidup Plasmodium, misalnya penelitian terhadap bagian mana saja dari Plasmodium yang imunogenik, antigen permukaan, dan penelitian berbasis DNA Plasmodium. Diharapkan dengan modifikasi DNA, seperti pembuangan atau penambahan segmen genom yang mengkode protein tertentu, Plasmodium akan melemah namun tetap bersifat imunogenik.

IMUNOLOGI

Vaksin diberikan dengan tujuan untuk membentuk sistem imun. Namun imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Kemunculan imunitas spesifik

pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan sempurna [20,21]. Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan zat-zat tertentu dari sel-sel imunitas tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag atau monosit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan limfosit T menghasilkan TNF-alfa, IFN-gamma, IL-4, IL-8, IL-10 dan IL-12.

Bentuk imunologi terhadap malaria dapat dibedakan menjadi tiga kategori sbb: a). Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin C, hemoglobin E, thalasemia α/β, defisiensi glukosa-6 fosfat dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duffy negatif yang kebal terhadap infeksi P. vivax, individu dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu misalnya HLA Bw53 yang lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.

b). Imunitas non-spesifik (non-adaptive/innate). Sporozoit yang masuk ke dalam darah segera dihadapi oleh respon imun non-spesifik terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 dan langsung

menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik).

c). Imunitas spesifik. Tanggapan sistem imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stadium spesifik. Imunitas terhadap stadium siklus hidup parasit (stage specific), dibagi menjadi [22] : - Imunitas pada stadium eksoeritrositer (ekstrahepatal/stadium sporozoit). Respon imun pada stadium ini berupa antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke dalam hepatosit dan antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi. Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini berupa Limfosit T sitotoksik CD8+ dan antigen/antobodi pada stadium hepatosit seperti

Liver stage antigen-1(LSA-1), LSA-2, LSA-3 (Gambar 2).

- Imunitas pada stadium aseksual eritrositik berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin parasit.

- Imunitas pada stadium seksual berupa antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi, menghambat transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada stadium seksual prefertilisasi, dan antigen/antibodi pada stadium seksual postfertilisasi.

Gambar 2. Siklus hidup

malaria yang menunjukkan antigen yang terekspresi dan suatu

representasi mekanisme efektor imun tahap hati, S : sporozoit; M :merozoit; G : gametosit.

Mekanisme respon imun didapat (acquired) yang disebutkan di atas berlangsung sangat komplek dan belum sepenuhnya dimengerti. Secara kronologis, imunitas yang didapat ini berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama, menghasilkan kemampuan untuk membatasi kelainan klinis, walaupun jumlah parasit di dalam darah masih tinggi. Tahap kedua, menghasilkan kemampuan untuk menekan jumlah parasit di dalam darah. Tahap kedua ini bersifat spesifik untuk spesies dan stadium parasit, dan terutama bekerja terhadap stadium aseksual dalam eritrosit. Namun ternyata kemudian stadium lain juga bersifat imunogenik sehingga infeksi yang alami terjadi juga antibodi terhadap sporozoit dan bentuk- bentuk lain dalam stadium seksual yang telah dijelaskan di atas.

Disamping antibodi, limfosit T yang teraktivasi memegang peranan penting dalam

infeksi sporozoit intraseluler. Adanya infeksi sporozoit akan merangsang sub set sel T helper, dalam hal ini T helper 1 (Th1) untuk mensekresi limfokin yaitu IFN-γ dan TNF-α. Sekresi kedua limfokin ini akan mengaktivasi makrofag, dimana makrofag akan menghasilkan nitrogen oksida dan senyawa lain untuk membunuh parasit. Peningkatan sekresi IFN-γ clan TNF-α oleh aktivasi makrofag dapat meningkatkan reaksi pertahanan tubuh terhadap malaria terutama terhadap sporozoit pada rase ekstra eritrosit (intraseluler) [21]. Respon imun memerlukan bentuk dan target yang cukup untuk melawan antigen yang sesuai, demikian juga dalam hal ekspresi antigennya. Respon imun yang dimediasi sel, terutama sel T CD4+ dan CD8+, terimplikasikan dalam proteksi melawan infeksi tahap hati dan antibodi yang terlibat dalam proteksi melawan sporozoit (Gambar 3) [23].

Gambar 3. Tampilan representatif sel T yang menyerang sel hati yang terinfeksi dengan mensekresi limfokin yaitu IFN-γ.

Tabel 1. Peranan antibodi dan sistem imunitas di setiap tahapan siklus hidup Plasmodium.

Tahap siklus hidup Respon imun

Sporozoit - Antibodi memblok invasi hepatosit

- Aantibodi membunuh sporozoit melalui fiksasi komplemen atau opsonisasi

Hepatosit terinfeksi

- Lisis yang dimediasi Cytotoxic T-cell Lymphocytes (CTL)

- CD4+ membantu aktivasi dan diferensiasi CTL

- Sitokin lokal dilepaskan oleh sel-T atau antigen presenting cell (APC)

- Lisis yang dimediasi antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC) atau sitokin.

Eritrositik aseksual

- Pelepasan sitokin lokal langsung membunuh eritrosit terinfeksi atau parasit intraselular.

- Antibodi meng-aglutinasi merozoit sebelum schizont hancur - Antibodi memblok invasi merozoit terhadap sel darah merah

opsonisasi atau fagositik

- Antibodi menyelubungi merozoit pada saat invasi yang membunuh parasit intraeritrositik

- Antibodi mengaglutinasi sel darah merah terinfeksi dan mencegah sitoaderen dengan memblok interaksi reseptor-ligand (reseptor CD-36)

- Antibodi menetralisir toksin parasit larut yang berbahaya

Eritrositik seksual

- Sitokin membunuh gametosit dalam sel darah merah terinfeksi

- Antibodi membunuh gametosit dalam sel darah merah terinfeksi melalui C' - Antibodi mengganggu proses pematangan

- Antibodi mengahambat transformasi zygote menjadi ookinete - Antibodi memblok ookinete dari midgut nyamuk

Dalam dokumen KESELAMATAN, KESEHATAN DAN LINGKUNGAN IV (Halaman 111-117)