BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
F. Validasi Metode Analisis
Validasi metode menurut * $) " (* $) dilakukan
untuk menjamin bahwa metode analisis bersifat akurat, spesifik, reprodusibel, dan
tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Secara singkat, validasi merupakan
aksi konfirmasi bahwa metode analisis yang akan digunakan sesuai dengan tujuan
yang diinginkan (Rohman, 2009).
Tujuan utama validasi metode adalah untuk menghasilkan hasil analisis
yang paling baik. Untuk memperoleh hasil tersebut, semua variabel yang terkait
dengan metode analisis harus dipertimbangkan seperti prosedur pengambilan
sampel, tahap penyiapan sampel, jenis penyerap yang digunakan pada
kromatografi, fase gerak, dan sistem deteksinya. Banyaknya parameter yang harus
Metode analisis menurut ) * $) " +,) tahun
2007 dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :
a. Kategori I, mencakup prosedur analisis kuantitatif, untuk menetapkan kadar
komponen utama bahan obat atau zat aktif dalam sediaan farmasi.
b. Kategori II, mencakup prosedur analisis kualitatif dan kuantitatif yang
digunakan untuk menganalisis " dalam ruahan obat ( ) atau produk
degradasi dalam produk obat akhir.
c. Kategori III, mencakup prosedur analisis yang digunakan untuk menentukan
karakteristik penampilan suatu sediaan farmasi, misalnya disolusi dan
pelepasan obat.
d. Kategori IV, mencakup uji identifikasi.
Setiap kategori metode analisis memiliki persyaratan validasi yang berbeda-beda
seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini.
Tabel I. Parameter analisis validasi metode (United States Pharmacopeial Convention, 2007) Parameter
kinerja analisis
Kategori I Kategori II Kategori III Kategori IV
Kuantitatif Batas Tes
Akurasi Presisi Spesifisitas LOD LOQ Linearitas Range Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya * Tidak Ya Ya Tidak Tidak * * Ya * * * * * Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
* = Mungkin diperlukan (tergantung sifat spesifik tes)
2. Parameter Validasi
a. Selektivitas. Selektivitas suatu metode analisis untuk mengukur analit
yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen lain
analit yang dituju dengan pengganggu lainnya harus > 1,5 (Swartz dan Krull,
1997).
b. Linearitas. Linearitas merupakan kemampuan suatu metode (pada
rentang tertentu) untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional
dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam sampel. Persyaratan data linearitas
yang bisa diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) ≥ 0,999 (Ermer dan
Miller, 2005).
c. Akurasi. Akurasi atau kecermatan metode analisis adalah kedekatan
hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan metode tersebut dengan nilai
yang sebenarnya. Penentuan kecermatan metode analisis biasanya dinyatakan
dengan persen perolehan kembali terhadap sampel yang kadarnya telah diketahui
dengan pasti (Mulja dan Suharman, 1995).
Tabel II. Kriteria rentang yang dapat diterima (Garfield, ., Harmita, 2004) Analit pada matriks sampel
(%)
Rata-rata yang diperoleh (%)
100 98-102 >10 98-102 >1 97-103 >0,1 95-105 0,01 90-107 0,001 90-107 0,0001 80-110 0,00001 80-110 0,000001 60-115 0,0000001 40-120
d. Presisi. Presisi suatu metode analisis merupakan sejumlah pencaran
hasil yang diperoleh dari analisis berulang kali pada suatu sampel homogen.
dapat dinyatakan memiliki presisi yang baik apabila memiliki nilai CV ≤ 2%
(Harmita, 2004).
Tabel III. Kriteria CV yang dapat diterima (Garfield, ., Harmita, 2004) Kadar analit (%) CV (%)
≥ 1 2,5
0,1 5
0,0001 16
0,0000001 32
e. Batas Deteksi (& atau LOD). Batas deteksi
dedefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat
dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji
yang secara spesifik menyatakan apakah analit di atas atau di bawah nilai tertentu.
Sebagai contoh, batas deteksi merupakan banyaknya sampel yang menunjukkan
respon (S) 3 kali terhadap derau (N) atau LOD = 3 S/N (Swartz dan Krull, 1997).
f. Batas Kuantifikasi (& - atau LOQ). Batas
kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang
dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi
operasional metode yang digunakan. Rasio 10 : 1 digunakan untuk
menentukan LOQ (Rohman, 2009).
g. Kisaran. Menurut definisi ICH, kisaran suatu prosedur analisis adalah
interval antara konsentrasi (jumlah) analit pada level atas dan pada level bawah
dalam suatu sampel, yang mana dapat ditunjukkan bahwa prosedur analisis
mempunyai level akurasi, presisi dan linearitas yang sesuai (Rohman, 2009).
h. Kekasaran ( ). Kekasaran ( ) merupakan tingkat
yang diekspresikan sebagai persen standar deviasi relatif (% RSD).
Kondisi-kondisi ini meliputi laboratorium, analis, alat, reagen, dan waktu percobaan yang
berbeda (Rohman, 2009).
i. Ketahanan ( ). Ketahanan merupakan kapasitas metode untuk
tetap tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter metode yang kecil.
Ketahanan dievaluasi dengan melakukan variasi parameter-parameter metode
seperti presentase pelarut organik, pH, kekuatan ionik, dan suhu (Gandjar dan
Rohman, 2007).
G. Landasan Teori
Nikotin banyak terdapat dalam tanaman tembakau. Di dalam suatu
ekstrak etanolik daun tembakau banyak terdapat senyawa lain selain nikotin,
seperti nornikotin, anabasin, dan anatabin. Nikotin dan senyawa lain dalam
ekstrak etanolik daun tembakau dapat dipisahkan dengan metode KLT karena
adanya perbedaan interaksi antara nikotin dengan senyawa-senyawa lain dalam
ekstrak dengan fase diam dan fase gerak yang digunakan. Setelah pemisahan
dengan KLT, bercak analit dapat dianalisis kuantitatif dengan metode
densitometri. Penetapan kadar dilakukan dengan mengukur kerapatan bercak
senyawa.
Suatu metode baru yang dikembangkan harus melalui tahapan validasi
metode untuk memberikan jaminan bahwa metode analisis yang digunakan
bersifat akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan
dipercaya. Sebelum melakukan validasi metode dilakukan optimasi metode
terlebih dahulu untuk mengoptimalkan kondisi awal analisis berupa resolusi,
bentuk " , faktor asimetri, dan reprodusibilitas nilai Rf dan . Parameter
kondisi optimum metode telah terpenuhi dengan menggunakan fase diam silika
gel 60 F254 dan fase gerak n-heksan: toluen: dietilamin (15,25:5,75:4) sehingga
diperoleh hasil bentuk " kromatogram yang simetris dan runcing yang dilihat
dari nilai " dari 3 kali replikasi pada konsentrasi rendah,
sedang, dan tinggi adalah 1, nilai resolusi 3 kali replikasi sampel berturut-turut
adalah 1,58; 1,89; dan 1,88; serta reprodusibilitas nilai R dan dengan CV
berturut-turut adalah 1,79% dan 0%.
Melalui adanya proses optimasi metode analisis, maka akan memberikan
jaminan kondisi yang optimum terhadap sistem yang digunakan dalam melakukan
proses validasi metode. Parameter validasi yang diteliti meliputi selektivitas,
linearitas, akurasi, dan presisi. Suatu metode dinyatakan valid apabila memenuhi
persyaratan parameter validasi yang ditetapkan.
H. Hipotesis
Metode KLT-densitometri pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak
etanolik daun tembakau memenuhi parameter-parameter validasi, yaitu
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat non eksperimental deskriptif karena
tidak terdapat manipulasi dan perlakuan terhadap subjek uji.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas adalah sistem KLT yang telah dioptimasi, yaitu fase diam silika
gel 60 F254 dan fase gerak n-heksan: toluen: dietilamin (15,25 : 5,75 : 4).
2. Variabel tergantung adalah parameter validasi yaitu selektivitas, linearitas,
akurasi, dan presisi.
3. Variabel pengacau terkendali adalah :
a. Pelarut, untuk mengatasinya digunakan pelarut " analisis yang memiliki
kemurnian tinggi.
b. Larutan baku nikotin yang bersifat mudah teroksidasi oleh udara atau
cahaya, untuk mengatasinya digunakan untuk menutupi
alat-alat gelas.
c. Paparan cahaya dan udara terkait dengan sifat nikotin yang fotosensitif dan
mudah teroksidasi, untuk mengatasinya pada saat preparasi semua peralatan
gelas yang akan digunakan dilapisi dengan serta dalam
pengerjaannya dilakukan dalam ruangan dengan intensitas cahaya yang
C. Definisi Operasional
1. Nikotin merupakan suatu alkaloid dari ekstrak tanaman tembakau.
2. Ekstrak tembakau yang digunakan merupakan sediaan pekat yang diperoleh
dengan mengekstraksi daun kering yang berasal dari tanaman tembakau
dengan pelarut etanol menggunakan metode ekstraksi soxhletasi.
3. Sistem KLT yang digunakan dalam penelitian adalah fase diam silika gel 60
F254 dan fase gerak n-heksan : toluen : dietilamin (15,25 : 5,75 : 4).
4. Densitometri merupakan salah satu dari metode analisa dengan mengukur
kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan secara KLT.
5. Kadar nikotin dinyatakan dalam " " (ppm).
6. Parameter validasi yang digunakan adalah selektivitas, linearitas, akurasi, dan
presisi.
D. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan
berkualitas " analisis (" ) kecuali dinyatakan lain, yaitu baku nikotin (
), ekstrak etanolik daun tembakau, etanol, n-heksan, toluen, dietilamin,
NaOH 4M, HCl encer (22,6%), aquadest, kloroform, metanol, amonia, etanol
E. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
densitometer . ' & + CAT. No. 027.6485 SER. No.160602/,
autosampler ( ' & 0 CAT. No. 027.7808. SER. No. 170610),
indikator pH, mikropipet 1 ACURA 825 (100-1000 µL), neraca analitik
( SBC 22 max 60/210 g; min 0,001 g; d=0,01/0,1mg; e=1mg),
ultrasonikator ( )tipe T460 no V935922013 Ey), stirer (2 ") MR 2002),
dan alat-alat gelas yang umum digunakan dalam analisis ($ 1).
F. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan fase gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian menggunakan campuran
heksan : toluen : dietilamin (15,25:5,75:4). Komponen fase gerak terdiri atas
n-heksan sebanyak 15,25 mL, toluen sebanyak 5,75 mL, dan dietilamin sebanyak 4
mL. Masing-masing komponen fase gerak dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL
kemudian digojog sehingga campuran homogen.
2. Pembuatan larutan baku
a. Pembuatan larutan stok nikotin 50 ppm. Larutan induk (baku) nikotin
sebanyak 248 µL dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 5 mL dan
dilarutkan dalam etanol hingga tanda.
b. Pembuatan seri larutan baku nikotin. Larutan stok nikotin sebanyak
mL kemudian diencerkan dengan etanol hingga tanda, sehingga diperoleh
konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm.
3. Penetapan panjang gelombang pengamatan
Seri larutan baku konsentrasi 1 ppm, 3 ppm, dan 5 ppm masing-masing
ditotolkan dengan volume penotolan 1 µL pada plat KLT dengan fase diam silika
gel 60 F254 dan setelah kering dikembangkan dalam bejana kromatografi yang
telah dijenuhi dengan fase gerak dengan jarak pengembangan 10 cm. Setelah
mencapai jarak rambat 10 cm, plat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan. Plat
hasil pengembangan kemudian secepatnya di pada panjang gelombang
pengamatan (200-300 nm) menggunakan & pada densitometer.
4. Pembuatan kurva baku nikotin dan pengamatan nilai (Rf) nikotin
Seri larutan baku konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm masing-masing
ditotolkan dengan volume penotolan 1 µL pada plat KLT dengan fase diam silika
gel 60 F254 dan setelah kering dikembangkan dalam bejana kromatografi yang
telah dijenuhi dengan fase gerak. Setelah mencapai jarak rambat 10 cm, plat
dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan. Plat hasil pengembangan kemudian
secepatnya diukur AUC dan tinggi " nya dengan densitometer pada λ
pengamatan 261 nm. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali dan pilih persamaan
kurva baku yang paling baik. Selain itu dilihat pula nilai Rf dari masing-masing
5. Penentuan dan (CV) baku
Seri larutan baku konsentrasi 1 ppm, 3 ppm, dan 5 ppm diberi perlakuan
seperti pada poin F.4. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali. Selanjutnya dihitung
kadar terukur dengan menggunakan persamaan kurva baku yang telah dibuat pada
poin F.4. Berdasarkan data ini dapat ditentukan dan CVnya.
6. Penentuan dan (CV) baku dalam
matriks sampel
a. Preparasi larutan sampel (LS). Ekstrak kental daun tembakau sejumlah
1 g ditimbang seksama kemudian ditambahkan 10 mL HCl encer (22,6%) dan
diultrasonifikasi selama 30 menit. Setelah itu kloroform 10 mL ditambahkan dan
dimasukkan ke dalam corong pisah dan dilakukan penggojogan selama 5 menit
hingga terbentuk dua lapisan, kemudian diambil fase polar di bagian atas. Pada
fase tersebut NaOH 4M sebanyak 8 mL ditambahkan sambil diaduk dengan stirer
hingga larutan bersifat basa, dan dicek pH-nya dengan menggunakan pH
indikator. Setelah pH basa (pH ± 12) kemudian kloroform 10 mL ditambahkan
dan kembali digojog selama 5 menit dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan,
kemudian diambil fase non polar pada bagian bawah. Kloroform diuapkan di
dalam lemari asam dan setelah seluruh kloroform menguap kemudian
ditambahkan sedikit etanol dan larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 5
mL dan diencerkan dengan etanol hingga tanda.
b. Pembuatan larutan sampel dengan adisi (LSN). Larutan sampel nikotin
sebanyak 1,125 mL diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar 5 mL. Larutan
dengan konsentrasi 50 ppm dan diencerkan dengan etanol hingga tanda, sehingga
diperoleh kadar kurang lebih 4 ppm. Replikasi dilakukan sebanyak lima kali.
c. Pengembangan dan pengukuran. LS dan LSN diberi perlakuan seperti
pada poin F.4. Setelah itu dihitung kadar baku nikotin dalam sampel
menggunakan persamaan kurva baku yang telah dibuat pada poin F.4. Kadar baku
nikotin dalam sampel adalah selisih kadar LSN dengan kadar LS. Selanjutnya
dihitung dan CVnya.
G. Analisis Hasil 1. Selektivitas
Selektivitas ditentukan dengan membandingkan nilai Rf baku dan Rf
sampel. Selain itu, selektivitas juga ditunjukkan dengan nilai resolusi > 1,5.
Resolusi (Rs) =
2. Linearitas
Linearitas dilihat dari nilai r (koefisien korelasi) hasil pengukuran seri
baku nikotin. Suatu metode memiliki linearitas yang baik jika r ≥ 0,999.
3.Akurasi
Akurasi metode analisis dinyatakan dengan yang dapat dihitung
dengan cara berikut:
4.Presisi
Presisi metode analisis dinyatakan dengan
(CV), yang dapat dihitung dengan cara berikut:
CV = " !
5. Akurasi pengukuran baku dalam matriks sampel
= "
29 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
optimasi yang dilakukan pada rangkaian penelitian ini, yaitu n-heksan : toluen :
dietilamin (15,25:5,75:4) (Chairio, 2011). Tujuan pembuatan fase gerak dengan
jenis dan komposisi tersebut adalah untuk menghasilkan polaritas fase gerak yang
sesuai sehingga dapat memisahkan nikotin secara optimal. Oleh karena itu,
dibutuhkan fase gerak yang mampu berinteraksi dengan nikotin sehingga mampu
mengelusi nikotin dari fase diam silika gel 60 F254. Sistem kromatografi pada
penelitian ini merupakan kromatografi fase normal, karena fase gerak pada
penelitian ini bersifat lebih non polar daripada fase diamnya.
B. Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan yaitu larutan ekstrak etanolik daun tembakau.
Daun tembakau dikeringkan, diserbuk dan dilakukan ekstraksi dengan metode
soxhletasi menggunakan pelarut etanol 96%, karena nikotin larut dalam etanol.
Prinsip ekstraksi adalah pemisahan senyawa dari campuran senyawa dengan
pelarut yang sesuai. Metode soxhletasi ini menggunakan pemanasan yang
dilakukan terus-menerus, nikotin termasuk senyawa yang stabil terhadap
pemanasan, titik didih nikotin cukup tinggi yaitu 247°C, sehingga metode
metode soxhletasi karena pada soxhletasi proses penyarian simplisia berlangsung
secara berkesinambungan dan pelarut selalu baru sehingga lebih efektif dalam
penyarian nikotin, serta jumlah pelarut yang dibutuhkan lebih sedikit. Ekstrak
kental hasil soxhletasi kemudian dipreparasi dengan menambahkan HCl encer
(22,6% v/v) dan dilakukan ultrasonifikasi untuk membantu pelarutan.
+ HCl
Cl
nikotin hidroklorida nikotin
Gambar 6. Reaksi penggaraman nikotin dengan larutan HCl
Berdasarkan gambar 6, dengan adanya penambahan HCl maka nikotin
akan terprotonasi menjadi nikotin hidroklorida. Langkah selanjutnya yaitu
penambahan kloroform di dalam corong pisah dan digojog selama 5 menit
sehingga akan terjadi pemisahan. Pemisahan ini bertujuan untuk memisahkan
nikotin dari senyawa-senyawa non polar yang mungkin terikut seperti senyawa
hidrokarbon, minyak, zat lilin, dan steroid pada daun tembakau.
Senyawa-senyawa non polar tersebut dapat mengganggu proses elusi nikotin ketika
ditotolkan karena bobot molekul yang besar. Nikotin yang terprotonasi akan
berada dalam fase polar atau pada bagian atas, sedangkan senyawa-senyawa non
polar akan berada di bagian bawah. Fase polar diambil dan ditambah dengan
NaOH sehingga nikotin kembali ke bentuk molekul basanya, kemudian ditambah
+ NaOH
nikotin
+ NaCl
nikotin hidroklorida
Cl
Gambar 7. Reaksi pembentukan molekul nikotin basa
Berdasarkan gambar 7, nikotin hidroklorida bereaksi dengan NaOH
membentuk nikotin basa, maka nikotin akan berada di fase non polar (bagian
bawah) karena telah berada dalam bentuk molekulnya dan nikotin larut dalam
kloroform. Fraksi kloroform diuapkan sehingga hanya tersisa nikotin dan alkaloid
lain yang memiliki kemiripan sifat dengan nikotin, yaitu nornikotin, anabasin, dan
anatabin. Nikotin memiliki titik didih yang tinggi sehingga tidak ikut menguap
bersama kloroform. Setelah kloroform diuapkan kemudian nikotin dilarutkan
dalam etanol
Selama proses preparasi sampel, semua peralatan gelas yang digunakan
dilapisi dengan dikarenakan sifat dari nikotin yang tidak stabil
terhadap paparan cahaya dan udara. Apabila larutan nikotin dibiarkan dalam
keadaan terpapar dengan udara, maka nikotin akan teroksidasi dan berubah
menjadi warna coklat. , ) , dan nikotin N-1 oksida adalah
produk degradasi yang terbentuk akibat proses oksidasi pada nikotin.
C. Pembuatan Larutan Baku
Larutan baku nikotin dibuat dengan melarutkan baku nikotin dengan
3, 4, dan 5 ppm. Pemilihan seri konsentrasi ini disesuaikan dengan respon
detektor terhadap sinyal (" ) yang dihasilkan, sehingga tidak terganggu oleh
yang dihasilkan alat. Selain itu pemilihan seri konsentrasi ini juga bertujuan
agar respon analit dalam sampel dapat masuk dalam respon seri larutan baku yang
dibuat, sehingga persamaan kurva baku yang diperoleh dapat digunakan untuk
penetapan kadar analit dalam sampel.
D. Penetapan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin
Tujuan dari penetapan panjang gelombang pengamatan yaitu untuk
mendapatkan panjang gelombang analisis yang dapat memberikan serapan
nikotin. Pada penelitian ini hanya nikotin yang dianalisis, sehingga panjang
gelombang pengamatan yang digunakan adalah panjang gelombang dimana
nikotin memberikan serapan maksimum. Alasan penggunaan panjang gelombang
maksimum adalah pada panjang gelombang maksimum analit memberikan respon
yang maksimum, perubahan respon untuk setiap konsentrasi zat adalah yang
paling besar, sehingga kepekaan analisis maksimal dan dapat meminimalkan
kesalahan sewaktu pengukuran.
Gambar 8. Kromofor pada nikotin
Berdasarkan gambar 8, nikotin memiliki kromofor yang pendek pada
cincin piridinnya. Ikatan terkonjugasi yang pendek menyebabkan panjang
gelombang maksimalnya kecil, sehingga nikotin menyerap radiasi pada daerah
ultraviolet. Oleh karena itu, panjang gelombang maksimum nikotin
dilakukan pada 200-300 nm menggunakan alat densitometer.
Gambar 9. Densitogram baku nikotin dengan konsentrasi 3 ppm dalam pelarut etanol
Panjang gelombang teoritis nikotin yaitu 262 nm (Popl, Fanhrich, dan
Tatar, 1990). Berdasarkan gambar 9, hasil percobaan menunjukkan panjang
gelombang maksimum nikotin pada λ 261 nm. Jika dibandingkan dengan panjang
gelombang nikotin teoritis maka terjadi pergeseran sebesar 1 nm. Pergeseran ini
masih memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia edisi IV
(1995) karena dimaknai memenuhi syarat jika tepat atau dalam batas 2 nm dari
panjang gelombang yang ditentukan. Dengan demikian panjang gelombang 261 nm
maksimum nikotin sesuai dengan panjang gelombang teoritis, sehingga dapat
dipastikan senyawa tersebut adalah nikotin. Menurut Moffat, Osselton, dan
Widdop (2011), pada pelarut asam dan panjang gelombang 259 nm, nikotin
memiliki # !$ sebesar 338a , maka nilai absorptivitas molarnya (ε) adalah 5482,36 M-1cm-1. Berdasarkan nilai absorptivitas molarnya, nikotin cukup sensitif
diukur dengan detektor UV pada alat densitometer.
E. Pengamatan Nilai (Rf) dan Pembuatan Baku Nikotin
Nilai Rf merupakan parameter analisis kualitatif yang nantinya digunakan
untuk mengetahui ada tidaknya analit dalam sampel. Pengamatan nilai Rf
menggunakan konsentrasi tengah seri baku nikotin, yaitu 3 ppm. Berdasarkan
pengamatan, nilai Rf baku nikotin yaitu 0,52.
Gambar 10. Kromatogram baku nikotin konsentrasi 3 ppm (Rf = 0,52)
Nilai Rf nikotin dipengaruhi oleh interaksi nikotin dengan fase diam dan
fase gerak. Interaksi nikotin dengan fase diam dan fase gerak dapat dilihat pada
H
Gambar 11. Interaksi hidrogen nikotin dengan fase diam silika gel 60 F254
Interaksi Van der Waals
Transfer muatan
Interaksi hidrogen
Gambar 12. Interaksi nikotin dengan fase gerak ( n-heksan : toluen : dietilamin)
Berdasarkan gambar 11 dan 12, nampak bahwa interaksi nikotin dengan
fase gerak lebih dominan dibandingkan dengan fase diamnya. Adanya interaksi
hidrogen antara nikotin dan fase diam menyebabkan nikotin tertambat pada fase
diam namun hanya pada permukaannya (adsorpsi), sedangkan dengan fase gerak
terjadi interaksi hidrogen, transfer muatan, dan interaksi Van der Waals. Interaksi
yang sesuai antara nikotin dengan fase diam dan fase gerak akan menghasilkan
pemisahan yang maksimal.
Fase gerak yang digunakan yaitu n-heksan : toluen : dietilamin (15,25 :
5,75 : 4). Indeks polaritas campuran dari fase gerak tersebut yaitu 1,248.
Penggunaan fase gerak tersebut menghasilkan nilai R nikotin diantara 0,2-0,8
Interaksi hidrogen
yaitu 0,52 yang menunjukkan terjadinya interaksi kesetimbangan dinamis antara
analit dengan fase diam dan fase gerak. Fase diam yang digunakan yaitu silika gel
60 F254 yaitu fase diam silika yang mengandung indikator fosforesensi sehingga
bercak nikotin akan lebih mudah terlihat dan terdeteksi di bawah sinar UV. Gugus
kromofor nikotin akan menyerap cahaya dari sinar UV sehingga sinar UV tidak
dapat mencapai indikator fosforesensi dan tidak ada cahaya yang dipancarkan
pada bercak tersebut. Oleh karena itu, terjadi peredaman bercak atau - )
dengan latar belakang fosforesensi dengan warna hijau.
Pembuatan kurva baku nikotin dilakukan 3 kali replikasi untuk
mendapatkan koefisien korelasi yang paling baik, yaitu nilainya ≥ 0,999; karena
menunjukkan adanya korelasi yang linier antara konsentrasi dan respon
pengukuran yang dihasilkan, yaitu berupa * (AUC). Respon
yang menunjukkan nilai koefisien korelasi paling baik yang digunakan dalam
pembuatan kurva baku.
Tabel IV. Data replikasi kurva baku nikotin
Baku Nikotin
Replikasi I Replikasi II Replikasi III Seri baku
(ppm)
AUC Seri baku (ppm)
AUC Seri baku (ppm) AUC 1 6526,8 1 5203,6 1 5669,6 2 9660,2 2 8158,5 2 8424,9 3 11928,2 3 10912,0 3 11521,2 4 14322,1 4 12919,7 4 13690,0 5 16559,0 5 16127,2 5 16930,5 a 4381,37 a 2681,68 a 2911,17 b 2472,63 b 2660,84 b 2778,69 r 0,998 r 0,998 r 0,999
Kurva baku yang digunakan adalah kurva baku yang memiliki linearitas
proporsional terhadap konsentrasi (jumlah) analit. Berdasarkan tabel IV, koefisien
korelasi paling baik ditunjukan pada replikasi III dengan r = 0,999; sehingga
persamaan kurva baku inilah yang digunakan dalam penetapan kadar. Persamaan
kurva bakunya yaitu y = 2778,69x + 2911,17.
Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi nikotin dengan AUC (replikasi III)
F. Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis bertujuan untuk membuktikan bahwa metode
analisis yang digunakan telah memenuhi persyaratan validitas sehingga dapat
memberikan hasil analisis yang dapat dipercaya. Parameter validasi pada
penelitian ini meliputi selektivitas, linearitas, akurasi, dan presisi. Validasi
dilakukan dengan 3 seri konsentrasi sebanyak 5 replikasi. Konsentrasi yang
digunakan merupakan konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi dari konsentrasi seri
baku, yaitu 1, 3, dan 5 ppm. Tiga konsentrasi tersebut yang digunakan karena
telah mewakili konsentrasi seri baku lainnya.