• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kiri Kanan Keterangan : to n Jalur dari Arah Medan

Produksi Oksigen (O2)

a. Hutan Kota dan RTH Taman Buah

Luas hutan kota yang diperoleh dari pengambilan titik Global Positioning System (GPS) Garmin 550 yakni 18.188,1 m2 dimana menghasilkan oksigen (O2)

yang didapat dari pendugaan luas hutan kota dibagi dengan massa jenis (ρ)

oksigen (O2) (ρ O2 = 0,318 gr/m3) sehingga diperoleh produksi O2 yakni

289.551,12 liter/hari atau 92,08 gr O2/hari. Sedangkan produksi oksigen (O2) pada

bentuk RTH taman buah di Kota Lubuk Pakam yakni sebesar 512.299,53 liter/hari atau 162,91 gr O2/hari. Total produksi oksigen pada bentuk

RTH bergerombol (hutan kota dan taman buah) cukup rendah yakni sebesar 255 gr O2/hari, bila dibandingkan dengan penelitian Sesanti, dkk (2011) yang

melaporkan bahwa kondisi eksisting hutan kota Malabar di Kota Malang memproduksi O2 yakni 7.868.795,46 gram/hari.

b. Jalur Hijau

Bentuk RTH jalur hijau yang meliputi 12 jalur hijau di Kota Lubuk Pakam menghasilkan O2 sebesar 1.317.385,62 liter/ha/hari atau 418,93 gr O2/ha/hari.

Gambar 46. Produksi Oksigen Jalur Hijau 0 50000 100000 150000 200000 250000 Kiri Kanan O2 (l it er /h a/ h ar i) Jalur dari Arah Medan

Konsumsi oksigen penduduk adalah sebesar 0,864 kg/jiwa/hari (Herliani, 2007). Dengan jumlah penduduk sebanyak 81.708 jiwa (Kecamatan Lubuk Pakam Dalam Angka 2012) maka konsumsi oksigen Kota

Lubuk Pakam adalah 70.595,712 kg O2/hari. Sedangkan ruang terbuka hijau dari

luas hutan kota, jalur hijau dan taman buah, produksi O2 yang mampu dihasilkan adalah 0,67 kg O2/hari sehingga perlu ditanami oleh pepohonan penghasil oksigen

yang cepat tumbuh dan serta bermassa daun padat dimana yang tanaman yang cocok adalah angsana, akasia, beringin, ketapang, waru adalah jenis pohon yang ditanam untuk penghijauan karena bermassa daun padat dan warna dominan hijau (Nazarudin 1996 dalam Tuheteru, dkk., 2007). Bila dibandingkan dengan penelitian Lestari dan Jaya (2005) melaporkan bahwa jumlah total kebutuhan oksigen Kota Bogor tahun 2003 adalah 2.599.052 kg/hari dan jumlah oksigen

total yang dihasilkan RTH di Kota Bogor tahun 2003 sebanyak 10.105.976,40 kg/hari.

Penilaian Karbon (C) dan Oksigen (O2)

1. Karbon (C)

Penilaian terhadap nilai potensial dari jasa lingkungan yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk RTH berupa hutan kota, taman kota dan jalur hijau yang terdapat di Kota Lubuk Pakam dapat diukur dengan pendekatan harga pasar internasional dan diambil harga rata-rata yaitu dengan harga pasar karbon $ 9 Berikut dapat dilihat dalam Tabel 41. Penilaian jasa lingkungan dari harga karbon internasional, sebagai berikut:

Tabel 41. Penilaian Harga Pasar Total Karbon Bentuk RTH

No. Bentuk RTH Kandungan karbon (ton C/ha) Harga penilaian pasar internasional

$ 6 (Rp)* $ 9 (Rp)* $ 12 (Rp)*

1. Hutan Kota 199,32 14.745.385,18 22.118.077,77 29.490.770,36

2. Taman Buah 0,74 54.745,20 82.117,80 1.818.597,51

3. Jalur Hijau 98,51 7.287.769,80 10.931.654,70 14.575.539,60

Total 298,57 22.087.900,18 33.131.850,27 45.884.907,46

*$ 1 = Rp 12.330,- adalah nilai kurs jual dollar terhadap rupiah pada tanggal 24 Januari 2014

Total kandungan karbon yang tersimpan pada bentuk RTH diatas yang terdapat di Kota Lubuk Pakam yaitu 298,57 ton C/ha dimana total harga pasar karbon rata-rata dari bentuk RTH diatas yaitu Rp 32.131.850,-.

2. Oksigen (O2)

Tabel 42. Penilaian Harga Pasar Total Oksigen Bentuk RTH No. Bentuk RTH Produksi O2

(liter/hari) Harga pasar (Rp)* 1. Hutan kota 289.551,12 7.238.778.000 2. Taman buah 512.299,53 12.807.488.250 3. Jalur hijau 1.317.385,62 32.934.640.500 Total 2.119.236,27 52.980.906.750

*Harga pasar oksigen dalam satuan liter = Rp 25.000,-

Pada Tabel 42. dapat dilihat total produksi O2 dari bentuk RTH (hutan

kota, taman buah dan jalur hijau) di Kota Lubuk Pakam sebesar 2.119.236,27 liter/hari dari seluruh luas tempat tumbuh yaitu 13,31 ha. Penilaian

harga pasar terhadap total O2 pada bentuk RTH diatas yaitu Rp 52.980.906.750,-

Strategi REDD+ Menurunkan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca)

Menurut buku yang diterbitkan oleh Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme (2010), ada cara untuk menurunkan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan serta meningkatkan peran hutan konservasi. Cara tersebut adalah melalui sistem pengelolaan hutan lestari dan penyerapan karbon melalui REDD+. Cara ini merupakan salah satu yang disepakati para pihak penandatangan konvensi perubahan iklim. Skema REDD+ menjadi pilihan mengingat besarnya emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan, khususnya dari

negara berkembang dan terbelakang. Harapan dari kesepakatan tentang skema REDD+ dapat membantu negara berkembang memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan jauh lebih baik sehingga ada peluang untuk menurunkan laju emisi gas rumah kaca akibat deforestrasi dan degradasi hutan.

Besarnya penurunan emisi akibat deforestrasi dan degradasi hutan diukur dari tingkat emisi referensi (REL). Tingkat emisi referensi ialah besar emisi yang diperkirakan akan berlangsung ke depan akibat deforestrasi dan degradasi hutan apabila sistem pengelolaan lahan hutan dan hutan yang dilakukan tidak mengalami perbaikan atau perubahan dari cara pengelolaan selama ini. Berdasarkan hasil proses multipihak dan konsultasi publik oleh BAPPENAS, ada tiga faktor pendorong utama penyebab terjadinya deforestrasi dan degradasi hutan. Pertama, perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah. Kedua, manajemen hutan yang tidak efektif. Ketiga, tata kelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah. Keputusan COP 16 mengamanatkan bahwa negara adalah pihak yang melaksanakan REDD+. Negara harus membangun sistem informasi pelaksanaan safeguards (kerangka pengaman). Sesuai kesepakatan dalam COP, keberhasilan negara berkembang menurunkan emisi dari deforestrasi dan degradasi harus nyata dan dapat diukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi (Measurable, reportable and verfiable atau MRV)

Indikator utama dalam mengukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan REDD+ ialah besarnya penurunan emisi dari tingkat emisi referensi yang ditetapkan, yang disebut sebagai REL. Merujuk kepada konsep REL, maka untuk dapat menetapkan emisi referensi dari kegiatan penebangan liar perlu data volume kayu ilegal yang beredar sebelum diberlakukannya SVLK. Ada dua pendekatan

untuk penetapan REL dalam kaitannya dengan SVLK. Pertama, mengukur stok karbon langsung pada kawasan berhutan. Kedua, berdasar perubahan jumlah perusahaan industri kayu yang sudah mendapatkan sertifikasi. Pendekatan pertama, kondisi stok karbon pada satu titik waktu tertentu yang ditetapkan sebagai tahun baseline dijadikan sebagai stok karbon baseline. Dengan pendekatan pertama, setelah tahun baseline pada kawasan berhutan terjadi penurunan stok karbon maka pembalakan liar masih berlangsung dan apabila terjadi peningkatan stok karbon maka berarti pembalakan sudah berkurang atau tidak ada.

Dokumen terkait