• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabel Kebijakan Fiskal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.3. Variabel Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal memiliki instrumen pokok seperti pengeluaran pemerintah (G) dan pajak (T) yang dapat diubah-ubah oleh pemerintah dengan tujuan untuk mempengaruhi permintaan agregat dalam perekonomian.

a. Pengeluaran Pemerintah (G)

Pengeluaran pemerintah adalah pembelian pemerintah atau belanja pemerintah terhadap barang dan jasa (Mankiw, 2007). Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu teori mikro dan teori makro (Basri, 2005).

1) Teori Mikro

Tujuan teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan barang publik tersebut. Interaksi antara permintaan dan penawaran barang publik untuk menentukan jumlah barang

publik yang harus disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan disediakan selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain.

Perkembangan pengeluaran pemerintah dijelaskan dengan beberapa faktor: a. Perubahan permintaan akan barang publik.

b. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik dan juga perubahan dari kombinasi yang digunakan dalam proses produksi.

c. Perubahan kualitas barang publik.

d. Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi. 2) Teori Makro

a. Model Pembangunan tentang Pembangunan Pemerintah

Model ini dikembangkan oleh W.W Rostow dan RA Musgrave yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahapan-tahapan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, menurut mereka pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional cukup besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan berbagai sarana dan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.

Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai tahap lepas landas. Bersamaan dengan itu porsi investasi yang dilakukan swasta juga akan meningkat. Tetapi besarnya peranan pemerintah adalah pada tahap ini tidak seimbang dengan adanya banyak kegagalan pasar yang ditimbulkan oleh perkembangan pasar itu sendiri yaitu kasus eksternalitas yang ditimbulkan misalnya pencemaran

lingkungan. Dalam suatu proses pembangunan, menurut Musgrave rasio investasi total terhadap pendapatan nasional semakin besar tetapi rasio antara investasi pemerintah dan pendapatan nasional akan semakin kecil.

Sementara itu Rostow berpendapat pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran- pengeluaran untuk layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Teori Rostow dan Musgrave merupakan pandangan yang timbul dari pengamatan atau pengalaman pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasari oleh suatu teori tertentu. Selain tidak jelas, apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap atau beberapa tahap dapat terjadi secara simultan.

b. Hukum Wagner

Pengamatan Adolf Wagner terhadap negara-negara Eropa Amerika dan Jepang pada abad ke-19 menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (the Law of increasing state of activity).

Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk hukum akan tetapi dalam pandangannya tidak disebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan GNP, apakah dalam pengertian pertumbuhan secara relatif ataukah secara absolut. Apabila yang dimaksud oleh Wagner adalah perkembangan pengeluaran secara relatif sebagaimana teori Musgrave maka hukum

Wagner adalah sebagai berikut “dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat”.

Wagner menyadari bahwa dengan bertumbuhnya perekonomian hubungan antara industri dengan industri, hubungan industri dan masyarakat dan sebagainya akan semakin kompleks. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang- barang publik. Hukum Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut (Basri, 2005):

n n k k k PPK PP P PPK PP P PPK PP P    ... 2 2 1 1 Di mana:

PkPP : Pengeluaran pemerintah perkapita

PPK : Pendapatan perkapita (GDP/jumlah penduduk) 1,2,… : Jangka waktu (tahun)

Hukum Wagner dapat dijelaskan pada Gambar 2.9 di bawah ini di mana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan seperti yang ditunjukkan oleh kurva 2.

1 2 3 4

Gambar 2.9. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

c. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua ahli yang mengemukakan teori perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Pandangan mereka mengenai pengeluaran pemerintah adalah bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluarannya sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang lebih besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Menurut Peacock dan Wiseman, perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak akan semakin meningkat meskipun tarif pajak tetap (tidak berubah). Meningkatnya penerimaan pajak mengakibatkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Jadi dalam keadaan normal, kenaikan pendapatan nasional akan menaikkan pula penerimaan dan pengeluaran pemerintah (Basri, 2005).

Kurva 2 waktu Kurva 1 0 PPK PP Pk

Apabila keadaan normal tersebut terganggu, katakanlah karena perang atau eksternalitas lain maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan tersebut. Konsekuensinya timbul tuntutan untuk memperoleh penerimaan pajak yang lebih besar dan pemerintah menaikkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Efek ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial dalam perekonomian menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.

Jika pada saat terjadinya gangguan sosial dalam perekonomian timbul efek penggantian maka sesudah gangguan berakhir akan timbul efek lain yang disebut efek inspeksi (inspection effect) yang menyatakan gangguan sosial menumbuhkan kesadaran masyarakat akan adanya hal-hal yang perlu ditangani oleh pemerintah sesudah redanya gangguan sosial tersebut. Kesadaran semacam inilah menggugah kesadaran masyarakat untuk membayar pajak lebih besar, sehingga memungkinkan pemerintah untuk memperoleh penerimaan yang lebih besar pula.

Berdasarkan Gambar 2.10 di bawah ini dapat dijelaskan bahwa dalam keadaan normal dari tahun t ke t + 1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap GDP naik sebagaimana ditunjukkan oleh garis AG. Apabila pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah naik sebesar AC dan kemudian naik ditunjukkan pada garis CD. Setelah perang selesai (pada tahun t + 1) pengeluaran pemerintah tidak turun ke G yaitu tingkat perkembangan pengeluaran pemerintah apabila tidak terjadi perang. Hal ini disebabkan karena setelah perang pemerintah memerlukan tambahan

dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan perang, kenaikan tarif pajak dimaklumi masyarakat sehingga tingkat toleransi pajak naik dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih besar tanpa menimbulkan gangguan dalam masyarakat.

Gambar 2.10. Teori Peacock dan Wiseman

b. Pajak (T)

Pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) langsung dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Basri, 2005). Dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia setelah amandemen undang-

t + 1 t 0 Tahun Pengeluaran Swasta A C D B G Pengeluaran Pemerintah F Pengeluaran Pemerintah/GDP

undang dasar 1945 (Abimanyu, 2009) adalah: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pasal 23 A dan Undang-Undang tentang Perpajakan yaitu:

1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku efektif sejak tahun 1 Januari 2008.

2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3) Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPn), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

4) Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan.

5) Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Perubahan pada tingkat pajak akan mempengaruhi jumlah pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Adanya kebijakan peningkatan pajak akan mengurangi penerimaan pendapatan yang akan dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi.

Variabel penerimaan pajak total pemerintah di Indonesia terdiri dari beberapa bagian antara lain: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Perdagangan Internasional (bea masuk dan pajak

ekspor), Cukai, serta penerimaan pajak lain-lain. Pajak-pajak tersebut dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Fungsi Pajak

Pada hakikatnya fungsi pajak dapat dibedakan menjadi dua (Basri, 2005) yaitu:

1. Fungsi Budgetair

Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas negara. Fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi penerimaan. Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi asas revenue productivity. Oleh karena itu pulalah, dalam menentukan kebijakan pajak, berlaku second best theory. Jika suatu pajak sulit untuk dipungut padahal potensinya sangat signifikan maka mungkin saja pemerintah lebih mengedepankan asas simplicity/ease of administration daripada asas equality misalnya dengan menerapkan schedular taxation.

2. Fungsi Regulatory

Dalam kenyataannya pajak bukan hanya berfungsi untuk mengisi kas negara. Pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pajak seperti bea masuk, digunakan untuk mendorong atau melindungi/memproteksi produksi dalam negeri, khususnya untuk melindungi industri yang baru berdiri (infant industry) dan atau industri-industri yang dinilai strategis oleh pemerintah. Selain itu, pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan.

Misalnya, pada saat terjadi kelangkaan minyak goreng pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah juga mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan jasa tertentu yang mempunyai eksternalitas negatif dengan tujuan mengurangi atau membatasi produksi dan konsumsi barang dan jasa.

Prinsip Pengenaan Pajak

a. Prinsip Certainty

Prinsip ini menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Prinsip kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar.

b. Prinsip Convenience

Prinsip convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang “menyenangkan”/ memudahkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat menerima bunga deposito. Prinsip convenience bisa juga dilakukan dengan cara membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan. Dengan demikian, pada akhir tahun pajak wajib pajak tidak terlalu berat dalam membayar pajaknya dibandingkan dengan jika pajak yang terutang selama satu tahun pajak tersebut dibayar sekaligus pada akhir tahun.

c. Prinsip Efficiency

Prinsip efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban pajak lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin.

d. Prinsip Simplicity

Peraturan yang sederhana pada umumnya akan lebih pasti, jelas dan mudah dimengerti oleh wajib pajak. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu Undang-Undang Perpajakan harus diperhatikan juga asas kesederhanaan (Basri, 2005).

Pajak Progresif dan Pajak Proporsional

Sistem pajak progresif biasanya digunakan dalam memungut pajak pendapatan individu, pada pendapatan yang sangat rendah pendapatan seseorang tidak perlu membayar pajak. Akan tetapi semakin tinggi pendapatan semakin besar pajak yang dikenakan ke atas tambahan pendapatan yang diperoleh. Sistem pajak proporsional biasanya digunakan untuk memungut pajak ke atas keuntungan perusahaan-perusahaan korporat yaitu pajak yang harus dibayar adalah proporsional dengan keuntungan yang diperoleh, ini berarti suatu persentasi dari keuntungan (misalnya 30 persen) selalu merupakan pajak yang akan dibayar kepada pemerintah.

Kedua sistem pajak tersebut cenderung untuk mengurangi fluktuasi kegiatan perekonomian dari satu periode ke periode lainnya. Ketika ekonomi mengalami

masalah resesi, pajak yang dipungut dari individu dan perusahaan akan mengalami penurunan. Sebagai akibatnya pendapatan disposible akan menurun pada tingkat yang lebih lambat dari penurunan dalam pendapatan nasional. Perubahan seperti ini memperlambat penurunan dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pengeluaran agregat dalam perekonomian suatu keadaan yang mengurangi seriusnya keadaan resesi yang berlaku.

Sebaliknya ketika kegiatan ekonomi berkembang kesempatan kerja meningkat dan kemakmuran berlaku, pendapatan disposible tidak akan berkembang secepat kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan individu. Keadaan itu akan berlaku karena pajak akan mengalami pertambahan yang lebih cepat dan mengurangi kelajuan pertambahan pendapatan disposible. Keadaan ini menyebabkan konsumsi rumah tangga tidak akan berkembang secepat seperti pertambahan pendapatan dan memperlambat ekspansi pengeluaran agregat secara grafik dapat dijelaskan pada Gambar 2.11 di bawah ini:

Gambar 2.11. Sistem Pajak dan Kestabilan Ekonomi

Berdasarkan Gambar 2.11 di atas dapat dijelaskan bahwa pada mulanya permintaan agregat dalam perekonomian dengan menggunakan pajak tetap adalah AE0(T) dan yang bersistem pajak proporsional ditunjukkan oleh fungsi AE0. Kedua kurva perbelanjaan agregat memotong garis 450 di titik E0. Berarti di kedua perekonomian pada mulanya pendapatan nasional adalah Y0, kenaikan/penurunan perbelanjaan agregat sebanyak ÄAE akan menyebabkan dalam sistem pajak tetap pendapatan nasional akan merosot menjadi Yb apabila berlaku pengurangan perbelanjaan agregat dan meningkat menjadi Ya apabila perbelanjaan agregat bertambah. Dalam sistem pajak proporsional pendapatan nasional hanya merosot

Yb Yd Y0 Yc Ya AE1 AE0 AE2 AE1(T) AE0(T) AE2(T) A C D B E0 ÄAE ÄAE Y AE 450 Y=E

menjadi Yd apabila berlaku pengurangan perbelanjaan agregat dan juga peningkatan yang relatif sedikit yaitu menjadi Yc apabila perbelanjaan agregat meningkat. Dari perubahan yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa fluktuasi kegiatan ekonomi dan pendapatan nasional akan menjadi semakin kecil dalam sistem pajak proporsional (Sukirno, 2000).

Dokumen terkait