ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL
DI INDONESIA
TESIS
Oleh
HERNAWATI
087018049/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
N
ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL
DI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HERNAWATI
087018049/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Hernawati
Nomor Pokok : 087018049
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Dede Ruslan, M.Si) Ketua
(Drs. Rujiman, M.A) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 12 Januari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dede Ruslan, M.Si
Anggota : 1. Drs. Rujiman, M.A
2. Dr. Murni Daulay, M.Si
3. Dr. Jonni Manurung, M.S
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
“ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA”.
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun
sebelumnya, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan benar dan jelas.
Medan, 12 Januari 2011 Yang membuat pernyataan,
ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA
Hernawati, Dr. Dede Ruslan, M.Si dan Drs. Rujiman, M.A
ABSTRAK
Masalah penelitian ini adalah bagaimana shock kebijakan fiskal di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock PDB terhadap shock inflasi dan untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock tingkat bunga riil, shock inflasi terhadap shock PDB.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam runtun waktu (time series) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) yang meliputi data pajak, pengeluaran pemerintah, tingkat bunga, inflasi, PDB. Data yang digunakan mulai tahun 1983-2009.
Metode analisis yang dipergunakan adalah metode Autoregresi Vektor Struktural (SVAR), dengan terlebih dahulu menggunakan uji stasioneritas dan kointegrasi, pengujian lag optimal, uji stabilitas VAR dan pada akhirnya akan menghasilkan Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel penelitian yang secara dominan mengkontribusi inflasi adalah shock pengeluaran pemerintah (
å
G), shock pajak (å
T) dan shock tingkat bunga (å
R), variabel penelitian yang secara dominan mengkontribusi PDB adalah shock pengeluaran pemerintah (å
G).ANALYSIS OF FISCAL POLICY SHOCK IN INDONESIA
Hernawati, Dr. Dede Ruslan, M.Si and Drs. Rujiman, M.A
ABSTRACT
The problem of this research is how about of fiscal policy shock in Indonesia. It is aimed to analyze the contribution of fiscal policy shock, PDB shock upon inflation shock and to analyze to contribution of fiscal policy shock, real interest rate shock, inflation shock upon PDB shock.
Furthermore, the data used in this research is secondary data in time series which resources from Central Statistical Agency (BPS) and Indonesia Bank (BI) including data from tax, government expenditure, interest rate, inflation, PDB. The data is gained from 1983 to 2009.
This research uses Structural Vector Autoregression method, that previously uses stationarity and cointegral test, optimal lag test, VAR stability test and finally produces Impulse Response Function (IRF) and Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
The result of the research shows that the research variable which dominantly contributes to inflation is the government expenditure shock (åG), tax shock (åT) and
interest rate shock (åR), meanwhile the variable which dominantly contributes PDB is
government expenditure shock (åG).
Keywords: Tax Shock (åT), Government Expenditure Shock (åG), Interest Rate Shock
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji dan syukur Alhamdulillah atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Analisis Shock Kebijakan Fiskal
di Indonesia”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada
semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan bantuan selama
proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana, Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
selaku Wakil Direktur I dan Wakil Direktur II Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si, sebagai Pembimbing I, dan Drs. Rujiman, M.A,
sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan
5. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Bapak Dr. Jonni Manurung, M.S, Bapak Drs.
Rahmad Sumanjaya, M.Si, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta Ayah (H. Parlaungan Harahap) dan Mama (Hj.
Masraya Siregar), serta seluruh keluarga besarku terima kasih atas doa, semangat,
dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
7. Seluruh Dosen serta seluruh Staf Administrasi pada Program Studi Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
8. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 16 yang telah sama-sama
berjuang dengan penulis dalam menyelesaikan studi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat
menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak
yang telah memberikan bantuannya selama ini.
Medan, Januari 2011
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : HERNAWATI
Tempat/Tanggal Lahir : Padangri, 21 Januari 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa Simatahari, Kec: Kotapinang, Kab: Labuhanbatu
Selatan Nama Orang Tua
Ayah : H. Parlaungan Harahap
Ibu : Hj. Masraya Siregar
Pendidikan
a. 1993-1999 : SD Negeri 112226 Simatahari, Kotapinang
b. 1999-2002 : MTs Swasta PP. Darul Falah, Langgapayung
c. 2002-2005 : SMA Negeri 3, Rantau Utara
d. 2005-2009 : Universitas Sumatera Utara
Jurusan Ekonomi Pembangunan
e. 2009-2011 : Sekolah Pascasarjana USU
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 15
1.3. Tujuan Penelitian ... 15
1.4. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 16
2.1. Landasan Teori ... 16
2.1.1. Kebijakan Fiskal ... 16
2.1.2. Teori Siklus Bisnis (Business Cycle Theory) ... 28
2.1.3. Variabel Kebijakan Fiskal ... 37
2.1.4. Kebijakan Moneter ... 50
2.1.5. Teori Tingkat Bunga... 50
2.1.6. Produk Domestik Bruto dan Inflasi... 53
2.2. Penelitian Terdahulu ... 55
2.3. Kerangka Konseptual ... 56
2.4. Hipotesis ... 57
BAB III METODE PENELITIAN... 58
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 58
3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 58
3.3. Uji Estimasi ... 58
3.3.1. Uji Stasioneritas ... 58
3.3.2. Uji Kointegrasi ... 60
3.3.3. Pengujian Lag Optimal... 61
3.3.4. Uji Stabilitas VAR... 62
3.4.1. Autoregresi Vektor Struktural (SVAR) ... 62
3.4.2. Impulse Response Function (IRF) ... 65
3.4.3. The Cholesky Decomposition ... 66
3.5. Definisi Operasional ... 67
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 68
4.1. Perkembangan Variabel yang Diteliti ... 68
4.1.1. Pajak ... 68
4.1.2. Pengeluaran Pemerintah ... 73
4.1.3. Tingkat Bunga ... 75
4.1.4. Inflasi.... ... 78
4.1.5. Produk Domestik Bruto ... 80
4.2. Uji Asumsi ... 82
4.2.1. Uji Stasioneritas... 82
4.2.2. Uji Kointegrasi ... 86
4.2.3. Pengujian Lag Optimal... 87
4.2.4. Uji Stabilitas VAR... 88
4.3. Model Analisis ... 88
4.3.1. Autoregresi Vektor Struktural (SVAR)... 88
4.3.2. Impulse Response Function (IRF) ... 93
4.3.3. Variance Decomposition ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 121
5.1. Kesimpulan ... 121
5.2. Saran ... 122
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Kebijakan Fiskal di Indonesia………. 3
1.2. Perkembangan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Tingkat Bunga, Inflasi, PDB di Indonesia... 9
2.1. Penelitian Terdahulu... 55
4.1. Perkembangan Pajak (T) di Indonesia……….. 72
4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah (G) di Indonesia………... 74
4.3. Perkembangan Tingkat Bunga (R) di Indonesia……….. 77
4.4. Perkembangan Inflasi (INF) di Indonesia……… 80
4.5. Perkembangan PDB di Indonesia………. 83
4.6. Hasil Pengujian Akar-akar Unit pada Tingkat Level……… 84
4.7. Hasil Pengujian Akar-akar Unit pada First Difference……… 85
4.8. Hasil Pengujian Akar-akar Unit pada 2nd Difference…………... 85
4.9. Uji Kointegrasi Johansen... 86
4.10. Penentuan Panjang Lag……… 87
4.11. Hasil Pengujian Stabilitas VAR……… 89
4.12. Hasil Estimasi Struktural VAR………. 94
4.13. Impulse Response Function Pajak (T)……….. 95
4.14. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Pajak………. 96
4.15. Impulse Response Function Pengeluaran Pemerintah (G)………… 98
4.16. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Pengeluaran Pemerintah……… 99
4.17. Impulse Response Function Tingkat Bunga (R)……….. 101
4.18. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Tingkat Bunga……. 102
4.19. Impulse Response Function Inflasi (INF)……… 103
4.20. Ringkasan Hasil Impulse Response Function Inflasi………... 105
4.22. Ringkasan Hasil Impulse Response Function PDB……….. 107
4.23. Variance Decomposition Pajak (T)... 110
4.24. Variance Decomposition Pengeluaran Pemerintah (G)... 113
4.25. Variance Decomposition Tingkat Bunga (R)... 115
4.26. Variance Decomposition Inflasi (INF)... 117
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Kebijakan Fiskal di Indonesia………. 4
1.2. Perkembangan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Tingkat Bunga, Inflasi, PDB di Indonesia... 10
2.1. Peningkatan Pengeluaran Pemerintah……….. 18
2.2. Pengurangan Penerimaan Pajak……… 21
2.3. Pengurangan Pengeluaran Pemerintah………. 23
2.4. Peningkatan Penerimaan Pajak……… 25
2.5. Posisi Anggaran……… 27
2.6. Tahapan Siklus Bisnis……….. 30
2.7. Kebijakan Fiskal Ekspansif……….. 31
2.8. Kebijakan Fiskal Kontraksi……….. 32
2.9. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner……….. 41
2.10. Teori Peacock dan Wiseman……… 43
2.11. Sistem Pajak dan Kestabilan Ekonomi…... 49
2.12. Hubungan Tingkat Bunga dan Tabungan... 52
2.13. Kerangka Konseptual………... 56
4.1. Perkembangan Pajak (T) di Indonesia………. 72
4.2. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah (G) di Indonesia……….. 75
4.3. Perkembangan Tingkat Bunga (R) di Indonesia……….. 78
4.4. Perkembangan Inflasi (INF) di Indonesia……… 80
4.5. Perkembangan PDB di Indonesia………. 83
4.6. Hasil Pengujian Stabilitas VAR………... 90
4.7. Impulse Response Function Pajak (T)……….. 96
4.8. Impulse Response Function Pengeluaran Pemerintah (G)………… 99
4.9. Impulse Response Function Tingkat Bunga (R)……….. 102
4.10. Impulse Response Function Inflasi (INF)………... 104
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Penelitian………. 125
2. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level………. 126
3. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference……… 131
4. Hasil Pengujian Akar Unit pada 2nd Difference……… 135
5. Uji Kointegrasi Johansen……….. 137
6. Pengujian Lag Optimal………. 140
7. Hasil Pengujian Stabilitas VAR……… 141
8. Hasil Estimasi Struktural VAR……… 142
9. Impulse Response Function (IRF)……… 143
10. Variance Decomposition VAR... 147
ANALISIS SHOCK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA
Hernawati, Dr. Dede Ruslan, M.Si dan Drs. Rujiman, M.A
ABSTRAK
Masalah penelitian ini adalah bagaimana shock kebijakan fiskal di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock PDB terhadap shock inflasi dan untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock tingkat bunga riil, shock inflasi terhadap shock PDB.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam runtun waktu (time series) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) yang meliputi data pajak, pengeluaran pemerintah, tingkat bunga, inflasi, PDB. Data yang digunakan mulai tahun 1983-2009.
Metode analisis yang dipergunakan adalah metode Autoregresi Vektor Struktural (SVAR), dengan terlebih dahulu menggunakan uji stasioneritas dan kointegrasi, pengujian lag optimal, uji stabilitas VAR dan pada akhirnya akan menghasilkan Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel penelitian yang secara dominan mengkontribusi inflasi adalah shock pengeluaran pemerintah (
å
G), shock pajak (å
T) dan shock tingkat bunga (å
R), variabel penelitian yang secara dominan mengkontribusi PDB adalah shock pengeluaran pemerintah (å
G).ANALYSIS OF FISCAL POLICY SHOCK IN INDONESIA
Hernawati, Dr. Dede Ruslan, M.Si and Drs. Rujiman, M.A
ABSTRACT
The problem of this research is how about of fiscal policy shock in Indonesia. It is aimed to analyze the contribution of fiscal policy shock, PDB shock upon inflation shock and to analyze to contribution of fiscal policy shock, real interest rate shock, inflation shock upon PDB shock.
Furthermore, the data used in this research is secondary data in time series which resources from Central Statistical Agency (BPS) and Indonesia Bank (BI) including data from tax, government expenditure, interest rate, inflation, PDB. The data is gained from 1983 to 2009.
This research uses Structural Vector Autoregression method, that previously uses stationarity and cointegral test, optimal lag test, VAR stability test and finally produces Impulse Response Function (IRF) and Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
The result of the research shows that the research variable which dominantly contributes to inflation is the government expenditure shock (åG), tax shock (åT) and
interest rate shock (åR), meanwhile the variable which dominantly contributes PDB is
government expenditure shock (åG).
Keywords: Tax Shock (åT), Government Expenditure Shock (åG), Interest Rate Shock
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan
ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter
yang merupakan partner kebijakan fiskal dalam mengendalikan stabilitas ekonomi
dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi perekonomian yang lesu,
pengeluaran pemerintah dapat memberi stimulasi kepada perekonomian untuk
bertumbuh melalui kebijakan fiskal yang ekspansif melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan permintaan agregat
(AD) di dalam perekonomian menyebabkan pendapatan naik yang akan mengurangi
pengangguran yang ada untuk mencapai tingkat pendapatan kesempatan kerja penuh
(full-employment level of income).
Sebaliknya dalam kondisi overheating akibat terlalu tingginya permintaan
agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui kebijakan yang kontraktif melalui
penurunan pengeluaran pemerintah (G) atau peningkatan pendapatan pajak (T) untuk
menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian.
Sedangkan kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas
moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter dan atau tingkat bunga untuk
mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan, perekonomian
Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil akan menciptakan
suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Stabilitas makroekonomi
dapat dilihat dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel
makroekonomi lainnya. Apabila dampak suatu guncangan menimbulkan fluktuasi
yang besar pada variabel makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama
untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa
stabilitas makroekonomi rentan terhadap perubahan.
Namun apabila dampak guncangan indikator itu menunjukkan fluktuasi yang
kecil dan waktu untuk mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama
maka dapat dikatakan kondisi makroekonomi relatif stabil. Fluktuasi siklus bisnis
tersebut sangat tergantung pada pola keseimbangan antara permintaan dan
penawaran, di mana gangguan bersifat eksternal maupun internal dapat menyebabkan
terjadinya dissequilibrium yang mengakibatkan deviasi output terhadap trend yang
sedang berlaku. Shock akan menyebabkan fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan
terjadinya penyimpangan output terhadap trend berupa kontraksi atau ekspansi
ekonomi yang kemudian akan membentuk sebuah pola siklus naik turun disebut
dengan business cycle. Perkembangan kebijakan fiskal di Indonesia dapat dianalisis
melalui instrumen pokok kebijakan fiskal yaitu pajak (T) dan pengeluaran pemerintah
(G) dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah
Tabel 1.1. Perkembangan Kebijakan Fiskal di Indonesia
Tahun
Pajak (Miliar Rp)
Pengeluaran Pemerintah (Miliar Rp)
1997 196.600,13 103.336,74
1998 161.775,25 74.824,37
1999 151.707,31 87.482,96
2000 115.913,00 90.780,00
2001 162.333,91 99.230,16
2002 173.575,36 109.240,27
2003 189.579,98 128.216,03
2004 202.432,95 137.853,46
2005 219.007,79 141.983,26
2006 226.357,01 159.355,94
2007 244.057,82 163.915,09
2008 276.843,31 175.203,68
2009 252.721,47 209.326,54
1997 – 1998 -17,71 -27,59
1998 – 1999 -6,22 16,92
1999 – 2000 -23,59 3,77
2000 – 2001 40,05 9,31
2001 – 2002 6,92 10,09
Persentase Perubahan 2002 – 2003 9,22 17,37
2003 – 2004 6,78 7,52
2004 – 2005 8,19 3,00
2005 – 2006 3,36 12,24
2006 – 2007 7,82 2,86
2007 – 2008 13,43 6,89
2008 – 2009 -8,71 19,48
-40.00 -30.00 -20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
1997 - 1998 2000 - 2001 2003 - 2004 2006 - 2007
Tahun
T
,
G
Pajak (T)
Pengeluaran Pemerintah (G)
Berdasarkan Tabel 1.1 dan Gambar 1.1 di atas dapat dijelaskan bahwa
perkembangan pajak tiga belas tahun terakhir dari tahun 1997-2009 mengalami
peningkatan yang sangat berfluktuatif antara -23,59% – 40,05% dengan rata-rata
pertumbuhan pajak sebesar 3,29%.
Lonjakan kontraksi pajak terjadi pada tahun 1997-2000 antara 6,22%- 23,59%
di mana terjadinya shock terhadap perekonomian di Indonesia yaitu krisis moneter
akibatnya penerimaan pajak mengalami kontraksi karena melemahnya pertumbuhan
sektor swasta dan dunia usaha yang pada gilirannya berpengaruh pada menurunnya
kontribusi sektor tersebut pada penerimaan perpajakan. Sejalan dengan
berkembangnya kebutuhan pembiayaan pembangunan dan aktivitas pemerintahan,
kebutuhan akan peningkatan penerimaan negara menjadi semakin mendesak.
Dengan adanya program ekstensifikasi diharapkan penerimaan pajak dapat
meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah wajib pajak dan perluasan jenis
objek pajaknya. Sementara itu, melalui program intensifikasi penerimaan pajak yang
dilakukan melalui peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak serta
upaya penegakan hukum diharapkan penerimaan pajak akan meningkat lebih besar
lagi. Di samping itu, juga telah dilakukan upaya penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan melalui kebijaksanaan penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak tunggal yang
berlaku sejak tanggal 1 Juni 1998. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan administrasi
perpajakan semakin sempurna terutama dalam rangka mendorong penerimaan pajak
di masa yang akan datang.
Pada tahun 2008 berbagai persoalan eksternal yaitu krisis global yang terjadi
di Amerika Serikat yang sedikit banyak mempengaruhi percepatan perbaikan
perekonomian Indonesia. Gejolak sub prime mortgage di Amerika Serikat telah
membawa dampak kepada melambatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
yang pada gilirannya membawa dampak kepada perlambatan ekonomi dunia,
termasuk Indonesia. Akibat shock krisis global tersebut penerimaan pajak mengalami
kontraksi sebesar 8,71% penurunan penerimaan pajak terutama terjadi pada pajak
perdagangan internasional. Faktor utama yang mendorong turunnya penerimaan
perpajakan khususnya bea masuk, bea keluar dan pajak dalam rangka impor (PDRI)
adalah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan merosotnya nilai dan volume
Penurunan diperkirakan juga terjadi pada penerimaan pajak dalam Negeri,
khususnya penerimaan PPN dan PPnBM. Faktor utama yang menyebabkan
penurunan penerimaan PPN dan PPnBM adalah melemahnya daya beli masyarakat
yang berdampak pada berkurangnya konsumsi dalam Negeri dan impor. Lonjakan
ekspansi pajak pada tahun 2001 sebesar 40,05% disebabkan oleh peningkatan
penerimaan pajak dalam Negeri, khususnya pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan
PPnBM) serta penerimaan cukai. Peningkatan tersebut terutama berkaitan dengan
membaiknya pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi
perpajakan, penyempurnaan berbagai peraturan perpajakan.
Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama penerimaan pajak perdagangan
internasional meningkat Rp.5,5 triliun yaitu dari Rp.5,0 triliun (0,4 persen terhadap
PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp.10,5 triliun (0,7 persen terhadap
PDB) dalam tahun anggaran 2001. Pesatnya peningkatan pajak perdagangan
internasional tersebut terutama disebabkan oleh depresiasi nilai rupiah yang
mengakibatkan nilai transaksi dalam rupiah menjadi lebih besar. Sebaliknya, dalam
denominasi mata uang asing perkembangan jenis penerimaan ini cenderung
melambat. Hal ini berkaitan dengan masih besarnya fasilitas atas barang impor,
khususnya pembebasan bea masuk atas produk tertentu terutama barang modal serta
rendahnya tarif pajak/pungutan ekspor dalam rangka mendorong kegiatan ekspor dan
Penerimaan PPh meningkat cukup signifikan yakni dari Rp.72,7 triliun (6,4
persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 1999/2000 menjadi Rp.92,8 triliun (6,3
persen terhadap PDB) dalam tahun anggaran 2001 yang berarti meningkat Rp.20,1
triliun. Selain karena pengaruh perkembangan kondisi ekonomi makro, peningkatan
penerimaan tersebut juga merupakan hasil dari upaya-upaya: (i) ekstensifikasi wajib
pajak terutama melalui program penyisiran (canvassing) wajib pajak, (ii) intensifikasi
pemungutan pajak, terutama melalui pengawasan yang lebih intensif terhadap wajib
pajak potensial dan (iii) peningkatan penegakan hukum (law enforcement).
Selanjutnya, meskipun kondisi perekonomian belum pulih sepenuhnya upaya-upaya
yang dilakukan selama tiga tahun terakhir mampu mendorong bergeraknya beberapa
sektor tertentu. Dengan bergeraknya kegiatan ekonomi pada gilirannya akan
mendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM. Sedangkan perkembangan
pengeluaran pemerintah tiga belas tahun terakhir dari tahun 1997-2009 mengalami
peningkatan yang sangat berfluktuatif antara -27,59%–19,48% dengan rata-rata
pertumbuhan pengeluaran pemerintah sebesar 6,82%.
Lonjakan kontraksi pengeluaran pemerintah terjadi pada tahun 1997-1998
sebesar 27,59% karena terjadi shock krisis ekonomi mengakibatkan perekonomian
mengalami kontraksi. Guna meningkatkan efisiensi anggaran belanja Negara, telah
dilakukan penjadwalan berbagai proyek dan kegiatan yang kurang mendesak atau
tidak menjadi prioritas, seraya melakukan realokasi dan tambahan anggaran untuk
memperkuat jaring pengamanan sosial (social safety net). Dalam upaya mengurangi
subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pangan dan subsidi obat-obatan menjadi
bertambah besar. Hal ini terutama berkaitan dengan meningkatnya harga pangan
sebagai akibat menurunnya produksi dan kekurangan pasokan karena kekeringan
panjang pada musim tanam tahun 1997, serta meningkatnya harga obat sebagai akibat
dari meningkatnya biaya impor obat jadi dan bahan baku obat karena depresiasi
rupiah.
Sedangkan pengeluaran pemerintah tahun 2008-2009 pada saat terjadinya
shock krisis global mengalami ekspansi terjadi pada triwulan I 2009 sebesar 19,25%
antara lain dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran terkait pemilu di mana Komisi
Pemilihan Umum (KPU) melakukan belanja logistik, Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) untuk pengawasan dan TNI Polri untuk pengamanan. Sementara itu pada
triwulan lainnya pengeluaran pemerintah juga tetap tinggi sejalan dengan komitmen
pemerintah meningkatkan stimulus fiskal. Beberapa stimulus fiskal yang
mempengaruhi pengeluaran pemerintah dan kemudian memberikan dampak
pengganda kepada perekonomian termasuk konsumsi rumah tangga antara lain adalah
implementasi jaring pengamanan sosial dalam bentuk program Bantuan Langsung
Tunai (BLT), pengurangan pajak penghasilan, serta kenaikan gaji dan realisasi ke-13
bagi PNS/TNI. Pengeluaran pemerintah yang meningkat hingga 19,48% pada tahun
2009 telah menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3%. Berbagai pengeluaran
pemerintah seperti stimulus yang diberikan juga berpengaruh bagi pertumbuhan
Tabel 1.2. Perkembangan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Tingkat Bunga, Inflasi, PDB di Indonesia
Tahun
T (Miliar Rp)
G (Miliar Rp)
R (%)
INF (%)
PDB (Miliar Rp)
1997 196.600,13 103.336,74 17,38 11,05 1.510.149,89
1998 161.775,25 74.824,37 37,84 77,63 1.314.203,40
1999 151.707,31 87.482,96 11,93 2,01 1.324.610,87
2000 115.913,00 90.780,00 14,53 9,35 1.389.770,00
2001 162.333,91 99.230,16 17,62 12,55 1.449.150,84
2002 173.575,36 109.240,27 12,93 10,03 1.505.211,29
2003 189.579,98 128.216,03 8,31 5,06 1.577.176,74
2004 202.432,95 137.853,46 7,43 6,40 1.656.517,27
2005 219.007,79 141.983,26 12,75 17,11 1.750.821,00
2006 226.357,01 159.355,94 9,75 6,60 1.847.139,86
2007 244.057,82 163.915,09 8,00 6,59 1.963.885,81
2008 276.843,31 175.203,68 9,25 11,06 2.080.989,82
2009 252.721,47 209.326,54 6,50 2,78 2.176.976,00
1997-1998 -17,71 -27,59 20,46 66,58 -12,98
1998-1999 -6,22 16,92 -25,91 -75,62 0,79
1999-2000 -23,59 3,77 2,60 7,34 4,92
2000-2001 40,05 9,31 3,09 3,20 4,27
2001-2002 6,92 10,09 -4,69 -2,52 3,87
2002-2003 9,22 17,37 -4,62 -4,97 4,78
2003-2004 6,78 7,52 -0,88 1,34 5,03
2004-2005 8,19 3,00 5,32 10,71 5,69
2005-2006 3,36 12,24 -3,00 -10,51 5,50
2006-2007 7,82 2,86 -1,75 -0,01 6,32
2007-2008 13,43 6,89 1,25 4,47 5,96
2008-2009 -8,71 19,48 -2,75 -8,28 4,61
-100.00 -80.00 -60.00 -40.00 -20.00 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00
1997 - 1998 2000 - 2001 2003 - 2004 2006 - 2007
Tahun
T
,
G
,
R
,
IN
F
,
P
D
B
Pajak (T)
Pengeluaran Pemerintah (G)
Tingkat Bunga
Inflasi (INF)
PDB
Berdasarkan Tabel 1.2 dan Gambar 1.2 di atas dapat dilihat perkembangan
inflasi di Indonesia tiga belas tahun terakhir, pada tahun 1998 terjadi shock krisis
ekonomi terhadap perekonomian di Indonesia sehingga inflasi meningkat sebesar
66,58%, tekanan inflasi tersebut bersumber dari gangguan pada sisi penawaran dan
permintaan. Pada sisi penawaran sebagai akibat terganggunya kegiatan produksi dan
distribusi barang-barang kebutuhan pokok khususnya kelompok makanan. Tingginya
laju inflasi juga disebabkan oleh dampak lanjutan depresiasi rupiah yang
mengakibatkan kenaikan harga barang-barang impor (pass-through effect). Dari sisi
permintaan, ekspansi moneter juga ikut memberikan tekanan inflasi.
Dalam paruh kedua tahun laporan laju inflasi secara berangsur-angsur
mengalami penurunan bahkan pada bulan Oktober 1998 dan Maret 1999 mencatat
deflasi, sejalan dengan pulihnya pasokan barang-barang kebutuhan pokok dan relatif
Gambar 1.2. Perkembangan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Tingkat Bunga,
terkendalinya besaran moneter untuk mengendalikan inflasi pemerintah menaikkan
tingkat bunga sebesar 25,91%, kebijakan ini juga dimaksudkan agar tingkat bunga riil
tetap positif sehingga dapat menarik kembali modal luar negeri dan mendorong
masyarakat memasukkan kembali dananya ke dalam sistem perbankan nasional.
Selanjutnya, untuk lebih memantapkan efektivitas pengendalian moneter pemerintah
dalam hal ini Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan ketentuan tentang
penerbitan dan perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yaitu mulai akhir bulan
Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui le1ang dengan Sistem Stop Out Rate
(SOR). Melalui langkah tersebut diharapkan kuantitas uang yang dikontraksi akan
mendekati seperti yang direncanakan dalam program moneter.
Pada tahun 2009 sebesar 2,78% (turun sebesar -8,28% dari tahun 2008),
Inflasi pada tahun 2009 yang minimal tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank
Indonesia dalam memulihkan kepercayaan pasar sehingga nilai tukar rupiah yang
berada dalam trend menguat. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung
membaiknya ekspektasi inflasi, perbaikan ekspektasi inflasi juga cukup besar
dipengaruhi penurunan inflasi kelompok barang administered dan inflasi kelompok
volatile food. Inflasi kelompok barang administered menurun di bawah pola
historisnya sejalan dengan pengaruh positif kebijakan pemerintah menurunkan harga
BBM bersubsidi pada awal tahun 2009. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food
yang rendah dan juga berada di bawah pola historisnya tidak terlepas dari
keberhasilan pemerintah dalam menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran
Pada tahun 2006 tingkat bunga sebesar 9,75% (turun -3% dari tahun 2005
sebesar 12,75%), penurunan tingkat bunga secara bertahap ini tetap diikuti oleh
berbagai upaya untuk mengoptimalkan penyerapan ekses likuiditas perbankan yang
masih cenderung meningkat. Pada tahun 2007 sebesar 8% (turun sebesar -1,75% dari
tahun 2006), kebijakan tersebut diharapkan memberi sinyal positif terhadap ekspansi
ekonomi yang tengah berlangsung kendati tetap mengedepankan upaya mencapai
sasaran inflasi. Dalam implementasinya, stance kebijakan moneter selama tahun 2007
dapat dibagi dalam dua periode yakni periode penurunan tingkat bunga (Januari-Juli
2007) dan periode tingkat bunga tetap (Agustus-November 2007). Penurunan tingkat
bunga terutama didasarkan atas pertimbangan tercapainya sasaran inflasi dan
terjaganya stabilitas sistem keuangan. Sementara itu, tidak berubahnya tingkat bunga
didasarkan atas pertimbangan antisipatif terhadap meningkatnya potensi risiko inflasi
yang ditimbulkan oleh gejolak pasar keuangan global sejak akhir Juli 2007 dan trend
kenaikan harga minyak dunia.
Pada tahun 2008 sebesar 9,25% (naik sebesar 1,25% dari tahun 2007), Bank
Indonesia menaikkan tingkat bunga secara bertahap dari 8% menjadi 9,5% pada
Oktober 2008. Kenaikan tingkat bunga secara gradual dilakukan dengan
mempertimbangkan bahwa: (i) tekanan inflasi yang terjadi tidak hanya bersumber
dari sisi permintaan, (ii) kenaikan tingkat bunga secara drastis akan memberatkan
kinerja dan stabilitas sistem keuangan termasuk perbankan. Bank Indonesia
memutuskan untuk menurunkan tingkat bunga menjadi 9,25% pada Desember 2008.
anjloknya permintaan domestik yang semakin kuat yang juga dikonfirmasi oleh
ekspansi kredit perbankan yang mulai menunjukkan penurunan tajam pada Oktober
2008 dan November 2008, terjaganya kecukupan pasokan bahan pokok dan energi,
minimalnya kebutuhan untuk menaikkan harga barang administered, terutama bahan
bakar minyak (BBM) dalam Negeri karena rendahnya harga minyak dunia. Selain itu,
penurunan tingkat bunga tersebut juga didasari oleh kondisi imbal hasil rupiah yang
masih menarik dan merupakan upaya untuk mengurangi tekanan pada stabilitas
sistem keuangan. Pada tahun 2009 sebesar 6,50% (turun sebesar -2,75% dari tahun
2008). Dari perkembangan tingkat bunga dan inflasi di atas dapat dilihat bahwa
Inflasi akan cenderung menyebabkan tingkat bunga semakin meningkat. Kebijakan
fiskal (pajak dan pengeluaran pemerintah) berpengaruh terhadap inflasi, menurut
Keynesian bahwa naiknya tingkat harga menyebabkan semakin tingginya
pengeluaran nominal, meningkatnya pengeluaran nominal tersebut mengakibatkan
permintaan akan uang untuk transaksi juga meningkat. Bila jumlah uang
beredar tetap, maka akan mengakibatkan tingkat bunga menjadi meningkat.
PDB atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 1997-1998 pada saat krisis
ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12,98%, pada tahun 2006 sebesar
Rp.1.847.127 miliar (naik sebesar 5,5% dari tahun 2005 sebesar Rp.1.750.815
miliar). Pada tahun 2007 sebesar Rp.1.964.327 miliar (naik sebesar 6,34% dari tahun
2006), pada tahun 2008 sebesar Rp.2.082.316 miliar (turun sebesar 6,01% dari tahun
2007) dan tahun 2009 sebesar Rp.2.176.976 miliar (turun sebesar 4,55% dari tahun
peningkatan kegiatan ekonomi utamanya sektor riil dan dunia usaha pada umumnya.
Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh peningkatan penerimaan
pemerintah melalui perpajakan karena bergairahnya perekonomian sehingga aktivitas
dunia usaha meningkat dan pada akhirnya keuntungan perusahaan meningkat pula.
Peningkatan aktivitas dan keuntungan perusahaan ini tentunya akan meningkatkan
perpajakan baik dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai maupun cukai. Jika
penerimaan pemerintah meningkat maka akan membawa konsekuensi peningkatan
pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran pemerintah juga didasari alasan
bahwa dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka menuntut peningkatan
penyediaan barang publik oleh pemerintah. Dengan demikian untuk kasus Indonesia
Wagner’s Law berlaku, di mana peningkatan produk domestik bruto akan
mengakibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah.
Dalam menganalisis shock kebijakan fiskal di Indonesia, ada dua peneliti yang
telah melakukan penelitian ini. Pertama, Francisco de Castro (2003) meneliti
pengaruh kebijakan fiskal terhadap variabel ekonomi makro di Spanyol variabel yang
digunakan adalah Pengeluaran pemerintah, pajak bersih, GDP, harga, tingkat bunga.
Kedua, Andrew Mountford dan Harald Uhlig (2005) dalam penelitiannya variabel
yang digunakan adalah Tingkat bunga, GDP, konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah, pajak. Sedangkan di Indonesia sendiri shock kebijakan fiskal belum
diketahui dipengaruhi oleh variabel-variabel apa saja. Oleh karena itu penulis tertarik
1.2. Perumusan Masalah
1. Apakah shock kebijakan fiskal, shock PDB berkontribusi terhadap shock
inflasi?
2. Apakah shock kebijakan fiskal, shock tingkat bunga riil, shock inflasi
berkontribusi terhadap shock PDB?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock PDB terhadap
shock inflasi.
2. Untuk menganalisis kontribusi shock kebijakan fiskal, shock tingkat bunga
riil, shock inflasi terhadap shock PDB.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara umum, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pemerintah dalam pengambilan keputusan kebijakan fiskal di Indonesia.
2. Secara khusus, penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis berkaitan dengan kebijakan fiskal di Indonesia.
3. Sebagai bahan tambahan referensi bagi peneliti lain yang berminat untuk
mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
Dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu negara, peranan
pemerintah secara empiris tidak dapat dihindarkan. Peran pemerintah tersebut
diwujudkan dalam kebijakan fiskal. Kebijakan ini memiliki dua instrumen pokok,
yaitu: perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Dalam hal
pembangunan ekonomi rancangan kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan untuk
pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi,
pengurangan pengangguran dan stabilitas ekonomi tetapi juga peningkatan harkat
sosial seperti pemerataan, pendidikan dan kesehatan.
2.1.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan tindakan pemerintah untuk mempengaruhi
jalannya perekonomian melalui pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (G) untuk
mencapai tujuan makroekonomi, pajak dan pengeluaran pemerintah mempunyai
dampak terhadap permintaan agregat dari barang dan jasa di dalam perekonomian.
Tax atau pajak (T) dalam analisis ekonomi makro dipandang sebagai daya beli
masyarakat berupa uang yang diserahkan kepada pemerintah, penyerahan uang
tersebut tidak ada pemberian balas jasa secara langsung dari pemerintah. Pengeluaran
pemerintah atau Government Expenditure (G) merupakan pengeluaran pemerintah
misalnya pengeluaran pemerintah untuk membayar gaji pegawai negeri hasil yang
diperoleh pemerintah berupa prestasi kerja dari pegawai negeri tersebut. Government
Transfer (TR) merupakan pengeluaran pemerintah tetapi atas pengeluaran tersebut
pemerintah tidak memperoleh hasil secara langsung pada tahun anggaran pengeluaran
itu terjadi, misalnya pembayaran pensiun, beasiswa dan subsidi lainnya (Murni,
2006). Kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Kebijakan fiskal aktif atau diskresioner (discretionary fiscal policy).
2. Kebijakan fiskal nondiskresioner (nondiscretionary fiscal policy).
Kebijakan Fiskal Aktif atau Diskresioner (Discretionary Fiscal Policy)
Kebijakan fiskal aktif atau diskresioner adalah kebijakan di mana pemerintah
melakukan perubahan tingkat pajak atau program-program pengeluarannya, dapat
bersifat ekspansif dan kontraktif.
a. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy) adalah kebijakan yang
dilakukan melalui peningkatan pengeluaran pemerintah (G dan/atau penurunan
penerimaan pajak T) dengan tujuan untuk meningkatkan permintaan agregat dalam
perekonomian selanjutnya akan mengurangi pengangguran yang ada, umumnya
sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesi.
Peningkatan Pengeluaran Pemerintah
Belanja pemerintah (G) adalah salah satu komponen pengeluaran, maka
pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi mengakibatkan pengeluaran yang
sebesar ÄG maka kurva pengeluaran yang direncanakan bergeser ke atas sebesar ÄG
seperti Gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1. Peningkatan Pengeluaran Pemerintah
A
B
450
Kenaikan dalam belanja pemerintah menggeser
pengeluaran yang
direncanakan ke atas E = C + I +G1 E = C + I +G2 Y = E
E1=Y1 E2=Y2
ÄY
E
Y E1=Y1 E2=Y2
ÄG
LM
IS2
IS1
Y1 Y2
r1 r2
r
Y 0
Berdasarkan Gambar 2.1 di atas dapat dijelaskan bahwa kenaikan belanja
pemerintah sebesar ÄG meningkatkan pengeluaran yang direncanakan sebesar jumlah
itu untuk semua tingkat pendapatan. Ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B dan
dapat meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Kenaikan dalam pendapatan ÄY
melebihi kenaikan belanja pemerintah ÄG jadi kebijakan fiskal memiliki dampak
pengganda terhadap pendapatan. Kenaikkan belanja pemerintah menggeser kurva IS
ke kanan. Pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2 dan tingkat bunga naik dari r1 ke r2.
Ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa pengeluaran yang
direncanakan akan naik. Kenaikan pengeluaran yang direncanakan akan mendorong
produksi barang dan jasa yang menyebabkan pendapatan total Y meningkat karena
peningkatan uang bergantung pada pendapatan, kenaikkan pendapatan total
meningkatkan jumlah uang yang diminta pada setiap tingkat bunga.
Akan tetapi jumlah uang beredar tidak berubah menunjukkan bahwa
penawaran keseimbangan uang riil adalah tetap tidak tergantung pada tingkat bunga
sehingga permintaan uang yang lebih tinggi menyebabkan tingkat bunga ekuilibrium
r naik. Ketika tingkat bunga naik perusahaan mengurangi rencana investasinya.
Penurunan investasi ini sebagian mengurangi dampak ekspansif dari kenaikan belanja
pemerintah. Pergeseran horizontal kurva IS sama dengan kenaikan pendapatan
ekuilibrium dalam perpotongan keynesian, jumlah ini lebih besar daripada kenaikan
pendapatan ekuilibrium dalam model IS-LM. Perbedaan itu dijelaskan oleh desakan
investasi (crowding out of invesment) yang diakibatkan oleh tingkat bunga yang lebih
Pengurangan Penerimaan Pajak
Pengurangan pajak sebesar ÄT secara langsung akan menaikkan disposible
income (Y – T) sebesar ÄT maka menaikkan konsumsi sebesar MPC x ÄT. Pada
setiap tingkat pendapatan Y pengeluaran yang direncanakan sekarang akan lebih
tinggi seperti Gambar 2.2 di bawah ini dapat dijelaskan bahwa pengurangan pajak
sebesar ÄT meningkatkan pengeluaran yang direncanakan sebesar MPC x ÄT untuk
setiap tingkat pendapatan ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B dan pendapatan
meningkat dari Y1 ke Y2, kebijakan fiskal memiliki dampak pengganda terhadap
pendapatan. Penurunan pajak menggeser kurva IS ke kanan. Ekuilibrium bergerak
dari titik A ke titik B. Pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2 dan tingkat bunga naik
dari r1 ke r2. Karena tingkat bunga yang lebih tinggi daripada kenaikan pendapatan
dalam model IS-LM lebih kecil daripada kenaikan pendapatan dalam perpotongan
keynesian.
b. Kebijakan fiskal kontraktif (contractionary fiscal policy) adalah kebijakan
fiskal yang dilakukan melalui pengurangan pengeluaran pemerintah (G) dan/atau
peningkatan penerimaan pajak (T) dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan
agregat di dalam perekonomian. Dengan demikian jika perekonomian dalam keadaan
inflasi maka kebijakan fiskal yang kontraktif dapat diterapkan untuk menurunkan
A
B
450
Pemotongan pajak
menggeser pengeluaran yang direncanakan ke atas
E = C1 + I +G E = C2 + I +G Y = E
E1=Y1 E2=Y2
ÄY
E
Y E1=Y1 E2=Y2
ÄT
LM
IS2
IS1
Y1 Y2
r1 r2
Y r
0
[image:39.595.130.510.152.604.2]0
Pengurangan Pengeluaran Pemerintah
Penurunan belanja pemerintah sebesar ÄG menurunkan pengeluaran yang
direncanakan sebesar jumlah itu untuk semua tingkat pendapatan. Ekuilibrium
bergerak dari titik A ke titik B dan dapat menurunkan pendapatan dari Y1 ke Y2.
Penurunan belanja pemerintah menggeser kurva IS ke kiri. Pendapatan menurun dari
Y1 ke Y2 dan tingkat bunga turun dari r1 ke r2. Ketika pemerintah menurunkan
belanjanya atas barang dan jasa pengeluaran yang direncanakan akan turun.
Penurunan pengeluaran yang direncanakan akan mengurangi produksi barang dan
jasa yang menyebabkan pendapatan total Y menurun dan dapat menahan inflasi dapat
dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Peningkatan Penerimaan Pajak
Peningkatan pajak sebesar ÄT secara langsung akan menurunkan disposible
income (Y–T) sebesar ÄT maka menurunkan konsumsi sebesar MPC x ÄT. Pada
setiap tingkat pendapatan Y pengeluaran yang direncanakan sekarang akan lebih
rendah. Berdasarkan Gambar 2.4 di bawah ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan
pajak sebesar ÄT menurunkan pengeluaran yang direncanakan sebesar MPC x ÄT
untuk setiap tingkat pendapatan ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B dan
pendapatan menurun dari Y1 ke Y2, kebijakan fiskal memiliki dampak pengganda
terhadap pendapatan. Peningkatan pajak menggeser kurva IS ke kiri. Ekuilibrium
bergerak dari titik A ke titik B. Pendapatan menurun dari Y1 ke Y2 dan tingkat bunga
pendapatan dalam model IS-LM lebih tinggi daripada penurunan pendapatan dalam
perpotongan keynesian.
B
A
450
Penurunan dalam belanja pemerintah menggeser
pengeluaran yang
direncanakan ke bawah E = C + I +G2 E = C + I +G1 Y = E
E2=Y2 E1=Y1
ÄY
E
Y E2=Y2 E1=Y1
ÄG
LM
IS1
IS2
Y2 Y1
r2 r1
r
Y 0
[image:41.595.129.510.202.677.2]0
Angka Pengganda Pengeluaran Pemerintah
Adanya pengeluaran pemerintah (G) dalam perekonomian tiga sektor akan
memperbesar pengeluaran agregat. Sebelum ada G nilai AD merupakan nilai C + I,
tetapi setelah ada G nilai AD berubah menjadi C + I + G. Pertambahan G dalam
perekonomian dapat menaikkan output atau pendapatan nasional (Y). Kenaikan Y
sebagai akibat dari kenaikan G dapat ditentukan melalui teori multiplier government
expenditure, kenaikan G akan mempengaruhi kenaikan pendapatan nasional secara
berlipat ganda. Angka pengganda pengeluaran pemerintah dapat diturunkan dengan
persamaan sebagai berikut:
G MPC Y MPC G Y G Y MPC G Y MPC Y G Y MPC Y G C Y Exogenous I G I C Y 1 1 1 1 ) 1 (
jika kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah 0,6 penggandanya adalah:
Artinya, kenaikan sebesar $1 dalam belanja pemerintah meningkatkan pendapatan
ekuilibrium sebesar $2,50.
Gambar 2.4. Peningkatan Penerimaan Pajak
B
A
450
Peningkatan pajak
menggeser pengeluaran yang direncanakan ke bawah
E = C2 + I +G E = C1 + I +G Y = E
E2=Y2 E1=Y1
ÄY
E
Y E2=Y2 E1=Y2
ÄT
LM
IS1
IS2
Y2 Y1
r2 r1
Y r
0
Angka Pengganda Pajak
Angka pengganda pajak dapat diturunkan dengan persamaan sebagai berikut:
MPC MPC T Y T MPC Y MPC T MPC Y MPC Y T MPC Y MPC Y T Y MPC Y C Y I G I C Y 1 ) 1 ( ) (
Persamaan ini adalah pengganda pajak (tax multiplier) jumlah perubahan
pendapatan yang disebabkan oleh perubahan sebesar $1 dalam pajak. Tanda negatif
mengindikasikan pendapatan yang bergerak ke arah berlawanan dari pajak sebagai
contoh jika kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah 0,6 maka pengganda
pajak adalah: T Y T Y MPC MPC T Y 5 , 1 6 , 0 1 6 , 0 1
Artinya pemotongan pajak sebesar $1 meningkatkan pendapatan ekuilibrium sebesar
$1,50.
Kebijakan Fiskal Nondiskresioner (Nondiscretionary Fiscal Policy)
Kebijakan fiskal nondiskresioner atau penstabil otomatis adalah segala
pemerintah) selama periode resesi dan cenderung meningkatkan surplus pemerintah
(atau menurunkan defisit pemerintah) selama periode inflasi tanpa harus ada tindakan
eksplisit oleh para pembuat kebijakan (Nanga, 2005). Dilihat dari komposisi
anggaran kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi:
a. Kebijakan anggaran surplus adalah jika penerimaan pajak lebih besar daripada
pengeluaran pemerintah (T > G).
b. Kebijakan anggaran berimbang adalah jika penerimaan pajak sama dengan
pengeluaran pemerintah (T = G).
c. Kebijakan anggaran defisit adalah jika penerimaan pajak lebih kecil daripada
pengeluaran pemerintah (T < G).
Berdasarkan Gambar 2.5 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam analisis ini
diasumsikan bahwa pengeluaran pemerintah (G) sebagai peubah eksogen dalam arti
nilainya ditentukan oleh faktor lain di luar model. Hal ini berarti bahwa pengeluaran T,G
Y T = f(Y)
G = G0 T < G
Defisit
T = G Berimbang
[image:45.595.141.451.429.638.2]T > G Surplus G0
pemerintah konstan sampai ada tindakan pemerintah untuk mengubahnya oleh sebab
itu kurva G merupakan garis sejajar dengan garis horizontal. Sedangkan pajak (T)
merupakan fungsi dari pendapatan artinya besar kecilnya pajak tergantung dengan
pendapatan.
Dalam masa kemunduran ekonomi misalnya pendapatan pajak berkurang,
tetapi untuk mengatasi pengangguran itu pemerintah perlu melakukan lebih banyak
program-program pembangunan maka pengeluaran pemerintah perlu ditambah
sehingga G > T artinya defisit anggaran sehingga tabungan nasional turun.
Sebaliknya pada waktu inflasi tingkat kemakmuran tinggi mengalami surplus
anggaran di mana T > G pemerintah berusaha untuk mengurangi pengeluarannya
untuk mengurangi inflasi tetapi pemerintah harus lebih berhati-hati dalam
pembelanjaannya, harus dijaga agar pengeluaran pemerintah tidak memperburuk
keadaan inflasi yang berlaku sehingga tabungan nasional meningkat.
2.1.2. Teori Siklus Bisnis (Business Cycle Theory)
Siklus bisnis adalah suatu pola konjuntur yang berfluktuasi dari ekspansi
(pemulihan) dan kontraksi (resesi) dalam aktivitas perekonomian di sekitar jalur dari
trend pertumbuhan. Pada Gambar 2.6 di bawah ini terdapat empat tahapan dalam
siklus perekonomian: Tahap pertama adalah Expansion, suatu kondisi pemulihan
ekonomi (recovery), pertumbuhan ekonomi terlihat mulai bergerak naik yang ditandai
dengan adanya gerakan peningkatan produk nasional, kesempatan kerja mulai
meningkat, upah cenderung mengalami kenaikan dan keuntungan perusahaan
selama minimal dua triwulan berturut-turut. Tahap kedua adalah Peak, titik puncak
kegiatan ekonomi tercapai setelah mengalami ekspansi pada saat ini kondisi upah dan
kesempatan kerja berada dalam kondisi yang ideal bagi suatu negara. Kondisi peak
ini terjadi selamanya tapi akan terjadi penurunan kembali, pertumbuhan ekonomi naik
dan mencapai titik puncak melebihi puncak biasanya terjadi.
Tahap ketiga adalah Recession, ketika perekonomian mengalami resesi
pendapatan akan turun sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak
berkurang. Laba juga turun sehingga perusahaan membayar lebih sedikit pajak
pendapatan, semakin banyak orang yang menjadi tergantung pada bantuan
pemerintah seperti asuransi kesejahteraan dan pengangguran, sehingga pengeluaran
pemerintah naik. Tahap keempat adalah Trought, penurunan kegiatan perekonomian
tidak akan berlangsung terus tapi akan terhenti pada titik terendah (trought). Pada saat
ini pertumbuhan ekonomi berada pada titik terendah kesempatan kerja sangat rendah
dan tingkat upah berada di bawah subsistem. Bila kegiatan perekonomian menurun
secara tajam dan mencapai titik terendah melebihi titik terendah yang biasa terjadi
Gambar 2.6. Tahapan Siklus Bisnis
Keterangan Gambar 2.6 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Titik A
merupakan perkembangan ekonomi berada pada titik puncak (peak) pada siklus boom
aktivitas perekonomian relatif tinggi daripada trend, antara titik A dan titik B
perekonomian mengalami penurunan (recession), pada masa resesi pengangguran
meningkat dan output yang dihasilkan di bawah yang seharusnya dapat dicapai
dengan sumber daya dan teknologi yang ada maka untuk mengurangi pengangguran,
pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif dengan cara meningkatkan
pengeluaran pemerintah (G) dan menurunkan penerimaan pajak sehingga investasi
naik maka pengangguran berkurang seperti Gambar 2.7 di bawah ini:
Waktu Output
1 2 3 4 5 6
0
Output Riil Output Potensial
A
B
C
D
E
Gambar 2.7. Kebijakan Fiskal Ekspansif
Berdasarkan Gambar 2.7 di atas bahwa keseimbangan perekonomian negara
mengalami pengangguran karena pengeluaran agregat (AE) aktual berada di bawah
pengeluaran agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat konsumsi tenaga kerja
penuh (AEf). Pendapatan nasional adalah Y yaitu nilainya di bawah pendapatan
nasional yang potensial (Yf). Perbedaan antara AEf dan AE adalah jurang deflasi
yaitu jumlah kekurangan perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai
konsumsi tenaga kerja penuh. Titik B merupakan perkembangan ekonomi mengalami
titik terendah (trought). Antara titik B dan titik C perekonomian mengalami kenaikan
(expansion) penggunaan faktor produksi meningkat. Output dapat meningkat di atas
trend karena orang-orang bekerja lembur dan mesin-mesin digunakan lebih lama. 450
AEf
AE
Jurang deflasi
Y Yf Y
AE
Berdasarkan Gambar 2.8 di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat kegiatan
ekonomi yang melebihi tingkat konsumsi tenaga kerja penuh dan berlaku inflasi.
Pengeluaran agregat aktual melebihi kemampuan perekonomian untuk memproduksi
barang dan jasa. Kelebihan permintaan tersebut akan menimbulkan kenaikan
harga-harga. Pengeluaran agregat aktual (Y) lebih besar dari pengeluaran agregat potensial
(Yf) hanya mungkin terjadi apabila harga-harga telah mengalami kenaikan yang
menyebabkan sejumlah barang tertentu sekarang mempunyai nilai yang lebih tinggi
daripada sewaktu kenaikan harga-harga belum berlaku. Perbedaan antara AE dan AEf
adalah jurang inflasi yaitu kelebihan dalam pengeluaran agregat di atas pengeluaran
agregat pada konsumsi tenaga kerja penuh yang menimbulkan kekurangan barang
dan seterusnya kenaikan harga-harga, maka pemerintah melakukan kebijakan fiskal
kontraktif dengan cara menurunkan pengeluaran pemerintah (G) dan meningkatkan
pajak (T) sehingga inflasi berkurang.
450
AE
AEf
Jurang inflasi
Yf Y
Y AE
0
Titik C merupakan perkembangan ekonomi mencapai puncak kembali. Antara
titik C dan titik D perekonomian mengalami resesi. Titik D merupakan
perkembangan ekonomi berada di titik terendah (trought). Antara titik D dan titik E
perekonomian mengalami peningkatan (recovery) atau ekspansi. Titik E
perekonomian mengalami boom. Antara titik E dan titik F perekonomian mengalami
penurunan resesi. Titik F perkembangan ekonomi mengalami depresi (depression).
Gelombang antara satu puncak dan puncak berikutnya atau satu titik terendah dengan
titik terendah berikutnya disebut periode satu siklus, misalnya gerakan dari periode
satu sampai dengan periode tiga merupakan periode satu siklus untuk titik puncak.
Gerakan dari periode dua sampai periode empat merupakan periode satu siklus untuk
titik terendah.
Setiap siklus memiliki 2 jenis titik balik (turning points) yaitu titik puncak
(peak) dan titik lembah (trough). Kedua titik balik ini menandakan sinyal apabila dari
arah pergerakan siklikal suatu indikator berubah dari periode ekspansi ke periode
kontraksi atau jika terjadi sebaliknya. Kedua titik balik ini hanya dapat ditentukan
menggunakan data time series yang merupakan deviasi dari trend-nya, Dapat
disimpulkan bahwa tahapan ini akan datang silih berganti sepanjang waktu dalam
perekonomian suatu negara. Hal yang dapat dilakukan dalam siklus bisnis adalah
mengelolah siklus agar dampak negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin dalam
arti selalu berupaya untuk memperkecil kepincangan (gap) antara output potensial
dan output riil, sehingga gelombang naik-turun siklus ekonomi semakin kecil.
diupayakan meningkat, secara teoritis dapat dicapai dengan mengkombinasikan
kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Kebijakan yang digunakan adalah
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Pada jangka pendek kebijakan fiskal dan
moneter bertujuan untuk meningkatkan stimulus permintaan, misalnya kebijakan
tingkat bunga. Sedangkan untuk jangka panjang diarahkan kepada stimulus
penawaran misalnya kebijakan pemberian kredit jangka panjang dan kebijakan
bidang pendidikan.
Durasi siklus dan faktor yang mempengaruhinya telah lama menjadi
pengamatan para ahli ekonomi, mereka menemukan beberapa variasi siklus sebagai
berikut:
a. Siklus jangka pendek (Kitchin cycle). Durasi siklus jangka pendek sekitar 40
bulan (antara 3 s/d 4 tahun), faktor yang diduga mempengaruhi siklus jangka
pendek adalah pengaruh alamiah (nature) dan adat istiadat. Pengaruh faktor
alam contohnya pengaruh musim, iklim dan cuaca yang terdapat di setiap
Negara. Pengaruh adat istiadat contohnya perubahan kegiatan produksi
menjelang tahun baru atau menjelang hari raya keagamaan.
b. Siklus jangka menengah (Juglar cycle). Durasi siklus jangka menengah
adalah berkisar 7 s/d 11 tahun, siklus ini diakibatkan oleh faktor eksternal
yaitu siklus matahari yang berdaur ulang 11 tahun sekali. Siklus matahari ini
akan mempengaruhi iklim dan cuaca di setiap negara sehingga mempengaruhi
c. Siklus jangka panjang (Kondratief cycle). Durasi siklusnya berkisar antara
48-60 tahun, faktor yang mempengaruhi siklus jangka panjang adalah invention
and innovation yaitu adanya ciptaan dan penemuan baru dalam kegiatan
ekonomi contohnya adanya penemuan dan perkembangan teknologi (Murni,
2006).
Teori Business Cycle dikemukakan untuk mencari sumber penyebab
terjadinya siklus. Teori yang menyebutkan bahwa guncangan eksogen merupakan
penyebab terjadinya fluktuasi disebut sebagai teori business cycle eksogen. Teori
business cycle eksogen terdiri dari teori siklus bisnis riil (real business cycle), ilmu
ekonomi Keynesian baru (New Keynesian Economics) dan moneter.
1. Teori Siklus Bisnis Riil (Real Business Cycle)
Teori real business cycle mengasumsikan bahwa harga adalah fleksibel
bahkan pada jangka pendek. Dengan asumsi complete price flexibility, teori ini
menganut classical dichotomy di mana variabel-variabel nominal seperti pergerakan
uang dan tingkat harga tidak mempengaruhi pergerakan variabel di sektor riil seperti
output dan kesempatan kerja (Mankiw, 2007). Untuk menjelaskan pergerakan sektor
riil termasuk investasi, teori ini menyatakan pergerakan tersebut disebabkan oleh
faktor alami di sektor itu sendiri seperti terjadinya technological shock yang membuat
produktivitas meningkat sehingga output dari perekonomian juga meningkat. Dengan
kata lain semua fluktuasi di sektor riil seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat
pengangguran, tingkat konsumsi dan investasi merupakan hasil reaksi dari
uang adalah netral dalam ekonomi, teori ini mendapat kritik karena data
menunjukkan bahwa penurunan money supply selalu disertai dengan perubahan
sektor riil seperti tingginya pengangguran dan rendahnya output.
Penganut teori ini memberikan argumentasi bahwa perubahan dalam
perekonomian seperti tingginya output akibat “faktor alami” akan mempengaruhi
permintaan akan uang. Meningkatnya permintaan akan uang ini akan direspon oleh
bank sentral dengan menambah money supply (Mankiw, 2007). Perubahan dalam
perekonomian karena faktor-faktor alami ini akan menyebabkan terjadinya siklus
dalam pergerakan variabel-variabel di sektor riil. Siklus ini dipercaya terjadi dalam
setiap variabel di sektor riil dan dapat dilihat dengan menghilangkan faktor-faktor
musiman, trend dan irregular dari data.
2. Ilmu Ekonomi Keynesian Baru (New Keynesian Economics)
Sebaliknya ilmu ekonomi Keynesian baru didasarkan pada premis bahwa
market-clearing, model teori siklus bisnis riil tidak dapat menjelaskan fluktuasi
ekonomi jangka pendek. Keynes menekankan bahwa permintaan agregat adalah
determinan primer pendapatan nasional dalam jangka pendek. Menurut logika output
perekonomian dapat berfluktuasi baik karena tingkat output alami (natural rate of
output) berfluktuasi atau karena output perekonomian menyimpang dari tingkat
alamiahnya. Teori New Keynesian menekankan pentingnya ketidakstabilan
permintaan agregat sebagai penyebab terjadinya fluktuasi ekonomi makro. Teori ini
uang penting terhadap fluktuasi ekonomi. Namun guncangan moneter bukan
merupakan satu-satunya penyebab fluktuasi seperti pendapat business cycle moneter.
3. Teori Business Cycle Moneter
Teori business cycle moneter menekankan arti pentingnya guncangan
permintaan, khususnya uang terhadap fluktuasi ekonomi tetapi hanya dalam jangka
pendek. Dalam business cycle moneter dan Keynesian uang mempengaruhi output,
sebaliknya teori RBC menyatakan bahwa output mempengaruhi uang.
2.1.3. Variabel Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal memiliki instrumen pokok