• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degrads

5.1.1. Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan

Variabel-varibel yang berpengaruh terhadap degradasi lahan cukup banyak, dan menurut Kurnia et al. (2007) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu variabel yang bersifat alami (natural assessment), dan variabel yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Variabel-variabel yang bersifat alami antara lain : curah hujan, bahan induk, bentuk wilayah, dan kedalaman tanah, sedangkan variabel-variabel yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia antara lain : jenis vegetasi, penutupan vegetasi dan penerapan teknik konservasi tanah.

Dalam penelitian ini variabel-variabel yang berpengaruh terhadap degradasi lahan dikumpulkan melalui survei lapang baik berupa data primer maupun data sekunder. Adapun jumlah variabel yang dikumpulkan sebanyak 23 variabel meliputi variabel fisik lingkungan termasuk manajemennya (11 variabel) dan sifat kimia tanah (12 variabel) (Lampiran 5). Variabel-variabel fisik lingkungan antara lain: jenis bahan induk, curah hujan, lereng, jenis penggunaan

lahan/vegetasi, tutupan vegetasi, batuan di permukaan, singkapan batuan, tingkat erosi (% hilangnya lapisan atas) dilihat dari jenis erosinya (lembar, alur, parit), tindakan konservasi tanah, kedalaman efektif, dan tekstur fraksi debu; sedangkan variabel-variabel sifat kimia tanah antara lain : pH, C-organik, N-total, P-tersedia, Ca, Mg, K, Na, KTK, KB, Al-dd, dan H-dd.

Dalam hubungannya dengan skala perencanaan dalam upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dan upaya pemanfaatannya, maka dalam penelitian ini dilakukan analisis variabel penentu tingkat degradasi lahan untuk skala tinjau dan semi-detil. Tentunya jumlah variabel penentu tingkat degradasi lahan pada skala tinjau dan semi-detil akan berbeda. Variabel-variabel penentu tingkat degradasi lahan skala tinjau lebih dititikberatkan pada variabel fisik lingkungan dan manajemen lahannya serta sifatnya lebih umum tanpa memperhatikan sifat kimia tanah. Dalam aplikasinya di lapangan untuk skala tinjau akan lebih mudah dan cepat; sedangkan untuk variabel-variabel penentu tingkat degradasi lahan pada skala semi-detil, selain melibatkan variabel-variabel fisik lingkungan, juga melibatkan variabel-variabel sifat kimia tanah yang memerlukan analisis laboratorium, sehingga dalam aplikasinya akan lebih sulit dan memerlukan waktu yang lebih lama. Namun demikian keakuratan skala semi-detil akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan skala tinjau. Tingkat keakuratan klasifikasi tingkat degradasi lahan pada skala tinjau dapat mencapai 75%, sedangkan untuk skala semi-detil dapat mencapai 90% (Arsyad, 2006).

Pemilihan variabel penentu tingkat degradasi lahan dilakukan dengan analisis diskriminan berganda menggunakan metode stepwise (stepwise multiple

discriminant analysis) dengan tujuan untuk menghilangkan variabel yang

dianggap bermasalah (multikolinearitas), sehingga diperoleh variabel yang benar- benar bebas satu sama lain dan merupakan variabel yang benar-benar berperan dalam model/fungsi diskriminan. Berdasarkan analisis diskriminan berganda

stepwise menggunakan uji F dengan signifikansi 0,20 atau tingkat kepercayaan

80%, maka diperoleh 5 variabel penentu tingkat degradasi lahan yang paling berkontribusi terhadap fungsi diskriminan pada skala tinjau, yaitu : bahan induk, tekstur fraksi debu, jenis penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P) dan lereng (Tabel 23).

Tabel 23. Variabel penentu tingkat degradasi lahan skala tinjau di lokasi penelitian berdasarkan Analisis Diskriminan Berganda metode Stepwise

Tahap Variabel

Wilks' Lambda

Lambda Uji F

Statistik Sig.

1 Bahan induk 0,60 18,91 0,00

2 Tekstur fraksi debu 0,45 13,97 0,00

3 Jenis penggunaan lahan/

vegetasi (Nilai C) 0,39 11,05 0,00

4 Tindakan konservasi

tanah (Nilai P) 0,34 9,81 0,00

5 Lereng 0,32 8,30 0,00

Berdasarkan Tabel 23, dapat diketahui bahwa hanya lima variabel yang benar-benar berkontribusi terhadap fungsi diskriminan, artinya bahwa variabel- variabel tersebut mampu mendiskriminasikan terhadap masing-masing grup dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai wilk’s lambdanya yang semakin mendekati nol dan dengan uji F masing-masing variabel memiliki signifikasi 0,00 atau tingkat kepercayaan 100%. Kelima variabel tersebut selanjutnya yang dijadikan sebagai variabel penentu tingkat degradasi lahan.

Dalam penelitian ini, jenis bahan induk merupakan variabel yang paling berperan terhadap proses degradasi lahan disamping tekstur fraksi debu, jenis penggunaan lahan/vegetasi, tindakan konservasi tanah, dan lereng. Bukan merupakan hal yang susah dalam penentuan bahan induk tanah di lapangan, karena sudah banyak alat bantu yang dapat digunakan dalam menentukan jenis bahan induk, diantaranya : peta geologi, peta jenis tanah, maupun dengan cara pengamatan profil/singkapan tanah di lapangan. Jenis tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan induk volkan dan sedimen. Bahan induk volkan yaitu andesit dan tufa volkan, sedangkan bahan induk sedimen berupa batu liat/batu pasir. Jenis bahan induk tersebut cukup tahan terhadap proses degradasi. Hasil penelitian Kurnia dan Suwardjo tahun 1984 dalam Dariah et al. (2004), tanah yang berkembang dari bahan induk tufa volkan salah satunya Oxisol dan yang berkembang dari bahan induk batuliat di daerah Bogor (Ultisol) memiliki kepekaan erosi tanah yang sangat rendah dan rendah. Oleh karena itu, tanah-

tanah di lokasi penelitian, jika dilihat dari bahan induknya cukup tahan terhadap proses degradasi, namun demikian karena faktor lain, seperti curah hujan yang tinggi dan topografi yang beragam maka tanah di lokasi penelitian sangat rentan terhadap proses degradasi. Disamping itu adanya pembukaan lahan untuk budidaya pertanian tanpa adanya tindakan konservasi tanah juga menyebabkan tanah di lokasi penelitian rentan terhadap degradasi lahan akibat erosi.

Tekstur tanah terutama fraksi debu merupakan variabel yang cukup berkontribusi terhadap proses degradasi lahan dibanding pasir dan liat. Hal ini disebabkan karena debu merupakan fraksi tanah yang paling mudah tererosi. Selain mempunyai ukuran yang relatif halus, fraksi ini juga tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan (tanpa adanya bantuan bahan perekat/pengikat), karena tidak mempunyai muatan. Berbeda dengan debu, liat meskipun berukuran halus, namun karena mempunyai muatan, maka fraksi ini dapat membentuk ikatan (Dariah et al., 2004). Meyer dan Harmon (1984) menyatakan bahwa tanah-tanah bertekstur halus (didominasi liat) umumnya bersifat kohesif dan sulit untuk dihancurkan. Demikian juga fraksi pasir dengan ukuran yang lebih besar dibanding debu dan liat lebih tahan terhadap erosi, karena tanah-tanah yang didominasi oleh fraksi pasir memiliki kapasitas infiltrasi dan permeabilitas yang tinggi serta kepekaan tanahnya juga rendah.

Jenis penggunaan lahan/vegetasi sangat berperan terhadap proses degradasi lahan, karena terkait dengan persentase tutupan lahan. Pengaruh jenis penggunaan lahan/vegetasi (faktor C) terhadap proses degradasi lahan yaitu, dapat mengurangi energi tumbukan air hujan, sehingga tidak mengenai tanah secara langsung. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan menghancurkan partikel-partikel tanah dan membawanya ke tempat lain yang lebih rendah bersama aliran permukaan. Jika aliran permukaan tidak besar pada daerah yang relatif datar akan menghasilkan erosi lembar, tetapi jika aliran permukaan membentuk alur-alur pada permukaan tanah, dapat menghasilkan erosi alur, dan jika alur-alur yang terbentuk cukup lebar dan dalam lebih dari 0,5 m, dapat menyebabkan erosi parit (Singer dan Munns, 2006). Adanya vegetasi di atas tanah dapat melindungi tanah dari tumbukan hujan secara langsung karena air hujan akan mengenai tajuk dan batang vegetasi, dimana sebagian akan melekat

sementara pada daun dan batang (air intersepsi), sebagian lagi akan mencapai tanah dengan cara mengalir melalui batang sampai ke tanah (aliran batang) (Arsyad, 2006).

Hasil penelitian di Tianzhu, China menunjukkan bahwa tanah yang digunakan secara intensif untuk budidaya pertanian, erosi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan tanah yang digunakan untuk padang penggembalaan. Besarnya erosi yang terjadi pada lahan budidaya berkisar antara 3,1-9,5 kg/m2/tahun atau 31-95 ton/ha/tahun, sedangkan pada lahan yang digunakan untuk padang penggembalaan berkisar 0,3-1,3 kg/m2

Tindakan konservasi tanah seperti penggunaan mulsa, penggunaan teras, rorak, gulud dan pengolahan tanah searah kontur dan seminimal mungkin

(minimum tillage) sebagai bagian dari tindakan pengelolaan lahan (faktor P)

merupakan salah satu variabel penting dalam penilaian tingkat degradasi lahan (Lal, 1993). Hasil penelitian Sa’ad (2004) menunjukkan bahwa penerapan tindakan konservasi tanah yang jelek dan adanya penggunaan lahan yang sebagaian besar terdiri dari tanaman pangan dan sayuran di DAS Tugu Utara (Ciliwung Hulu) termasuk Kabupaten Bogor, menyebabkan erosi sebesar 1.285,57 kg/ha. Sebaliknya dengan penerapan tindakan konservasi tanah yang baik dapat mengurangi besarnya erosi yang terjadi sebagai penyebab utama degradasi lahan. Hasil penelitian di Jawa Tengah menunjukkan bahwa penggunaan rorak dapat menurunkan total aliran permukaan dan erosi, masing- masing sebesar 33% dan 62%, sehingga memungkinkan dipercepatnya rehabilitasi lahan terdegradasi, disamping itu integrasi antar embung, rorak dan sistem usahatani lahan kering dapat menurunkan aliran permukaan sebesar 24% (Heryani dan Sutrisno, 2005). Selanjutnya Noeralam et al. (2003) menyatakan bahwa teknik konservasi rorak + gulud secara nyata dapat mengendalikan dan mengurangi aliran permukaan sampai 88% dari aliran permukaan pada tanah

/tahun atau 3-13 ton/ha/tahun (Wu dan Tiessen, 2002). Selanjutnya Sinukaban (2007) menyatakan bahwa penutupan tanah dengan mulsa sebanyak 60% dapat menekan aliran permukaan dan erosi sebesar lebih dari 60%, sebaliknya dengan penutupan di bawah 60% yaitu 30% tidak banyak mengurangi aliran permukaan dan erosi, karena dengan tutupan lahan 30% tidak mampu melindungi tanah dari tumbukan energi hujan yang jatuh.

terbuka tanpa tumbuhan dan tanpa teknik konservasi, dimana besarnya aliran permukaan pada lahan terbuka tanpa tumbuhan mencapai 33-40% dari total hujan. Penelitian di China juga menunjukkan bahwa penggunaan teras dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 80%-90%, dan dengan pengolahan tanah searah kontur mampu mengurangi aliran permukaan sebesar 20%-80% (Liu et al., 2001).

Topografi khususnya lereng sangat berperan penting dalam proses degradasi lahan apalagi didukung oleh curah hujan yang tinggi. Kondisi topografi di lokasi penelitian yang didominasi berombak sampai berbukit dengan lereng yang curam merupakan faktor penyebab alami degradasi lahan (Sitorus, 2009). Arsyad (2006) menyatakan bahwa semakin curam lereng maka akan memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian energi angkut aliran permukaan dan jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih besar. Hasil penelitian Wu dan Tiessen (2002), kehilangan tanah pada lahan dengan lereng curam (37%) selama lebih dari 35 tahun rata-rata sebesar 49 ton/ha/tahun pada lereng tengah. Besarnya tanah yang hilang ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang berada pada lereng <5%, yaitu sebesar 3 ton/ha/tahun. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa lereng memang sangat berperan dalam proses degradasi lahan.

Jika dibandingkan dengan penelitian Kurnia et al. (2007) tentang bakumutu parametar degradasi lahan untuk skala tinjau, maka jumlah variabel yang digunakan dalam penelitian ini lebih sedikit yaitu hanya 5 variabel. Kurnia et al. (2007) melibatkan 7 variabel penentu tingkat degradasi lahan yaitu 4 variabel yang bersifat alami (curah hujan, bahan induk, bentuk wilayah, kedalaman tanah) dan 3 variabel yang dipengaruhi oleh manusia (jenis vegetasi, penutupan vegetasi, penerapan teknik konservasi tanah). Dalam penelitian ini, variabel curah hujan dan kedalaman efektif bukan merupakan variabel yang menentukan dalam penilaian tingkat degradasi lahan, hal ini disebabkan karena curah hujan di lokasi penelitian relatif seragam, sehingga dalam analisis diskriminan stepwise akan dihilangkan demikian juga dengan kedalaman tanah. Meskipun hanya 5 variabel yang digunakan dalam penilaian tingkat degradasi lahan pada skala tinjau, tetapi secara statistik mamiliki ketelitian 80%. Menurut Arsyad (2006), tingkat ketelitian untuk survei tingkat tinjau mencapai

75%. Dengan demikian dengan menggunakan 5 variabel yaitu bahan induk, tekstur fraksi debu, jenis penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P) dan lereng secara statistik dapat digunakan untuk menentukan tingkat degradasi lahan di lapangan dengan lebih efektif dan efisien.

5.1.2. Kriteria atau Selang Pengkelasan Variabel Penentu Tingkat Degradasi