• Tidak ada hasil yang ditemukan

Developing of criteria and classification of land degradation level on dryland (Case Study Dryland in Bogor Regency)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Developing of criteria and classification of land degradation level on dryland (Case Study Dryland in Bogor Regency)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor)

BAMBANG SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Kriteria Dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Desember 2010

Bambang Susanto

(3)

ABSTRACT

Bambang Susanto. Developing of Criteria and Classification of Land Degradation Level on Dryland (Case Study : Dryland in Bogor Regency). Under Supervision of OTENG HARIDJAJA and SANTUN R.P. SITORUS.

Optimizing the utilization of dry land in Indonesia are still many challenges. One reason is the threat of land degradation. Meanwhile, the data distribution of degraded land area is still uncertain, because the criteria and priorities for handling still differs across agencies. The objectives of the study were to develop criteria (class interval) and the classification level of land degradation in dryland for the reconnaissance and semi-detailed scales, and to analyze the relationship between the level of land degradation with the erosion.

Data collection method is survey method. The data analysis technique are: cluster analysis, stepwise multiple discriminant analysis, simple regression analysis and prediction of erosion equation MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation). This study resulted three criteria (class interval) to five critical variables of land degradation at reconnaissance and eight critical variables of land degradation at semi-detailed scale. The eight of critical variables of land degradation are: the type of parent material, slope, soil conservation measures (P value), texture fraction of silt, type of land use / vegetation (C value), P-available, Al-dd, and H-dd. This research also resulted in three class of the land degradation classification for the reconnaissance and semi-detailed scales. Classification of land degradation level at reconnaissance scale, namely: 1) light (score <16), 2), moderate (score 16-39), and 3) severe (score> 39). The classification of land degradation level at semi-detailed scale are: 1) light (score <15), 2) moderate (score 15-38), and 3) severe (score> 38). Based on simple regression analysis, showing the relationship between the erosion that occurred at the site of research to score of land degradation level, although the correlation is still low.

(4)

RINGKASAN

Bambang Susanto. Pengembangan Kriteria Dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan SANTUN R.P. SITORUS.

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia termasuk di Kabupaten Bogor masih banyak menghadapi tantangan, terutama karena adanya ancaman degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Sementara itu proses identifikasi lahan-lahan terdegradasi masih sangat beragam hasilnya. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang akurat mengenai lahan-lahan yang terdegradasi karena belum tersedia kriteria dan klasifikasi tingkat degradsi lahan yang baku. Walaupun sudah ada akan tetapi sifatnya masih sektoral tergantung dari tujuan dan kepentingan dari instansi yang menghasilkannya, dimana metode yang dihasilkan tersebut hanya didasarkan pada

judgement professional semata dengan bias yang cukup besar. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang terpadu antara pendekatan statistik dengan judgement professional sehingga diperoleh hasil kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kriteria (selang pengkelasan) dan klasifikasi tingkat degradasi lahan untuk skala tinjau dan semi-detil berdasarkan variabel-variabel penentu degradasi lahan, serta untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara tingkat degradasi lahan dengan besarnya erosi yang terjadi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei melalui studi kasus menggunaka metode analisis antara lain : Analisis Discriminat Berganda dengan metode Stepwise untuk menentukan variabel penentu tingkat degradasi lahan dan klasifikasinya, analisis gerombol (Cluster Analysis) untuk menyusun kriteria (selang pengkelasan), Analisis Regresi Sederhana untuk mengetahui keterkaitan tingkat degradasi lahan dengan erosi yang mana besarnya erosi yang terjadi dihitung menggunakan persamaan MUSLE (ModifiedUniversal Soil Loss Equation).

Berdasarkan hasil analisis diskriminan berganda metode stepwise dengan tingkat kepercayaan 80%, untuk skala tinjau diperoleh 5 variabel penentu tingkat degradasi lahan yang berperan terhadap fungsi diskriminan yaitu bahan induk, tekstur fraksi debu, penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P) dan lereng. Untuk skala semi-detil diperoleh 8 variabel penentu tingkat degradasi lahan yang berperan terhadap fungsi diskriminan dengan tingkat signifikasi 0,10 atau tingkat kepercayaan 90% yaitu bahan induk, tekstur fraksi debu, penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P), lereng, P-tersedia, Al-dd dan H-dd.

(5)

Kriteria bahan induk yang digunakan dalam klasifikasi tingkat degradasi lahan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1) peka dengan skor 1 terdiri dari batuapung, abu volkanik, pasir volkanik, batupasir, napal (marl), batuliat, kapur, tuf berkapur, shale, kerakal, kerikil, pasir aluvium, dan debu aluvium, 2) agak tahan dengan skor 3 terdiri dari : sedimen/kalkareus kasar, batuliat, batulumpur, batulanau, diatomit, serpih, konglomerat, batu kapur, batukapur kerang, breksi batu kapur, liat aluvium, batusabak, filit, horenfels, kuarsit, batupualam/marmer, gneis, skis, amfibolit, dan zeolit, 3) tahan dengan skor 5 terdiri dari : granit, kuarsa profir, pegmatit, sienit, porfirit berkapur, tonalit, granodiorit berkapur, diorit sedimen, gabro, dolorit, diabas aluvium, norit aluvium, serpentin, peridorit, piroksenit, riolit, liparit, dasit, obsidian, andesit, tefrit, basalt, dan leucirit. Kriteria untuk lereng yaitu : 1) curam dengan nilai > 25%, 2) miring – agak curam dengan nilai 15-25%, dan 3) landai – agak miring dengan nilai < 15%. Kriteria untuk tindakan konservasi tanah yaitu : 1) pengolahan tanah dan penanaman kontur dengan lereng > 20% dengan nilai P > 0,60; 2) pengolahan tanah dan penanaman kontur dengan lereng < 20% dengan nilai P berkisar antara 0,40-0,60; dan 3) teras tradisional dengan nilai P < 0,40. Kriteria untuk tekstur fraksi debu yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 40%, 2) sedang dengan nilai 20-40%, dan 3) rendah dengan nilai < 20%. Kriteria untuk jenis penggunaan lahan/vegetasi yaitu : 1) pola tanam tumpang gilir dengan nilai C > 0,40; 2) perladangan dengan nilai C berkisar 0,30-0,40; dan semak belukar/padang rumput dengan nilai C < 0,30. Kriteria untuk P-tersedia ada tiga yaitu : 1) rendah dengan nilai < 3 ppm, 2) sedang dengan nilai 3-6 ppm, dan 3) tinggi dengan nilai > 6 ppm. Kriteria untuk Al-dd dibedakan menjadi tiga yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 5 meq/100g, 2) sedang dengan nilai 3-5 meq/100g, dan 3) rendah dengan nilai < 3 meq/100g. Kriteria untuk H-dd dibedakan menjadi tiga yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 0,4 meq/100g, 2) sedang dengan nilai 0,2-0,4 meq/100g, dan 3) rendah dengan nilai < 0,2 meq/100g.

Dari tiga klaster yang terbentuk pada skala tinjau, berdasarkan analisis diskriminan diperoleh dua fungsi diskriminan yang dapat menerangkan total persen keragaman sampai 100%. Fungsi 1 dengan nilai eigenvalue sebesar 1,436 mampu menjelaskan keragaman 82,5% dan fungsi 2 dengan nilai eigenvalue

(6)

Pada skala semi-detil, dua fungsi diskriminan yang diperoleh juga dapat menjelaskan total persen keragaman sampai 100%. Fungsi 1 dengan nilai

eigenvalue 2,083 mampu menjelaskan keragaman sampai 78,0%, fungsi 2 dengan nilai eigenvalue 0,587 mampu menjelaskan keragaman sebesar 22,0%. Dengan demikian fungsi diskriminan 1 mampu mendiskriminasikan klaster/grup dengan lebih baik. Berdasarkan nilai Wilks’ Lambda, maka kedua fungsi diskriminan secara statistik sangat signifikan dalam mendiskriminasikan tiga klaster yang dihasilkan. Fungsi 1 dengan nilai Wilks’ Lambda 0,204 yang apabila ditransfer menjadi nilai chi-square sebesar 84,931 memiliki tingkat signifikasi 0,000. Tingkat signifikasi ini tentunya jauh di atas 0,05 yang umumnya diterima sebagai batas maksimal tingkat kesalahan. Demikian juga untuk fungsi 2, dengan nilai

Wilks’ Lambda 0,630, yang kalau ditransfer menjadi nilai chi-square 24,692 memiliki tingkat signifikasi 0,001. Berdasarkan hasil perhitungan dengan fungsi diskriminan 1, maka tingkat degradasi lahan skala semi-detil di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu : 1) lahan terdegradasi ringan (skor < 15); 2) lahan terdegradasi sedang (skor 15-38); dan 3) lahan terdegradasi berat (skor > 38.

Untuk melihat keterandalan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan

yang diperoleh, maka dilakukan analisis regresi sederhana dengan

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PENGEMBANGAN KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT

DEGRADASI LAHAN PADA LAHAN KERING

(Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor)

BAMBANG SUSANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PENGEMBANGAN KRITERIA DAN KLASIFIKASI

TINGKAT DEGRADASI LAHAN PADA LAHAN KERING (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor)

Nama : Bambang Susanto

NRP : A151080031

Program Studi : Ilmu Tanah

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Tanah

Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 21 September 2010 Tanggal Lulus:

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc

Anggota

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan ijin dan

petunjuk-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2009 ini adalah

degradasi lahan, dengan judul Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat

Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten

Bogor). Kegiatan penelitian ini dibiayai oleh kegiatan penelitian DIKTI BATCH III susuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Kompetitif Nomor :

540/SP2H/PP/DP2M/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 yang diketuai Prof Dr Ir.

Santun R.P. Sitorus. Adapun isi dari tesis ini adalah membahas mengenai variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering, kriteria (selang

pengkelasan) dari masing-masing variabel penentu degradasi lahan, klasifikasi

tingkat degradasi lahan, dan keterkaitan antara tingkat degradasi lahan dengan

erosi. Penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan ini

dilakukan pada skala tinjau dan semi-detil, dimana baik pada skala tinjau maupun

semi-detil dihasilkan tiga kelas tingkat degradasi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc selaku ketua komisi

pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku anggota komisi

pembimbing atas bimbingan dan sarannya yang sangat berharga untuk

penyempurnaan tesis ini.

Kepada Dr. Ir. Atang Sutandi, MS selaku ketua Program Studi Tanah yang

telah memfasilitasi kelancaran proses penyelesaian tesis ini, saya sampaikan

terimakasih. Kepada keluarga dan teman-teman yang telah membantu,

mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini juga saya

ucapkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 30 Mei 1972 sebagai anak ketujuh dari pasangan Sunardi dan Sutirah.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, lulus tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Badan Litbang Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat sejak tahun 2003, dimana sebelumnya bekerja sebagai staf peneliti pada Kelompok Peneliti (Kelti) Konservasi Tanah dan Air di PUSLITTANAK Bogor dari tahun 1999 sampai 2003. Bidang penelitian yang menjadi tanggungjawab peneliti adalah Sistem Usaha Pertanian dibawah Kelompok Pengkaji (Kelji) Sumberdaya.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Lahan Kering (Drylands) ... 7

2.2. Degradasi Lahan ... 9

2.3. Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan ... 12

2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan... 17

2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan ... 20

2.6. Erosi Tanah ... 21

2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan 24 III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 31

3.2.1. Bahan Penelitian ... 31

3.2.2. Alat Penelitian ... 32

3.3. Metode Penelitian ... 32

3.3.1. Prosedur Penelitian ... 32

3.3.2. Metode Pengumpulan Data dan Variabel yang diamati.. 32

3.3.3. Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data... 33

3.4. Analisis Data ... 34

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN... 41

4.1. Lokasi ... 41

4.2. Karakteristik Fisik Lingkungan ... 43

(14)

Halaman

V HASIL DAN PEMBAHASAN... 73

5.1. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradsi Lahan Skala Tinjau... 73

5.1.1. Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 73

5.1.2. Kriteria atau Selang Pengkelasan Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 79

5.1.3. Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering 83 5.2. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradsi Lahan Skala Semi-detil... 88

5.2.1. Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 88

5.2.2. Kriteria atau Selang Pengkelasan Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 91

5.2.3. Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering 94 5.3. Keterkaitan Tingkat Degradasi Lahan dengan erosi ... 99

5.4. Pembahasan Umum ………. 104

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997...

17

2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 ...

19

3. Tujuan, sumber data dan teknik pengumpulan data ... 33

4. Penilaian struktur tanah... 37

5. Penilaian permeabilitas tanah ... 37

6. Penilaian kelas kelerengan (LS) ... 37

7. Klasifikasi indeks bahaya erosi ... 38

8. Interpretasi dari nilai r ... 39

9. Luas lahan kritis tiap kategori di lokasi penelitian... 43

10. Kondisi temperatur di wilayah kabupaten bogor ... 44

11. Data komponen iklim di lokasi penelitian ... 46

12. Penyebaran bahan induk di lokasi penelitian ... 47

13. Kondisi topografi di lokasi penelitian ... 50

14. Penyebaran jenis tanah di lokasi penelitian ... 51

15. Karakteristik fisik dan kimia di lokasi penelitian ……… 56

16. Jumlah penduduk, luas kecamatan, dan kepadatannya di lokasi penelitian tahun 2009... 61

17. Sebaran jumlah penduduk menurut usia di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ... 62

18. Sebaran jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ………... 63

19. Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ………... 64

20. Penggunaan lahan dan vegetasi di lokasi penelitian ... 66

21. Luas panen (ha), hasil per hektar (ton/ha) dan produksi (ton) padi sawah dan padi ladang di Kecamatan Sukamakmur, Babakan Madang, dan Cigudeg tahun 2008 ... 69

(16)

No. Halaman

23. Variabel penentu tingkat degradasi lahan skala tinjau di lokasi penelitian berdasarkan analisis diskriminan berganda

metode stepwise ... 75

24. Jumlah anggota pada masing-masing klaster hasil analisis

gerombol skala tinjau ……….. 80

25. Kriteria dan selang pengkelasan variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering Kabupaten Bogor pada skala

tinjau ……… 81

26. Persen keragaman masing-masing fungsi diskriminan skala

tinjau ………..…... 84

27. Uji signifikasi fungsi diskriminan dengan Wilks’ Lambda

skala tinjau ………... 84

28. Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan

kering Kabupaten Bogor pada skala tinjau ………. 85

29. Hasil pengujian ketepatan klasifikasi terhadap fungsi

diskriminan skala tinjau ……….. 88

30. Variabel penentu tingkat degradasi lahan skala semi-detil di lokasi penelitian berdasarkan analisis diskriminan berganda

metode stepwise ... 89

31. Jumlah anggota pada masing-masing klaster hasil analisis

gerombol skala semi-detil ………... 92

32. Kriteria dan selang pengkelasan variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering Kabupaten Bogor pada skala

semi-detil ………. 93

33. Persen keragaman masing-masing fungsi diskriminan skala

semi-detil ………... 94

34. Uji signifikasi fungsi diskriminan denagn Wilks’ Lambda

skala semi-detil ……… 95

35. Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan

kering Kabupaten Bogor pada skala semi-detil ………... 96

36. Hasil pengujian ketepatan klasifikasi terhadap fungsi

diskriminan skala tinjau ……….. 99

37. Hasil perhitungan erosi di lokasi penelitian menggunakan

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi

tingkat degradasi lahan di lahan kering ... 6

2. Skema persamaan MUSLE ... 23

3. Lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ... 41

4. Grafik rata-rata curah hujan bulanan di lokasi penelitian ... 45

5. Singkapan batuan, bentuk erosi alur dan erosi parit di lokasi penelitian pada lahan dengan topografi bergelombang ……... 50

6. Beberapa jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 65

7. Keragaan komoditas ubikayu dan produksinya di lokasi penelitian ... 68

8. Grafik koefisien dari skedul aglomerasi hasil analisis gerombol skala tinjau ... 79

9. Dendrogram hasil analisis gerombol skala tinjau ... 80

10. Gambaran lahan dengan berbagai tingkat degradasi lahan di lokasi penelitian pada skala tinjau ... 87

11. Grafik koefisien dari skedul aglomerasi hasil analisis gerombol skala semi-detil ... 91

12. Dendrogram hasil analisis gerombol skala semi-detil ... 92

13. Gambaran lahan dengan berbagai tingkat degradasi di lokasi penelitian di lokasi penelitian pada skala semi-detil ... 98

14. Gambaran erosi lembar, erosi alur, erosi parit pada lahan dengan berbagai tingkat degradasi lahan di lokasi penelitian 102 15. Grafik hubungan antara jumlah erosi dengan tingkat degradasi lahan pada skala tinjau ………... 103

16. Grafik hubungan antara jumlah erosi dengan tingkat degradasi lahan pada skala semi-detil ……… 103

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kelompok batuan bahan induk tanah berdasarkan tingkat

ketahanannya terhadap degradasi lahan ……….. 117

2. Bentuk wilayah dan kelas kemiringan lereng ………. 117

3. Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) ... 118 4. Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah

khusus ... 119

5. Variabel sifat fisik dan kimia di lokasi penelitian ... 121 6. Hasil perhitungan erosi di lokasi penelitian menggunakan

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di

Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia

sebesar 188,20 juta ha (Adimihardja dan Sutono, 2005). Dari luas lahan kering

tersebut, 225.309,14 ha berada di Kabupaten Bogor atau sekitar 75 % dari luas

total Kabupaten Bogor (299.428,15 ha), digunakan untuk pertanian, perkebunan,

kehutanan, padang penggembalaan dan lahan kosong (Dinas Pertanian dan

Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia termasuk di

Kabupaten Bogor masih banyak menghadapi tantangan, terutama karena adanya

ancaman degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan

biologi (Lal, 2000). Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas

lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses

degradasi lahan adalah timbulnya lahan-lahan yang tidak produktif yang dikenal

dengan lahan kritis (Dariah, et al., 2004). Luas lahan kritis di Indonesia sudah

mencapai 21,08 juta ha, dimana 17,35 juta ha lahan kritis tersebut berada di areal

pertanian (Kurnia, et al., 2000). Luas lahan kritis tersebut meningkat terus tiap

tahunnya dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha (Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Sementara itu luas lahan kritis

di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2008, sudah mencapai 25.229,98 ha (8,4%)

di mana tiap tahunnya menunjukkan adanya peningkatan (Dinas Pertanian dan

Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Menurut Dariah, et al. (2004), penyebab utama degradasi lahan di

Indonesia adalah erosi air sebagai akibat curah hujan dengan jumlah dan intensitas

yang tinggi, disamping pengelolaan lahan kering berlereng yang tidak

memperhatikan aspek konservasi tanah dan kelestarian lingkungan, serta

pencemaran bahan kimia (Kurnia, et al., 2000; Syam, 2003; Singer dan Munns,

2006; Tan, 2009). Proses degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi air

dikategorikan sebagai degradasi erosif yaitu proses degradasi yang berhubungan

(20)

Dalam rangka mendukung rencana pemerintah mendayagunakan lahan

kering terdegradasi khususnya pada lahan-lahan terlantar atau yang ditelantarkan

serta lahan-lahan marjinal untuk pengembangan pertanian, maka perlu dilakukan

identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahannya, sehingga rencana

penggunaan dan tindakan rehabilitasinya dapat disusun dengan lebih terarah dan

tepat sasaran. Beberapa instansi pemerintah menggunakan berbagai pendekatan

dalam upaya penanggulangan lahan terdegradasi, diantaranya adalah kriteria lahan

kritis. Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Reboisasi dan

Rehabilitasi Lahan menggunakan pendekatan untuk kepentingan reboisasi dan

rehabilitasi lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan di daerah aliran

sungai/DAS. Selanjutnya Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan,

DITJEN Tanaman Pangan DEPTAN, juga memiliki kriteria lahan kritis dengan

parameter-parameternya yang berbeda. Pusat Penelitian Tanah menggunakan

penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan

kedalaman tanah (solum) untuk menentukan tingkat kekritisan lahan.

Parameter-parameter tersebut umumnya dinilai secara kualitatif, sehingga untuk kegunaan

praktis agak sukar diaplikasikan, khususnya bagi pelaksana di lapangan. Dengan

berbagai macam kriteria dan parameter sumberdaya lahan yang digunakan sebagai

parameter penentu kriteria lahan kritis, dapat dipahami terdapat perbedaan data

luas dan penyebaran lahan kritis di Indonesia yang menyebabkan prioritas

penanganan dan penanggulangannyapun berbeda-beda (Kurnia, et al., 2007).

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan

terdegradasi, disebut SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan

penilaian parameter-parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural

assessment), dan paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh

aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan

divalidasi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan

kriteria Pusat Penelitian Tanah tahun 1997. Untuk keperluan perencanaan

rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan

penelitian lebih lanjut. Tahun 2007, Balai Penelitian Tanah melakukan penelitian

(21)

sebelumnya terutama terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi,

dan teknik konservasi tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut

adalah penetapan baku mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan

terdegradasi yang dimaksudkan untuk perencanaan konservasi tanah dan

rehabilitasi lahan pertanian pada skala 1:250.000.

Menurut Kurnia, et al. (2007), masih diperlukan perbaikan terhadap

kriteria degradasi lahan yang telah dihasilkan terutama parameter curah hujan,

kedalaman tanah, serta vegetasi dan penutupannya. Selain itu, karena skala

penelitiannya baru pada taraf perencanaan, sehingga dalam aplikasinya masih

banyak mengalami hambatan dan kesalahan, maka diperlukan penelitian

pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan untuk skala

operasional (lebih detil) melalui penelitian yang lebih sistematis.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas secara garis besar dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan yaitu :

(1) Lahan kering di Indonesia telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh

semakin bertambahnya lahan kritis setiap tahunnya, dimana pada tahun 2001

sebesar 21,08 juta ha dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha.

(2) Dalam upaya mendayagunakan lahan kering terdegradasi khususnya lahan

terlantar atau ditelantarkan (lahan marjinal) untuk pengembangan pertanian

di Indonesia diperlukan adanya identifikasi dan inventarisasi tingkat

degradasi lahan, sehingga rencana penggunaan dan tindakan rehabilitasi

yang disusun lebih terarah dan tepat sasaran. Sementara itu, kriteria dan

klasifikasi yang digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan pada lahan

kering di Indonesia masih banyak kelemahan dan masih perlu

dikembangkan lebih sistematis dan mendalam (lebih detil).

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah

(22)

1. Menghasilkan kriteria untuk tiap variabel penentu tingkat degradasi lahan di

lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

2. Menghasilkan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering pada skala

tinjau dan semi-detil.

3. Mengetahui keterkaitan tingkat degradasi lahan dengan erosi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi tingkat

degradasi lahan di lahan kering.

2. Dapat dijadikan dasar dalam perencanaan penggunaan lahan dan tindakan

rehabilitasinya

1.5. Kerangka Pemikiran

Degradasi lahan merupakan masalah serius yang melintasi perbatasan

negara, zona ekologi dan tingkat sosial-ekonomi. Hal ini sangat membahayakan

bagi masyarakat miskin di dunia yang tinggal di lahan kering. Degradasi lahan

berdampak pada penurunan produktivitas pertanian dan pada akhirnya

menurunkan tingkat pendapatan masyarakat. Adanya ancaman degradasi lahan

yang semakin serius, dimana Proyek GLASOD menghitung, sudah 22,5 % dari

total lahan produktif di dunia terdegradasi sejak tahun 1945, dan kondisi sampai

saat ini bertambah dengan sangat cepat (Stocking dan Murnaghan, 2000).

Penyebab utama degradasi lahan di dunia adalah akibat erosi baik oleh agensia air

ataupun angin, kemudian degradasi kimia dan degradasi fisik. Secara global, dari

total luas lahan terdegradasi sebesar 19,65 juta km2, 10,94 juta km2

Penyebab utama degradasi lahan di Indonesia juga disebabkan oleh erosi

air, khususnya di wilayah Indonesia bagian barat dengan curah hujan yang tinggi

baik jumlah maupun intensitasnya. Oleh karena itu, berdasarkan prosesnya

dikenal degradasi yang bersifat erosif dan non-erosif (Barrow, 1991; Sitorus,

2009). Degradasi erosif berhubungan dengan pemindahan bahan atau mineral

tanah oleh erosi air dan angin, sedangkan degradasi non-erosif merupakan (55,7%)

disebabkan oleh erosi air dan sisanya adalah erosi angin, degradasi kimia dan

(23)

deteriorasi (kerusakan) in-situ yang dapat merupakan proses degradasi kimia

tanah atau fisika tanah.

Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi pada degradasi yang bersifat

erosif yang meliputi faktor-faktor penyebabnya sebagai parameter-parameter yang

akan digunakan dalam penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan

dengan menggunakan metode statistik sebagai alat analisisnya. Menurut Lal, et al.

(1998), metode yang dikembangkan untuk penilaian tingkat degradasi lahan harus

sederhana, murah, mudah digunakan, dan dapat menghubungkan antara tingkat

degradasi lahan dengan produktivitas dan tindakan pengelolaannya. Selanjutnya

dikatakan bahwa dalam mengembangkan metodologi identifikasi tingkat

degradasi lahan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

(i) kualitas lahan (ii) resiliensi tanah, (iii) iklim, dan (iv) pengelolaan termasuk

penggunaan lahan dan sistem usahatani.

Erosi sebagai penyebab utama proses degradasi lahan yang bersifat erosif

merupakan interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi dan

manusia terhadap tanah. Oleh karena itu dalam pengembangan kriteria dan

klasifikasi tingkat degradasi lahan harus dapat melibatkan kelima faktor tersebut.

Untuk memudahkan dalam melakukan pengkriteriaan dan pengklasifikasian

tingkat degradasi lahan, maka faktor-faktor tersebut selanjutnya dikelompokkan

menjadi faktor biofisik (faktor alami) dan faktor penggunaan lahan serta

manajemennya (faktor yang dipengaruhi aktivitas manusia). Faktor biofisik

meliputi : kondisi erosi tanah, tanah, kemiringan lereng, ketinggian tempat, dan

curah hujan. Faktor pengunaan lahan dan manajemen dapat dikelompokkan

menjadi : penggunaan lahan dengan vegetasi alam, penggunaan lahan dengan

campur tangan manusia, dan tindakan konservasi.

Secara ringkas kerangka pikir penelitian pengembangan kriteria dan

klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering yang didasarkan pada parameter

biofisik dan penggunaan lahan serta manajemennya dapat digambarkan seperti

(24)

Gambar 1. Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan pada lahan kering

KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT

FAKTOR ALAMI PENGARUH MANUSIA

DEGRADASI EROSIF DEGRADASI NON-EROSIF

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Kering (Drylands)

Menurut Notohadiprawiro (1989), penggunaan istilah “lahan kering” di

Indonesia belum disepakati dengan benar. Ada yang menggunakan untuk padanan

istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land. Oleh karena itu, untuk

menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian

lahan kering, perlu diperhatikan tiga hal berikut, yaitu :

1) Iklim kering dalam istilah Bahasa Inggris adalah arid land yang

artinya : (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada

250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk

menghidupi vegetasi meskipun jumlahnya sedikit, (c) daerah yang jumlah

hujannya tidak mencukupi untuk dilakukannya pertanian tanpa irigasi, atau (d)

daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan aktual.

2) Keadaan lahan yang berkaitan dengan drainase alamiah lancar (bukan rawa,

dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain).

3) Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.

Untuk rujukan pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau

“kawasan iklim kering”. Untuk rujukan kedua dapat dipilih istilah

“lahan atasan” (upland). Untuk rujukan ketiga dapat diterapkan istilah “lahan

kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa

penggenangan.

Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering sebagai kondisi lingkungan

dimana terdapat defisiensi kelembaban secara permanen, musiman maupun

periodik. Dariah et al. (2004) mendefinisikan lahan kering sebagai hamparan

lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu

selama setahun atau sepanjang waktu. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di daerah

tropis, subtropis, temperate, maupun kutub. Vegetasi penutup di lahan kering sangat

mudah rusak dan jika hal ini terjadi, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya.

Tanah di lahan kering sering mengalami kekurangan humus ataupun unsur hara,

(26)

Luas lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan kering di dunia kurang

lebih 35% dari luas total atau sekitar 30 – 40 juta km2, dan diantaranya : 14%

tergolong semi-arid (21,2 juta km2), dan 4% (5,8 juta km2

Banyak permasalahan yang dijumpai di lahan kering diantaranya :

drainase yang sangat cepat, adanya pengkerakan tanah (soil crusting), kandungan

garam atau basa yang sangat tinggi, rendahnya hara, dan kapasitas infiltrasi yang

lambat, disamping faktor hama dan penyakit yang menjadi kendala atau pembatas

bagi pertumbuhan tanaman.

) merupakan daerah

yang sangat kering (extreemely arid) (Barrow, 1991). Menurut Heathcote (1983)

dalam Barrow (1991), diperkirakan 37% lahan kering berada di Afrika, 34% di

Asia, 13% di Australia, 8% di Amerika Utara, 6% di Amerika Selatan, dan 2% di

Spanyol. Pada daerah tersebut terdapat 500 juta sampai 850 juta penduduk yang

tinggal menetap dan kehidupannya sangat tergantung pada daerah tersebut.

Jenis tanah utama lahan kering di Indonesia adalah Podsolik

Merah-Kuning (yang meliputi : Ultisol dan Inceptisol) seluas 23,3 juta ha atau 21

persen dari luas seluruh lahan kering, dan Latosol (meliputi : Oxisol, Ultisol

dan Inceptisol) seluas 16,4 juta ha atau 15 persen dari luas seluruh lahan kering.

Komplek tanah seluas 54,7 juta ha atau 49,1 persen dari luas seluruh lahan kering

kebanyakan mencakup Ultisol (Muljadi dan Arsyad, 1967; Sudjadi, 1984). Jadi,

lahan kering didominasi oleh Ultisol dan urutan berikutnya adalah Inceptisol dan

Oxisol. Dilihat dari jenis tanahnya, lahan kering dengan jenis tanah Ultisol dan

Oxisol berpotensi rendah, contohnya yang paling banyak dijumpai di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Ultisol dan Oxisol termasuk tanah

bermasalah (problem soils). Inceptisol yang berasosiasi dengan Ultisol atau

Oxisol memiliki sifat-sifat mirip Ultisol atau Oxisol.

Kendala tanah Ultisol dapat diringkas sebagai berikut :

1) Kejenuhan Al tinggi

2) Sering mengandung Mn dalam jumlah yang banyak sehingga meracuni

3) Sangat miskin hara

4) Kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah

(27)

6) Mudah mengalami penurunan kadar air karena kapasitas menyimpan air

rendah sekali, yaitu 0,10 – 0,15 fraksi volum, bahkan dapat hanya 85 mm/m.

7) Peka terhadap erosi karena lapisan permukaan mudah mengalami pemadatan

oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat dan

permeabilitas rendah.

Kendala tanah oxisol antara lain :

1) Kejenuhan Al tinggi

2) KTK (Kapasitas Tukar Kation) rendah sekali

3) Sangat miskin hara dan cadangan mineral mudah lapuk rendah

4) Sering kahat S, B dan Mo

5) Daya mengikat P dan anion lain kuat

6) Tekstur yang sangat porous menyebabkan kelembaban tanah rendah dan

pencucian kuat.

Meskipun potensi tanahnya rendah, tetapi karena potensi luasnya sangat

besar, lahan kering harus dipandang sebagai suatu aset nasional yang

perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu

lagi kalau diingat bahwa lahan sawah (lowland) yang berpotensi baik sudah

semakin banyak pemanfaatannya, tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk

keperluan non-pertanian.

2.2. Degradasi Lahan

Degradasi lahan merupakan salah satu masalah yang paling krusial saat

sekarang, dan masalahnya terus meningkat di seluruh dunia, terutama di

negara-negara tropis yang masih berkembang (Kertez, 2009). Sementara itu, masalah

degradasi lahan baru mendapat perhatian yang sangat sedikit dari pemerintah dan

masyarakat. Apabila pemerintah dan masyarakat kurang peduli terhadap

kelestarian sumberdaya lahan, khususnya dalam pengelolaannya maka proses

degradasi lahan akan terus meningkat dan mgancam kelestarian sumberdaya alam

sebagai alat pemenuhan kebutuhan huidup. Menurut Ballayan (2000),

pengelolaan tanah yang berkelanjutan dengan menerapkan tindakan konservasi

tanah yang baik merupakan kunci pengelolaan lahan berkelanjutan diantaranya

dapat melindungi sumberdaya tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan

(28)

Degradasi lahan didefinisikan sebagai berkurangnya kemampuan tanah

untuk berproduksi jangka panjang yaitu dalam kaitannya dengan kuantitas,

kualitas dan penghasil barang atau jasa pada masa sekarang dan masa yang akan

datang (Sitorus, 2009), termasuk berkurangnya atau hilangnya produktivitas

biologis dan fungsi tanah sebagai ekosistem (Hudson dan Ayala, 2006; Acharya

dan Kafle, 2009). Degradasi lahan secara kuantitatif meliputi : kehilangan tanah

karena erosi, gerakan massa tanah dan larutan tanah, atau secara kualitatif

meliputi : penurunan kesuburan tanah, berkurangnya hara tanaman; perubahan

struktur; perubahan aerasi/kadar kelembaban tanah; berubahnya unsur mikro,

seperti kadar garam dan senyawa alkalin; polusi beberapa campuran bahan kimia;

perubahan flora dan fauna tanah (Sitorus, 2009).

Degradasi lahan dapat terjadi secara alami, seperti: penghanyutan

tanah/erosi, pembentukan fragipan, pembentukan laterit/plintit, atau pun karena

pengaruh manusia (anthropogenic) (Haridjaja, 2008). Proses degradasi lahan

secara alami sering dipercepat oleh aktivitas manusia seperti deforestasi

(penggurunan), pengolahan tanah, penggunaan lahan yang intensif, dan lain-lain

(Las et al., 2006). Tingkat degradasi lahan tergantung pada kecepatan proses

degradasi lahan, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan

pengelolaan (management) (Acharya dan Kafle, 2009).

Proses degradasi lahan menurut Kertez (2009) dan Tan (2009) dapat

dikelompokkan atas lima kelompok, yaitu : (1) soil sealing, yang terjadi akibat

kegiatan pembuatan konstruksi jalan, kereta api, ataupun bangunan sehingga

permukaan tanah menjadi padat dan tidak dapat berfungsi dengan benar apalagi

tanpa vegetasi di atasnya ; (2) erosi tanah, termasuk proses-proses seperti erosi

percikan, erosi permukaan, erosi parit, dan macam-macam bentuk bergeraknya

massa tanah (longsor dan banjir lumpur); (3) pencemaran tanah, terjadi akibat

penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk, pestisida, dan limbah pertanian/industri)

menyebabkan asidifikasi dan eutrofikasi; (4) Salinisasi, yaitu adanya akumulasi

garam dipermukaan tanah terjadi melalui evaporasi terutama di daerah kering dan

dekat pantai; (5) pemadatan tanah, terjadi pada daerah pertanian yang pengolahan

(29)

Degradasi lahan dapat terjadi akibat dari bencana alam atau karena

penggunaan lahan tidak sesuai dan praktek-praktek pengelolaan lahan yang tidak

tepat, serta faktor-faktor bencana alam mencakup iklim dan topografi tanah

seperti lereng yang curam, sering banjir, bertiupnya angin berkecepatan tinggi,

hujan dengan intensitas tinggi, pencucian kuat di daerah lembab dan kondisi

kekeringan di daerah arid. Deforestasi yang parah, penebangan vegetasi yang

berlebihan, perladangan berpindah, ladang penggembalaan yang berlebihan,

penggunaan pupuk yang tidak seimbang dan tidak adanya adopsi teknik

konservasi tanah dan air, pemompaan/pengambilan air tanah berlebihan (yang

melebihi kapasitas untuk mengisi ulang) adalah beberapa faktor-faktor yang

datang karena campur tangan manusia yang menyebabkan erosi tanah yang

berujung pada degradasi lahan (Ballayan, 2000).

Salah satu bentuk degradasi lahan adalah lahan kritis. Lahan kritis adalah

lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan

pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang

memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau

lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha

pemanfaatan kegiatan pertanian (Sitorus, 2004).

Lahan dapat dikategorikan lahan kritis apabila lahan tersebut mengalami

kerusakan dan kehilangan fungsi secara fisik kimia, hidroorologi, dan sosial

ekonomi. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan

sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan

kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat

kesuburan/toksisitasnya tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap

pertumbuhan tanaman bila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian.

Fungsi hidroorologi lahan berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur

tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap,

dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidroorologi berkaitan dengan

berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari

ketiga kemampuannya tadi.

Lahan kritis secara ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih

(30)

tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa

pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah), maka

lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar.

Degradasi lahan kering di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air

hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan,

terutama di Indonesia bagian Barat (Dariah et al., 2004). Oleh karena itu, Sitorus

(2009) menggolongkan proses degradasi lahan menjadi dua yaitu : degradasi

erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan

pemindahan bahan atau material tanah oleh air dan angin. Hasil penelitian Kurnia

et al. (2000), menunjukkan bahwa besarnya erosi pada Ultisol Lampung berlereng

3% berkisar antara 97,7-144,5 ton/ha/tahun atau rata-rata 1,5 cm/tahun, sedangkan

erosi pada Ultisol Sumatera Selatan dengan lereng 15% sebesar 423,6

ton/ha/tahun atau rata-rata 5 cm/tahun. Hilangnya tanah lapisan atas setebal

1,5-5,0 cm tersebut akan mempercepat penurunan produktivitas tanah, karena dalam

waktu relatif singkat lapisan tanah atas yang tebalnya terbatas akan cepat hilang.

2.3. Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan

Banyak faktor penyebab degradasi lahan, diantaranya adalah adanya

tekanan jumlah penduduk, meningkatnya urbanisasi, dan perubahan iklim.

Selanjutnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan dapat dibedakan atas dua

kelompok, yaitu : (1) faktor jangka panjang, antara lain terlihat dalam sistem

usaha pertanian, pertambangan dan praktek-praktek produksi lainnya yang telah

menyebabkan erosi tanah, pengurasan unsur hara tanah, polusi sungai dan air

tanah, dan penggurunan yang timbul akibat deforestasi; (2) faktor jangka pendek

meliputi faktor-faktor fisik alam dan karakteristik lain dari tanah, yang

mempengaruhi erodibilitas tanah dan kemampuannya untuk menyimpan,

mengalirkan air dan memegang nutrisi; topografi dan kondisi iklim (Diao dan

Daniel, 2007).

Menurut Atmojo (2006), bahwa degradasi lahan yang terjadi di Indonesia

setelah 30 tahun mulai nampak dan terus mengalami peningkatan. Beberapa

indikator yang menunjukkan adanya degradasi lahan, diantaranya adalah: (1)

(31)

konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) lahan kritis semakin meluas, (5)

tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, dan (6) daya

dukung lingkungan merosot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi

lahan berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) erosi, 2) pencemaran agrokimia,

3) pencemaran industri, 4) pertambangan dan 5) galian C, serta alih fungsi lahan.

1. Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat

produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang berakibat terhadap luas lahan kritis

semakin meningkat. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi

dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan

degradasi lahan. Misalnya, lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya

sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian

tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor.

Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi

lahan yang sangat dominan.

Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan)

menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah

terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan

dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan

(deforestration) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah

aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi

deforestration atau penebangan hutan secara liar, baik di hutan produksi maupun

di hutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada

tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha,

sedangkan tahun 2002 mengindikasikan meningkat menjadi 94,17 juta ha, atau

meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya

dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir

(off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan

tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya

lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang

menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir

(32)

Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan

kegiatan usahatani di wilayah hulu suatu DAS. Erosi yang intensif di lahan

pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena

hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan

cadas yang keras. Penurunan produktivitas usahatani secara langsung akan

diikuti oleh penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Selain

menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani

tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di

wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan

usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan

sedimen, kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan

kekeringan dimusim kemarau.

2. Pencemaran Agrokimia. Tingkat pencemaran dan kerusakan

lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan karena penggunaan

agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Pada tahun

enampuluhan terjadi biorevolusi di bidang pertanian, yang dikenal dengan

revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler,

yaitu dengan diperkenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk

anorganik, maupun obat-obatan (insektisida). Dengan revolusi hijau tersebut,

produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil

mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan. Namun demikian,

dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini. Dampak negatif dari

penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil

pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati,

ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk dan dalam menentukan

komoditas yang akan ditanam.

Penggunaan pestisida yang berlebihan dalam kurun waktu yang panjang,

akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan

penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan

terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Sementara itu, pada

(33)

pertanian yang akan memasuki pasar global sehingga penggunaan pestisida secara

berlebihan perlu dihindari

Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis

yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya

kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan

hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya

petani menggunakan urea (hanya mengandung hara N) saja dalam dosis tinggi

secara terus menerus, sementara tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N

(nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya.

Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga

apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan

pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara

lain.

Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada

penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang

kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen

areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen.

Sementara itu, sistem pertanian bisa menjadi berkelanjutan (sustainable) jika

kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping

memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur

tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan

organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin

menurun.

3. Pencemaran Industri. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di

lingkungan pertanian dapat juga disebabkan karena kegiatan industri.

Pengembangan sektor industri akan berpotensi menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan pertanian, dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan

yang asing bagi lingkungan pertanian. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa

gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan

asam dan akan merusak lahan pertanian. Selain itu, adanya limbah cair dengan

kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi

(34)

badan air pengairan, dampak negatifnya akan menyebar secara luas. Penggalakan

terhadap program kali bersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan

sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.

4. Pertambangan dan galian C. Usaha pertambangan besar sering

dilakukan di atas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif

pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak

teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan

berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi

sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi

kesuburan tanah.

Demikian juga semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan

terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga

semakin banyak (galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih

cocok pada tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya

tingkat keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan

lahan-lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan

tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air

pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah bagian

atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawahan

(sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak produktif.

5. Alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat

akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian.

Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah

rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan

berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai

masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca,

hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi

lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas

tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999,

sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6

juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih penggunaan ke

(35)

2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan

Pada umumya untuk mengetahui tingkat degradasi lahan disusun klasifikasi

degradasi lahan. Pengklasifikasian degradasi lahan dapat dibedakan menjadi tiga

tingkatan yaitu tingkat global (GLASOD), tingkat regional (ASSOD) dan tingkat

nasional di masing-masing negara. Klasifikasi degradasi lahan tingkat global dan

regional lebih menekankan pada faktor eksternal erosi, serta faktor internal

memburuknya sifat kimia dan sifat fisik tanah akibat ulah manusia (FAO, 1979;

Oldeman, 1991). Klasifikasi degradasi lahan di Indonesia beragam (Firmansyah et

al., 2008). Menurut Suwardjo et al. (1996), klasifikasi degradasi lahan di sektor

kehutanan menekankan aspek hidrologi lahan, sektor transmigrasi melihatnya sebagai

tanah marjinal, dan sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah kritis, sedangkan

PP No. 150/2000 menyebutnya sebagai tanah rusak.

Klasifikasi degradasi lahan menurut Direktorat RKT (1997), disusun

berdasarkan tingkat kekritisan lahan yang dapat digolongkan ke dalam lima

kelompok yaitu : (1) sangat kritis, (2) kritis, (3) agak kritis, (4) potensial kritis, (5)

tidak kritis. Kriteria pengelompokkan ini didasarkan pada faktor-faktor : penutupan

lahan, kemiringan lereng, erosi, penutupan oleh batuan, dan tingkat pengelolaan

(manajemen).

Sementara itu menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)

pengklasifikasian tingkat kekritisan lahan didasarkan pada parameter kondisi

penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan

kedalaman tanah. Parameter-parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk

membedakan lahan kritis ke dalam empat tingkat kekritisan yaitu : potensial kritis,

semi kritis, kritis dan sangat kritis seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997.

Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis

Penutupan vegetasi > 75% 50 - 75% 25 - 50% < 25%

Penggunaan lahan/ Hutan, Kebun campuran,

(36)

Secara rinci ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis di atas menurut Kurnia et al. (2002) adalah sebagai berikut :

1) Lahan yang potensial kritis adalah lahan-lahan yang (a) masih tertutup vegetasi lebih 75%, tetapi karena topografi dan sifat-sifat litologinya sedemikian rupa atau keadaan lereng yang curam maka bila vegetasi dibuka lahan akan mudah longsor dan terjadi erosi yang kuat serta lahan cepat menjadi kritis, (b) keadaan tanah masih cukup dalam dan (c) lahan masih mempunyai fungsi produksi dan hidrologi yang cukup baik tetapi bahaya erosi untuk menjadi kritis sangat besar bila lahan tersebut dibuka.

2) Lahan semi kritis adalah lahan dengan : (a) presentasi penutupan lahan 50% sampai 75%, (b) tumbuhan atau vegetasi umumnya alang-alang, rumput dan semak belukar, (c) lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang, tetapi produktivitasnya rendah, (d) lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga secara hidrologis tidak berfungsi. Bila tidak diadakan upaya perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi kritis, (e) kedalaman tanah sedang sampai agak dalam.

3) Lahan kritis adalah lahan dengan : (a) vegetasi penutupan lahan 25% sampai 50% dengan tumbuhan rerumputan dan alang-alang dimana pertumbuhannya sangat kerdil, (b) erosi sedang sampai berat, (c) lahan tidak produktif dengan bahaya erosi cukup tinggi dan (d) lereng 3 – 45%.

4) Lahan sangat kritis mempunyai ciri-ciri : (a) persentase penutupan lahan kurang dari 25% atau gundul, (b) tanah dangkal, (c) lahan dengan bahaya erosi sangat tinggi umumnya pada lereng > 8%.

(37)

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat

telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut

SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian

parameter-parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan

paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia

(antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga

menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian

Tanah tahun 1997.

Balai Penelitian Tanah pada tahun 2007 melakukan penelitian lanjutan dan

melakukan perubahan dan perbaikan kriteria degradasi lahan sebelumnya terutama

terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi

tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku

mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan

untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala

1:250.000. Parameter dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah

tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 .

Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Natural assessment

1. Curah hujan 1. Rendah 5 < 1.000 mm/tahun

2. Agak rendah 4 1.000-2.000 mm/tahun

3. Sedang 3 2.000-3.000 mm/tahun

4. Agak tinggi 2 3.000-4.000 mm/tahun

3. Tinggi 1 > 4.000 mm/tahun

2. Bahan induk 1. Tahan 5 Tabel Lampiran 1

2. Agak tahan 3 Tabel Lampiran 1

3. Peka 1 Tabel Lampiran 1

3. Bentuk wilayah 1. Datar 5 Tabel Lampiran 2

2. Berombak 4 Tabel Lampiran 2

3. Bergelombang 3 Tabel Lampiran 2

4. Berbukit 2 Tabel Lampiran 2

5. Bergunung 1 Tabel Lampiran 2

4. Kedalaman tanah 1. Dalam 5 > 50 cm

(38)

Tabel 2. (Lanjutan)

Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Antrophogenic assessment

5. Jenis vegetasi 1. Hutan/tanaman ta- hunan/agroforestry

5 Jenis tanaman

2. Semak belukar 4 Semak, kebun campuran 3. Padang rumput,

alang-alang

3 Rumput-rumputan

4. Tanaman semusim 2 Jenis tanaman 5. Tanpa vegetasi 1 Non-tanaman 6. Penutupan vegetasi 1. Rapat sekali 5 >75%

1. Baik 5 Terasering terpelihara, alley cropping, sistem

Kelas lahan terdegradasi

Kelas lahan terdegradasi Total skor

Ringan >25

Sedang 15 – 25

Berat < 15

2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan

Metode untuk penelitian degradasi lahan tergantung pada tipe degradasi

lahannya yaitu degradasi fisik, kimia, atau biologi. Penelitian degradasi lahan

membutuhkan penelitian dari masing-masing komponen proses. Pendekatan

degradasi lahan mulai dari observasi kualitatif sederhana di lapangan sampai

menggunakan model simulasi komputer dengan proses yang kompleks/rumit.

Menurut Herndanez (1999), metode penelitian degradasi lahan yang sudah

diadopsi adalah menggunakan pendekatan parametrik semi-kuantitatif, dengan alasan

antara lain : (1) metode ini relatif cepat dan tidak mahal serta tidak memerlukan

desain penelitian lapangan yang memerlukan waktu yang lama dan penggunaan

model simulasi komputer yang canggih; (2) tujuan utama dari penelitian degradasi

lahan ini adalah untuk menjelaskan mengenai gambaran tentang status degradasi

lahan secara cepat, murah, dan efisien dengan sedikit membutuhkan keahlian khusus

(39)

Metode yang paling fundamental untuk pengukuran degradasi lahan adalah

bahwa degradasi lahan (D) merupakan fungsi dari iklim (C), resistensi tanah (S),

faktor topografi (T), vegetasi alami (V), penggunaan lahan (L), dan Manajemen (M).

Oleh karena itu, pada penggunaan lahan yang aktual, D = f(C, S, T, V, L, M).

Namun demikian metode untuk mengukur tingkat degradasi lahan masih

terus dikembangkan dan terus diperbaharui, karena memang belum didapatkan suatu

metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan di suatu wilayah

yang didasarkan pada hasil penelitian dan data-data yang akurat, sehingga kriteria

yang digunakan masih kasar.

Menurut Ballayan (2000), metode pengukuran degradasi lahan dapat didekati

menggunakan metode prediksi erosi, dimana metode ini telah dikembangkan oleh

Cook pada tahun 1936 dan kemudian diadopsi oleh Wischmeier tahun 1978.

GLASSOD mengembangkan metode degradasi lahan di lahan kering untuk skala

global yang bersifat umum mulai tahun 1990 dan didasarkan pada estimasi-estimasi

para pakar secara kualitatif (Sitorus, 2009).

2.6. Erosi Tanah

Erosi tanah merupakan suatu proses yang terdiri dari dua fase, yaitu:

penghancuran atau pelepasan partikel secara individual dari masa tanah dan fase

pengangkutan oleh suatu agen (air) (Gardiner dan Miller, 2004). Apabila energi

untuk mengangkut tersebut telah cukup menurun, maka akan terjadi proses

berikutnya, yaitu deposisi. Terjadinya endapan lumpur di sungai-sungai dapat

digunakan sebagai indikator erosi tanah yang semakin meningkat.

Menurut Arsyad (2006) dan Sitorus (2009) secara umum erosi dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu erosi geologi (geologic erosion) dan erosi

dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi merupakan ukuran besarnya tanah

hilang yang masih dapat diperkenankan, sedangkan erosi dipercepat merupakan

tingkatan erosi yang merusak. Erosi dipercepat pada saat ini merupakan masalah

serius, dan erosi tersebut telah terjadi semenjak manusia mulai mengusahakan lahan.

Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah antara lain: curah hujan,

aliran permukaan, angin, tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk dan ada atau

(40)

faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (v),

tanah (t) dan manusia (m). Lebih lanjut dinyatakan dalam persamaan deskriptif

sebagai berikut :

E = f(i, r, v, t, m)

Faktor-faktor yang mempengaruhi E (erosi) tersebut dapat digunakan sebagai

indikator ada tidaknya kerusakan tanah di suatu wilayah. Faktor-faktor dalam

persamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua peubah, yaitu : (1) peubah yang

dapat dipengaruhi manusia (jenis tumbuhan di atas tanah), sebagian dari sifat tanah

diantaranya adalah kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, serta

unsur topografi yaitu panjang lereng; (2) peubah yang tidak dapat dipengaruhi oleh

manusia (iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng atau kemiringan lereng), sedangkan

faktor manusia sendiri tergantung dari aktivitasnya di atas tanah, yaitu berupa tata

guna atau penggunaan lahan.

Secara aktual, peristiwa erosi pada permukaan tanah yang berlereng tidak

dapat dihindarkan. Atau dengan kata lain bahwa laju erosi tidak dapat diturunkan

menjadi nol (zero erosion) pada lahan usahatani. Namun penilaian erosi tanah yang

ada sampai saat ini kebanyakan masih kualitatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan

prediksi dengan model erosi yang telah tersedia. Salah satu diantaranya adalah model

erosi yang biasa digunakan di daerah tropis, yaitu metode MUSLE (Modified

Universal Soil Loss Equation) yang dikemukakan oleh Kinnel dan Risse (1998)

dalam Arsyad (2006), dimana model ini dapat digunakan lebih baik dalam model

AGNPS (Agricultural Non Point Source of Pollution). Model persamaan tersebut

dinyatakan dalam suatu hubungan matematis sebagai berikut :

Ae = RUMe x KUMe x L x S x CUMe x P

dimana A

UMe

e adalah besarnya erosi (ton/ha/th), RUMe adalah indeks erosivitas hujan,

KUMe adalah nilai erodibilitas tanah, L adalah panjang lereng, S adalah faktor

kemiringan lereng, CUMe adalah faktor pengelolaan tanaman, dan PUMe

R

adalah faktor

pengelolaan tanah (tindakan konservasi tanah). Pada model MUSLE faktor curah

hujan ditetapkan dengan menggunakan persamaan berikut:

Ume = Qr.EI

yang menyatakan Qr adalah rasio aliran permukaan kejadian hujan (Qe) terhadap

besarnya curah hujan pada kejadian tersebut (Be). Sesuai dengan perubahan

(41)

persamaan R nilai K yang menjadi KUMe

MUSLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk meprediksi erosi

rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu

dengan memperhitungkan besarnya aliran permukaan pada setiap kejadian hujan

(Arsyad, 2006). Hasil prediksi erosi dapat digunakan untuk perencanaan

pengelolaan lahan atau tindakan konservasi tanah yang mungkin akan dilakukan

pada suatu bidang tanah tertentu. Secara skematis persaman MUSLE disajikan

pada Gambar 2.

pada tanah terbuka tanpa tanaman dan

tindakan konservasi, dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman lereng 9%, dihitung

menggunakan persamaan berikut :

MUSLE merupakan modifikasi dari permasaaan erosi USLE (Universal

Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier sejak tahun 1965

sampai 1978 (Renard et al., 1996). MUSLE dikembangkan oleh Kinnel dan Risse

pada tahun 1998 dimana pada tahun 1990 sudah dikuantifikasi ketidak pastiannya

menggunakan model linier klasik atau analisis regresi Bayesian untuk

menyempurnakan persamaan USLE yang dianggap masih terdapat kelemahan

dalam memprediksi besarnya erosi di lapangan. Hal ini sesuai pendapat Gambar 2. Skema persamaan MUSLE

Gambar

Tabel 1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan
Tabel Lampiran 1
Gambar 2. Skema persamaan MUSLE
Tabel 3.  Tujuan, Sumber data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait