• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Chip quality

Proses pemasakan tergantung pada kualitas chip yang akan dimasak. Chip

quality terdiri dari chip class, bulk density, moisture content, dan bark content.

a. Chip class

Chip class yaitu menentukan jumlah chip dalam setiap tahap screening

(penyaringan).Target dari setiap screen dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.5 Target Chip yang Diperoleh dari Screening

- Over large - Over thick - Accept - Pins - Fines > 55 mm > 8 mm 9-55 mm 1,5-9 mm < 1,5 mm Max 8% 89-90% 1,5-2,5 % Max 0,4%

Sumber : (Pulp Mill Overview, 2000)

Chip yang tidak lolos pada screen (saringan) 55 mm disebut over size (terlalu

besar). Chip yang lolos pada screen 55 mm dan tertahan pada screen 8 mm disebut

over thick (terlalu tebal). Chip yang lolos dari screen 8 mm dan tertahan di screen

9-55 mm disebut accept (chip yang diharapkan). Chip yang lolos dari screen 9-9-55 mm dan tertahan di screen 1,5-9 mm disebut pin. Chip yang lolos dari screen 1,5 mm disebut fines yang berbentuk abu atau serbuk kayu.

Chip class bertujuan untuk mengetahui jumlah chip yang diharapkan dan tidak

diharapkan. Jika pada proses cooking banyak terdapat chip yang over size dan over

adanya chip yang tidak matang karena terlalu besar atau tebal. Sebaliknya jika pada proses cooking banyak terdapat pin dan fines maka akan terjadi over cook, yaitu chip yang terlalu matang sehingga serat kayu terurai dan akan lolos pada tahap screening. Hal ini dapat menurunkan yield pulp. (Anonymous, 2002)

b. Bulk density

Pengukuran chip bulk density digunakan untuk mengetahui berat atau jumlah

chip yang masuk ke dalam digester. Pada kayu akasia bulk density sekitar 270-280

kg/m3. Berat chip ini akan digunakan untuk menghitung AA charge yang dibutuhkan pada proses cooking. (Anonymous, 2002)

Densitas adalah perbandingan massa dari suatu benda dengan volumenya. Densitas dalam unit gram per cm3 identik dengan berat spesifik. Berat spesifik kayu adalah perbandingan berat dari sampel kering terhadap berat dari volume air atau sama dengan volume sampel pada kandungan air tertentu. Berat spesifik dapat digunakan untuk mengukur atau sebagai indikator kualitas kayu. Kebanyakan kayu memiliki hubungan linier dengan berat spesifik. Kayu yang memiliki dua kali berat spesifik lebih besar akan dua kali lebih kuat, dua kali lebih menyusut, dan lainnya. (Wilcox, 1991)

c. Moisture content

Moisture content adalah banyaknya air yang terkandung di dalam chip.

Banyaknya kandungan air dapat dipengaruhi oleh lamanya kayu di wood yard. Jika kayu terkena hujan maka kandungan airnya banyak dan jika terjemur di bawah matahari maka moisturenya rendah. Bila kandungan moisture lebih tinggi, chip lebih

mudah menyerap liquor namun hal ini menjadikan liquor lebih encer karena kandungan airnya berlebih. Bila kayu terlalu kering atau moisture rendah maka chip susah untuk menyerap liquor sehingga membutuhkan waktu lama untuk penetrasi. (Kocurek, 1989)

d. Bark content and Other Contaminants

Bark content adalah banyaknya kulit kayu yang lolos dari tahap screening

dengan target sekitar 2% dari setiap screen stage untuk kualitas pulp untuk dikelantang (diputihkan). Bahan pohon-keseluruhan dan pohon-sepenuhnya yang meliputi tunggak, akar, cabang, ranting, dan tugi pada dasarnya telah dibuktikan menjadi bahan baku yang cocok untuk pembuatan pulp kraft. Tetapi keuntungan dari penambahan pasokan serat ini disertai berkurangnya rendemen pulp yang cukup rendah, sifat-sifat kekuatan yang jelek dan biaya yang tinggi untuk pembersihan bahan baku dan pemakaian bahan kimia yang tinggi. Kulit kayu tidak diharapkan pada proses cooking karena mengkonsumsi banyak bahan kimia pemasak dan menyebabkan bintik-bintik hitam pada pulp yang dihasilkan. (Fengel, 1995)

2. Total Active Alcali (TAA)

TAA adalah banyaknya jumlah alkali aktif (NaOH dan Na2S) yang terkandung dalam white liquor. Target TAA dalam white liquor sebanyak 100-105 g/l. TAA digunakan untuk menghitung banyaknya white liquor yang akan dimasukkan ke dalam digester. (Mimms, 1993)

Jumlah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan pulp alkalis dinyatakan sebagai banyaknya alkali yang efektif dan tergantung pada faktor-faktor seperti spesies kayu, kondisi pemasakan dan sisa lignin yang diperlukan dalam pulp.

Banyaknya alkali efektif berkisar antara 11% (didasarkan pada kayu kering tanur) untuk kualitas kasar tidak dikelantang dan 17% untuk kualitas kertas yang dapat dikelantang. (Fengel, 1995)

3. Sulphidity (Sulfiditas)

Sulfiditas (%S) adalah nisbah Na2S terhadap alkali aktif, keduanya dinyatakan sebagai Na2O. Sulfiditas yang digunakan bervariasi menurut perubahan banyaknya alkali, suhu pemasakan dan sejumlah faktor lain. Biasanya banyaknya sulfida untuk kayu keras lebih rendah (15-20%) daripada untuk kayu lunak (25-35%). Pengaruh sulfida dalam prose kraft menunjukkan bahwa laju delignifikasi lebih cepat yang mencapai delignifikasi 90% dalam waktu setengah dari waktu yang dibutuhkan pembuatan pulp soda. Bila sulfiditas rendah maka banyak fiber yang akan terdegradasi karena fungsi dari Sulfida adalah untuk mengikat fiber. Sulfiditas yang terlalu tinggi dapat merusak struktur fiber. (Fengel, 1995)

4. Residual alcali atau EA (Effective Alcali)

Residual alcali yaitu banyaknya alkali aktif yang terkandung dalam black liquor yang telah digunakan sebagai pemasak. Adapun target EA di impregnation tank

< 8 g/l dan di akumulator I sebanyak 18-22 g/l. Bila EA di impregnation tank dan di akumulator I lebih tinggi dari target artinya alkali yang tersisa dari pemasakan masih tinggi. Hal ini menunjukkan AA charge yang diisi ke dalam digester sebelumnya lebih banyak. Banyaknya EA di impregnation tank akan merugikan karena black liquor ini digunakan hanya sebagai penetrasi saja. Bila EA lebih rendah dari target artinya alkali yang tersisa sangat rendah, hal ini dapat menyebabkan reaksi pada penetrasi kurang

baik, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi pada fase hot liquor

filling.

Sedangkan tingginya EA di akumulator I menandakan banyaknya alkali aktif sehingga dapat menurunkan kappa number dan rendahnya EA di akumulator I menandakan alkali aktif kurang sehingga dapat menaikkan kappa number. Tinggi rendahnya EA di akumulator I dapat dijadikan sebagai acuan pada penambahan dan pengurangan AA charge untuk menghindari kelebihan dan kekurangan AA charge. (Anonymous, 2002)

5. Kappa number (Bilangan Kappa)

Banyaknya lignin yang terkandung dalam pulp dinyatakan dengan kappa

number. Kappa number yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses yang terjadi selama cooking. Target kappa number yaitu 12-14. Kalau kappa number > 14 artinya lignin

yang terkandung dalam pulp masih banyak sehingga bahan kimia pemutih yang digunakan pada proses bleaching lebih banyak. Kalau kappa number < 12 artinya tidak hanya lignin yang terpisahkan dalam jumlah besar pada proses cooking tetapi juga terjadi degradasi selulosa dalam jumlah besar pula.

Semakin rendah kappa number setelah cooking maka degradasi selulosa semakin tinggi dan kekuatan pada fiber juga menurun. Selulosa yang terurai ini akan lolos pada tahap screening yang kemudian terikut dalam liquor yang akan digunakan pada cooking selanjutnya. Fiber dalam jumlah besar dapat mempersulit proses

screening pada liquor screen yaitu dapat menyumbat screen sehingga penyaringan

tidak maksimal dan dapat membentuk kerak pada tube evaporator pada proses evaporasi weak black liquor. Kekuatan serat berbanding terbalik dengan tingkat

delignifikasi. Semakin tinggi tingkat delignifikasi atau semakin rendah kappa number maka kekuatan serat akan menurun. (Mimms, 1993)

6. Total liquor charge

Total liquor charge yaitu banyaknya cairan pemasak yang diisi ke dalam

digester. Untuk impregnation liquor dan hot black liquor ditentukan berdasarkan volum saja, yaitu 300 m3 untuk setiap liquor. Volume digester 400 m3, liquor yang terisi dalam digester + 60% dari volume digester (240 m3) dan + 40% terisi chip. Pada fase impregnasi, liquor yang diisi sampai overflow dengan tujuan untuk menyempurnakan pengeluaran udara di dalam digester.

Pada hot black liquor filling, liquor yang diisi juga sampai overflow. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan pengeluaran impregnation liquor atau seluruh warm liquor tergantikan oleh hot liquor, sehingga tidak membutuhkan waktu lama pada fase heating. Sedangkan untuk banyaknya hot white liquor ditentukan oleh banyaknya AA charge yang dibutuhkan. (Anonymous, 2002)

7. Liquor to wood ratio

Liquor to wood ratio adalah jumlah dari total larutan pemasak dibagi jumlah oven wood di dalam digester. Kandungan air juga dimasukkan dalam perhitungan total

larutan pemasak. Contoh : dalam batch digester diisi dengan

100 ton chip, kandungan air 50% maka kekeringan 50%, 70 ton white liquor, 80 ton

black liquor

Maka liquor to wood ratio :

- jumlah oven wood : 100 x 0,5 = 50 ton - liquor to wood ratio = 200 / 50 = 4,0

Semakin banyak chip yang terdapat di dalam digester maka semakin tinggi

liquor to wood ratio. Rentang normal adalah 3-6 atau dengan perbandingan 1 : 6.

Misalnya 1 ton chip harus diisi dengan 6 ton liquor. Ini agar liquor dapat melakukan penetrasi terhadap chip dengan baik sehingga diperoleh hasil pemasakan yang seragam. (Mimms, 1993)

8. Waktu dan Temperatur Pemasakan (H-factor)

H-factor adalah kecepatan reaksi penghilangan lignin dimana waktu dan

temperatur pemasakan dinyatakan dalam variabel tunggal. Semakin tinggi temperatur maka waktu yang dibutuhkan untuk delignifikasi semakin cepat, sebaliknya bila temperatur rendah maka waktu yang dibutuhkan untuk delignifikasi semakin lama. Reaksi delignifikasi sangat berpengaruh pada temperatur. Peningkatan sedikit temperatur akan memberi efek besar terhadap delignifikasi. Peningkatan secara drastis, misalnya peningkatan temperatur dari 160-1750C dapat menyebabkab

H-factor semakin tinggi. Pada temperatur yang tinggi, tidak hanya proses delignifikasi

yang terjadi namun penurunan selulosa juga terjadi sehingga dapat menurunkan yield dan kekuatan serat. (Mimms, 1993)

9. Hot Liquor Filling (HLF) Efficiency

Hot liquor filling efficiency merupakan gambaran terjadinya channeling

dengan melihat banyaknya impregnation liquor yang masuk ke WBL tank pada saat

oleh hot liquor dan temperatur di dalam digester antara 130-1400C sehingga tidak membutuhkan waktu lama pada fase heating.

Sebaliknya jika HLF efficiency < 80% maka tidak seluruh impregnation liquor tergantikan oleh hot liquor. Artinya masih banyak impregnation liquor yang tertinggal di digester dan temperatur di dalam digester < 1300C sehingga membutuhkan waktu yang lama pada fase heating. Rendahnya HLF efficiency juga menyebabkan tingginya

kappa number karena HWL sebagai pemasak tidak tinggal di digester sehingga alkali

aktif yang dibutuhkan tidak cukup. (Anonymous, 2002)

Dokumen terkait