BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
B. Landasan Te ori
3. Variasi Bahasa
Para ahli linguistik cenderung menganggap bahasa sebagai sesuatu yang tidak bervariasi. Jika terdapat variasi dalam bahasa , variasi-variasi itu dianggap tidak penting dan bila dibicarakan hanya ditinjau sepintas saja. Sebaliknya, bagi ahli sosiolinguistik variasi-variasi bahasa itu penting sekali. Variasi-variasi yang terdapat dalam bahasa manapun merupakan salah satu ciri dari kehidupan sebuah bahasa dalam masyarakat pemakai bahasa itu (Khaidir Anwar, 1990:20).
Mansoer Pateda (1991:84) beranggapan bahwa “Faktor dominan yang
lain yang tentunya sangat mempengaruhi suatu komunikasi adalah adanya
commit to user
berdasarkan a) tempat, b) waktu, c) pemakai, d) pemakaiannya, e) situasi dan f) status”.
Variasi bahasa jika ditinjau dari segi tempat akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek regional, yang dilihat dari segi waktu akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek temporal, yang dilihat dari segi pemakai menghasilkan apa yang disebut idiolek, berdasarkan kelamin, monolingual, status sosial dan yang berdasarkan umur. Variasi dari segi pemakaiannya menghasilkan apa yang disebut kreol, bahasa lisan, pijin, register, repertories, reputasi, standar bahasa tulis, bahasa tutur sapa, jargon. Selanjutnya variasi bahasa yang dilihat dari segi situasi dapat dibagi atas variasi bahasa situasi formal dan yang non formal, sedangkan variasi bahasa yang dilihat dari segi status dapat dibagi atas bahasa ibu, bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa persatuan, bahasa resmi. Hal tersebut akan terlihat pada kita bahwa komunikasi yang menggunakan bahasa formal berbeda dengan komunikasi pada situasi nonformal ( Mansoer Pateda, 1991:84).
Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:63) dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang
commit to user
beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Berikut pengklasifikasian variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62).
a. Variasi dari segi penutur
1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut
konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya
masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,
pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
2) Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.
3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi masa tahun lima puluhan, dan seterusnya.
4) Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi yang berkenaan dengan status,
golongan dan kelas sosial para penuturnya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi yang
commit to user
disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga
yang menambahkan bahasa prokem (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66)
Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih
tinggi atau lebih bergengsi dari variasi lainnya. Sebagai contoh adalah yang disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus dipakai oleh para bangsawan kraton Jawa.
Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan
dipandang rendah. Contohnya bahasa Inggris yang dipakai oleh para cowboy dan
kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.
Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya
tampak pada pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan
bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat
temporal, dan lebih umum digunakan oleh kawula muda, meski kawula tua pun ada juga yang menggunakannya.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam
percakapan sehari – hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan,
konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam
commit to user
dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak
usah), dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara
terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya, dalam kelompok montir atau perbengkelan terdapat
ungkapan-ungkapan seperti rodagila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara
terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak pengkhususan
argot adalah pada kosakata, misalnya dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang
copet) pernah digunakan ungkapan seperti barangdalam arti „mangsa‟, kacamata
berarti „polisi‟, daun yang berarti „ uang‟, gemuk yang berarti „mangsa besar‟, tapeyang berarti „mangsa empuk‟.
Yang dimaksud dengan ken (Inggris : cant) adalah variasi sosial tertentu
yang bernada “memelas“, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan.
Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the
cant of beggar (bahasa pengemis) (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66
-67).
b. Variasi dari segi pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.
commit to user
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.
c. Variasi dari segi keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer
dan Leonie Agustina, 2004:70) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi
bahasa atas lima macam gaya (Inggris : Style), yaitu gaya atau ragam beku
(frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif),
gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
d. Variasi dari segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf.
Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:100) menegaskan bahwa tingkat
formalitas dalam pemakaian bahasa mengacu pada style. Menurutnya, dalam
pemakaian bahasa Inggris, terdapat lima tingkat yakni, frozen, formal,
consultative, casual, dan intimate. Ia juga beranggapan bahwa dalam bahasa Indonesia pun gaya yang demikian dapat dibagi atas lima tingkat;
a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi, yang
commit to user
Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti Undang-Undang Dasar.
b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam
pidato-pidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya.
c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan
pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat yang berorientasi pada hasil. Ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam
berbincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya
e. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab
dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
Pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan oleh sejumlah faktor penentu. Menurut Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:99), faktor penentu itu antara lain, adalah siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik), dalam
situasi (setting), yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan,
lisan, telegram, dan sebagainya). Dell Hymes (dalam Hamid Hasan Lubis, 1994:84) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING. Yang berturut-turut dimaksudkan
commit to user
sequences), K (Keys), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Di bawah ini penjelasan secara singkat komponen tutur tersebut
a. Settings and scenes (tempat dan suasana tuturan)
Settings and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan.
b. Partisipants (peserta tutur)
Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga.
c. Ends (tujuan)
Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering pula disebut sebagai tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk memelihara kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah tuturan.
d. Act sequence (pokok tuturan)
Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan
commit to user
pokok tuturan itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur.
e. Keys (nada tutur)
Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya.
f. Instruments (sarana tutur)
Sarana tutur menunjuk pada saluran tutur (chanels) dan bentuk tutur (form of
speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai sisten mandiri, dialek, dan variasi-variasi bahasa yang lainnya. Bentuk tutur akan banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai oleh penutur itu di dalam bertutur.
g. Norms (norma tutur)
Norma tutur dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm)
dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi
menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk
commit to user
memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.
h. Genre (jenis tutur)
Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana misalnya percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur (Sarwiji Suwandi, 2008:99-100).