• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PEMAKAIAN BAHASA

DALAM RUBRIK CELATHU BUTET

PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA

(Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

DEDI ROHMADI

C0204015

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Dedi Rohmadi NIM : C0204015

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa

dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda

citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.

Surakarta, 26 Januari 2011

Yang membuat pernyataan,

(5)

commit to user

v

MOTTO

Setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang besar, tanpa menyadari, bahwa hidup itu adalah kumpulan dari hal-hal kecil

(Frank Clark)

Mendapatkan yang Anda kejar adalah kesuksesan, tetapi mencintai perjalanan selama Anda berusaha mendapatkannya itulah kebahagiaan

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Kuselesaikan skripsi ini untuk kupersembahkan:

 Kepada bapak dan ibu terkasih yang selalu berdoa dalam setiap langkahku.

Pengorbananmu adalah detak nadi kehidupanku.

 Adikku Nining dan tante Atun untuk semangat dan dorongan selama ini.

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara

Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan

dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun

tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan

segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Soedarno, M. A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta,

yang telah memberikan kepercayaan dan kemudahan kepada peneliti

selama penyusunan skripsi.

3. Drs. Wiranta, M.S., selaku pembimbing akademik yang selalu

memberi semangat, motivasi, dan nasihat kepada peneliti selama

menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

4. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum selaku pembimbing skripsi yang

(8)

commit to user

viii

5. Segenap dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal

ilmu pengetahuan kepada peneliti.

6. Staf perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan

kelonggaran kepada peneliti untuk membaca dan meminjam

buku-buku referensi yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu dan Bapak yang telah memberi kasih sayang, doa restu, dan

keleluasaan peneliti dalam menentukan pilihan.

8. Dhamang, Achmadi, Ardi, Andri, Adit, Rulis, Deni, Bayu, dan Riza

terima kasih telah memberikan warna dan kenangan terindah, serta

dorongan dan semangat bagi peneliti.

9. Kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2004 terima kasih atas

indahnya kebersamaan yang telah dijalani selama ini.

10.Semua pihak yang telah membantu peneliti selama penyusunan skripsi

yang tidak mungkin disebutkan satu per satu oleh peneliti dalam

kesempatan ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini

masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti mengharapkan kritik

dan saran dari pembaca demi penyempurnaan karya ini.

Surakarta, Januari 2011

(9)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

JUDUL ……… i

LEMBAR PERSETUJUAN ………... ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv

MOTTO ……….….. v

PERSEMBAHAN ……….. vi

KATA PENGANTAR ……… vii

DAFTAR ISI ……….. ix

DAFTAR SINGKATAN... xii

DAFTAR TANDA... xiii

ABSTRAK ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pembatasan Masalah ………... 6

C. Perumusan Masalah ……….... 6

D. Tujuan Penelitian ……….... 7

E. Manfaat Penelitian ……….. 7

F. Sistematika Penulisan ………. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR... 9

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..………... 9

B. Landasan Teori……….………..…... 11

(10)

commit to user

x

2. Sosiolinguistik…... 13

3. Variasi Bahasa…………... 14

4. Ragam Bahasa Formal dan Informal………. 23

5. Interferensi…... 25

6. Kode, Alih Kode dan Campur Kode... 27

7. Penghilangan dan Penambahan Fonem………. 34

8. Interjeksi……… 34

C. Kerangka Pikir... 37

BAB III METODE PENELITIAN... 39

A. Jenis Penelitian... 39

B. Data dan Sumber Data... 39

C. Populasi dan Sampel... 40

D. Teknik Pengumpulan Data... 41

E. Teknik Klasifikasi Data ………...… 43

F. Metode Analisis Data... 43

G. Penyajian Analisis Data... 45

BAB IV ANALISIS DATA... 46

A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB pada Surat Kabar SM……….. 46

1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ……… 47

2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ………….. 64

3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM …………. 66

4. Pelesapan dan Penambahan Fonem ………..…… 69

(11)

commit to user

xi

6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta ………. 77

B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam RCB pada Surat Kabar SM ….………... 80

BAB V PENUTUP... 87

A. Simpulan ……….……… 87

B. Saran ……….. 88

DAFTAR PUSTAKA ……… 89

LAMPIRAN DATA

(12)

commit to user

xii

DAFTAR SINGKATAN

AK : Alih Kode

CK : Campur Kode

Interf : Interferensi

Interj : Interjeksi

PDJ : Partikel Dialek Jakarta

PPF : Pelesapan dan Penambahan Fonem

RCB : Rubrik Celathu Butet

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TANDA

(….) = terjemahan

/... / = satuan di dalamnya adalah fonem

[...] = satuan fonetis

(14)

commit to user

xiv

ABSTRAK

Dedi Rohmadi. C0204015. 2010. Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet

pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : (1) Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ?(2) Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM?

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM. (2) Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah

deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa bentuk-bentuk pemakaian bahasa, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, yang terdapat

dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari

sampai dengan September 2009. Teknik pengambilan data berupa teknik simak, teknik catat, dan teknik pustaka.

Berdasarkan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM ditemukan bentuk-bentuk pemanfaatan ragam informal yang ditandai dengan adanya pemakaian campur kode, alih kode, interferensi, adanya pelesapan dan penambahan fonem, pemanfaatan bentuk-bentuk interjeksi serta pemakaian partikel dialek Jakarta. (1) Campur kode yang terdapat dalam RCB meliputi pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa

Indonesia atau campur kode yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan

pemakaian unsur bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode

yang bersifat ke luar (outer code mixing), (2)peristiwa alih kode dalam RCB

didominasi oleh alih kode yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan (3) interferensi yang terjadi di dominasi oleh interferensi pada tataran kata atau interferensi morfologi. (4) Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi pelesapan konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. (5) Interjeksi digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan keheranan, seruan atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan

sebagainya. (6) Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih,

dong, dan deh.

Kedua, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam

RCB pada surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer,

(15)

commit to user

(16)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia.

Dimiliki dan digunakannya bahasa merupakan ciri khas yang membedakan antara

manusia dengan makhluk lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi

dengan manusia lain guna menjalin kerja sama dan memecahkan atau

menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Bahasa

merupakan sarana utama yang digunakan manusia untuk mengungkapkan (dan

tentu memahami) pikiran dan perasaan sehingga komunikasi dapat berjalan

dengan baik (Sarwiji Suwandi, 2008:97)

Beragamnya pemakaian bahasa secara nyata menimbulkan

keanekaragaman karakteristik kebahasaan. Pemanfaatan potensi bahasa sebagai

alat komunikasi dapat dilihat dari dunia pendidikan, pemerintahan, media massa

elektronik, media massa cetak, dan hampir semua ranah kehidupan membutuhkan

bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan informasi. Jadi bahasa memiliki

peran dan fungsi yang strategis dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana

pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa bahasa adalah “ sistem

lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota masyarakat untuk

bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri” (2001:21).

Salah satu bentuk pemakaian bahasa tulis dalam komunikasi adalah

seperti yang ada dalam media massa cetak, dalam hal ini berupa surat kabar. Surat

kabar sebagai salah satu media massa cetak mempunyai fungsi untuk

(17)

commit to user

pikiran tersebut terjadilah pemindahan informasi yang efisien. Jadi dalam hal ini,

yang dipentingkan adalah pemakaian bahasa yang berorientasi kepada pembaca

atau penerima dalam menangkap informasi secara benar. Surat kabar dalam

menyampaikan informasi menggunakan media pengungkapan berupa bahasa.

Adanya berbagai macam bentuk pemakaian bahasa yang merupakan

identitas penutur (penulis dalam bahasa tulis) atau kelompok masyarakat serta

adanya bermacam gaya dalam konteks sosial seperti itu menunjukkan bahwa ada

semacam korelasi antara kelas atau status sosial penulis dengan cara-cara

pemakaian atau pemilihan bahasa. Ciri-ciri khusus tuturan seseorang atau

sekelompok anggota masyarakat dapat dijadikan indikator untuk menunjukkan

kelas atau status sosial mereka atau penulis di dalam masyarakat. Di samping itu,

ketepatan pemilihan kata atau variasi bahasa dalam tuturannya dapat dijadikan

petunjuk sejauh mana seorang penutur atau penulis menguasai bahasa yang

sedang dipergunakannya.

Setiap penutur pasti mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak dipunyai

oleh penutur lain dan membedakan dirinya dengan penutur lain. Sifat-sifat khusus

ini ada yang sifatnya fisis-fisiologis dan ada pula yang sifatnya psikis-mentalistis.

Perbedaan suara yang disebabkan karena perbedaan organ-organ bicara

penuturnya adalah fisis-fisiologis, sedangkan perbedaan gaya adalah

psikis-mentalistis. Dalam bahasa lisan sifat khusus fisis-fisiologis ini dapat kita lihat

dengan mendengar suara dari tuturan-tuturan si penutur. Perbedaan-perbedaan

organ ucap manusia juga menyebabkan artikulasi yang berbeda antara penutur

satu dengan yang lain. Di samping itu, setiap penutur memiliki “warna suara”

(18)

commit to user

merupakan gejala fisiologis, perbedaan tuturan dapat kita kenal dengan

memperhatikan gaya bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya,

ungkapan-ungkapan yang sering dipakainya dan sebagainya yang merupakan gejala

psikis-mentalistis. Paduan antara sifat-sifat khusus yang demikian itu secara keseluruhan

merupakan ciri-ciri khas bahasa seseorang yang membedakan dia (penutur dalam

bahasa lisan dan penulis dalam bahasa tulis) dengan orang lain (Suwito, 1992:7)

Perbedaan-perbedaan pemakaian bahasa juga terjadi dalam penulisan

artikel pada surat kabar. Seperti dalam penulisan kolom atau rubrik “Celathu

Butet” yang dimuat dalam surat kabar Suara Merdeka. Rubrik “Celathu Butet”

(selanjutnya akan disingkat RCB) adalah sebuah rubrik yang terdapat dalam surat

kabar Suara Merdeka (selanjutnya disingkat SM) yang terbit setiap hari Minggu.

Seperti namanya, RCB tersebut ditulis oleh budayawan dan aktor Butet

Kertaradjasa. Rubrik ini terletak pada halaman pertama harian tersebut, berada

pada samping kolom berita utama, di dalamnya terdapat judul dan karikatur wajah

si penulis, dengan latar halaman berwarna biru. Jika dilihat dari jenisnya, maka

rubrik ini termasuk dalam rubrik opini. Di dalamnya berisi opini serta pandangan

penulisnya mengenai masalah-masalah serta gejala-gejala sosial,

peristiwa-peristiwa yang sedang hangat ,atau hal-hal yang menjadi topik pembicaraan saat

itu.

Rubrik ini menurut peneliti sangat menarik untuk dikaji menjadi sebuah

penelitian tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasanya. Sebagai

sebuah rubrik opini dalam surat kabar, rubrik ini mempunyai gaya penulisan yang

membedakannya dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik

(19)

commit to user

bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, dan ungkapan-ungkapannya.

RCB banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek,

juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah

pendapat atau opini. Mengingat latar belakang penulis yang berlatar belakang

budaya Jawa, maka tulisan dalam rubrik ini sangat kental dengan dialek-dialek

bahasa Jawa, di samping ada juga pemakaian dialek Betawi dan pemakaian

bahasa asing.

Dalam bahasa lisan, struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat

tidak cermat hal tersebut tentu berbeda dengan bentuk atau ragam tulis, sebab

bahasa tulis memiliki aturan-aturan atau kaidah penulisan yang tidak dapat

dilanggar, tetapi tampaknya aturan-aturan tersebut tidak berlaku dalam penulisan

RCB ini. Bila dilihat, ragam lisan yang disalin ke dalam bentuk tulis ini tidak

mendapat perbaikan-perbaikan dan memang tidak memperhatikan kaidah atau

aturan penulisan yang baik dan benar. Struktur kalimat dan pilihan katanya jelas

tidak mendapat perbaikan dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku atau ejaan

yang disempurnakan. Akan tetapi, justru hal tersebut yang membuat rubrik ini

menarik dan berbeda dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik

sejenis pada surat kabar lainnya. Bahasa yang dipakai oleh penulis menjadi ringan

untuk dicerna atau dipahami maksudnya oleh para pembaca yang berasal dari

berbagai kalangan profesi, pendidikan, jabatan dan berbagai macam latar belakang

yang berbeda-beda.

Kekhasan pemakaian bahasa dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar

SM ini sangat menarik untuk diteliti. Penulis rubrik ini mencoba untuk

(20)

commit to user

dan gejala sosial tentang keadaan lingkungan di sekitarnya, baik itu tentang

kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan ,dan sebagainya ke dalam

sebuah bahasa yang khas atau berbeda dibandingkan dengan rubrik atau tulisan

lain yang dimuat dalam media yang sama, yaitu surat kabar Suara Merdeka atau

bahkan dengan rubrik-rubrik sejenis yang ditulis pada surat kabar yang berbeda.

Topik-topik yang dibahas dalam rubrik ini yang terlihat berat untuk diungkapkan,

tetapi oleh penulis terkesan menjadi ringan untuk diungkap karena penulis

mengemasnya sedemikian rupa agar lebih menarik, hal-hal inilah yang menjadi

karakter khas yang menjadi ciri kebahasaan yang digunakan oleh Butet

Kertaradjasa dalam RCB.

Diksi atau pilihan kata yang dipakai oleh penulis terkesan lebih santai

atau tidak formal sehingga mudah untuk dipahami. Pemakaian ejaan-ejaan serta

kata-kata tidak baku yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa

Indonesia yang baik dan benar serta penggunaan karakter kebahasaan yang

banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga

penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah

pendapat atau opini juga merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengambil

kajian tentang pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB yang terbit

dalam surat kabar SM. Kajian tersebut mengenai pemakaian bahasa yang

digunakan dalam sebuah rubrik pada surat kabar yang dilihat dari pendekatan

sosiolinguistik. Pengetahuan dari sosiolinguistik ini dapat dimanfaatkan dalam

berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman

(21)

commit to user

bahasa apa yang harus digunakan ketika berbicara dengan orang lain atau

berinteraksi dengan pembaca. Faktor-faktor inilah yang mendasari peneliti untuk

mengambil judul penelitian Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada

Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik.

B. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan dan untuk mengarahkan penelitian ini

agar lebih mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka

sangat diperlukan adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dibatasi pada

pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM yang diterbitkan

setiap hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.

C. Perumusan Masalah

Agar dalam pembatasan arah dan tujuan penelitian ini jelas, maka

diperlukan suatu perumusan masalah. Artinya masalah yang hendak diteliti perlu

diidentifikasi secara lebih terinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan

yang operasional. Yaitu pernyataan-pernyataan yang mengarahkan, sekaligus

membatasi ke perumusan masalah (Edi Subroto, 1992:39).

Dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji

sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat

kabar SM?

2. Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB

(22)

commit to user

D. Tujuan Penelitian

Penelitian yang ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas mengingat

penelitian harus mempunyai arah sasaran yang jelas dan tepat. Adapun tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada

surat kabar SM.

2. Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa pada

RCB pada surat kabar SM.

E. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pada hakikatnya diharapkan memiliki manfaat, baik

secara praktis maupun secara teoretis. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan

Edi Subroto bahwa “...di samping memberikan sumbangan ke arah pengembangan

ilmu, juga hendaknya ikut memberikan pemecahan masalah yang bersifat

praktis....” (Edi Subroto, 1992:91). Adapun manfaat yang dapat dipetik dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan

kebahasaan, khususnya linguistik, dalam hal ini adalah kebahasaan

dalam lingkup sosiolinguistik khususnya mengenai pemakaian

bahasa dalam sebuah rubrik pada sebuah surat kabar.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

(23)

commit to user

pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada surat kabar. Penelitian

ini juga diharapkan dapat membantu peneliti maupun pembaca

khususnya dalam hal memahami bentuk pemakaian bahasa yang

terdapat pada sebuah rubrik pada surat kabar.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penguraian dalam suatu penelitian maka

diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini

terdiri dari lima bab yang di dalamnya memuat permasalahaan yang tetap

merupakan satu kesatuan pikiran yang saling berkaitan. Adapun sistematika dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab pertama memuat pendahuluan, yang di dalamnya menjelaskan latar

belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan kajian pustaka, bab ini membahas tentang

beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji. Teori-teori

tersebut digunakan sebagai landasan dalam penganalisisan data.

Bab ketiga berupa metode penelitian, bab ini berisi penjelasan mengenai

jenis penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan

teknik analisis data.

Bab keempat merupakan analisis data, bab ini menguraikan analisis

terhadap data-data yang menjadi objek penelitian.

Bab kelima merupakan penutup dari semua uraian bab-bab sebelumnya

(24)
(25)

commit to user

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa studi terdahulu yang relevan telah dilakukan oleh beberapa

peneliti di antaranya adalah Septi Nur Hanani, dan Yovi Ariani W.S. Penelitian

yang pernah dilakukan tersebut antara lain sebagai berikut:

Septi Nur Hanani (2005) dalam skripsi yang berjudul Rubrik “Sungguh

-sungguh Terjadi” dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Suatu Tinjauan

Sosiolinguistik), mendeskripsikan analisisnya sebagai berikut: (1) karakter

pemakaian bahasa dalam rubrik SST meliputi pemakaian ragam informal, ragam

percakapan, singkatan dan akronim, pemanfaatan bentuk slang, pemanfaatan gaya

bahasa seperti hiperbola, repetisi, personifikasi, elipsis, pemakaian idiom, campur

kode, alih kode, serta interferensi, (2) aspek humor dapat diketahui dengan

beberapa teknik antara lain teknik keambiguan, teknik pertentangan makna, teknik

logika yang terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika

bahasa, penyimpangan logika makna, dan teknik membandingkan yang tidak

logis, (3) fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik meliputi sarana menghibur,

sarana menyampaikan informasi, sarana mendidik, sarana mempengaruhi

masyarakat sebagai pembaca.

Skripsi Yovi Ariani W.S (2006) yang berjudul “Pemakaian Bahasa

Indonesia pada Kriing Solopos: Pendekatan Sosio-pragmatik, mendeskripsikan

adanya pemanfaatan ragam informal dalam rubrik Kriing Solopos menyebabkan

terjadinya campur kode, alih kode, dan interferensi/ penyimpangan dalam suatu

(26)

commit to user

komisif, dan deklaratif. Juga pembahasan tentang maksud yang terkandung di

balik tuturan dalam rubrik Kriing Solopos, adalah untuk memohon, menyuruh,

menyarankan, menyindir, dan mengkritik yang disampaikan dengan kalimat

berita. Kalimat tanya dapat digunakan untuk menyuruh melakukan sesuatu dan

menyindir. Maksud menyarankan juga dapat disampaikan dengan kalimat

perintah. Maksud yang tersurat dilakukan oleh penutur untuk lebih memperhalus

tuturannya.

Berbeda dengan penelitian terdahulu, peneliti mengambil sebuah

penelitian yang bertajuk “Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada

surat kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Penelitian ini

menganalisis tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasa dalam sebuah

rubrik yang ditulis oleh seorang aktor dan budayawan Butet Kertaradjasa yaitu

RCB yang dimuat pada surat kabar SM dengan menggunakan tinjauan

sosiolinguistik. Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat

dalam surat kabar SM, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di

dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi,

sedangkan sumber data yang dipergunakan oleh peneliti adalah sumber data

tertulis pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit pada hari

(27)

commit to user

B. Landasan Teori

1. Fungsi Bahasa

Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,

dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga

perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi

untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit. Oleh karena itu,

fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik,

kode, dan amanat pembicaraan.

a. Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau

pribadi. Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang

dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat

bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan

tuturannya. Dalam hal ini si pendengar juga dapat menduga apakah si

penutur sedih, marah atau gembira.

b. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi

direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa itu

tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan

kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini

dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang

menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan.

c. Dilihat dai segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini

berfungsi fatik, yaitu menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan

perasaan bersahabat, atau solidaritas social. Ungkapan-ungkapan yang

(28)

commit to user

pamit, membicarakan cuaca, atau menyakan keluarga. Oleh karena itu,

ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah. Misalnya

Bagaimana anak-anak?”,“Mau kemana nih?”, dan sebagainya

d. Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial.

Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek

atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya

pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham

tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk

menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya.

Ungkapan seperti “Ibu dosen itu cantik sekali” adalah contoh penggunaan

bahasa yang berfungsi referensial.

e. Dilihat dari kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual

atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan

bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa

di mana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan

bahasa, juga dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk

menjelaskan arti bahasa (dalam kata) itu sendiri.

f. Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan, maka bahasa

itu berfungsi imaginative. Sesungguhnya, bahasa itu dapat digunakan

untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang

sebenarnya, maupun yang berbentuk imajinasi (khayalan atau rekaan) saja.

Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng,

lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para

(29)

commit to user 2. Sosiolinguistik

Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan

memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya

masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas bahwa sosiolinguistik

mempertimbangkan keterkaitan antara dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi

kebahasaannya dan dengan sosiologi untuk segi kemayarakatannya. Batasan

pengertian sosiolinguistik yang menekankan studi bahasa dalam hubungan dengan

masyarakat dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah pendapat Appel

(dalam Suwito, 1991:3), “ Sosiolinguistik memandang bahasa, pertama-tama

sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat

dan kebudayaan tertentu, sehingga pemakaian bahasa (language use) sudah

sebagai bentuk interaksi dalam situasi yang konkret”.

Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian sosiolinguistik adalah

“cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara

perilaku bahasa dengan perilaku sosial” (Harimurti Kridalaksana, 2001:201).

Pendapat yang lain mengatakan bahwa sosiolinguistik “merupakan cabang dari

ilmu linguistik yang mengkaji tentang pemakaian bahasa di lingkungan

masyarakat atau dapat juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari aspek

kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat

dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial)”

(P.W.J Nababan, 1993:2).

Mansoer Pateda mendefinisikan sosiolinguistik sebagai “suatu cabang

ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks

(30)

commit to user

bersifat kontekstual, artinya di dalam analisisnya konteks pemakaian bahasa

dalam masyarakat selalu diperhitungkan. Sosiolinguistik sendiri didefinisikan

sebagai “subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan

faktor-faktor kemasyarakatan atau faktor sosial” (Soeparno, 2002:25).

Fishman (dalam Suwito, 1991:5) melihat sosiolinguistik dari sudut

adanya hubungan antara variasi bahasa, fungsi bahasa dan pemakaian bahasa serta

adanya perubahan-perubahan sebagai akibat terjadinya interaksi antara ketiganya,

dan memberikan batasan sosiolingusitik sebagai studi tentang sifat-sifat khusus

(karakteristik) variasi bahasa, sifat-sifat khusus fungsi bahasa dan sifat-sifat

khusus pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta perubahan-perubahan

antara ketiganya dalam masyarakat tutur. Baik dalam memahami bentuk tutur, arti

dan perubahan dalam bahasa segi konteks pemakaian selalu diperhitungkan.

3. Variasi Bahasa

Para ahli linguistik cenderung menganggap bahasa sebagai sesuatu yang

tidak bervariasi. Jika terdapat variasi dalam bahasa , variasi-variasi itu dianggap

tidak penting dan bila dibicarakan hanya ditinjau sepintas saja. Sebaliknya, bagi

ahli sosiolinguistik variasi-variasi bahasa itu penting sekali. Variasi-variasi yang

terdapat dalam bahasa manapun merupakan salah satu ciri dari kehidupan sebuah

bahasa dalam masyarakat pemakai bahasa itu (Khaidir Anwar, 1990:20).

Mansoer Pateda (1991:84) beranggapan bahwa “Faktor dominan yang

lain yang tentunya sangat mempengaruhi suatu komunikasi adalah adanya

(31)

commit to user

berdasarkan a) tempat, b) waktu, c) pemakai, d) pemakaiannya, e) situasi dan f)

status”.

Variasi bahasa jika ditinjau dari segi tempat akan menghasilkan apa yang

disebut dengan dialek regional, yang dilihat dari segi waktu akan menghasilkan

apa yang disebut dengan dialek temporal, yang dilihat dari segi pemakai

menghasilkan apa yang disebut idiolek, berdasarkan kelamin, monolingual, status

sosial dan yang berdasarkan umur. Variasi dari segi pemakaiannya menghasilkan

apa yang disebut kreol, bahasa lisan, pijin, register, repertories, reputasi, standar

bahasa tulis, bahasa tutur sapa, jargon. Selanjutnya variasi bahasa yang dilihat dari

segi situasi dapat dibagi atas variasi bahasa situasi formal dan yang non formal,

sedangkan variasi bahasa yang dilihat dari segi status dapat dibagi atas bahasa ibu,

bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar,

bahasa persatuan, bahasa resmi. Hal tersebut akan terlihat pada kita bahwa

komunikasi yang menggunakan bahasa formal berbeda dengan komunikasi pada

situasi nonformal ( Mansoer Pateda, 1991:84).

Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:63) dalam hal variasi

atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu

dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman

fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari

adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa

itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan

pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu

menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk

(32)

commit to user

beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang

jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya

keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.

Berikut pengklasifikasian variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan

Leonie Agustina (2004:62).

a. Variasi dari segi penutur

1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut

konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya

masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara,

pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.

2) Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang

jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area

tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat

tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional

atau dialek geografi.

3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh

kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa

Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi masa tahun lima puluhan,

dan seterusnya.

4) Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi yang berkenaan dengan status,

golongan dan kelas sosial para penuturnya.

Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan,

(33)

commit to user

disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga

yang menambahkan bahasa prokem (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66)

Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih

tinggi atau lebih bergengsi dari variasi lainnya. Sebagai contoh adalah yang

disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus dipakai

oleh para bangsawan kraton Jawa.

Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan

dipandang rendah. Contohnya bahasa Inggris yang dipakai oleh para cowboy dan

kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.

Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya

tampak pada pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari

kalangan mereka yang tidak berpendidikan.

Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi

ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh

diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang

digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan

bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat

temporal, dan lebih umum digunakan oleh kawula muda, meski kawula tua pun

ada juga yang menggunakannya.

Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam

percakapan sehari – hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan,

konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam

(34)

commit to user

dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak

usah), dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara

terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan

seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar

kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.

Misalnya, dalam kelompok montir atau perbengkelan terdapat

ungkapan-ungkapan seperti rodagila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles, dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara

terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak pengkhususan

argot adalah pada kosakata, misalnya dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang

copet) pernah digunakan ungkapan seperti barangdalam arti „mangsa‟, kacamata

berarti „polisi‟, daun yang berarti „ uang‟, gemuk yang berarti „mangsa besar‟,

tapeyang berarti „mangsa empuk‟.

Yang dimaksud dengan ken (Inggris : cant) adalah variasi sosial tertentu

yang bernada “memelas“, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan.

Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the

cant of beggar (bahasa pengemis) (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66

-67).

b. Variasi dari segi pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau

fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya

dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan

(35)

commit to user

Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut

bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra,

jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan

keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak

cirinya adalah dalam bidang kosakata.

c. Variasi dari segi keformalan

Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer

dan Leonie Agustina, 2004:70) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi

bahasa atas lima macam gaya (Inggris : Style), yaitu gaya atau ragam beku

(frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif),

gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).

d. Variasi dari segi sarana

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang

digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis atau

juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu,

yakni, misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf.

Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:100) menegaskan bahwa tingkat

formalitas dalam pemakaian bahasa mengacu pada style. Menurutnya, dalam

pemakaian bahasa Inggris, terdapat lima tingkat yakni, frozen, formal,

consultative, casual, dan intimate. Ia juga beranggapan bahwa dalam bahasa

Indonesia pun gaya yang demikian dapat dibagi atas lima tingkat;

a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi, yang

(36)

commit to user

Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen

bersejarah seperti Undang-Undang Dasar.

b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam

pidato-pidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya.

c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan

pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat

yang berorientasi pada hasil. Ragam ini berada pada tingkat yang paling

operasional.

d. Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam

berbincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya

e. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab

dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara

lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan

artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan

istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman

akrab.

Pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan oleh sejumlah faktor

penentu. Menurut Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:99), faktor penentu itu

antara lain, adalah siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik), dalam

situasi (setting), yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan,

lisan, telegram, dan sebagainya). Dell Hymes (dalam Hamid Hasan Lubis,

1994:84) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya

peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING. Yang berturut-turut dimaksudkan

(37)

commit to user

sequences), K (Keys), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Di bawah

ini penjelasan secara singkat komponen tutur tersebut

a. Settings and scenes (tempat dan suasana tuturan)

Settings and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu

terjadinya sebuah tuturan.

b. Partisipants (peserta tutur)

Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam

bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua

adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa

jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga.

c. Ends (tujuan)

Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi

atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan

kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk

mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang

dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering pula disebut

sebagai tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk

memelihara kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat.

Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah

tuturan.

d. Act sequence (pokok tuturan)

Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu

(38)

commit to user

pokok tuturan itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam

bertutur.

e. Keys (nada tutur)

Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan

dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah

modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini

dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada

nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya.

f. Instruments (sarana tutur)

Sarana tutur menunjuk pada saluran tutur (chanels) dan bentuk tutur (form of

speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat

dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang

dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa

sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa,

yakni bahasa sebagai sisten mandiri, dialek, dan variasi-variasi bahasa yang

lainnya. Bentuk tutur akan banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai

oleh penutur itu di dalam bertutur.

g. Norms (norma tutur)

Norma tutur dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm)

dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi

menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam

bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi masih

(39)

commit to user

memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat

dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.

h. Genre (jenis tutur)

Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan.

Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana misalnya percakapan, cerita,

pidato, dan semacamnya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula

kode yang dipakai dalam bertutur (Sarwiji Suwandi, 2008:99-100).

4. Ragam Bahasa Formal dan Informal

Menurut Suwito (1992:13) “ketika seseorang berkomunikasi dalam

situasi tuturan yang tidak resmi/informal, atau dalam tuturan yang bersifat intim

dan santai maka variasi bahasa yang digunakan adalah bahasa intim, bahasa santai

atau ragam bahasa yang bersifat informal. Bahasa seperti itu ditandai antara lain

dengan munculnya bentuk-bentuk yang tidak lengkap, penanggalan afiks, susunan

kalimat yang tidak begitu tertib, sistem fonologi yang kurang teratur, dan

pemilihan kata yang seenaknya”.

Antara fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat hubungannya,

sebab ragam bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam suatu peristiwa

bergantung kepada situasinya. Dalam situasi resmi atau formal hendaknya

dipergunakan ragam bahasa baku, seperti dalam surat-menyurat resmi,

administrasi pemerintahan dan sebagainya. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak

resmi atau informal tidak perlu dipergunakan ragam baku, seperti situasi

(40)

commit to user

Secara keseluruhan ragam baku itu hanya ada satu dalam sebuah bahasa.

Dengan kata lain ragam-ragam selebihnya, termasuk dialek adalah ragam

nonbaku. Dari sudut kebahasaan, perbedaan antara baku dan nonbaku tentu ada

dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa

kata, dan tata kalimat. Berikut ini adalah ciri-ciri dari ragam baku yang

dikemukakan oleh Suwito (1992:49).

a. Ejaan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara

dan tata tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang

disempurnakan (EYD).

b. Peristilahan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang

cara atau tertib pembentukan istilahnya berpedoman kepada pedoman

umum pembentukan istilah bahasa Indonesia (PUPI).

c. Kosa kata : beberapa kosa kata berikut menunjukkan ragam baku dan ragam

tidak baku kata-kata dalam bahasa Indonesia.

- Baku : bagaimana, mengapa, begini, begitu, memberi, membuat, pergi,

tidak, sudah, dan sebagainya.

- Tidak baku : gimana, kenapa, gini, gitu, kasih, bikin, tak, udah, dan

sebagainya.

d. Tata bahasa : beberapa bentuk kata dan struktur kalimat dibawah ini

menunjukkan ragam baku dan tidak baku.

Baku

- Ia terus tertawa

- Kuliah sudah berjalan lagi

- Ayahnya mengatakan

begini

Tidak baku

- Ia terus ketawa

- Kuliah udah jalan lagi

(41)

commit to user

e. Lafal : lafal baku bahasa Indonesia ialah lafal bahasa Indonesia yang relatif

bebas dari atau sedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek

setempat.

Dalam setiap masyarakat bahasa, tidak ada seorang pembicara pun yang

menggunakan satu ragam bahasa saja. Orang Indonesia yang mempunyai banyak

bahasa, banyak ragam bahasa, serta banyak bahasa daerah, biasanya

menggunakan ragam bahasa yang banyak pula, tergantung pada

bermacam-macam faktor dan situasi. Di dalam bahasa Indonesia tukar-menukar bahasa yang

digunakan atau kode terjadi dalam berbagai kesempatan. Pada kelanjutannya

dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, proses penyisipan unsur bahasa kedaerahan

dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain ini dikenal dengan adanya interferensi,

alih kode, dan campur kode.

5. Interferensi

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk

menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya

persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh

penutur yang bilingual. Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si

penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh

bahasa lain. Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2),

dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau

bahasa ibu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).

Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti

(42)

commit to user

tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Jika penutur bahasa Jawa

mengucapkan kata-kata nama tempat yang berasal nama bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/

dengan penasalan di depannya, maka terjadilah interferensi tatabunyi atau

interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. Misalnya /mBandung/,

/nDeli/, /ngGombong/, /nJambi/ dan sebagainya (Suwito, 1991:65).

Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu

bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya,

sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an dari bahasa daerah (Jawa, Sunda),

dan afiks –(n) isasi, -is dari bahasa asing (Belanda, Inggris), misalnya dalam

kata-kata: kelanggar, kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan,

turinisasi, ikanisasi, agamais, Pancasilais, dan sebagainya. (Suwito, 1991:66).

Interferensi dalam bidang sintaksis dapat dilihat pada contoh kalimat

dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa – Indonesia dalam berbahasa

Indonesia yang berbunyi “ Di sini toko Laris yang mahal sendiri”. Kalimat

bahasa Indonesia itu berstuktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya

“Neng kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam bahasa Indonesia

merupakan terjemahan kata dhewe dalam bahasa Jawa, seperti pada kalimat

“Neng ngomah dhewe” (di rumah sendiri), “ Aku krungu dhewe” (Aku

mendengar sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata „sing’ dan

adjektif adalah berarti „paling’, dhuwur dhewe, apik dhewe, sing larang dhewe.

Dalam bahasa Indonesia baku kalimat di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris

adalah toko yang paling mahal di sini”.

Apabila dalam bahasa Indonesia terdapat struktur kalimat seperti

(43)

commit to user

telah dimakan oleh saya”, atau “Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin”

dan sebagainya, maka dalam stuktur kalimat itu terserap struktur kalimat dari

bahasa lain. Padanan struktur kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia

ialah “ Rumah ayah Ali yang paling besar di kampung itu”, “Makanan itu telah

saya makan” dan “ Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” (Suwito,

1991:66-67).

6. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode

a. Kode

Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian di dalam

hierarki kebahasaan. Selain kode juga dikenal varian lain; misalnya varian

regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, varian kegunaan dan sebagainya. Yang

dimaksud varian di sini adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh

faktor tertentu. Dari sudut lain varian regional sering disebut juga dialek geografis

yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Varian kelas

sosial sering disebut dialek sosial. Ragam dan gaya dirangkum laras bahasa,

sedangkan varian kegunaan disebut sebagai register. Masing- masing varian

merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk

dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (Suwito,

1991:78).

Kode didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur

bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi

(44)

commit to user

varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat

bahasa (Soepomo Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001:21-22).

Dalam kajian sosiolinguistik sudah ditemukan pada umumnya orang

berganti kode itu tidak seenaknya saja, melainkan mengikuti pola-pola tertentu.

Untuk dapat mencarikan polanya itu dan menerangkan dengan tepat, maka tentu

diperlukan penelitian dengan hati-hati dan seksama (Khaidir Anwar, 1990:41).

b. Alih kode

1) Pengertian Alih Kode

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang

lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya

bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa

Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (

code-switching ). Namun karena di dalam kode terdapat berbagai kemungkinan

varian ( baik varian regional, varian klas sosial, ragam, gaya, ataupun register)

maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya

atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkat-tingkat

tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito, 1991:80).

Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:107)

mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena

berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel, Hymes (dalam Suwito, 1991:81)

mengatakan bahwa “ alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian

(peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa gaya dalam satu ragam ”.

(45)

commit to user

terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.

Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa

nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah , atau antar beberapa

ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek, alih kode seperti itu bersifat

intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing,

maka disebut alih kode ekstern.

2) Ciri-ciri Alih Kode

Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan

bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di

dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur

menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikit pun memanfaatkan

bahasa atau unsur bahasa yang lain. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa

(atau lebih) ditandai atau mempunyai ciri-ciri : (1) masing- masing bahasa masih

mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi

masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks

(Suwito, 1991:80).

Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001:20) memilahkan alih kode

menjadi dua, yaitu apa yang disebut dengan 1) alih kode intern (internal code

switching) yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa

nasional, antardialek dalam suatu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan

gaya yang terdapat dalam suatu dialek, 2) alih kode ekstern (external code

(46)

commit to user 3) Latar Belakang Terjadinya Alih Kode

Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:108)

menjelaskan bahwa “penyebab terjadinya alih kode harus dikembalikan kepada

pokok permasalahan dalam sosiolinguistik, yaitu mengenai siapa yang berbicara,

dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan , dengan tujuan apa”.

Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh

faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor-faktor-faktor yang bersifat sosio-situasional.

Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya alih kode adalah :

(a) Penutur

Seorang penutur kadang-kadang secara sadar berusaha beralih kode

terhadap lawan tuturnya. Usaha yang demikian dimaksudkan untuk mengubah

situasi, mungkin dari situasi yang resmi ke situasi tak resmi. Dengan situasi yang

tidak resmi diharapkan masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah

dipecahkan.

(b) Lawan Tutur

Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang

dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti

bahwa seorang penutur harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang

dihadapinya.

(c) Hadirnya Penutur Ketiga

Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya

saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Namun, jika terdapat

(47)

commit to user

yang ketiga. Hal ini untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya

orang ketiga tersebut.

(d) Pokok Pembicaraan ( Topik )

Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan terciptanya sebuah alih

kode. Pokok pembicaraan atau topik dapat dibedakan menjadi dua; 1) pokok

pembicaraan yang bersifat formal, misalnya: masalah kedinasan, keilmuan dsb. 2)

pokok pembicaraan yang bersifat nonformal misalnya: kekeluargaan,

persaudaraan, kesetiakawanan dsb.

(e) Untuk Membangkitkan Rasa Humor

Alih kode kadang sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, dan

seorang pelawak untuk membangkitkan rasa humor sesorang. Tujuannya adalah

untuk menyegarkan suasana yang mulai lesu. Alih kode demikian mungkin

berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara.

(f) Untuk Sekedar Bergengsi

Hal ini terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan

faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk

beralih kode. Dengan kata lain baik fungsi kontekstual maupun situasi

relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1991:85-87).

c. Campur kode

1) Pengertian Campur Kode

Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan

mengenai campur kode. Peristiwa alih kode dan campur kode merupakan hal yang

(48)

commit to user

masyarakat bilingual, tetapi juga monolingual seperti yang terdapat dalam

fenomena kebahasaan di dalam RCB.

Subyakto (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan campur kode “

ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara

orang-orang yang kita kenal dengan akrab”. Selanjutnya, Kridalaksana (dalam

Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan “ campur kode antara lain berarti

penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya

dan ragam bahasa, termasuk di dalam pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan

sebagainya”.

2) Ciri-ciri Campur Kode

Ciri dari gejala campur kode adalah unsur-unsur bahasa atau

variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai unsur

tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan

secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal

campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguislistic convergen) yang

unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah

menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur

yang demikian dapat dibedakan menjadi dua; 1) yang bersumber dari bahasa asli

dengan segala variasi-variasinya, yang selanjutnya campur kode dengan

unsur-unsur golongan ini disebut campur kode ke dalam (inner code mixing), 2)

bersumber dari bahasa asing, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-unsur

golongan ini disebut campur kode ke luar (outer code mixing) (Suwito,

(49)

commit to user

Beberapa hal yang menjadi ciri dari campur kode yaitu; 1) penggunaan

dua bahasa atau lebih, 2) berlangsung dalam situasi informal, santai atau akrab, 3)

tidak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut terjadinya campur

kode, dan 4) campur kode itu dapat berupa pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan,

dan sebagainya (Suwandi, 2008:88).

3) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode

Menurut Suwito (1991:90) latar belakang terjadinya campur kode pada

dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu; tipe yang berlatar belakang

pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan

(linguistic type). Kedua tipe ini saling bergantung dan tidak jarang bertumpang

tindih (overlap). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling

bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dapat diidentifikasi beberapa alasan

atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, alasan itu antara lain; a)

identifikasi peranan, b) identifikasi ragam, dan c) keinginan untuk menjelaskan

dan menafsirkan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan

edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur

melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status

sosialnya. Sedangkan, keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, tampak

karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain

(50)

commit to user 7. Penghilangan fonem dan Penambahan fonem

Badudu (1983:63) dalam Pelik-pelik Bahasa Indonesia menjelaskan

bahwa “gelaja fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam: penambahan fonem di

depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis,

dan penambahan fonem di akhir kata disebut paragog”. Contoh gejala protesis :

mas, lang, dan sa menjadi emas, elang, dan esa, stri dalam bahasa Sansekerta

menjadi istri, jati dalam bahasa Sansekerta menjadi sejati.

Proses selanjutnya ialah penambahan fonem. J.S Badudu (1983:63-64)

menjelaskan “gejala penghilangan fonem atau pelesapan fonem dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis,

penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di

akhir kata yang disebut apokop”. Contoh gejala aferesis : Umudik, umundur

menjadi mudik, mundur (um adalah sisipan, tetapi karena kata dasar berawal

vokal, maka sisipan ditempatkan di depan seperti awalan. Contoh gejala sinkop :

bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya, citcit menjadi cicit, dan sebagainya.

8. Interjeksi

Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan

pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam

ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai

teriakan yang lepas atau berdiri sendiri (inilah yang membedakannya dari partikel

fatis yang dapat muncul di bagian ujaran mana pun, tergantung dari maksud

(51)

commit to user

Interjeksi dapat ditemui dalam :

a. Bentuk dasar, seperti kata-kata:

aduh, aduhai, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih, cis, eh, hai, idih, ih,

lho, oh, nah, sip, wah, wahai, yaaa, dan sebagainya

b. Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa, atau penggalan

kalimat Arab. Contoh:

Alhamdulillah, astaga, brengsek, buset, dubilah, duilah, insya Allah,

masyaallah, syukur, halo, innalillahi, yahud, dan sebagainya.

Jenis-jenis interjeksi

Sub kategorisasi terhadap interjeksi merupakan subkategorisasi terhadap

perasaan yang diungkapkannya (Kridalaksana, 2005:121)

Menurut Harimurti Kridalaksana (2005:121) ,jenis-jenis interjeksi dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian:

ahoi, ayo, eh, hai, halo, he, sst, wahai

b. Interjeksi keheranan atau kekaguman:

aduhai, ai, amboi, astaga, asyoi, hmm, wah, yahud

c. Interjeksi kesakitan:

aduh

d. Interjeksi kesedihan:

Aduh

e. Interjeksi kekecewaan dan kesal:

(52)

commit to user

f. Interjeksi kekagetan:

lho, masyaallah, astagfirullah

g. Interje

Referensi

Dokumen terkait

kabar harian Jawa Pos edisi bulan Juni 2010.. Mendeskripsikan nilai rasa yang terkandung dalam bentuk pemakaian. disfemia pada rubrik Opini surat kabar harian Jawa

Menekankan pada makna yang terkandung dalam bentuk pemakaian bahasa sapaan untuk mendiskripsikan referensial bahasa sapaan pada wacana berita olahraga di surat kabar

Berdasarkan analisis penelitian dapat disimpulkan bentuk gaya bahasa sarkasme pada judul rubrik kriminal di surat kabar harian Meteor berupa ejekan yang terdiri atas

Penulis tertarik untuk mengambil penggunaan disfemia yang terdapat pada berita dalam harian Solopos, hal ini karena pemakaian bahasa pada surat kabar Solopos berbeda dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan isi dalam penyajian rubrik anak pada surat kabar Solopos dan surat kabar Suara Merdeka selama

Mengkaji makna pemakaian disfemia pada Rubrik Gagasan Surat Kabar. Solopos Edisi Januari –

Penggunaan bahasa oleh masyarakat luas dalam sebuah pesan SMS di surat kabar Padang Ekspres mempunyai makna dan dari sebuah pesan ini pembaca dapat mengetahui perkembangan bahasa

Rubrik “Wacana” dalam Surat Kabar Suara Merdeka Edisi Januari-Maret 2017. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra