• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PEMAKAIAN BAHASA

DALAM RUBRIK CELATHU BUTET

PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA

(Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

DEDI ROHMADI

C0204015

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Dedi Rohmadi NIM : C0204015

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.

Surakarta, 26 Januari 2011 Yang membuat pernyataan,

(5)

commit to user

v

MOTTO

Setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang besar, tanpa menyadari, bahwa hidup itu adalah kumpulan dari hal-hal kecil

(Frank Clark)

Mendapatkan yang Anda kejar adalah kesuksesan, tetapi mencintai perjalanan selama Anda berusaha mendapatkannya itulah kebahagiaan

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Kuselesaikan skripsi ini untuk kupersembahkan:

 Kepada bapak dan ibu terkasih yang selalu berdoa dalam setiap langkahku. Pengorbananmu adalah detak nadi kehidupanku.

 Adikku Nining dan tante Atun untuk semangat dan dorongan selama ini.  Nadia, setiap detik waktu yang dijalani adalah keindahan.

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Soedarno, M. A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kepercayaan dan kemudahan kepada peneliti selama penyusunan skripsi.

3. Drs. Wiranta, M.S., selaku pembimbing akademik yang selalu memberi semangat, motivasi, dan nasihat kepada peneliti selama menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

4. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

commit to user

viii

5. Segenap dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada peneliti.

6. Staf perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kelonggaran kepada peneliti untuk membaca dan meminjam buku-buku referensi yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibu dan Bapak yang telah memberi kasih sayang, doa restu, dan

keleluasaan peneliti dalam menentukan pilihan.

8. Dhamang, Achmadi, Ardi, Andri, Adit, Rulis, Deni, Bayu, dan Riza terima kasih telah memberikan warna dan kenangan terindah, serta dorongan dan semangat bagi peneliti.

9. Kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2004 terima kasih atas indahnya kebersamaan yang telah dijalani selama ini.

10.Semua pihak yang telah membantu peneliti selama penyusunan skripsi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu oleh peneliti dalam kesempatan ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan karya ini.

Surakarta, Januari 2011

(9)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

JUDUL ……… i

LEMBAR PERSETUJUAN ………... ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv

MOTTO ……….….. v

PERSEMBAHAN ……….. vi

KATA PENGANTAR ……… vii

DAFTAR ISI ……….. ix

DAFTAR SINGKATAN... xii

DAFTAR TANDA... xiii

ABSTRAK ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pembatasan Masalah ………... 6

C. Perumusan Masalah ……….... 6

D. Tujuan Penelitian ……….... 7

E. Manfaat Penelitian ……….. 7

F. Sistematika Penulisan ………. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR... 9

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..………... 9

B. Landasan Teori……….………..…... 11

(10)

commit to user

x

2. Sosiolinguistik…... 13

3. Variasi Bahasa…………... 14

4. Ragam Bahasa Formal dan Informal………. 23

5. Interferensi…... 25

6. Kode, Alih Kode dan Campur Kode... 27

7. Penghilangan dan Penambahan Fonem………. 34

8. Interjeksi……… 34

C. Kerangka Pikir... 37

BAB III METODE PENELITIAN... 39

A. Jenis Penelitian... 39

B. Data dan Sumber Data... 39

C. Populasi dan Sampel... 40

D. Teknik Pengumpulan Data... 41

E. Teknik Klasifikasi Data ………...… 43

F. Metode Analisis Data... 43

G. Penyajian Analisis Data... 45

BAB IV ANALISIS DATA... 46

A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB pada Surat Kabar SM……….. 46

1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ……… 47

2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ………….. 64

3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM …………. 66

4. Pelesapan dan Penambahan Fonem ………..…… 69

(11)

commit to user

xi

6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta ………. 77

B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam RCB pada Surat Kabar SM ….………... 80

BAB V PENUTUP... 87

A. Simpulan ……….……… 87

B. Saran ……….. 88

DAFTAR PUSTAKA ……… 89 LAMPIRAN DATA

(12)

commit to user xii

DAFTAR SINGKATAN

AK : Alih Kode CK : Campur Kode Interf : Interferensi Interj : Interjeksi

PDJ : Partikel Dialek Jakarta

PPF : Pelesapan dan Penambahan Fonem RCB : Rubrik Celathu Butet

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TANDA

(….) = terjemahan

/... / = satuan di dalamnya adalah fonem [...] = satuan fonetis

(14)

commit to user

xiv

ABSTRAK

Dedi Rohmadi. C0204015. 2010. Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : (1) Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ?(2) Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM?

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM. (2) Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa bentuk-bentuk pemakaian bahasa, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari sampai dengan September 2009. Teknik pengambilan data berupa teknik simak, teknik catat, dan teknik pustaka.

Berdasarkan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM ditemukan bentuk-bentuk pemanfaatan ragam informal yang ditandai dengan adanya pemakaian campur kode, alih kode, interferensi, adanya pelesapan dan penambahan fonem, pemanfaatan bentuk-bentuk interjeksi serta pemakaian partikel dialek Jakarta. (1) Campur kode yang terdapat dalam RCB meliputi pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan pemakaian unsur bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke luar (outer code mixing), (2)peristiwa alih kode dalam RCB didominasi oleh alih kode yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan (3) interferensi yang terjadi di dominasi oleh interferensi pada tataran kata atau interferensi morfologi. (4) Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi pelesapan konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. (5) Interjeksi digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan keheranan, seruan atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan sebagainya. (6) Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih, dong, dan deh.

Kedua, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer, receiver), (2) tempat pembicaraan, dan (3) suasana pembicaraan (situation scene).

(15)

commit to user

(16)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia. Dimiliki dan digunakannya bahasa merupakan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain guna menjalin kerja sama dan memecahkan atau menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Bahasa merupakan sarana utama yang digunakan manusia untuk mengungkapkan (dan tentu memahami) pikiran dan perasaan sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik (Sarwiji Suwandi, 2008:97)

Beragamnya pemakaian bahasa secara nyata menimbulkan keanekaragaman karakteristik kebahasaan. Pemanfaatan potensi bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilihat dari dunia pendidikan, pemerintahan, media massa elektronik, media massa cetak, dan hampir semua ranah kehidupan membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan informasi. Jadi bahasa memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa bahasa adalah “ sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri” (2001:21).

Salah satu bentuk pemakaian bahasa tulis dalam komunikasi adalah seperti yang ada dalam media massa cetak, dalam hal ini berupa surat kabar. Surat kabar sebagai salah satu media massa cetak mempunyai fungsi untuk menyampaikan berita kepada pembaca. Pada saat penulis menyampaikan isi

(17)

commit to user

pikiran tersebut terjadilah pemindahan informasi yang efisien. Jadi dalam hal ini, yang dipentingkan adalah pemakaian bahasa yang berorientasi kepada pembaca atau penerima dalam menangkap informasi secara benar. Surat kabar dalam menyampaikan informasi menggunakan media pengungkapan berupa bahasa.

Adanya berbagai macam bentuk pemakaian bahasa yang merupakan identitas penutur (penulis dalam bahasa tulis) atau kelompok masyarakat serta adanya bermacam gaya dalam konteks sosial seperti itu menunjukkan bahwa ada semacam korelasi antara kelas atau status sosial penulis dengan cara-cara pemakaian atau pemilihan bahasa. Ciri-ciri khusus tuturan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dapat dijadikan indikator untuk menunjukkan kelas atau status sosial mereka atau penulis di dalam masyarakat. Di samping itu, ketepatan pemilihan kata atau variasi bahasa dalam tuturannya dapat dijadikan petunjuk sejauh mana seorang penutur atau penulis menguasai bahasa yang sedang dipergunakannya.

Setiap penutur pasti mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak dipunyai oleh penutur lain dan membedakan dirinya dengan penutur lain. Sifat-sifat khusus ini ada yang sifatnya fisis-fisiologis dan ada pula yang sifatnya psikis-mentalistis. Perbedaan suara yang disebabkan karena perbedaan organ-organ bicara penuturnya adalah fisis-fisiologis, sedangkan perbedaan gaya adalah psikis-mentalistis. Dalam bahasa lisan sifat khusus fisis-fisiologis ini dapat kita lihat dengan mendengar suara dari tuturan-tuturan si penutur. Perbedaan-perbedaan organ ucap manusia juga menyebabkan artikulasi yang berbeda antara penutur satu dengan yang lain. Di samping itu, setiap penutur memiliki “warna suara” yang berbeda atau berlainan dengan penutur lain. Selain sifaf-sifat khusus yang

(18)

merupakan gejala fisiologis, perbedaan tuturan dapat kita kenal dengan memperhatikan gaya bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, ungkapan-ungkapan yang sering dipakainya dan sebagainya yang merupakan gejala psikis-mentalistis. Paduan antara sifat-sifat khusus yang demikian itu secara keseluruhan merupakan ciri-ciri khas bahasa seseorang yang membedakan dia (penutur dalam bahasa lisan dan penulis dalam bahasa tulis) dengan orang lain (Suwito, 1992:7)

Perbedaan-perbedaan pemakaian bahasa juga terjadi dalam penulisan artikel pada surat kabar. Seperti dalam penulisan kolom atau rubrik “Celathu Butet” yang dimuat dalam surat kabar Suara Merdeka. Rubrik “Celathu Butet” (selanjutnya akan disingkat RCB) adalah sebuah rubrik yang terdapat dalam surat kabar Suara Merdeka (selanjutnya disingkat SM) yang terbit setiap hari Minggu. Seperti namanya, RCB tersebut ditulis oleh budayawan dan aktor Butet Kertaradjasa. Rubrik ini terletak pada halaman pertama harian tersebut, berada pada samping kolom berita utama, di dalamnya terdapat judul dan karikatur wajah si penulis, dengan latar halaman berwarna biru. Jika dilihat dari jenisnya, maka rubrik ini termasuk dalam rubrik opini. Di dalamnya berisi opini serta pandangan penulisnya mengenai masalah-masalah serta gejala-gejala sosial, peristiwa-peristiwa yang sedang hangat ,atau hal-hal yang menjadi topik pembicaraan saat itu.

Rubrik ini menurut peneliti sangat menarik untuk dikaji menjadi sebuah penelitian tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasanya. Sebagai sebuah rubrik opini dalam surat kabar, rubrik ini mempunyai gaya penulisan yang membedakannya dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik sejenis pada surat kabar lainnya, baik itu perbedaan yang meliputi gaya

(19)

commit to user

bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, dan ungkapan-ungkapannya. RCB banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah pendapat atau opini. Mengingat latar belakang penulis yang berlatar belakang budaya Jawa, maka tulisan dalam rubrik ini sangat kental dengan dialek-dialek bahasa Jawa, di samping ada juga pemakaian dialek Betawi dan pemakaian bahasa asing.

Dalam bahasa lisan, struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat tidak cermat hal tersebut tentu berbeda dengan bentuk atau ragam tulis, sebab bahasa tulis memiliki aturan-aturan atau kaidah penulisan yang tidak dapat dilanggar, tetapi tampaknya aturan-aturan tersebut tidak berlaku dalam penulisan RCB ini. Bila dilihat, ragam lisan yang disalin ke dalam bentuk tulis ini tidak mendapat perbaikan-perbaikan dan memang tidak memperhatikan kaidah atau aturan penulisan yang baik dan benar. Struktur kalimat dan pilihan katanya jelas tidak mendapat perbaikan dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku atau ejaan yang disempurnakan. Akan tetapi, justru hal tersebut yang membuat rubrik ini menarik dan berbeda dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik sejenis pada surat kabar lainnya. Bahasa yang dipakai oleh penulis menjadi ringan untuk dicerna atau dipahami maksudnya oleh para pembaca yang berasal dari berbagai kalangan profesi, pendidikan, jabatan dan berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda.

Kekhasan pemakaian bahasa dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM ini sangat menarik untuk diteliti. Penulis rubrik ini mencoba untuk menuangkan gagasan-gagasan, opini, maupun kritik tentang fenomena-fenomena

(20)

dan gejala sosial tentang keadaan lingkungan di sekitarnya, baik itu tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan ,dan sebagainya ke dalam sebuah bahasa yang khas atau berbeda dibandingkan dengan rubrik atau tulisan lain yang dimuat dalam media yang sama, yaitu surat kabar Suara Merdeka atau bahkan dengan rubrik-rubrik sejenis yang ditulis pada surat kabar yang berbeda. Topik-topik yang dibahas dalam rubrik ini yang terlihat berat untuk diungkapkan, tetapi oleh penulis terkesan menjadi ringan untuk diungkap karena penulis mengemasnya sedemikian rupa agar lebih menarik, hal-hal inilah yang menjadi karakter khas yang menjadi ciri kebahasaan yang digunakan oleh Butet Kertaradjasa dalam RCB.

Diksi atau pilihan kata yang dipakai oleh penulis terkesan lebih santai atau tidak formal sehingga mudah untuk dipahami. Pemakaian ejaan-ejaan serta kata-kata tidak baku yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta penggunaan karakter kebahasaan yang banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah pendapat atau opini juga merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengambil kajian tentang pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB yang terbit dalam surat kabar SM. Kajian tersebut mengenai pemakaian bahasa yang digunakan dalam sebuah rubrik pada surat kabar yang dilihat dari pendekatan sosiolinguistik. Pengetahuan dari sosiolinguistik ini dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya

(21)

commit to user

bahasa apa yang harus digunakan ketika berbicara dengan orang lain atau berinteraksi dengan pembaca. Faktor-faktor inilah yang mendasari peneliti untuk mengambil judul penelitian Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik.

B. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan dan untuk mengarahkan penelitian ini agar lebih mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka sangat diperlukan adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dibatasi pada pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM yang diterbitkan setiap hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.

C. Perumusan Masalah

Agar dalam pembatasan arah dan tujuan penelitian ini jelas, maka diperlukan suatu perumusan masalah. Artinya masalah yang hendak diteliti perlu diidentifikasi secara lebih terinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan yang operasional. Yaitu pernyataan-pernyataan yang mengarahkan, sekaligus membatasi ke perumusan masalah (Edi Subroto, 1992:39).

Dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM?

2. Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM?

(22)

D. Tujuan Penelitian

Penelitian yang ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas mengingat penelitian harus mempunyai arah sasaran yang jelas dan tepat. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM.

2. Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa pada RCB pada surat kabar SM.

E. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pada hakikatnya diharapkan memiliki manfaat, baik secara praktis maupun secara teoretis. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Edi Subroto bahwa “...di samping memberikan sumbangan ke arah pengembangan ilmu, juga hendaknya ikut memberikan pemecahan masalah yang bersifat praktis....” (Edi Subroto, 1992:91). Adapun manfaat yang dapat dipetik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas wawasan kebahasaan, khususnya linguistik, dalam hal ini adalah kebahasaan dalam lingkup sosiolinguistik khususnya mengenai pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada sebuah surat kabar.

2. Manfaat praktis

(23)

commit to user

pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada surat kabar. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti maupun pembaca khususnya dalam hal memahami bentuk pemakaian bahasa yang terdapat pada sebuah rubrik pada surat kabar.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penguraian dalam suatu penelitian maka diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang di dalamnya memuat permasalahaan yang tetap merupakan satu kesatuan pikiran yang saling berkaitan. Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab pertama memuat pendahuluan, yang di dalamnya menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan kajian pustaka, bab ini membahas tentang beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji. Teori-teori tersebut digunakan sebagai landasan dalam penganalisisan data.

Bab ketiga berupa metode penelitian, bab ini berisi penjelasan mengenai jenis penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab keempat merupakan analisis data, bab ini menguraikan analisis terhadap data-data yang menjadi objek penelitian.

Bab kelima merupakan penutup dari semua uraian bab-bab sebelumnya yang berisi tentang simpulan dan saran.

(24)
(25)

commit to user

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa studi terdahulu yang relevan telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya adalah Septi Nur Hanani, dan Yovi Ariani W.S. Penelitian yang pernah dilakukan tersebut antara lain sebagai berikut:

Septi Nur Hanani (2005) dalam skripsi yang berjudul Rubrik “Sungguh-sungguh Terjadi” dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik), mendeskripsikan analisisnya sebagai berikut: (1) karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST meliputi pemakaian ragam informal, ragam percakapan, singkatan dan akronim, pemanfaatan bentuk slang, pemanfaatan gaya bahasa seperti hiperbola, repetisi, personifikasi, elipsis, pemakaian idiom, campur kode, alih kode, serta interferensi, (2) aspek humor dapat diketahui dengan beberapa teknik antara lain teknik keambiguan, teknik pertentangan makna, teknik logika yang terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika bahasa, penyimpangan logika makna, dan teknik membandingkan yang tidak logis, (3) fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik meliputi sarana menghibur, sarana menyampaikan informasi, sarana mendidik, sarana mempengaruhi masyarakat sebagai pembaca.

Skripsi Yovi Ariani W.S (2006) yang berjudul “Pemakaian Bahasa Indonesia pada Kriing Solopos: Pendekatan Sosio-pragmatik, mendeskripsikan adanya pemanfaatan ragam informal dalam rubrik Kriing Solopos menyebabkan terjadinya campur kode, alih kode, dan interferensi/ penyimpangan dalam suatu tuturan. Adanya tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif,

(26)

komisif, dan deklaratif. Juga pembahasan tentang maksud yang terkandung di balik tuturan dalam rubrik Kriing Solopos, adalah untuk memohon, menyuruh, menyarankan, menyindir, dan mengkritik yang disampaikan dengan kalimat berita. Kalimat tanya dapat digunakan untuk menyuruh melakukan sesuatu dan menyindir. Maksud menyarankan juga dapat disampaikan dengan kalimat perintah. Maksud yang tersurat dilakukan oleh penutur untuk lebih memperhalus tuturannya.

Berbeda dengan penelitian terdahulu, peneliti mengambil sebuah penelitian yang bertajuk “Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik yang ditulis oleh seorang aktor dan budayawan Butet Kertaradjasa yaitu RCB yang dimuat pada surat kabar SM dengan menggunakan tinjauan sosiolinguistik. Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, sedangkan sumber data yang dipergunakan oleh peneliti adalah sumber data tertulis pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit pada hari Minggu.

(27)

commit to user

B. Landasan Teori

1. Fungsi Bahasa

Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.

a. Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah atau gembira.

b. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan.

c. Dilihat dai segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik, yaitu menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas social. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa,

(28)

pamit, membicarakan cuaca, atau menyakan keluarga. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah. Misalnya “Bagaimana anak-anak?”, “Mau kemana nih?”, dan sebagainya

d. Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapan seperti “Ibu dosen itu cantik sekali” adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial.

e. Dilihat dari kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa, juga dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk menjelaskan arti bahasa (dalam kata) itu sendiri.

f. Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan, maka bahasa itu berfungsi imaginative. Sesungguhnya, bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang sebenarnya, maupun yang berbentuk imajinasi (khayalan atau rekaan) saja. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para pendengarnya (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:14-17).

(29)

commit to user 2. Sosiolinguistik

Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas bahwa sosiolinguistik mempertimbangkan keterkaitan antara dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi kebahasaannya dan dengan sosiologi untuk segi kemayarakatannya. Batasan pengertian sosiolinguistik yang menekankan studi bahasa dalam hubungan dengan masyarakat dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah pendapat Appel (dalam Suwito, 1991:3), “ Sosiolinguistik memandang bahasa, pertama-tama sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sehingga pemakaian bahasa (language use) sudah sebagai bentuk interaksi dalam situasi yang konkret”.

Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian sosiolinguistik adalah “cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dengan perilaku sosial” (Harimurti Kridalaksana, 2001:201). Pendapat yang lain mengatakan bahwa sosiolinguistik “merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang pemakaian bahasa di lingkungan masyarakat atau dapat juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial)” (P.W.J Nababan, 1993:2).

Mansoer Pateda mendefinisikan sosiolinguistik sebagai “suatu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya” (Mansoer Pateda, 1987:3). Kajian sosiolinguistik selalu

(30)

bersifat kontekstual, artinya di dalam analisisnya konteks pemakaian bahasa dalam masyarakat selalu diperhitungkan. Sosiolinguistik sendiri didefinisikan sebagai “subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau faktor sosial” (Soeparno, 2002:25).

Fishman (dalam Suwito, 1991:5) melihat sosiolinguistik dari sudut adanya hubungan antara variasi bahasa, fungsi bahasa dan pemakaian bahasa serta adanya perubahan-perubahan sebagai akibat terjadinya interaksi antara ketiganya, dan memberikan batasan sosiolingusitik sebagai studi tentang sifat-sifat khusus (karakteristik) variasi bahasa, sifat-sifat khusus fungsi bahasa dan sifat-sifat khusus pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta perubahan-perubahan antara ketiganya dalam masyarakat tutur. Baik dalam memahami bentuk tutur, arti dan perubahan dalam bahasa segi konteks pemakaian selalu diperhitungkan.

3. Variasi Bahasa

Para ahli linguistik cenderung menganggap bahasa sebagai sesuatu yang tidak bervariasi. Jika terdapat variasi dalam bahasa , variasi-variasi itu dianggap tidak penting dan bila dibicarakan hanya ditinjau sepintas saja. Sebaliknya, bagi ahli sosiolinguistik variasi-variasi bahasa itu penting sekali. Variasi-variasi yang terdapat dalam bahasa manapun merupakan salah satu ciri dari kehidupan sebuah bahasa dalam masyarakat pemakai bahasa itu (Khaidir Anwar, 1990:20).

Mansoer Pateda (1991:84) beranggapan bahwa “Faktor dominan yang lain yang tentunya sangat mempengaruhi suatu komunikasi adalah adanya variasi-variasi di dalam suatu bahasa”. Mansoer Pateda membagi variasi-variasi bahasa

(31)

commit to user

berdasarkan a) tempat, b) waktu, c) pemakai, d) pemakaiannya, e) situasi dan f) status”.

Variasi bahasa jika ditinjau dari segi tempat akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek regional, yang dilihat dari segi waktu akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek temporal, yang dilihat dari segi pemakai menghasilkan apa yang disebut idiolek, berdasarkan kelamin, monolingual, status sosial dan yang berdasarkan umur. Variasi dari segi pemakaiannya menghasilkan apa yang disebut kreol, bahasa lisan, pijin, register, repertories, reputasi, standar bahasa tulis, bahasa tutur sapa, jargon. Selanjutnya variasi bahasa yang dilihat dari segi situasi dapat dibagi atas variasi bahasa situasi formal dan yang non formal, sedangkan variasi bahasa yang dilihat dari segi status dapat dibagi atas bahasa ibu, bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa persatuan, bahasa resmi. Hal tersebut akan terlihat pada kita bahwa komunikasi yang menggunakan bahasa formal berbeda dengan komunikasi pada situasi nonformal ( Mansoer Pateda, 1991:84).

Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:63) dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang

(32)

beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.

Berikut pengklasifikasian variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62).

a. Variasi dari segi penutur

1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.

2) Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.

3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi masa tahun lima puluhan, dan seterusnya.

4) Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya.

Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi yang

(33)

commit to user

disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan bahasa prokem (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66)

Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari variasi lainnya. Sebagai contoh adalah yang disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus dipakai oleh para bangsawan kraton Jawa.

Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dipandang rendah. Contohnya bahasa Inggris yang dipakai oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek.

Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.

Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat temporal, dan lebih umum digunakan oleh kawula muda, meski kawula tua pun ada juga yang menggunakannya.

Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari – hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam percakapan bahasa Indonesia banyak digunakan bentuk – bentuk kolokial, seperti

(34)

dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya, dalam kelompok montir atau perbengkelan terdapat ungkapan-ungkapan seperti rodagila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles, dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak pengkhususan argot adalah pada kosakata, misalnya dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti „mangsa‟, kacamata berarti „polisi‟, daun yang berarti „ uang‟, gemuk yang berarti „mangsa besar‟, tape yang berarti „mangsa empuk‟.

Yang dimaksud dengan ken (Inggris : cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas“, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis) (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66 -67).

b. Variasi dari segi pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.

(35)

commit to user

Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.

c. Variasi dari segi keformalan

Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:70) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris : Style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).

d. Variasi dari segi sarana

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf.

Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:100) menegaskan bahwa tingkat formalitas dalam pemakaian bahasa mengacu pada style. Menurutnya, dalam pemakaian bahasa Inggris, terdapat lima tingkat yakni, frozen, formal, consultative, casual, dan intimate. Ia juga beranggapan bahwa dalam bahasa Indonesia pun gaya yang demikian dapat dibagi atas lima tingkat;

a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi, yang dipergunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi.

(36)

Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti Undang-Undang Dasar.

b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya.

c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat yang berorientasi pada hasil. Ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.

d. Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya

e. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.

Pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan oleh sejumlah faktor penentu. Menurut Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:99), faktor penentu itu antara lain, adalah siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik), dalam situasi (setting), yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan, lisan, telegram, dan sebagainya). Dell Hymes (dalam Hamid Hasan Lubis, 1994:84) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING. Yang berturut-turut dimaksudkan sebagai berikut S (Setting and scenes), P (Participants), E (Ends), A ( Act

(37)

commit to user

sequences), K (Keys), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Di bawah ini penjelasan secara singkat komponen tutur tersebut

a. Settings and scenes (tempat dan suasana tuturan)

Settings and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan.

b. Partisipants (peserta tutur)

Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga. c. Ends (tujuan)

Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering pula disebut sebagai tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk memelihara kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah tuturan.

d. Act sequence (pokok tuturan)

Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan

(38)

pokok tuturan itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur.

e. Keys (nada tutur)

Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya.

f. Instruments (sarana tutur)

Sarana tutur menunjuk pada saluran tutur (chanels) dan bentuk tutur (form of speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai sisten mandiri, dialek, dan variasi-variasi bahasa yang lainnya. Bentuk tutur akan banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai oleh penutur itu di dalam bertutur.

g. Norms (norma tutur)

Norma tutur dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm) dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk

(39)

commit to user

memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.

h. Genre (jenis tutur)

Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana misalnya percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur (Sarwiji Suwandi, 2008:99-100).

4. Ragam Bahasa Formal dan Informal

Menurut Suwito (1992:13) “ketika seseorang berkomunikasi dalam situasi tuturan yang tidak resmi/informal, atau dalam tuturan yang bersifat intim dan santai maka variasi bahasa yang digunakan adalah bahasa intim, bahasa santai atau ragam bahasa yang bersifat informal. Bahasa seperti itu ditandai antara lain dengan munculnya bentuk-bentuk yang tidak lengkap, penanggalan afiks, susunan kalimat yang tidak begitu tertib, sistem fonologi yang kurang teratur, dan pemilihan kata yang seenaknya”.

Antara fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat hubungannya, sebab ragam bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam suatu peristiwa bergantung kepada situasinya. Dalam situasi resmi atau formal hendaknya dipergunakan ragam bahasa baku, seperti dalam surat-menyurat resmi, administrasi pemerintahan dan sebagainya. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak resmi atau informal tidak perlu dipergunakan ragam baku, seperti situasi pembicaraan di dalam rumah, pinggir jalan, dan sebagainya (Suwito, 1992:44)

(40)

Secara keseluruhan ragam baku itu hanya ada satu dalam sebuah bahasa. Dengan kata lain ragam-ragam selebihnya, termasuk dialek adalah ragam nonbaku. Dari sudut kebahasaan, perbedaan antara baku dan nonbaku tentu ada dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa kata, dan tata kalimat. Berikut ini adalah ciri-ciri dari ragam baku yang dikemukakan oleh Suwito (1992:49).

a. Ejaan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan tata tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).

b. Peristilahan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang cara atau tertib pembentukan istilahnya berpedoman kepada pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia (PUPI).

c. Kosa kata : beberapa kosa kata berikut menunjukkan ragam baku dan ragam tidak baku kata-kata dalam bahasa Indonesia.

- Baku : bagaimana, mengapa, begini, begitu, memberi, membuat, pergi, tidak, sudah, dan sebagainya.

- Tidak baku : gimana, kenapa, gini, gitu, kasih, bikin, tak, udah, dan sebagainya.

d. Tata bahasa : beberapa bentuk kata dan struktur kalimat dibawah ini menunjukkan ragam baku dan tidak baku.

Baku - Ia terus tertawa

- Kuliah sudah berjalan lagi - Ayahnya mengatakan

begini

Tidak baku - Ia terus ketawa

- Kuliah udah jalan lagi - Ayahnya ngatain gini

(41)

commit to user

e. Lafal : lafal baku bahasa Indonesia ialah lafal bahasa Indonesia yang relatif bebas dari atau sedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek setempat.

Dalam setiap masyarakat bahasa, tidak ada seorang pembicara pun yang menggunakan satu ragam bahasa saja. Orang Indonesia yang mempunyai banyak bahasa, banyak ragam bahasa, serta banyak bahasa daerah, biasanya menggunakan ragam bahasa yang banyak pula, tergantung pada bermacam-macam faktor dan situasi. Di dalam bahasa Indonesia tukar-menukar bahasa yang digunakan atau kode terjadi dalam berbagai kesempatan. Pada kelanjutannya dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, proses penyisipan unsur bahasa kedaerahan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain ini dikenal dengan adanya interferensi, alih kode, dan campur kode.

5. Interferensi

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).

Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi,

(42)

commit to user

tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata nama tempat yang berasal nama bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/ dengan penasalan di depannya, maka terjadilah interferensi tatabunyi atau interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. Misalnya /mBandung/, /nDeli/, /ngGombong/, /nJambi/ dan sebagainya (Suwito, 1991:65).

Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya, sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an dari bahasa daerah (Jawa, Sunda), dan afiks –(n) isasi, -is dari bahasa asing (Belanda, Inggris), misalnya dalam kata-kata: kelanggar, kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, turinisasi, ikanisasi, agamais, Pancasilais, dan sebagainya. (Suwito, 1991:66).

Interferensi dalam bidang sintaksis dapat dilihat pada contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa – Indonesia dalam berbahasa Indonesia yang berbunyi “ Di sini toko Laris yang mahal sendiri”. Kalimat bahasa Indonesia itu berstuktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya “Neng kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan kata dhewe dalam bahasa Jawa, seperti pada kalimat “Neng ngomah dhewe” (di rumah sendiri), “ Aku krungu dhewe” (Aku mendengar sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata „sing’ dan adjektif adalah berarti „paling’, dhuwur dhewe, apik dhewe, sing larang dhewe. Dalam bahasa Indonesia baku kalimat di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”.

Apabila dalam bahasa Indonesia terdapat struktur kalimat seperti “Rumahnya Ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu” atau “Makanan itu

(43)

commit to user

telah dimakan oleh saya”, atau “Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” dan sebagainya, maka dalam stuktur kalimat itu terserap struktur kalimat dari bahasa lain. Padanan struktur kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia ialah “ Rumah ayah Ali yang paling besar di kampung itu”, “Makanan itu telah saya makan” dan “ Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” (Suwito, 1991:66-67).

6. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode a. Kode

Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan. Selain kode juga dikenal varian lain; misalnya varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, varian kegunaan dan sebagainya. Yang dimaksud varian di sini adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu. Dari sudut lain varian regional sering disebut juga dialek geografis yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Varian kelas sosial sering disebut dialek sosial. Ragam dan gaya dirangkum laras bahasa, sedangkan varian kegunaan disebut sebagai register. Masing- masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (Suwito, 1991:78).

Kode didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk

(44)

commit to user

varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Soepomo Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001:21-22).

Dalam kajian sosiolinguistik sudah ditemukan pada umumnya orang berganti kode itu tidak seenaknya saja, melainkan mengikuti pola-pola tertentu. Untuk dapat mencarikan polanya itu dan menerangkan dengan tepat, maka tentu diperlukan penelitian dengan hati-hati dan seksama (Khaidir Anwar, 1990:41).

b. Alih kode

1) Pengertian Alih Kode

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode ( code-switching ). Namun karena di dalam kode terdapat berbagai kemungkinan varian ( baik varian regional, varian klas sosial, ragam, gaya, ataupun register) maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkat-tingkat tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito, 1991:80).

Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel, Hymes (dalam Suwito, 1991:81) mengatakan bahwa “ alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa gaya dalam satu ragam ”. Jadi menurutnya alih kode tidak hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga

(45)

commit to user

terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah , atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek, alih kode seperti itu bersifat intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern.

2) Ciri-ciri Alih Kode

Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa (atau lebih) ditandai atau mempunyai ciri-ciri : (1) masing- masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks (Suwito, 1991:80).

Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001:20) memilahkan alih kode menjadi dua, yaitu apa yang disebut dengan 1) alih kode intern (internal code switching) yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam suatu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek, 2) alih kode ekstern (external code switching) adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing.

(46)

commit to user

3) Latar Belakang Terjadinya Alih Kode

Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:108) menjelaskan bahwa “penyebab terjadinya alih kode harus dikembalikan kepada pokok permasalahan dalam sosiolinguistik, yaitu mengenai siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan , dengan tujuan apa”.

Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor-faktor-faktor yang bersifat sosio-situasional. Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya alih kode adalah :

(a) Penutur

Seorang penutur kadang-kadang secara sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya. Usaha yang demikian dimaksudkan untuk mengubah situasi, mungkin dari situasi yang resmi ke situasi tak resmi. Dengan situasi yang tidak resmi diharapkan masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan.

(b) Lawan Tutur

Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti bahwa seorang penutur harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya.

(c) Hadirnya Penutur Ketiga

Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Namun, jika terdapat penutur ketiga maka kedua penutur sebelumnya akan beralih kode ke penutur

(47)

commit to user

yang ketiga. Hal ini untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut.

(d) Pokok Pembicaraan ( Topik )

Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan terciptanya sebuah alih kode. Pokok pembicaraan atau topik dapat dibedakan menjadi dua; 1) pokok pembicaraan yang bersifat formal, misalnya: masalah kedinasan, keilmuan dsb. 2) pokok pembicaraan yang bersifat nonformal misalnya: kekeluargaan, persaudaraan, kesetiakawanan dsb.

(e) Untuk Membangkitkan Rasa Humor

Alih kode kadang sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, dan seorang pelawak untuk membangkitkan rasa humor sesorang. Tujuannya adalah untuk menyegarkan suasana yang mulai lesu. Alih kode demikian mungkin berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara.

(f) Untuk Sekedar Bergengsi

Hal ini terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. Dengan kata lain baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1991:85-87).

c. Campur kode

1) Pengertian Campur Kode

Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Peristiwa alih kode dan campur kode merupakan hal yang sering terjadi dalam kegiatan komunikasi, tidak saja di kalangan orang atau

(48)

commit to user

masyarakat bilingual, tetapi juga monolingual seperti yang terdapat dalam fenomena kebahasaan di dalam RCB.

Subyakto (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan campur kode “ ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab”. Selanjutnya, Kridalaksana (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan “ campur kode antara lain berarti penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya dan ragam bahasa, termasuk di dalam pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya”.

2) Ciri-ciri Campur Kode

Ciri dari gejala campur kode adalah unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai unsur tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguislistic convergen) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur yang demikian dapat dibedakan menjadi dua; 1) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-unsur golongan ini disebut campur kode ke dalam (inner code mixing), 2) bersumber dari bahasa asing, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-unsur golongan ini disebut campur kode ke luar (outer code mixing) (Suwito, 1991:88-89).

(49)

commit to user

Beberapa hal yang menjadi ciri dari campur kode yaitu; 1) penggunaan dua bahasa atau lebih, 2) berlangsung dalam situasi informal, santai atau akrab, 3) tidak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut terjadinya campur kode, dan 4) campur kode itu dapat berupa pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Suwandi, 2008:88).

3) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode

Menurut Suwito (1991:90) latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu; tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe ini saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih (overlap). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dapat diidentifikasi beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, alasan itu antara lain; a) identifikasi peranan, b) identifikasi ragam, dan c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Sedangkan, keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, tampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.

(50)

commit to user 7. Penghilangan fonem dan Penambahan fonem

Badudu (1983:63) dalam Pelik-pelik Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa “gelaja fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam: penambahan fonem di depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dan penambahan fonem di akhir kata disebut paragog”. Contoh gejala protesis : mas, lang, dan sa menjadi emas, elang, dan esa, stri dalam bahasa Sansekerta menjadi istri, jati dalam bahasa Sansekerta menjadi sejati.

Proses selanjutnya ialah penambahan fonem. J.S Badudu (1983:63-64) menjelaskan “gejala penghilangan fonem atau pelesapan fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di akhir kata yang disebut apokop”. Contoh gejala aferesis : Umudik, umundur menjadi mudik, mundur (um adalah sisipan, tetapi karena kata dasar berawal vokal, maka sisipan ditempatkan di depan seperti awalan. Contoh gejala sinkop : bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya, citcit menjadi cicit, dan sebagainya.

8. Interjeksi

Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri (inilah yang membedakannya dari partikel fatis yang dapat muncul di bagian ujaran mana pun, tergantung dari maksud pembicara) (Kridalaksana, 2005:120).

(51)

commit to user

Interjeksi dapat ditemui dalam : a. Bentuk dasar, seperti kata-kata:

aduh, aduhai, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih, cis, eh, hai, idih, ih,

lho, oh, nah, sip, wah, wahai, yaaa, dan sebagainya

b. Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa, atau penggalan kalimat Arab. Contoh:

Alhamdulillah, astaga, brengsek, buset, dubilah, duilah, insya Allah,

masyaallah, syukur, halo, innalillahi, yahud, dan sebagainya. Jenis-jenis interjeksi

Sub kategorisasi terhadap interjeksi merupakan subkategorisasi terhadap perasaan yang diungkapkannya (Kridalaksana, 2005:121)

Menurut Harimurti Kridalaksana (2005:121) ,jenis-jenis interjeksi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian: ahoi, ayo, eh, hai, halo, he, sst, wahai

b. Interjeksi keheranan atau kekaguman:

aduhai, ai, amboi, astaga, asyoi, hmm, wah, yahud

c. Interjeksi kesakitan: aduh

d. Interjeksi kesedihan: Aduh

e. Interjeksi kekecewaan dan kesal: ah, brengsek, buset, wah, yaa

(52)

commit to user

f. Interjeksi kekagetan:

lho, masyaallah, astagfirullah

g. Interjeksi kelegaan:

alhamdulillah, nah, syukur

h. Interjeksi kejijikan: bah, cih, cis, hii, idih, ih

(53)

commit to user

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang telah diteliti. Kerangka pikir dalam penelitian secara garis besar dilukiskan pada diagram di bawah ini.

Pemakaian bahasa dalam RCB pada harian SM Karakteristik pemakaian bahasa dalam RCB pada harian SM

Faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa Pemanfaatan ragam informal Konteks situasi Sumber data RCB pada harian SM Ancangan: Sosiolinguistik Data penelitian Teknik pengumpulan

data Teknik pustaka

Teknik simak Teknik catat

(54)

commit to user

Penjelasan tentang bagan.

Penelitian dengan judul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)ini merupakan sebuah penelitian kualitatif. Data yang diambil sebagai objek penelitian berupa data tertulis yang terdapat dalam rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka. Data penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka, simak, dan catat. Objek penelitian ini berupa pemakaian bahasa yang berbentuk pemanfaatan ragam informal, dan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka. Metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu. Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik dengan memanfaatkan teori sosiolinguistik oleh Suwito, Abdul Chaer dan Leonie Agustina, dalam analisis data

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian dalam pengolahan daging curing penggunaan stroberi masih terbatas karena dapat mengubah cita rasa produk asli, sehingga perlu diketahui jumlah

“Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “ STUDI PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAAN KETERAMPILAN SENI KRIYA PADA ANAK TUNARUNGU DI PK LK DHARMA BHAKTI DHARMA

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan dan mengetahui kualitas alat peraga model molekul berdasarkan teori valence shell electron

The add- ton of the EM-4 to 10% of the dose of the acceleratng phase of anaerobc, because the hgher the addton of EM-4 to 10% of the dose the hgher the amount of lactc acd bactera

Metode apa yang sesuai dalam untuk menentukan lamanya waktu pada. tahap pengisian awal waduk (impounding) pada

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : i) untuk membandingkan proses pengolahan air limbah secara kimia dan fisika, ii) mengetahui kandungan parameter pencemar air limbah

Pada proyek Tugas Akhir (TA) ini akan dibuat suatu aplikasi kendali peralatan bersumber tegangan AC melalui layanan SMS ( Short Message Service ), dimana nantinya penguna aplikasi

Gambar tersebut menunjukan fokus penelitian yang dikaji adalah yaitu perbedaan antara loncatan vertikal dan parabol depan terhadap kecepatan dan akurasi shuttlecock