• Tidak ada hasil yang ditemukan

Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkoreksi dan observasi tahun 2010

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi

4.7. Model penduga curah hujan bulanan TRMM

4.7.2. Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkoreksi dan observasi tahun 2010

Hasil pendugaan atau prediksi curah hujan bulanan TRMM terkoreksi menggunakan model ARIMA perlu dilakukan verifikasi model untuk mengetahui sejauh mana ketepatan hasil prediksi terhadap data observasi. Hasil verifikasi model antara data prediksi hujan dengan data TRMM terkoreksi dan data prediksi hujan dengan data observasi tahun 2010 ditunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa nilai RMSE antara data hasil prediksi dengan TRMM terkoreksi pada seluruh lokasi cukup tinggi >40 mm. Sedangkan nilai koefisien korelasi (r) bervariasi antar wilayah. Nilai r tertinggi diperoleh di wilayah hujan lokal (0.98), diikuti pola muson yaitu Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Lampung masing–masing sebesar 0.81, 0.70 dan 0.62. Sedangkan di wilayah hujan equatorial, nilai koefisien korelasi (r) tidak cukup besar, yaitu Sumatera Utara sebesar 0.33 dan Kalimantan Barat sebesar 0.17.

Tabel 13. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias) data hujan prediksi dengan TRMM terkoreksi tahun 2010

No Wilayah CH TRMM terkoreksi (mm/thn) TRMM Prediksi CH Thn TRMM Pred-TRMM Kor

RMSE r MAE Relatif

Bias (%) 1 Lampung 2856 2114 -741 90 0.62 62 26 2 Jawa Timur 3186 1527 -1658 159 0.70 138 52 3 Kalimantan Selatan 2940 2609 -331 41 0.81 28 11 4 Sumatera Utara 2438 2760 -290 68 0.33 27 -13 5 Kalimantan Barat 2686 2431 -254 51 0.17 21 10 6 Maluku 2579 3193 614 55 0.98 51 -24

Perbandingan hasil prediksi curah hujan bulanan TRMM di setiap wilayah terhadap curah hujan observasi (Tabel 14), menunjukkan nilai RMSE dan selisih hujan tahunan yang lebih besar dibandingkan perbandingan hasil prediksi curah

hujan bulanan TRMM terhadap curah hujan TRMM terkoreksi (Tabel 9). Sedangkan nilai koefisien korelasi cukup bervariasi di mana di wilayah hujan lokal dan equatorial, nilai koefisien korelasi pada Tabel 10 lebih kecil dibandingkan Tabel 9 (wilayah lokal (0.54), wilayah equatorial (0.16 dan 0.01).

Berdasarkan Tabel 14, diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi (r) tertinggi terdapat di wilayah pola hujan muson (Kalimantan Selatan sebesar 0.87, Jawa Timur sebesar 0.71, dan Lampung 0.56). Di wilayah tipe hujan lokal diperoleh nilai r sebesar 0.54, sedangkan di wilayah pola hujan equatorial mempunyai nilai r sangat kecil yaitu Sumatera Utara sebesar 0.16 dan Kalimantan Barat sebesar 0.10. Nilai RMSE di seluruh wilayah menunjukkan nilai cukup besar (>40 mm), dan nilai MAE juga menunjukkan nilai cukup besar untuk wilayah hujan muson (yaitu Lampung: 56 mm, Jawa Timur: 145 mm, dan Kalimantan Selatan: 27 mm) dan equatorial (Sumatera Utara: 19 mm, Kalimantan Barat: 100 mm) dan cukup kecil untuk wilayah lokal (Maluku: 11 mm).

Tabel 14. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE dan relatif bias) data hujan prediksi dengan data hujan observasi tahun 2010

No Wilayah CH Obs (mm/ thn) TRMM Prediksi CH (mm/Thn) TRMM-Obs

RMSE r MAE Relatif

Bias (%) 1 Lampung 2783 2114 -669 92 0.56 56 24 2 Jawa Timur 3266 1527 -1739 172 0.71 145 53 3 Kalimantan Selatan 2938 2609 -329 43 0.87 27 11 4 Sumatera Utara 2537 2760 -388 114 0.16 19 -9 5 Kalimantan Barat 3632 2431 -1200 133 0.10 100 33 6 Maluku 3325 3193 -132 183 0.54 11 4

Perbandingan hasil verifikasi antara data prediksi hujan tahun 2010 dengan data TRMM terkorekasi dan data hujan observasi tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 41 (wilayah pola hujan muson), Gambar 42 (wilayah pola hujan equatorial), dan Gambar 43 (wilayah pola hujan lokal).

0 100 200 300 400 500

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m ) 0 100 200 300 400 500 600 700 800

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m )

Jawa Timur Observasi

TRMM terkoreksi TRMM Prediksi 0 100 200 300 400 500 600 700 800

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m )

Kalimantan Selatan Observasi TRMM terkoreksi TRMM Prediksi

0 100 200 300 400 500

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m ) 0 100 200 300 400 500 600 700 800

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m )

Kalimantan Barat Observas i

0 100 200 300 400 500

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des

C H ( m m )

TRMM menunjukkan hasil yang cukup tepat baik dari sisi pola bulanannya maupun dari intensitas hujan. Umumnya, hujan overestimate di wilayah pola hujan muson terdapat pada musim hujan dan cukup mendekati pengamatan observasi pada musim kemarau dan musim peralihan (Prasetia (2012); Vernimmenet al. (2012); As-syakur eta al. (2011)). Hal ini dimungkinkan karena pengaruh kejadian muson yang relatif stabil sepanjang tahun di wilayah Indonesia. Berbeda dengan dua wilayah pola hujan lainnya, yaitu pola equatorial dan lokal, data satelit TRMM menunjukkan kecenderungan overestimate yang cukup tinggi (walaupun pola bulanan mengikuti pola observasi). Hal ini dimungkinkan akibat variasi dan intensitas hujan yang cukup tinggi dimana tipe hujan konvektif dan stratiform juga cukup tinggi. Namun pada musim kemarau, pada pola equatorial dan lokal, intensitas hujan dari satelit TRMM menunjukkan cukup mendekati intensitas hujan observasi. Hal tersebut disebabkan karena jumlah pantulan hujan yang ditangkap oleh sensor TRMM pada musim kemarau lebih sedikit akibat intensitas hujan yang lebih rendah sehingga hasil pengukurannya lebih mudah dilakukan.

b. Persamaan koreksi data satelit TRMM

Bentuk persamaan koreksi yang dihasilkan untuk wilayah pola hujan muson dan equatorial adalah bentuk geometrik sedangkan untuk pola hujan anti muson adalah bentuk linier. Di wilayah pola hujan muson, menunjukkan TRMM setelah dikoreksi menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu nilai RMSE dan bias menurun. Sedangkan koefisien korelasi meningkat dimana curah hujan TRMM yang overestimate menjadi lebih mendekati hujan observasi. Demikian halnya di wilayah hujan equatorial, dimana hujan TRMM sebelum koreksi cenderung overestimate. Namun setelah dikoreksi, intensitas hujan TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi. Di wilayah Maluku, nilai RMSE dan bias setelah dikoreksi juga mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengoreksi TRMM, galat yang dihasilkan dari data TRMM dapat dikurangi sehingga data TRMM terkoreksi lebih mendekati data observasi.

Berdasarkan gambaran pola hujan tahunan (periode 2003-2009) dan rata-rata bulanan (ditunjukkan pada Gambar 35-40), diperoleh bahwa intensitas hujan

data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi untuk masing-masing wilayah pola hujan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada wilayah pola hujan muson, hasil perbandingan hujan tahunan menunjukkan intensitas hujan keluaran data TRMM setelah dikoreksi mengalami penurunan dan lebih mendekati intensitas hujan data observasi baik TRMM sebelum dikoreksi maupun hujan observasi. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau (Mei-September) baik di wilayah Lampung, Jawa Timur maupun Kalimantan Selatan. Demikian juga berdasarkan analisis intra-seasonal yang ditunjukkan dengan analisis rata-rata bulanan ditunjukkan bahwa di wilayah pola hujan muson, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada saat musim kemarau (Mei-September). Namun, pada wilayah Kalimantan selatan, intensitas hujan satelit TRMM pada musim kemarau menjadi overestimate setelah dikoreksi. Pada musim hujan, di wilayah Lampung, intensitas hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi, menjadi lebih mendekati hujan observasi. Namun di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, pada musim hujan intensitas hujan satelit TRMM setelah dikoreksi menjadi lebih rendah (underestimate) dibandingkan hujan observasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan satu faktor koreksi untuk lokasi berbeda pada pola hujan muson, menghasilkan keluaran yang tidak konsisten pada lokasi studi terutama di wilayah Kalimantan Selatan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan.

Pada wilayah hujan equatorial, evaluasi hujan data satelit TRMM pada skala tahunan setelah dilakukan koreksi menunjukkan bahwa hujan satelit TRMM lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama di wilayah Sumatera Utara baik pada musim kemarau dan musim hujan, walaupun masih cenderung overestimate. Sedangkan berdasarkan analisis rata-rata bulanan, intensitas hujan satelit TRMM menjadi lebih mendekati hujan observasi setelah dilakukan koreksi terutama pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). Secara keseluruhan, pada wilayah pola hujan equatorial, data satelit TRMM setelah koreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim kemarau (Juni-Agustus) dan (Desember-Pebruari). Namun, hal tersebut juga menunjukkan hasil koreksi data satelit TRMM menggunakan satu faktor

koreksi tidak menunjukkan hasil yang konsisten pada kedua lokasi (Sumatera Utara dan Kalimantan Barat) di wilayah pola hujan equatorial.

Pada wilayah pola hujan lokal, secara intra-seasonal ditunjukkan bahwa pada puncak musim hujan (Juni-Juli), hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan intensitas yang lebih mendekati hujan observasi, sedangkan pada musim kemarau (Nopember-April), intensitas hujan data satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menunjukkan overestimate dibandingkan hujan observasi.

c. Model Penduga curah hujan bulanan satelit TRMM dan verifikasi model ARIMA

Pendugaan curah hujan satelit TRMM menggunakan model ARIMA menunjukkan performa model yang berbeda-beda. Pemanfaatan model ARIMA untuk pendugaan curah hujan menghasilkan model yang cukup baik (Tresnawati 2010), namun bila dibandingkan dengan model non linear dengan multi-input transfer model, hasil prediksi hujan mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan hasil model ARIMA (Otok 2009). Hasil verifikasi prediksi curah hujan bulanan tahun 2010 terhadap data TRMM terkoreksi menunjukkan di wilayah pola hujan muson dan lokal, koefisien korelasi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu >60%. Sedangkan di wilayah pola hujan equatorial, nilai koefisien korelasi hanya berkisar antara 17-33%. Hasil perbandingan curah hujan prediksi terhadap data hujan observasi juga menunjukkan bahwa model ARIMA mempunyai performa cukup baik di wilayah pola hujan lokal dan muson dengan nilai koefisien korelasi >50%. Sebaliknya, hasil prediksi hujan bulanan di wilayah dengan pola hujan equatorial menunjukkan hasil verifikasi dengan koefiesin korelasi yang sangat kecil (antara 10-16%). Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah dengan pola hujan equatorial cukup sulit dilakukan prediksi menggunakan data TRMM. Wilayah ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ dimana terjadi pertemuan aliran udara dari sirkulasi Hadley pada tiap belahan bumi dan mengalir menuju khatulistiwa. Sehingga pada wilayah ini, curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun. Selain itu, pada intensitas hujan yang tinggi, sensor satelit menangkap pantulan hujan lebih tinggi.

Dokumen terkait