Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Model Penduga Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM Pada Tiga Pola Hujan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada
MAMENUN. The Development of Model Estimation for Monthly Precipitation Using TRMM Satellite Data on Three Rainfall Regions within Indonesia. Under supervision of HIDAYAT PAWITAN DAN ARDHASENA SOPAHELUWAKAN.
Rainfall is one of the atmosphere parameters which is quite difficult to predict because of its very high variability on space and time. The recent development of rainfall observation technology nowadays is using rainfall satellite. This satellite has near real time rainfall monitoring, wide coverage and fast access. In this study, climatological analysis of rainfall pattern, statistical analysis to evaluate and validate TRMM data using selected ground stations and TRMM data, development of correction factor for TRMM data and monthly rainfall prediction using ARIMA model, have been done in three regions with different rainfall pattern. Those areas are monsoonal pattern in Lampung, East Java and Kalimantan Selatan; equatorial pattern in North Sumatera and West Kalimantan; and local pattern in Maluku. The validation analysis showed very high correlation with the gauge data for monsoonal pattern area (>0.80), high correlation for equatorial (>0.60) and local pattern area (>0.75). Each pattern area has a correction equation. In general, the error of corrected TRMM data decreased for monsoonal, equatorial and local pattern. The model of monthly rainfall prediction has been developed for corrected TRMM data with 95% level significance. The verification of model showed high coefficient correlation (r) in local pattern and monsoonal pattern, but lower on equatorial pattern.
MAMENUN. Pengembangan Model Penduga Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM pada Tiga Pola Hujan di Indonesia. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN DAN ARDHASENA SOPAHELUWAKAN.
Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Penggunaan satelit hujan dalam mengukur intensitas hujan untuk monitoring hujan terus mengalami perkembangan. Kelebihan satelit dalam mengukur intensitas hujan dibandingkan dengan stasiun hujan observasi di permukaan, yaitu memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi dan mencakup wilayah yang luas (± 770 Km2), data near real-time, akses cepat, dan ekonomis. Hal tersebut dapat mengatasi permasalahan data observasi hujan yang tidak lengkap, data kosong dan tidak akurat akibat kesalahan pengukuran atau kesalahan waktu memasukkan data, serta mengatasi permasalahan tidak ada data pengamatan terutama di wilayah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan hujan. Di Indonesia, terdapat tiga wilayah hujan dengan pola berbeda di Indonesia, yaitu: (1) wilayah A (pola muson) yang dipengaruhi oleh muson basah barat laut dan muson kering tenggara; (2) Wilayah B (pola equatorial) yang dipengaruhi oleh pergerakan ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone); (3) Wilayah C (pola lokal) yang dipengaruhi oleh kondisi lokal. TRMM merupakan satelit polar orbiting milik JAXA-NASA yang pertama kali diluncurkan pada bulan November tahun 1997. Satelit TRMM mempunyai resolusi cukup tinggi, yaitu resolusi temporal hingga 3 jam-an, dan resolusi spasial 0.25o x 0.25o (770 Km2). Pada penelitian ini, digunakan satelit TRMM tipe 3B42RT yang bersifat near real time, dimana dilakukan evaluasi dan validasi data satelit TRMM terhadap data observasi dan dilakukan pembangunan model penduga curah hujan bulanan dari data satelit TRMM pada tiga pola hujan di Indonesia.
Analisis klimatologis selama 30 tahun (1981-2010) dilakukan untuk mengetahui pola hujan di masing-masing wilayah studi (Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Maluku). Selanjutnya dilakukan pemilihan stasiun hujan observasi berdasarkan kriteria ketersediaan data >75%, dalam satu grid TRMM mempunyai lebih dari satu stasiun hujan, dan sebaran stasiun cukup rapat. Grid TRMM dipilih dengan ukuran blok 2x2 sesuai dengan ketersediaan data hujan observasi. Evaluasi dan validasi data hujan satelit TRMM terhadap data hujan observasi dilakukan pada tiga pola hujan berbeda, yaitu pola muson, equatorial dan lokal. Evaluasi dilakukan terhadap data hujan satelit TRMM per grid dengan tiga dan satu stasiun, serta dilakukan terhadap blok grid berukuran 2x2. Evaluasi dan validasi dilakukan menggunakan analisis kurva massa ganda untuk melihat kontinuitas data, nilai korelasi untuk membandingkan sebaran data, parameter (MAE), (RMSE), dan relatif bias. Selanjutnya dilakukan penyusunan persamaan koreksi data satelit TRMM, dimana data TRMM terkoreksi digunakan untuk penyusunan model penduga hujan bulanan menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average).
grid berukuran 1x1. Sedangkan nilai RMSE pada grid 2x2 mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan grid berukuran 1x1. Di wilayah Maluku, perbandingan dilakukan antara grid berukuran 1x1 dengan rata-rata 3 grid berukuran 1x1 dengan masing-masing satu stasiun. Nilai korelasi dan RMSE pada wilayah Maluku menunjukkan pada rata-rata 3 grid mempunyai nilai korelasi lebih tinggi dan nilai RMSE lebih rendah dibandingkan dengan satu grid. Berdasarkan hasil tersebut, digunakan grid 2x2 untuk melakukan evaluasi, penyusunan persamaan koreksi dan penyusunan model penduga hujan bulanan dari data satelit TRMM terkoreksi.
Evaluasi data hujan satelit TRMM terhadap data observasi pada wilayah hujan muson, data satelit TRMM menunjukkan performa cukup baik secara pola maupun intensitas hujan. Intensitas hujan overestimate terjadi pada musim hujan namun pada musim kemarau cukup mendekati data observasi. Pada wilayah equatorial, data satelit TRMM menunjukkan overestimate yang cukup besar pada musim hujan dan cukup mendekati data pengamatan observasi pada musim peralihan dan musim kemarau. Sedangkan di wilayah lokal, intensitas hujan satelit TRMM cenderung underestimate pada musim hujan dan cukup dekat dengan data observasi pada musim kemarau.
Persamaan faktor koreksi di wilayah hujan muson dan equatorial mempunyai bentuk geometrik, sedangkan untuk di wilayah hujan lokal mempunyai bentuk persamaan linier. Faktor koreksi di wilayah pola hujan muson, equatorial dan lokal untuk data satelit TRMM, menghasilkan penurunan nilai galat yang dihasilkan oleh data TRMM terhadap data observasi. Selain itu, penggunaan faktor koreksi juga meningkatkan nilai koefisien korelasi antara data satelit TRMM dengan data observasi. Secara intra-seasonal di wilayah muson dan equatorial, pola hujan satelit TRMM setelah dilakukan koreksi menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda antar lokasi. Di wilayah pola hujan muson yaitu Lampung dan Jawa Timur, satelit TRMM terkoreksi menghasilkan intensitas hujan yang lebih mendekati hujan observasi di musim kemarau. Sedangkan di wilayah Kalimantan Selatan, intensitas hujan satelit TRMM terkoreksi di musim kemarau menjadi overestimate. Pada wilayah pola hujan equatorial, hasil koreksi satelit TRMM menggunakan satu faktor koreksi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua lokasi dimana di Kalimantan Barat, hujan satelit TRMM terkoreksi menjadi lebih mendekati hujan observasi pada musim kemarau. Sedangkan di Sumatera Utara, walaupun terdapat penurunan intensitas hujan setelah dikoreksi, intensitas hujan satelit TRMM masih menunjukan overestimate. Di wilayah pola hujan lokal, hasil koreksi data satelit TRMM menunjukkan intensitas hujan lebih mendekati hujan observasi terutama pada musim hujan,sedangkan pada musim kemarau menjadioverestimate.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PADA TIGA POLA HUJAN DI INDONESIA
MAMENUN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih yang sangat besar penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr.Ardhasena Sopaheluwakan, M.Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan, bimbingan, dan berbagai masukan dalam penyusunan, pengolahan serta hasil dari penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Edvin Aldrian, B.Eng. M.Sc selaku kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BMKG atas support dana dan berbagai arahan serta masukan yang sangat bermanfaat, Ronald Vernimmen (Deltares) atas diskusinya, Suami tercinta; Alimatul Rahim atas cinta, kasih sayang, dan support yang sangat besar kepada penulis, staf dan rekan – rekan program pasca sarjana Klimatologi Terapan - IPB, serta rekan-rekan di Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara–BMKG atas masukan dan dukungannya.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Pendugaan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Data Satelit TRMM pada Tiga Pola Hujan di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam menduga data hujan bulanan di wilayah Indonesia, terutama di wilayah yang tidak terdapat stasiun pengamatan hujan permukaan dengan menggunakan data satelit hujan yang telah divalidasi dan dikoreksi.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna sehingga masih membutuhkan untuk tambahan masukan, saran, kritik maupun perbaikan yang membangun sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh orang lain dan masyarakat umum. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk khalayak luas.
Bogor, Januari 2013
enam bersaudara, anak dari pasangan H. Ma’mun(alm) dan Hj. Mamah (alm).
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1991 dari sekolah Madrasah Ibtidayah TAMMAS Jakarta. Pada tahun yang sama masuk Madrasah Tsanawiyah Negeri 11 Jakarta dan selesai tahun 1994. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Umum Negeri 33 Jakarta dan lulus tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB, dan diterima di Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Institut Pertanian Bogor. Tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan ke program master pada program studi Klimatologi Terapan - Institut Pertanian Bogor dengan support dana dari Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sejak tahun 2005 dan menjadi Peneliti Pertama pada Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara–BMKG pada tahun 2010. Bidang penelitian yang dipilih penulis adalah ilmu klimatologi. Beberapa karya ilmiah telah penulis hasilkan antara lain: ‘Analisis Indeks Kebasahan Menggunakan Data Satelit’ dan ‘Kesesuaian Agroklimat Tanaman Padi dan Jagung di Semarang – Jawa Tengah’ yang keduanya diterbitkan pada Buletin Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun 2009,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... .. 5
1.3. Manfaat ... 5
1.4. Asumsi ... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Hujan di Indonesia ... 6
2.1.1. Pola Muson (Wilayah A) ... 8
2.1.2. Pola Equatorial (Wilayah B) ... 9
2.1.3. Pola Lokal (Wilayah C) ... 10
2.2. Satelit Hujan TRMM ... 11
2.2.1. Karakteristik Satelit TRMM ... 11
2.2.2. Instrumentasi dan Sensor Satelit TRMM... 13
2.2.3. Data Produk TRMM ... 15
2.3. Aplikasi Validasi Data Satelit TRMM... 18
2.4. Model Persamaan Regresi dan Metode Kuadrat Terkecil ... 20
2.5. Model Prediksi Arima (Autoregressive Integrated Moving Average) . 21 2.6. Kriteria Pemilihan Model ... 24
3. METODOLOGI 3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 25
3.2. Data dan Alat ... 26
3.3. Metode Penelitian ... 27
3.3.1. Analisis Klimatologis untuk Pola Hujan... 27
3.3.2. Ekstraksi Data Satelit TRMM... 27
3.3.3. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM... 28
3.3.4. Analisis Hubungan dan Validasi Data Hujan Observasi dan Satelit TRMM ... 29
3.3.6. Pendugaan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Metode
ARIMA... 31
3.3.7. Verifikasi Model Penduga Curah Hujan Terpilih... 35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi ... 37
4.1.1. Pola Hujan Muson (Wilayah A) ... 38
4.1.2. Pola Hujan Equatorial (Wilayah B)... 38
4.1.3. Pola Hujan Lokal (Wilayah C) ... 39
4.1.4. Pola Hujan Berbeda dengan Variasi Musiman Tidak Jelas... 40
4.2. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM ... 41
4.2.1. Wilayah Pola Hujan Muson... 42
4.2.2. Wilayah Pola Hujan Equatorial ... 47
4.2.3. Wilayah Pola Hujan Lokal ... 50
4.3. Evaluasi Data Hujan TRMM Terhadap Data Hujan Observasi Menggunakan Analisis Grid 1x1... 52
4.4. Evaluasi Data Hujan TRMM Terhadap Data Hujan Observasi Menggunakan Blok Grid 2x2 ... 57
4.4.1. Evaluasi Kurva Massa Ganda... 57
4.4.2. Pola Hujan Observasi dan Satelit TRMM ... 60
4.4.3. Analisis Statistik data Satelit TRMM dan Data Observasi ... 65
4.5. Perbandingan Evaluasi Data Hujan TRMM dan Hujan Observasi Menggunakan Grid 1x1 dan Grid 2x2... 66
4.6. Analisis Faktor Koreksi dan Perbandingan Curah Hujan TRMM Sebelum dan Setelah Koreksi... 68
4.6.1. Analisis Faktor Koreksi Data Satelit TRMM ... 68
4.6.2. Perbandingan Curah Hujan TRMM Sebelum dan Sesudah Koreksi ... 70
4.7. Model Penduga Curah Hujan Bulanan TRMM... 76
4.7.1. Hasil keluaran model ARIMA untuk masing-masing Wilayah 76 4.7.2. Verifikasi model ARIMA terhadap data TRMM terkorekasi dan observasi tahun 2010 ... 78
4.8. Pembahasan ... 82
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 86
5.2. Saran ... 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pembagian Wilayah Pola Hujan di Indonesia ... 6
2. Pola Puncak Musim pada Tiga Wilayah Hujan.... ... 7
3. Pembagian Tipe Hujan di Wilayah Indonesia ... 8
4. Wilayah yang dipengaruhi oleh Muson Berdasarkan Ramage 1971... 9
5. Orbit Satelit TRMM ... 12
6. Instrumen Satelit TRMM. ... 13
7. Produk dan Proses Data TRMM versi 6 untuk Semua Level... 16
8. Skema Proses dan Output TRMM Level 3 ... 17
9. Karakteristik Produk Data TRMMnear real time(3B42RT) danPost Product(3B42 dan 3B43)…………... 18
10. Wilayah Studi Dengan Tiga Pola Hujan; Muson, Equatorial dan Lokal ... 25
11. Diagram Alir Penelitian... 36
12. Pola Hujan Muson di Kalimantan selatan, Lampung, Jawa Timur dan Sebagian Wilayah Maluku ... 38
13. Pola Hujan Equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat ... 39
14. Pola Hujan Lokal di Maluku ... 40
15. Pola Hujan Wilayah Gorontalo ... 40
16. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Lampung ... 43
17. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Jawa Timur ... 45
18. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Kalimantan Selatan ... 46
19. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Sumatera Utara ... 48
20. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Kalimantan Barat ... 49
21. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM wilayah Maluku ... 51
22. Hasil Pemilihan Stasiun dan Grid TRMM untuk Validasi dan Model Penduga Hujan Bulanan ... 51
23. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Dalam Satu Grid dari Satu Stasiun dan Rata-Rata 3 Stasiun di Wilayah Pola Hujan Muson ... 53
24. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Dalam Satu Grid menggunakan Satu Stasiun dan Rata-Rata 3 Stasiun di wilayah Pola Hujan Equatorial ... 55
25. Perbandingan Intensitas Hujan Bulanan Data TRMM dengan Hujan Observasi Stasiun Amahai di Wilayah Pola Hujan Lokal... 57
26. Kurva Massa Ganda curah hujan Observasi dan TRMM di Seluruh Wilayah periode 2003-2009... 58
28. Plot Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM
Periode 2003-2009 Wilayah pola Hujan Muson... 61 29. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah Pola Hujan Muson ... 62 30. Plot Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM
Periode 2003-2009 Wilayah pola Hujan Equatorial ... 63 31. Perbandingan Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah pola Hujan
Equatorial ... 63 32. Perbandingan Curah Hujan Bulanan Observasi dan Satelit TRMM Periode
2003-2009 Wilayah Pola Hujan Lokal ... 64 33. Perbandingan Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Observasi dan Satelit
TRMM di Wilayah Pola Hujan Lokal ... 65 34. Perbandingan Nilai Korelasi dan RMSE antara Data Hujan TRMM Grid
Ukuran 1x1 dan 2x2 di Setiap Wilayah ... 68 35. Perbandingan Pola Hujan Observasi, TRMM Sebelum dikoreksi (TRMM)
dan Setelah dikoreksi (TRMM Koreksi) di Wilayah Pola Hujan Monsun... 71 36. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM
sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan Muson... 72 37. Perbandingan Pola Hujan Observasi, TRMM Sebelum dikoreksi (TRMM)
dan Setelah dikoreksi (TRMM Koreksi) di Wilayah Pola Hujan Equatorial 74 38. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM
sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan equatorial . 74 39. Perbandingan pola hujan observasi, TRMM sebelum dikoreksi (TRMM)
dan setelah dikoreksi (TRMM koreksi) di wilayah pola hujan lokal ... 75 40. Perbandingan pola rata-rata bulanan antara hujan observasi,TRMM
sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi di wilayah pola hujan lokal ... 75 41. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap hujan TRMM terkoreksi
dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Lampung, Jawa Timur dan
Kalimantan Selatan………... 80
42. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap TRMM terkoreksi dan hujan observasi tahun 2010 di wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan
Barat ………... 81
43. Plot perbandingan hasil prediksi hujan terhadap TRMM terkoreksi dan
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik Utama Satelit TRMM ... 12 2. Jumlah dan Persentase Ketersediaan Data Klimatologis Stasiun Periode
1981-2010 ... 37 3. Perbandingan Jumlah Stasiun dan Grid TRMM Hasil Pemeriksaan dan
pemilihan Stasiun ... 41 4. Rekapitulasi Tiga Stasiun Hujan dan Grid yang Digunakan Untuk Evaluasi
Hujan Dalam Satu Grid (Ukuran 1x1)... 52 5. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data
Observasi dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Muson ... 54 6. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data
Observasi dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Equatorial... 56 7. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, MAE dan Relatif Bias Untuk Data
Stasiun Amahai dan TRMM Grid 1x1 di Wilayah Pola Hujan Lokal ... 57 8. Perbandingan Nilai Korelasi, RMSE, dan Relatif Bias untuk Data observasi
dan TRMM Periode 2003-2009 di Masing-Masing Wilayah ... 65 9. Perbandingan Nilai Koefisien Determinasi Masing-Masing Bentuk
Persamaan Regresi ... 69 10. Bentuk Persamaan Regresi dan Faktor Koreksi TRMM... 69 11. Perbandingan CH tahunan, RMSE, koefisien korelasi, MAE dan relatif
bias antara data TRMM sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi pada
seluruh wilayah... 70 12. Hasil model ARIMA, koefisien model dan nilai p-value di masing-masing
wilayah ... 77 13. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE
dan relatif bias ) data hujan prediksi dengan TRMM terkoreksi tahun 2010 78 14. Perbandingan hasil verifikasi (nilai RMSE, koefisien determinasi, MAE
dan relatif bias ) data hujan prediksi dengan data hujan observasi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Gambaran Tampilan Software Delft-FEWS/DEWS untuk ekstraksi
data satelit TRMM 3B42RT ... 94 a. Tampilan spasial untuk curah hujan bulanan wilayah Indonesia dari
data TRMM3B42RT... 94 b. Data Viewer untuk data curah hujan bulanan pada grid 14891 wilayah
Jawa Timur periode 2002-2011 ... 95 2. Daftar stasiun untuk analisis klimatologis periode 1981-2010………....96 3. Daftar stasiun terpilih dengan ketersediaan data >75% periode 2003-2009... 97 4. Daftar stasiun terpilih untuk validasi data satelit TRMM………...101
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk
diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu.
Demikian halnya dengan curah hujan di wilayah maritim tropis seperti Indonesia.
Hal ini disebabkan karena dinamika atmosfer di atas wilayah Indonesia sangat
kompleks, peristiwa konventif yang aktif, dan pengaruh topografi dengan relief
pegunungan serta pergerakan muson Asia serta Australia (Tjasyono 2008; Aldrian
& Susanto 2003). Selain itu, keragaman hujan di Indonesia juga dipengaruhi
anomali suhu permukaan laut di kawasan laut Indonesia, kawasan Pasifik dan
Samudera Hindia. Di wilayah Ambon, kondisi anomali Suhu Permukaan Laut
(SST) Indonesia berperan terhadap sangat berperan terhadap maju-mundur awal
musim hujan dan panjang-pendek musim (Swarinoto et al. 2009). Demikian
halnya dengan anomali SST Nino 3.4 menunjukkan hal yang signifikan terhadap
awal musim hujan di Ambon (Swarinoto et al. 2009). Hal-hal tersebut
menyebabkan pendugaan dan prediksi hujan di Indonesia mempunyai kesulitan
yang cukup tinggi.
Di Indonesia, hujan merupakan parameter iklim yang sangat berpengaruh
terhadap berbagai sektor. Sektor pertanian misalnya, curah hujan mempengaruhi
sistem pertanian karena produktivitas pertanian sangat bergantung pada
ketersediaan air yang cukup. Ketersediaan air menjadi faktor yang menyebabkan
sawah menjadi sangat rentan mengalami gagal panen terutama untuk lahan sawah
tadah hujan yang sistem pengairannya hanya menggantungkan pada hujan secara
alamiah. Selain itu, pendugaan hujan pada skala musim, terutama musim hujan
juga menjadi informasi sangat penting untuk kebutuhan perencanaan pertanian
seperti penentuan masa tanam dan kalender tanam, serta penentuan pola tanam
(Moron 2009). Pada sektor sumber daya air/hidrologi, curah hujan merupakan
input utama dalam ketersediaan air di alam yang disimpan dalam waduk, danau,
sungai, maupun air tanah. Sehingga input curah hujan yang akurat menjadi sangat
Fenomena iklim seperti intensitas hujan yang ekstrim juga dapat menjadi
pemicu terjadinya bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran
hutan. Bencana tersebut menimbulkan kerusakan dan kerugian cukup besar,
ditambah daya dukung lingkungan yang buruk dan sistem alam yang mengalami
kerusakan. Oleh karena itu, hujan menjadi salah satu parameter iklim yang sangat
penting dalam antisipasi bencana alam di wilayah Indonesia. Sehingga, kebutuhan
ketepatan analisis dan pendugaan hujan atau prediksi di wilayah Indonesia
menjadi tinggi. Hal ini memerlukan berbagai penelitian dengan beragam metode
analisis untuk mendapatkan hasil analisa dan pendugaan hujan dengan tepat. Di
Indonesia, kajian tentang pengembangan teknologi peramalan cuaca/iklim (dalam
hal ini curah hujan) telah banyak dilakukan, terutama model yang bersifat
stokastik (Boer 2005). Teknik analisis yang digunakan antara lain analisis time
series,Fourier regression, fractal analysis dan neural network.
Dalam kaitan dengan analisis iklim terutama curah hujan, kendala dan
permasalahan yang masih sering dihadapi adalah minimnya ketersediaan data
hujan observasi di permukaan baik cakupan spasial maupun temporal. Kendala
dan permasalahan tersebut antara lain yaitu time series data hujan kurang panjang
dan tidak lengkap/kosong, jumlah stasiun hujan masih kurang tersebar merata
(Su 2008), kurang tenaga pengamat di stasiun hujan, sistem pengamatan dan
pemasukan data masih manual, pengumpulan data dari lokal/daerah tertentu ke
tingkat pusat yang masih terhambat dan berjalan lambat, dan format data yang
belum standar. Kendala dan permasalahan tersebut menyebabkan data
pengamatan hujan di permukaan masih sulit diperoleh dengan cepat dan
membutuhkan pemeriksaan kualitas data sebelum dapat digunakan secara
langsung untuk analisa lebih lanjut. Terkait dengan kendala dan permasalahan
tersebut, maka dibutuhkan metode alternatif dalam pendugaan hujan untuk
mengatasi keterbatasan data hujan observasi. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan adalah pemanfaatan data satelit hujan yang saat ini semakin mengalami
perkembangan guna menghasilkan keluaran informasi hujan yang lebih akurat
terutama di wilayah dimana pengamatan hujan permukaan sangat jarang
Penggunaan satelit hujan dalam mengukur intensitas hujan untuk
monitoring hujan terus mengalami perkembangan, bahkan juga digunakan untuk
mengetahui hujan ekstrim (Curtis et al. 2007) dan monitoring kejadian siklon
tropis (Kubota 2010). Sejak tahun 1980-an, teknologi pendugaan curah hujan dari
satelit mulai mengembangkan radiometer gelombang mikro pasif (Passive
microwave radiometer) yang mampu mengukur pantulan dari air hujan dan
hamburan oleh salju dan awan es. Hingga saat ini, teknologi satelit dikembangkan
dengan menggunakan metode kombinasi (blended method) yang menggabungkan
data-data dari satelit yang membawa sensor infra merah dan sensor gelombang
mikro.
Kelebihan satelit dalam mengukur intensitas hujan dibandingkan dengan
stasiun hujan observasi di permukaan antara lain memiliki resolusi spasial dan
temporal yang tinggi dan mencakup wilayah yang luas ± 770 Km2 (Su 2008;
Huffman 2007), data near realtime (Huffman 2011), akses cepat, dan ekonomis
karena data dapat diunduh secara gratis. Hal tersebut dapat mengatasi
permasalahan data observasi hujan yang tidak lengkap, data kosong dan tidak
akurat akibat kesalahan pengukuran atau kesalahan waktu memasukkan data, serta
mengatasi permasalahan tidak ada data pengamatan, terutama di wilayah yang
tidak mempunyai stasiun pengamatan hujan. Namun demikian, ketersediaan data
satelit mulai tersedia antara tahun 1996 hingga tahun 1998 (Huffman 2007;
Ozawa 2011). Selain itu, penggunaan data satelit tersebut juga perlu dilakukan
validasi dan koreksi dengan data observasi permukaan agar dapat dievaluasi
sejauh mana keakuratan keluaran data satelit terhadap data observasi di
permukaan (Vernimmen et al. 2012; As-syakur et al. 2011; Rozante 2010).
Sehingga, pada tahap analisis lanjutan galat pada data satelit dapat dikurangi dan
data dapat lebih diandalkan..
Studi validasi dan koreksi data satelit telah dilakukan untuk studi typhoon
Morakot taun 2009 menggunakan data hujan GSMaP (Global Satellite Mapping
of Precipitation)di daerah aliran sungai Kaoping, Taiwan (Ozawa 2011). Dalam
studi tersebut, dihasilkan formula koreksi data GSMaP dan digunakan untuk
daerah aliran sungai Kaoping yang mempunyai tipe hujan sama namun tidak dapat
CMORPH (Climate Prediction Center Morphing Method) untuk interpolasi data
hujan permukaan telah dilakukan di wilayah Indonesia (Oktaviani 2008). Pada
studi tersebut juga dihasilkan model yang mampu mengisi data hilang 2-3 bulan
dengan cukup baik. Pengembangan pemanfaatan data satelit dilakukan dengan
membangun algoritma perhitungan curah hujan berbasis satelit TRMM (Tropical
Rainfall Measuring Mission) yang disebut PERSIANN/ Precipitation Estimation
from Remotely Sensed Information Using Artifical Neural Networks
(Hong et al. 2005). PERSIANN didasarkan pada sensor Inframerah dan di-adjust
dengan TRMM Microwave Imager. Studi validasi PERSIANN telah dilakukan
menggunakan data stasiun hujan untuk skala harian dan bulanan menggunakan
analisis statistik, korelasi, root mean square error (RMSE), bias, skill score,
deteksi peluang (POD) dan False Alarm Ratio (FAR) (Hong et al. 2005).
Kalibrasi data satelit TRMM (Tropical Rainfal Measuring Mission) telah
dilakukan di wilayah Arab Saudi dimana ketepatan luaran data hujan satelit skala
bulanan terhadap data hujan observasi lebih tinggi dibandingkan dengan skala
harian (Almazroui 2011).
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model penduga curah hujan
bulanan dari data satelit TRMM di wilayah Indonesia. TRMM merupakan satelit
polar orbiting milik JAXA-NASA yang pertama kali diluncurkan pada bulan
November tahun 1997 (Kummerow et al. 2000). Data satelit TRMM digunakan
dalam penelitian ini karena mampu memonitor curah hujan di wilayah dimana
data pengamatan curah hujan observasi kurang lengkap dan stasiun pengamatan
hujan observasi cukup jarang (Kummerow et al. 2000; Su 2008). Selain itu, data
hujan keluaran satelit TRMM menunjukkan performa yang lebih baik
dibandingkan data hujan CMORPH dan PERSIANN untuk wilayah Indonesia
(Vernimmenet al. 2012). Satelit TRMM mempunyai resolusi cukup tinggi, yaitu
resolusi temporal hingga 3 jam-an, dan resolusi spasial 0.25o x 0.25o. Pada
penelitian ini, digunakan data hujan keluaran satelit TRMM yang bersifat near
realtime(mendekati waktu sebenarnya), sehingga diharapkan hasil dari penelitian
ini dapat digunakan untuk menduga curah hujan permukaan dengan lebih cepat
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Melakukan evaluasi dan validasi keluaran data TRMM dengan data hujan observasi permukaan pada tiga pola hujan berbeda di Indonesia
- Menyusun model pendugaan curah hujan bulanan dari data TRMM pada tiga pola hujan di wilayah Indonesia.
1.3. Manfaat
Pengembangan model pendugaan curah hujan yang dihasilkan dari data
satelit TRMM dan divalidasi dengan data hujan observasi permukaan diharapkan
dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Mampu mengisi deret data hujan yang hilang atau kosong.
2. Mampu menduga curah hujan di wilayah yang tidak mempunyai
stasiun hujan atau di stasiun hujan yang tidak mempunyai informasi
hujan, sehingga data yang diduga dari model dapat digunakan untuk
mendukung tujuan aplikasi lainnya seperti penyusunan strategi
pertanian, monitoring bencana banjir serta kekeringan.
1.4. Asumsi
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa setiap stasiun hujan di wilayah
dengan pola hujan sama, mempunyai bulan-bulan musim kemarau dan musim
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Hujan di Indonesia
Wilayah Indonesia mempunyai keragaman curah hujan cukup tinggi. Hal ini
antara lain ditunjukkan dengan pola hujan yang berbeda di wilayah Indonesia.
Perbedaan pola hujan tersebut dipengaruhi oleh kondisi muson (monsoon), ITCZ
(Inter-Tropical Convergence Zone), dan kondisi lokal. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Aldrian dan Susanto (2003), pola hujan di wilayah Indonesia
secara dominan dibagi menjadi tiga, yaitu Wilayah A (dikenal dengan pola
monsoonal/muson), Wilayah B (pola equatorial) dan Wilayah C (pola lokal).
Gambaran tiga pola hujan di wilayah Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.
bertiup dari Australia menuj
wilayah Indonesia mengala
kondisi muson ditunjukkan pa
Gambar 4. Wilayah yang di
Wilayah Indonesia de
Indonesia bagian selatan
Kalimantan selatan, Sulawe
Wilayah A mempunyai satu
yaitu muson basah barat la
kering tenggara dari Me
perbedaan yang jelas anta
150 mm) dan musim huja
BMKG, Selama tiga bulan
terjadi relatif tinggi; disebut
cukup rendah yaitu Juni-Jul
enam bulan sisanya merupa
peralihan musim kemarau ke
ke musim kemarau).
2.1.2. Pola Equatorial
Pola hujan semi-monsoona
ITCZ (Inter-Tropical Conve
ITCZ merupakan pertemua
enuju ke benua Asia (arah tenggara). Pada pe
galami musim kemarau. Wilayah yang dipeng
an pada Gambar 4.
ng dipengaruhi oleh muson berdasarkan Ramage (Linacreet al.2008).
dengan pola hujan muson (wilayah A) meliput
n dari Sumatera Selatan hingga kepulaua
wesi dan sebagian Irian Jaya (Aldrian & Susa
atu puncak musim dan dipengaruhi kuat oleh dua
laut dari November hingga Maret (NDJFM) da
Mei hingga September (MJJAS). Akibatnya
ntara musim kemarau (curah hujan bulanan
ujan (curah hujan bulanan di atas 150 mm)
lan Desember-Januari-Februari (DJF) curah huj
but musim hujan, dan selama tiga bulan juga cu
Juli-Agustus (JJA); disebut musim kemarau. S
rupakan periode peralihan atau pancaroba (t
u ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musi
ial (Wilayah B)
onsoonal atau equatorial berhubungan dengan p
nvergence Zone) atau titik equinox (kulminasi)
tiap belahan bumi dimana pada bagian bawah setiap sel Hadley udara mengalir
menuju ke khatulistiwa. Di ITCZ, kedua aliran dari belahan bumi utara dan
selatan bertemu, kemudian naik ke atas dan menimbulkan awan serta curahan.
Bahang laten yang dilepaskan selama penaikan udara ini merupakan energi yang
diperlukan untuk melanjutkan seluruh sirkulasi sel Hadley.
Wilayah Indonesia yang mempunyai pola hujan equatorial (wilayah B)
meliputi wilayah barat daya Indonesia, termasuk bagian utara Sumatera dan
sebagian Kalimantan dengan dua puncak musim, pada bulan Oktober-November
dan Maret-Mei (Aldrian & Susanto 2003). Dua puncak musim tersebut
berhubungan dengan pergerakan ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone) atau
titikequinox(kulminasi) matahari.
2.1.3. Pola lokal (Wilayah C)
Pola hujan lokal atau kebalikan dari pola hujan muson mempunyai satu
puncak musim pada Juni–Juli dan satu palung pada Nopember - Pebruari (Aldrian & Susanto 2003). Wilayah C mempunyai pola lokal dimana pola
hujannya dipengaruhi oleh kondisi lokal. Wilayah dengan pola hujan lokal
(Wilayah C) terdapat di Maluku. Pada wilayah ini, curah hujan juga dipengaruhi
oleh kondisi lautan dimana di sepanjang selatan Maluku merupakan jalur Arus
Laut Indonesia (Arlindo) yaitu lintasan massa air hangat dari kawasan Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia melalui laut Indonesia (Aldrian & Susanto 2003).
Arlindo di Maluku membawa arus laut dari daerah kolam hangat (warm pool)
yang berlokasi di kepulauan Irian Jaya bagian timur laut. Oleh karena itu, suhu
permukaan laut di Maluku ditentukan oleh kondisi di daerah kolam hangat
tersebut. Selama musim hujan (Nopember hingga Maret), posisi matahari berada
di belahan bumi bagian selatan. Arlindo membawa massa air yang lebih dingin
dari kolam hangat ke laut Maluku. Suhu muka laut yang lebih dingin tersebut
menghalangi pembentukan zona konvektif. Sebaliknya, selama musim kemarau
(Maret-September) suhu muka laut yang lebih hangat meningkatkan zona
konvektif, sehingga puncak hujan terjadi pada bulan Mei hingga Juli
2.2. Satelit Hujan TRMM
Satelit TRMM diluncurkan pertama kali pada tanggal 27 Nopember 1997
hingga saat ini untuk tujuan studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di
wilayah tropis. Satelit TRMM merupakan satelit orbit polar yang membawa
instrumen/sensor khusus; SSM/I (Special Sensor Microwave/Imager) yang
dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengatasi
keterbatasan pengamatan teknologi radar cuaca. Sensor ini disebut juga sebagai
detektor pasif karena mampu menerima energi microwave yang diemisikan secara
alami dari permukaan bumi. Variasi jumlah energi yang diterima pada frekuensi
berbeda dapat diinterpretasikan dalam hal unit curah hujan yang jatuh dekat
permukaan ketika satelit berada di atasnya.
Perkembangan teknologi pengukuran curah hujan global melalui satelit
kemudian ditingkatkan melalui joint program antara Amerika Serikat (U.S) dan
Jepang (Japanese Tropical Rainfall Measuring Mission). Satelit ini membawa
detektor pasif microwave yang telah dikembangkan dan merupakan satelit
pertama yang memiliki radar cuaca aktif, disebut Precipitation Radar (PR).
Sebagai satelit pertama dengan radar curah hujan yang digunakan untuk
mengukur curah hujan, TRMM secara tidak langsung mengukur curah hujan
dengan menggunakan beberapa sensor microwave pasif (Li 2010). Prinsip dasar
perhitungan curah hujan menggunakan satelit TRMM adalah didasarkan pada
model hubungan antara radiasi gelombang mikro (microwave) dan jumlah air di
dalam awan menggunakan hukum Planck (Li 2010).
2.2.1. Karakteristik satelit TRMM
Satelit TRMM diluncurkan dengan peluncur Roket H-II dengan ketinggian
jelajah ±350 km atau menjadi 405 km sejak 24 Agustus 2001. Satelit ini
mengorbit pada wilayah tropis dengan cakupan 50o LU-50o LS menggunakan
orbit circular (non-sunsynchronous) dengan sudut inklinasi ±35o. Proyeksi yang
digunakan pada TRMM adalah proyeksi geografi,equiretangular projection, dan
Waktu peluncuran 28 November, 1997 jam 6:54 am (JST)
Ketinggian ± 350 km (405 km sejak 24 Agustus 2001)
Orbit Orbit circular (non-sun-synchronous)
Inklinasi ± 35o
Frekuensi orbit bumi Setiap 90 menit, 16 kali setiap hari
Wilayah cakupan 35oLU–35oLS
Ukuran panjang 5,1 m, diameter 3,7 m
Berat Total: 3,524 kg, bahan bakar: 890 kg, berat kering: 2,634
kg
Power ± 850 W
Transmisi data Via TDRS
Design masa aktif 3 tahun dan 2 bulan
Instrumen Precipitation Radar (PR)
TRMM Microwave Imager (TMI) Visible Infrared Scanner (VIRS)
lima frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 37,0; dan 85,5 GHz polarisasi ganda dan pada
22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI dapat diekstraks data integrated
column precipitation content, air cair dalam awan (cloud liquid water), es awan
(cloud ice), intensitas hujan, tipe hujan seperti hujan stratiform atau hujan
konvektif. TMI merupakan instrumen passive TRMM untuk menyediakan data
dengan resolusi tinggi dan juga untuk mendapatkan data suhu permukaan laut
(Kummerow et al. 2000). Sensor TMI mempunyai kemiripan dengan sensor
SSM/I DMSP (Special Sensor Microwave/Imager, Defense Meteorological
Satellite Program).
VIRS digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan, dan
temperatur puncak awan. Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor
VIRS adalah 2.2 km. Instrumen VIRS telah digunakan untuk menghubungkan
observasi TRMM secara detil dengan data satelit geostasionari yang telah tersedia
(Kummerow et al. 2000). Sensor ini juga mempunyai peran penting dalam
interpretasi awal hasil dari instrumen CERES. Teknik infrared sebenarnya
mempunyai error cukup signifikan dalam menghitung curah hujan secara
langsung, namun ketika digunakan dengan menggabungkan sensor ini dengan
sensor lain di luar satelit TRMM atau dengan data dari platform orbit yang lain,
data VIRS mampu meningkatkan ketepatan perhitungan curah hujan TRMM
(Funket al. 2006).
LIS dan CERES adalah instrumen Earth Observing System (EOS) pada
TRMM yang digunakan untuk mengukur total upwelling energi radiant. Secara
spesifik, LIS dalam kombinasinya dengan predecessor-nya, Optical Transient
Detector (OTD), digunakan untuk mengukur tingkat, distribusi dan variabilitas
aktivitas petir pada skala global (Christianet al. 2000). Pengukuran aktivitas petir
ini dimanfaatkan dalam membangun kombinasi algoritma untuk mengetahui
kelistrikan, fisikamikro, dan kinematik dari thunderstorm tropis. Secara
keseluruhan, LIS ditujukan untuk mendeteksi dan melokalisasi petir selama sehari
semalam dengan tingkat keakuratan yang tinggi, mencatat waktu kejadian dan
mengukur energi radian. Melalui perbandingan antara data LIS dengan data dari
instrumen lain pada TRMM, dimungkinkan untuk diketahui hubungan aktivitas
laten dan konveksi (Christian et al.2000). Sedangkan Sensor CERES merupakan
bagian dari EOS yang digunakan untuk menyediakan data dari Earth Radiation
Budget Experiment(ERBE) untuk mengukur fluks radiasi di lapisan atas atmosfer
(top-of-atmosfer/TOA), perhitungan yang akurat fluks radiasi pada TOA dan
permukaan bumi, dan menyediakan properti awan yang terkait dengan fluks
radiasi dari permukaan ke TOA (Wielickiet al.1998).
2.2.3. Data Produk TRMM
Dataset produk TRMM secara formal dikenal dengan nama TRMM
multi-satellite Precipitation Analysis (TMPA) dengan mengkombinasikan perhitungan
hujan dari lima sensor utama dan analisis menggunakan data obervasi permukaan.
TMPA ditujukan untuk menyediakan estimasi hujan dengan tepat pada setiap grid
box dan setiap waktu pengamatan (Su 2008). Secara garis besar, produk keluaran
TRMM dibagi menjadi 3 level, yaitu level 1, level 2 dan level 3. Produk pada
level 1 merupakan raw data yang telah dikalibrasi dan di-geolocated. Produk
level 2 merupakan penurunan dari parameter-parameter geofisika yang sama
dengan sumber data pada level 1 baik dari sisi resolusi dan lokasinya. Sedangkan
data pada Level 3, keluaran data mengacu pada produk-produk hujan secara
klimatologis, yaitu hasil rata-rata parameter hujan yang telah dipetakan ke dalam
grid yang seragam baik spasial maupun waktu. Produk level 3 ini telah diproses
lebih lanjut oleh pemilik data sehingga keluaran produk dapat langsung digunakan
oleh user (Gambar 7).
Pada Level 3, data satelit TRMM mempunyai resolusi spasial sebesar
0.25ox 0.25oatau sekitar 27.75 km x 27.75 km untuk setiap grid dengan cakupan
luasan wilayah antara 50o LU hingga 50o LS. Sedangkan untuk resolusi
temporalnya hingga pengamatan 3 jam-an, dimana setiap pengamatan tersebut
dapat di-rescale menjadi data harian dan bulanan. Pengamatan hujan resolusi
3 jam-an pada satelit TRMM antara lain untuk tipe 3B40RT, 3B42, 3B42RT.
Produk tipe 3B42RT merupakan produk gabungan antaramicrowave, microwave
calibrated infrared (IR) dan combined microwave–IR. Produk tersebut mempunyai resolusi 3 jam-an pada jam pengamatan sinoptik (00, 03, 06, 09, 12,
Selain produk near real time, data TRMM juga mempunyai post-product
yang telah dilakukan kalibrasi dan validasi menggunakan data observasi. Data
post-product dikalibrasi menggunakan TCI (TRMM Combined Instrument)
(Su 2008) yang tidak tersedia dalamnear real time(Huffman 2007).Post-product
ini juga divalidasi menggunakan data analisis stasiun bulanan menggunakan
CAMS (The Climate Assessment and Monitoring System) dengan resolusi
0.5ox0.5ountuk penyesuaianinitial process (IP) perhitungan data TRMM/TMPA;
dan produk bulanan dari Global Precipitation Climatology Center (GPCC)
dengan resolusi 1ox1o , digunakan untuk penyesuaian reprocessed (RP) data
TRMM/TMPA. RP TMPA dimulai 1 Januari 1998 dan berakhir tahun 2005,
sedangkan IP TMPA dimulai bulan April 2005 hingga saat ini (Su 2008).
Gambaran skema proses dan output data TRMM pada Level 3 ditunjukkan pada
Gambar 8, sedangkan karakteristik produk data TRMMnear-real time (3B42RT)
danpost-product(3B42 dan 3B43) ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 8. Skema Proses dan Output TRMM Level 3 (Funket al. 2006)
koefisien korelasi antara data hujan TRMM dengan data hujan pengamatan
permukaan mencapai 0.90 pada selang kepercayaan 99%. Sedangkan studi
validasi data satelit TRMM terhadap data observasi permukaan telah banyak
dilakukan (Su 2008; Hughes 2006; Li 2010).
Penelitian evaluasi keluaran data satelit hujan terhadap data observasi
permukaan di Indonesia, telah dilakukan menggunakan data hujan
CMORPH/Climate Prediction Center Morphing Method (Oktavariani 2008),
GSMap/Global Satellite Mapping of Precipitation dan TRMM (Wibowo 2010;
As-Syakur 2011). Evaluasi keluaran data hujan TRMM harian dan bulanan
terhadap data hujan observasi permukaan dilakukan pada wilayah Jakarta - Bogor
yang dibedakan berdasarkan wilayah pantai, daratan, pegunungan, dan
keseluruhan wilayah kajian. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa data satelit
TRMM harian di wilayah pantai dan keseluruhan Jakarta - Bogor mempunyai
korelasi lebih dari 60%. Sedangkan untuk data bulanan, korelasi data hujan
TRMM terhadap data hujan observasi mempunyai korelasi minimum 60% untuk
wilayah pegunungan, pantai, daratan, dan keseluruhan (Wibowo 2010).
Validasi luaran data hujan bulanan dari satelit TRMM PR (Preciptation
Radar) level 3A25 telah dikaji untuk wilayah Indonesia (Prasetia et al. 2011).
Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa data luaran TRMM undersetimate
dibandingkan data hujan observasi, kecuali di wilayah dengan tipe hujan
anti-monsoonal dimana data luaran TRMM overestimate dibandingkan data hujan
observasi. Sedangkan As-Syakuret al. (2011) telah membandingkan keluaran data
TRMM harian (3B42) dan bulanan (3B43) dengan data observasi. Hasil kajian
menunjukkan bahwa pada skala bulanan dan musiman, hubungan curah hujan
TRMM dibandingkan observasi mempunyai performa yang lebih baik
dibandingkan skala harian. Namun pada skala harian dengan analisis titik ke titik
stasiun, menunjukkan korelasi yang rendah dibandingkan dengan hasil rata-rata
data stasiun. Pada variasi intra-annual, hasil analisis statistika menunjukkan
bahwa korelasi tinggi diperoleh pada musim kemarau, dan sebaliknya diperoleh
pada musim hujan.
Analisis validasi satelit TRMM di wilayah Indonesia juga dilakukan oleh
dilakukan perbandingan antara keluaran data satelit hujan TRMM, CMORPH dan
PERSIANN (Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information Using
Artificial Neural Networks) serta perhitungan bias koreksi dan error
masing-masing produk. Hasil analisis menunjukkan bahwa data TRMM mempunyai
performa yang lebih baik terhadap pengamatan observasi permukaan terutama
pada musim kemarau dan variasi tahunan di wilayah Indonesia. Selain itu, juga
dihasilkan faktor koreksi untuk data TRMM dimana setelah dilakukan koreksi
bias, fraksi variansi pada log-transformasi untuk data hujan bulanan meningkat
dari 0.78 menjadi 0.93. Demikian halnya dengan nilai determinasi menjadi
meningkat setelah dilakukan koreksi bias (Vernimmenet al.2012).
2.4. Model Persamaan Regresi dan Metode Kuadrat Terkecil
Model persamaan regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel dan dapat dinyatakan dalam bentuk suatu fungsi, misalnya Y=f(X).
Bentuk persamaan sederhana regresi linier sebagai berikut:
= + + , …(1)
dimana (a) dan (b) merupakan parameter-parameter yang harus diestimasi,
(a) menunjukkan intersep Y populasi, sedangkan (b) menunjukkan koefisien
kemiringan populasi. Pada umumnya model regresi terdiri dari suatu himpunan
asumsi-asumsi tentang distribusi galat (error) , dan hubungan antara X dan Y.
X merupakan variabel bebas (independent variabel) dengan nilai harapan
(expected value) sama dengan nol dan ragam = , untuk semua nilai X. Selain
itu, X dianggap konstan dari contoh ke contoh dan Y merupakan fungsi linier Xi.
Selain persamaan regresi linier, model regresi juga dapat berbentuk
non linier. Beberapa pola persamaan regresi dengan satu variabel bebas yang
dapat digunakan untuk melakukan prediksi adalah sebagai berikut:
1. Model eksponensial ; Y = a.bX …(2)
2. Model geometrik; Y = a (x)b …(3)
3. Model hiperbola; Y = 1/(a+bX) atau Y=a+b/X …(4)
4. Model parabola; Y = a + bX1+ cX2 …(5)
Metode kuadrat terkecil (least square method) adalah suatu metode yang
digunakan untuk menghitungβodan β1, sedemikian rupa sehingga jumlah kuadrat kesalahan memiliki nilai terkecil atau minimum. Dengan bahasa matematik, dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Yi = a + bXi+ , i = 1, 2, …..n …(6)
ε = Y − (a + bX ) i= galat (error) i …(7)
∑ = ∑[ − ( + )] = jumlah kesalahan kuadrat …(8)
Metode kuadrat terkecil selain digunakan untuk memperkirakan parameter
sebagai koefisien dari suatu hubungan linear, dapat juga digunakan untuk yang
bukan linier atau bentuk hubungan lainnya.
2.5. Model Prediksi ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)
Model prediksi ARIMA pertama kali dikembangkan oleh George Box dan
Gwylim Jenkins (1976) dan sering disebut sebagai model Box-Jenkins. Model
ARIMA merupakan model yang dibangun berdasarkan proses Autoregressive
(AR) berordepdan prosesrata-rata bergerak (Moving Average, MA) berordeq yang mengalamipembedaan(Differencing)sebanyakdkali pada pola data yang stasioner maupun tidak stasioner. Proses differencing terutama dilakukan pada
data-data yang tidak stasioner. Dalam pengembangannya dikenal pula model
musiman ARIMA (p,d,q)(P,D,Q)s dengan P, D, Q, dan s masing-masing
menunjukkan orde ARmusiman, pembedaan musiman sebanyak Dkali, orde MA
musiman, dan panjang musiman (s periode). Proses autoregressive (AR) dan
proses moving average (MA) dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut
(Montgomeryet al. 2008);
- ProsesAutoregreesive(AR)
t p t p t
t
t Y Y Y e
Y 1. 12. 2 . ... (9)
dimana : = suatu konstanta
p
1, 2,, = koefisien autoregresif ke-1, ke-2 hingga ke- p
t
- Prosesmoving average(MA)
dimana : = suatu konstanta
p
1, 2,, = koefisien rata-rata bergerak ke-1, ke-2 hingga ke-q
t
e = nilai galat (kesalahan)
Berdasarkan Otok (2009), model autoregressive (AR) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara suatu nilai pada waktu saat ini (Zt) dan nilai pada waktu
yang telah lalu (Zt-k) yang ditambahkan dengan nilai acak. Sedangkan model
Moving Average (MA) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nilai pada
saat ini (Zt) dengan nilai sisaan di waktu lampau (at-k dengan k=1,2…). Model ARIMA (p,d,q) merupakan gabungan antara AR(p) dan MA(q), dengan pola data
yang tidak stasioner dan d pembedaan (differencing). Bentuk ARIMA(p,d,q)
adalah sebagai berikut (Otok 2009):
Øp(B)(1-B)dZt= θq(B)ɑt, …(11)
di mana p adalah orde AR, q adalah orde MA, d adalah orde pembedaan, dan
Øp= (1- Ø1B–Ø2B2-………- ØpBp) …(12)
Øq= (1- Ø1B–Ø2B2-………- ØqBq) …(13)
Secara umum model ARIMA untuk pola data musiman yang dituliskan sebagai
ARIMA(p,d,q)(P,D,Q)s, adalah sebagai berikut:
Øp(B) Øp(Bs)(1-B)d
(1-Bs)DZt = Øq (B)ΘQ(Bs) ɑt, dimana s = periode
musiman,
Øp(Bs) = (1- Ø1Bs–Ø2B2s-………- ØpBps), …(14)
ΘQ(Bs) =(1-Θ1Bs-Θ2B2s-……..-ΘQBQs). …(15)
Pemodelan ARIMA pada dasarnya meliputi tiga tahapan yang harus
dilakukan secara berurutan (Montgomeryet al. 2008), yaitu :
1. Identifikasi model; dilakukan antara lain dengan membuat plot deret berkala (time series) atau scatterplot suatu data, identifikasi stasioner
data, dan penyusunan parameter-parameter model dengan menggunakan
metode Autokorelasi (Autocorrelation function/ACF) dan Autokorelasi
2. Estimasi (penaksiran) parameter; komponen-komponen Autoregresif (AR) dan rata-rata bergerak (MA) untuk melihat apakah
komponen-komponen tersebut secara signifikan memberikan kontribusi pada model
atau salah satunya dapat dihilangkan
3. Pengujian dan penerapan model, untuk menduga series data beberapa periode ke depan. Pada tahap ini dilakukan pula analisis nilai galat
(residual analysis) untuk melihat apakah nilai galat bersifat acak
(random) dan berdistribusi normal yang mengindikasikan model yang
baik. Salah satu kriteria model prakiraan yang baik adalah nilai galat
diasumsikan berdistribusi normal dengan rata–rata nol dan variansi konstan.
Pemanfaatan model ARIMA untuk prediksi curah hujan telah banyak
dilakukan (Otok 2009; Tresnawati 2010; Mauludiyanto et al. 2009;
Somvanshiet al.2006). Sifat data curah hujan yang umumnya tidak stasioner dan
mempunyai pola musiman, perlu dilakukan proses differensiasi yang bertujuan
untuk menstasionerkan data non-stasioner, kemudian dengan melihat hasil pada
Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF)
didapat derajat (q) untuk MA dan derajat (q) untuk AR (Tresnawati 2010).
Pemanfaatan model ARIMA dalam prediksi baik curah hujan maupun parameter
lainnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Korelasi hasil prediksi suhu muka
laut di Kawasan Nino 3.4 menggunakan model ARIMA menunjukkan korelasi
dengan data observasi cukup baik, yaitu sebesar 64% di wilayah Purbalingga Jawa
Tengah (Tresnawati 2010). Hasil tersebut kemudian digunakan sebagai input
prediksi curah hujan menggunakan Kalman Filter, dimana hasil prediksi
menunjukkan korelasi koefisien model antara 70% - 89%. Aplikasi Model
ARIMA untuk prediksi curah hujan tahunan di wilayah Malaysia juga telah
dilakukan (Somvanshiet al. 2006). Hasil prediksi menunjukkan hasil yang cukup
baik dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9535 dan nilai RMSE
sebesar 35.882. Sedangkan Mauludiyanto et al. (2009), menggunakan model
V ARIMA untuk memprediksi pengaruh jarak antar titik – titik stasiun pengamatan hujan dengan mengidentifikasi beberapa parameter yang tidak
km, maka data curah hujan diantara 2 stasiun hujan tidak saling berpengaruh.
Sebaliknya jika jarak antar stasiun < 1 km, maka hasil perekaman data curah
hujan saling mempengaruhi.
2.6. Kriteria Pemilihan Model
Pemilihan model dilakukan setelah diperoleh beberapa model persamaan
yang telah dibangun. Pemilihan ini bertujuan untuk mendapatkan model terbaik
dari model-model yang telah diperoleh dimana parameter duga yang diperoleh
akan dijadikan sebagai faktor koreksi data satelit TRMM. Perbandingan dan
pemilihan model matematik dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria
koefisien korelasi dan nilai galat model, seperti nilai RMSE (Root Mean Square
III. METODOLOGI
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi evaluasi dan validasi data curah
hujan bulanan keluaran satelit TRMM terhadap data observasi dan pembangunan
model persamaan untuk pendugaan curah hujan bulanan yang mengintegrasikan
data hujan satelit TRMM dengan data hujan permukaan di wilayah dengan tiga
pola hujan berbeda, yaitu Wilayah A (pola muson), Wilayah B (pola equatorial)
dan Wilayah C (pola lokal) (Aldrian & Susanto 2003; Prasetia 2012). Wilayah
tersebut yaitu :
Wilayah Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan; mewakili
Wilayah A (pola muson);
Wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat; mewakili Wilayah B
(pola equatorial);
Wilayah Maluku dan Gorontalo; mewakili Wilayah C (pola Lokal).
Secara spasial, wilayah studi ditunjukkan pada Gambar 10 dengan gambaran
seluruh grid satelit TRMM pada masing-masing wilayah.
3.2. Data dan Alat
Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkatnotebook
dengan software pengolahan data Matlab, ArcGis 9.3, Software FEWS/DEWS,
Minitab 15, Microsoft Excel, dan Microsoft Word.
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan 3 jam-an dari satelit TRMM tipe 3B42RT versi 5
(periode 2003-2008) dan versi 6 (periode 2009-2010) yang bersifat Near
Real-Time. Data satelit 3B42RT berbentuk grid dengan resolusi spasial
0.25ox 0.25o, pengamatan pada pukul 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, 21 UTC.
Format data berbentuk binary dan dapat diunduh dari
ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/TRMM/Gridded/DrivedProducts/ .
Periode data yang digunakan yaitu:
✁ Periode pengamatan tahun 2003-2009, digunakan untuk evaluasi dan validasi data TRMM, dan membangun model penduga hujan bulanan
✁ Data tahun 2010, digunakan untuk verifikasi model penduga yang dibangun.
2. Data curah hujan bulanan permukaan dari stasiun hujan yang mewakili
tiga tipe wilayah dengan pola hujan berbeda (Sumber data: BMKG).
Sedangkan untuk periode pengamatan data yang digunakan yaitu :
✁ Periode pengamatan 30 tahun (1981-2010); digunakan untuk mengetahui pola hujan secara klimatologis di setiap wilayah studi
(Lampiran 2).
✁ Periode pengamatan tahun 2003–2009; digunakan untuk evaluasi dan validasi data TRMM dan untuk membangun model penduga curah
hujan bulanan
✁ Data tahun 2010; digunakan sebagai data training untuk verifikasi model penduga data hujan yang telah dibangun.
Periode tahun 2003-2010 digunakan karena data satelit TRMM 3B42RT
mulai ada sejak bulan Pebruari 2002 hingga sekarang. Data curah hujan diperoleh
dari stasiun hujan terpilih yang ditunjukkan pada Lampiran 4.
3. Data koordinat stasiun hujan (sumber: BMKG) dan Peta Batas Adminitrasi
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Analisis klimatologis untuk pola hujan
Analisis klimatologis dilakukan dengan menggunakan data hujan bulanan
selama 30 tahun (1981-2010) untuk mengetahui pola hujan di masing-masing
wilayah studi. Analisis yang dilakukan yaitu dengan menghitung curah hujan
rata-rata bulanan selama 30 tahun kemudian membuat plot pada grafik curah hujan
rata-rata bulanan. Pada analisis tersebut, digunakan persamaan sebagai berikut:
= ∑ …(16)
Dengan, = curah hujan rata-rata bulanan
N = jumlah data
Xi = curah hujan bulan ke-i
3.3.2. Ekstraksi Data Satelit TRMM
Pengolahan data diawali dengan mengunduh data satelit TRMM resolusi
3 jam-an dari ftp penyimpanan. Data TRMM tersimpan dalam format binary
(*.bin) dalam bentuk .zip file, sehingga harus diekstraksi terlebih dahulu agar
dapat dibaca oleh perangkat lunak pengolah data hujan untuk dapat digunakan
pada proses selanjutnya. Ekstraksi data satelit TRMM format binary dilakukan
dengan merubah format binary menjadi ASCII file menggunakan program
Matlab. Selanjutnya data dengan format ASCII, diimport ke dalam software
(perangkat lunak) FEWS/DEWS (Flood Early Warning System/Drought Early
Warning System) untuk merubah data 3 jam-an menjadi data harian. Data harian
diperoleh dari data 3 jam-an dimana data tersebut diakumulasi mulai pengamatan
jam 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, dan 21 UTC, hingga menjadi data harian.
Selanjutnya untuk analisa bulanan, data hujan harian diakumulasi selama satu
bulan sehingga diperoleh data hujan bulanan.
Reduksi data grid TRMM dilakukan sesuai dengan domain wilayah
Indonesia, yaitu lintang 7.12o LU–10.62o LS dan bujur 95.12o BT–156.12o BT, dilakukan di dalamsoftwareFEWS/DEWS yang dikembangkan oleh BMKG dan
Deltares (Belanda). Selanjutnya dari sistem tersebut, data hujan satelit TRMM
resolusi bulanan diekstrak untuk masing-masing wilayah studi. Gambaran
3.3.3. Pemilihan Stasiun Hujan dan Grid TRMM
Pemilihan stasiun hujan ditujukan untuk menentukan stasiun – stasiun pada suatu grid TRMM tertentu di wilayah studi yang akan digunakan untuk validasi
data satelit TRMM. Kemudian data satelit TRMM yang telah divalidasi akan
digunakan untuk membangun model penduga curah hujan bulanan. Pemilihan
stasiun hujan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Tahap 1; Pada tahapan pertama, dilakukan pengumpulan seluruh data
stasiun hujan dan data curah hujan di wilayah studi, pemeriksaan
koordinat dan status keaktifan stasiun hujan, pembuatan peta plot data
stasiun hujan dan grid TRMM untuk mengetahui sebaran stasiun hujan
secara spasial, dan pemeriksaan data time series hujan baik pada stasiun
tertentu maupun terhadap stasiun hujan lainnya.
2. Tahap 2; Pada tahapan kedua, analisis dilakukan untuk memperoleh
persentase coverage data (ketersediaan) data di setiap stasiun pada
periode 2003-2009. Persentase yang digunakan adalah lebih dari 75%
untuk dapat merepresentasikan kondisi hujan pada tiap stasiun periode
bulanan. Time series data yang kurang lengkap dapat diterima untuk
analisis hujan bulanan dengan coverage data sedikitnya 70%. Selain itu
dilakukan kendali mutu (quality control) data menggunakan
perbandingan terhadap data hujan antar stasiun lainnya.
3. Tahap 3; pada tahapan ketiga, analisis dilakukan untuk pemilihan
stasiun hujan dengan ketersediaan data >75% yang akan digunakan
untuk validasi data TRMM. Pemilihan stasiun dilakukan berdasarkan
pertimbangan dalam satu grid TRMM, terdapat lebih dari satu stasiun
hujan untuk dapat merepresentasikan hujan dalam luasan satu grid. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa luas satu grid TRMM cukup
luas yaitu 770 km2 (0.25o x 0.25o atau sekitar 27.75 x 27.75 km),
sedangkan satu stasiun hujan mewakili wilayah 7 hingga 10 km dari titik
stasiun hujan tersebut. Khusus untuk wilayah kepulauan seperti Maluku,
dimana jumlah stasiun hujan sangat sedikit, maka grid dengan satu
stasiun akan tetap digunakan untuk analisis. Pertimbangan selanjutnya
menyebar, dan pemeriksaan kualitas data apakah terdapat data pencilan
atau data ekstrim.
4. Pemilihan grid TRMM dilakukan sejalan dengan pemilihan stasiun
hujan, dimana grid yang digunakan adalah grid dengan stasiun hujan
terpilih. Ukuran grid yang digunakan mempunyai ukuran sama, yaitu
1x1, 2x2, dan seterusnya tergantung pada ketersediaan data stasiun
hujan permukaan.
3.3.4. Analisis Hubungan dan Validasi Data Hujan Observasi dan Satelite TRMM
Dalam pengolahan data hujan observasi dari stasiun hujan permukaan dan
dari satelit TRMM, dihitung nilai rata-rata pada kedua data tersebut. Untuk data
hujan observasi dari stasiun hujan di masing-masing wilayah studi, digunakan
nilai rata-rata aritmatika dari seluruh stasiun hujan, menggunakan persamaan:
= ∑ …(17)
Sedangkan data hujan satelit TRMM, digunakan persamaan rata-rata
terboboti (weighted average) dimana dalam setiap grid terdapat lebih dari satu
stasiun hujan. Persamaan rata-rata terboboti tersebut dinyatakan dengan rumus:
= ∑ …(18)
Dimana = Curah hujan rata-rata bulanan
xi= Data curah hujan bulan ke-i pada grid cell ke-j
nij= Jumlah stasiun hujan pada grid cell ke-j
n = Total jumlah stasiun hujan yang digunakan
Analisis pola hubungan antara data observasi dengan data TRMM dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan data TRMM dalam
merepresentasikan pola data observasi. Analisis ini juga dilakukan untuk
eksplorasi terhadap data sebelum pendugaan model dan diagnostik terhadap
penduga model untuk mengetahui pola hubungan antar peubah bebas (X) dengan
peubah tak bebas (Y) dengan membuat plot tebaran pasangan data (X,Y).
Sedangkan diagnostik penduga model dilakukan melalui analisis residual untuk
memeriksa apakah asumsi-asumsi yang mendasari model regresi terpenuhi.
(homoscedascity), keacakan (randomness), dan kebebasan (independence).
Analisis statistika yang digunakan sebagai berikut:
1. Kurva massa ganda; kurva massa ganda digunakan untuk melihat time
series data yang digunakan untuk analisis bersifat kontinu atau tidak.
2. Korelasi; dilakukan untuk melihat kuat tidaknya hubungan x dan y
diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi (r).
= ∑ ∑ ∑
∑ (∑ ) ∑ (∑ ) ...(19)
dengan x = data CH satelit TRMM, y = CH satelit observasi
3. Galat; merupakan perbedaan rata-rata antara data TRMM dengan data
observasi, menggunakan persamaan:
✂ Root Mean Square Error/(RMSE (akar kuadrat galat)
= ∑ ( ) − ( ) …(20)
✂ Mean Absolute Error/MAE (rata-rata galat mutlak);
= ∑ | ( ) − ( )| …(21)
✂ =
∑ ( ) ( )
∑ ( ) 100 …(22)
3.3.5. Penentuan Faktor Koreksi untuk Data TRMM
Penentuan faktor koreksi untuk data satelit TRMM dilakukan mengetahui
besarnya parameter a dan b sebagai faktor koreksi pada persamaan garis antara
data observasi dengan data satelit TRMM menggunakan metode kuadrat terkecil
(least square method). Pada metode ini dicari nilai galat atau jumlah kuadrat galat
(JKG) paling kecil/minimal yang dihasilkan dari masing-masing persamaan
regresi, dimana semakin minimum nilai galat atau JKG akan semakin baik model
persamaannya. Persamaan dasar yang digunakan sebagai berikut:
= ‖ − ( ; , , … )‖ …(23)
Dimana : ε = galat model/RMSE
CHobs = curah hujan observasi
CHTRMM = curah hujan satelit TRMM
a,b,c,… = parameter (sebagai faktor koreksi)