• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Produks i Sel Embrio Somatik K. alvarezii melaui Induksi Kalus

4.2.1 Visualisasi Hasil Elektroporasi dengan Mikroskop

17

pandang pengamatan di mikroskop. Pengambilan sampling bidang pandang dilakukan secara acak dan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali untuk mendapatkan rata-rata persentase sel sebagai representasi dari jumlah keseluruhan sel yang dielektroporasi (12x103

3. 4. 2. 3 Deteksi DNA Transforman dengan Polymerase Chain Reaction Purifikasi DNA Genom Transforman

DNA diekstraksi menggunakan kit “Puregene DNA purification KIT – USA” diawali dengan melisis sel dan RNase teatment, dengan cara : sampel hasil perlakuan masing-masing 5-20 mg dimasukkan ke dalam microtube bervolume 1,5 ml yang telah berisi 200 µl cell lysis solution dan 1,5 µl proteinase K, larutan dihomogenisasi dengan vorteks kemudian diinkubasi pada suhu 55

). Tingkat ekspresi GFP dikelompokkan dengan kategori hijau lemah, sedang dan kuat.

3. 4. 2. 2 Penapisan Transforman dan Regenerasi pada Media Seleksi

Transforman yang mengekspresikan gen GFP ditapis dan diseleksi lebih lanjut dengan cara mengkultur embrio somatik hasil elektroporasi pada media agar semi solid 0.6% yang diperkaya conway 2 ppm yang mengandung antibiotik kanamisin 100 ppm, sesuai antibiotik bawaan yang terdapat dalam peta konstruksi gen (dosis diperoleh dari hasil uji pendahuluan sebelumnya). Pemeliharaan dilakukan selama 2(dua) bulan atau sampai regenerasi stabil, dimana pergantian media kultur dilakukan setiap 30 hari dengan media baru yang sama. Pertumbuhan dan regenerasi sel embrio somatik diamati menggunakan mikroskop.

o

C semalaman atau sampai lisis dengan sempurnah. Sampel yang telah lisis, dibiarkan sampai mencapai suhu ruang kemudian ditambahkan 1,5 µl RNase dan dihomogenkan dengan membolak balik microtube secara perlahan sebanyak 25 kali, inkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam kemudian disimpan pada es (on ice) selama 5 menit. Selanjutnya presipitasi protein dengan menambahkan 100 µl protein precipitation solution ke dalam sel lisis yang telah ditreatmen RNase kemudian divorteks selama 30 detik agar tercampur dengan merata. Sample disimpan pada es selama 10-15 menit

Amplifikasi DNA Transforman dengan PCR

Amplifikasi DNA hasil ekstraksi menggunakan mesin PCR (polymerase chain reaction). Primer yang digunakan adalah GFP-F 5’-GGTCGAGCTGGACGG- 3’ dan GFP-R 5’- ACGAACTCCAGCAGG- 3’. Proses PCR dijalankan pada suhu pre-denaturasi 94oC selama 3 menit; 35 siklus untuk denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 62oC selama 30 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit ; dan final ekstensi 72oC selama 3 menit, selanjutnya penyimpanan sementara pada suhu 4oC. Untuk melihat pita yang terbentuk, hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1% dengan voltase 200 V dan kuat arus 70 mA.

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Produksi Sel Embrio Somatik K. alvarezii melalui Induksi Kalus

4. 1. 1 Induksi dan Pembentukan Kalus

Eksplan yang terinduksi pada tahapan induksi kalus ditandai dengan tumbuhnya massa sel yang tidak terorganisir, sel tumbuh keluar dari eksplan, dengan jenis dan tipe kalus friable atau remah (Gambar 1A), sedangkan eksplan yang gagal induksi ditandai dengan tidak terbentuknya sel-sel kalus, bahkan eksplan mengalami pemucatan dan akhirnya mati (Gambar 1B). Pada Gambar 2, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa induksi kalus tertinggi diperoleh pada rasio IAA : kinetin = 1,0 : 1,0 ppm dengan konsentrasi agar media 0,8% (90± 0,0%) dan 1,0 % (90± 10,0%). Hal ini dapat berlangsung karena keseimbangan rasio ZPT antara IAA dan kinetin, dimana keduanya dibutuhkan dalam proses induksi. Peran IAA yang (tergolong kelompok ZPT auksin) terlibat dalam banyak proses fisiologis tumbuhan, antara lain : pemanjangan sel dan pembentukan kalus (Harjadi 2009) dan juga atas sinergisitas peran dari kinetin (tergolong kelompok ZPT sitokinin) dimana peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis, dan pembentukan kloroplas (Wattimena et al. 1992).

Gambar 1 Karakteristik induksi kalus pada rumput laut K. alvarezii setelah 2 bulan kultur : (A) Morfologi eksplan yang terinduksi, dan (B) Gagal (tidak) terinduksi.

Tingkat induksi kalus pada rasio ZPT IAA : kinetin = 0,5 : 0,0 ppm dengan konsentrasi agar media 1,5% menghasilkan tingkat induksi lebih rendah dari perlakuan lainnya (50±10,0%), hal ini diduga karena tidak ditambahkannya kinetin (0 ppm) sementara peran fisiologisnya tetap dibutuhkan dalam proses

A 8 mm B

Rasio ZPT (ppm) IAA : kinetin 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0,6 0,8 1,0 1,5

Konsentrasi agar media induksi (%)

T ingk at i nduk s i k al us ( % ) 0,5:0,0 1,0:1,0 2,0:0,2

induksi kalus walaupun dalam jumlah kecil. Keberhasilan induksi kalus pada penelitian ini sedikit lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh Raddy et al. (2003), dimana tingkat induksi kalus tertinggi yang diperoleh (80%) dengan kombinasi ZPT NAA : BAP (1 :1 ppm).

Gambar 2 Pengaruh perlakuan rasio ZPT dan konsentrasi agar media terhadap tingkat induksi kalus pada rumput laut Kappaphycus alvarezii

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingginya tingkat induksi didukung oleh konsentrasi agar yang sesuai. Pada konsentrasi 0,8 dan 1,0% merupakan konsentrasi agar media induksi yang sesuai untuk induksi kalus K. alvarezii. Hal ini diduga disebabkan karena pada konsentrasi agar media induksi terlalu tinggi (1,5%) menyebabkan tingkat kerapatan dan kepadatan massa media juga tinggi sehingga mempengaruhi tingkat penyerapan nutrien dan secara tidak langsung berpengaruh pada proses induksi (Suryati & Mulyaningrum 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa konsentrasi agar media yang terlalu rendah (0,6%) dapat menyebabkan porisitas, kekenyalan dan kepadatan massa media sangat labil. Namunpun demikian tingkat induksi pada konsentrasi agar media 0,6% masih lebih baik dari konsentrasi agar media 1,5%. Penelitian Suryati dan Mulyaningrum (2009) memperoleh tingkat induksi hanya 30% pada konsentrasi agar 0,6%, banyak eksplan mengalami pemucatan sampai kematian dan pada konsentrasi agar 1,2% eksplan mengalami dehidrasi dan ahirnya juga mengalami kematian.

21 Rasio ZPT (ppm) IAA : Kinetin 0 1 2 3 4 5 6 0,4 0,6 0,8

Konsentrasi agar media induksi (%)

D ia me te r ma ssa se l e .s (mm) 0,5:0,0 1,0:1,0 2,0:0,2

4. 1. 2 Regenerasi Massa Sel Embrio Somatik K. alvarezii

Kultur Sel Embrio Somatik pada Media Agar Semi Solid

Hasil pengamatan (Gambar 3) menunjukkan bahwa pada kultur lebih lanjut di media agar semi solid, ZPT tidak memberikan pengaruh antar perlakuan terhadap penambahan massa sel embrio somatik (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh bukan faktor pembatas untuk perkembangan sel embrio somatik rumput laut K. alvarezii .

Gambar 3 Pengaruh perlakuan rasio ZPT dan konsentrasi agar media terhadap tingkat perkembangan massa sel pada kultur di media agar semi solid Wattimena et al. (1992) menyebutkan bahwa pada awal proses embriogenesis untuk menghasilkan sel embriogenik yang viabel, jaringan atau sel perlu dilakukan subkultur ke media dengan auksin rendah atau tanpa auksin sama sekali, bahkan kultur yang terlalu lama pada media dengan auksin tinggi sebelum disubkultur dapat menghilangkan daya embriogenesisnya. Perkembangan massa sel embrio somatik tertinggi (rata-rata diameter massa sel = 5±1,0 mm) diperoleh pada perlakuan tanpa ZPT dengan konsentrasi agar 0,6% untuk masa pemeliharaan 1 (satu) bulan (Gambar 4B), dan yang terendah diperoleh dari perlakuan ZPT rasio IAA : kinetin = 0,1 : 1,0 dengan konsentrasi agar media 0,8% (rata-rata diameter massa sel = 3± 1,0 mm), sedangkan perlakuan lainnya rata-rata diameter massa sel adalah 4 mm, dimana massa sel embrio somatik pada awal kultur masing-masing rata-rata 1 mm (Gambar 4A). Pada konsentrasi 0,6%

merupakan konsentrasi agar media pemeliharaan yang sesuai untuk regenerasi massa sel embrio somatik pada media semi solid. Hal ini disebabkan perkembangan awal sel membutuhkan porositas dan kerapatan media yang rendah sehingga menunjang laju pertumbuhan yang maksimal. Pada penelitian Raddy et al. (2003), diperoleh hasil perkembangan massa sel antara 1-5 mm dengan masa pemeliharaan yang sama.

Gambar 4 Perkembangan massa sel embrio somatik K. alvarezii pada kultur media agar semi solid: A. Massa sel pada hari-1 kultur (bar = 0,2 mm), B. Massa sel pada umur 1 bulan kultur (bar = 5 mm). Tanda bulatan menunjukkan massa sel embrio somatik.

Kultur Sel Embrio Somatik pada Media Cair

Hasil pengamatan di bawah mikroskop, sel embrio somatik terbentuk sebagai tunas baru dari permukaan sel dan memanjang ke daerah apikal dari filamen (Gambar 5A), berasal dari sel dengan ukuran 3-5 µm selanjutnya berkembang menjadi filamen baru sebagai bakal rumput laut muda (Gambar 5B). Perkembangan sel embrio somatik dari sel tunggal dengan ukuran 3-4 µm, menjadi dua sel, tiga sel, empat sel dan selanjutnya berkembang menjadi filamen (Gambar 6) dengan masa kultur 1 (satu) bulan terjadi pemanjangan sel baru rata-rata 5 mm ( Gambar 7).

Pada penelitian Raddy et al. (2003) menyebutkan bahwa embrio somatik terjadi sebagai tunas kecil di atas permukaan dari sel-sel dan memanjang ke daerah apikal dari filamen. Tunas ini berasal dari satu sel tunggal yang kecil dengan ukuran <10 µm dengan ciri-ciri berisi sitoplasmik padat dan pigmentasi.

23

Gambar 5 (A) Tanda bulatan : sel embrio somatik berupa tunas baru yang tumbuh dari sel dan memanjang ke daerah apikal dari filamen, (B) Filamen yang merupakan kumpulan se-sel embrio somatik sebagai calon rumput laut K. alvarezii muda.

Gambar 6 Perkembangan sel embrio somatik K. alvarezii : (A) sel tunggal, (B) dua sel, (C) tiga sel, (D) empat sel, (E & F) menjadi filamen.

Gambar 7 Tanda bulatan : pemanjangan sel baru (rata-rata 0,5 mm) pada umur 1 bulan di kultur media cair.

Sel embrio somatik, selain pada fase ini dapat digunakan sebagai agen introduksi gen untuk kegiatan transgenesis rumput laut, juga dapat digunakan untuk kultur lebih lanjut menjadi calon rumput laut muda. Supena (2008) menyebutkan bahwa beberapa kelebihan embrio somatik antara lain berasal dari

m m m 20µm 15µm 6µm B C E F A D A 8 µm B 20 µm

individu sel (satu sel somatik) sehingga penyeragaman dan pemurnian tanaman regeneran lebih mudah, suspensi sel embrio somatik dapat digunakan sebagai bahan untuk kultur protoplas, dapat digunakan sebagai material untuk transfer gen baik secara individu sel ataupun kluster sel embrio somatik, sehingga dapat mempercepat keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi. 4. 2 Introduksi Gen dan Analisis Ekspresi

4. 2. 1 Visualisasi Hasil Elektroporasi dengan Mikroskop Fluoresen

Pada massa sel embrio somatik hasil elektroporasi terlihat ada yang berpendar hijau (Gambar 8A-D) sedangkan pada kontrol yang tidak dielektroporasi tidak berpendar hijau (Gambar 8E-F). Hal ini menunjukkan bahwa introduksi gen GFP menggunakan metode elektroporasi berhasil dilakukan pada embrio somatik K. alvarezii. Selanjutnya, terdapat perbedaan persentase sel berpendar dan intensitas pendaran GFP yang dikendalikan oleh promoter berbeda. Persentase sel berpendar tertinggi diperoleh pada konstruksi pCMV-GFP, diikuti oleh konstruksi pCaMV dan pmBA-GFP, dan yang terendah adalah pJfKer-GFP (Tabel 1). Intensitas pendaran GFP yang dikendalikan oleh promoter CMV, CaMV dan mBA adalah relatif sama yaitu tergolong sedang dan kuat, sedangkan pada JfKer intensitasnya lemah (Tabel 1 dan Gambar 4). Demikian juga halnya dengan waktu mulai GFP berpendar, yaitu pada pCMV-GFP lebih cepat dibandingkan dengan pCaMV-GFP dan pmBA-GFP, dan yang paling lambat adalah pJfKer-GFP. Perbedaan intensitas dan waktu awal ekspresi GFP ini diduga disebabkan oleh perbedaan respons faktor cis pada promoter terhadap faktor trans dari inang (Inyengar et al. 1996; Alimuddin 2003).

Tabel 1 Persentase sel berpendar, intensitas dan waktu mulai muncul pendaran GFP pada sel embrio K. alvarezii hasil elektroporasi dengan promoter berbeda (jumlah sel yang dielektroporasi = 12 x 103

Konstruksi gen sel). Sel berpendar (%) Intensitas pendaran GFP Waktu mulai berpendar (s.e*); jam ke-) pCMV-GFP 34,10±1,49a sedang, kuat 1 pCaMV-GFP 10,48±0,25b sedang, kuat 2 pmBA-GFP 8,85±2,31b sedang, kuat 2

pJfKer-GFP 4,79±0,26c lemah 3

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05), angka ditulis dalam rataan ± SD, *) s.e = setelah elektroporasi

25

Adanya ekspresi gen berpendar merupakan salah satu bukti akan aktifnya promoter yang digunakan, sehingga fungsi promoter sebagai regulator gen target dapat terjadi. Aktifnya beberapa promoter diduga sangat erat kaitannya dengan keberadaan faktor-faktor transkripsi penting sebagai regulator gen target.

Intensitas pendaran : Kuat, Sedang, Lemah, Tidak berpendar

Gambar 8 Ekspresi gen GFP pada sel embrio somatik rumput laut K. alvarezii setelah elektroporasi dengan konstruksi gen pCMV-GFP (A), pCaMV-GFP (B), pmBA-pCaMV-GFP (C), pJfKer-pCaMV-GFP (D), kontrol fluoresen tanpa elektroporasi (E), dan kontrol pada mikroskop biasa (F)

4. 2. 2 Penapisan Transforman dan Regenerasi pada Media Seleksi

Hasil pengamatan lebih lanjut dari hasil penapisan dan regenerasi transforman pada media seleksi menunjukkan hasil yang cukup stabil dan menandakan bahwa gen GFP telah berhasil diintegrasikan dengan baik ke dalam genom rumput laut tersebut dan ekspresinya bersifat konstitutif pada semua bagian filamen.

Penambahan antibiotik kanamisin 100 ppm ke dalam media kultur, embrio somatik rumput laut hasil elektroporasi bertahan hidup dan tumbuh (Gambar 9A), sedangkan embrio kontrol yang bukan hasil elektroporasi mati setelah 1 bulan dikultur (Gambar 9B). Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel embrio somatik hasil elektroporasi tersebut membawa konstruksi gen GFP yang dilengkapi dengan marka resisten kanamisin. Dibandingkan dengan kondisi awal massa embrio somatik hasil elektroporasi, jumlah sel yang mengekspresikan gen GFP bertambah

B D C A F E 12µm 26µm 28µm 28µm 32µm 36µm

banyak setelah dikultur 1 bulan (Gambar 9C-F). Jumlah sel embrio somatik yang berpendar hijau terang setelah dikultur 1 bulan untuk konstruksi gen pCMV-GFP dan pCaMV-GFP relatif sama, sedangkan untuk konstruksi pmBA-GFP dan pJfKer-GFP lebih rendah dibandingkan kedua konstruksi gen sebelumnya.

Tingkat pendaran GFP juga terlihat meningkat menjadi hijau terang (Gambar 9C-F) dibandingkan kondisi awal dengan pendaran kuning kehijauan (Gambar 8A-D). Hal ini diduga bahwa sel-sel embrio dengan pendaran hijau terang tersebut merupakan hasil pembelahan mitosis dari sel embrio awal yang berpendar hijau terang. Dugaan lainnya adalah bahwa gen GFP telah terintegrasi ke genom rumput laut tersebut setelah mengalami pembelahan mitosis. Dengan demikian, sel-sel embrio yang mengekspresikan GFP tersebut merupakan transgenik stabil, meskipun dugaan ini masih membutuhkan pembuktian dengan analisis Southern blot.

Intensitas pendaran : Kuat, Sedang, Lemah, Tidak berpendar

Gambar 9 Sel embrio somatik rumput laut K. alvarezii setelah ditumbuhkan di media

seleksi (umur 1 bulan). (A) Transforman: tumbuh, (B) Non transforman: mati. Gen GFP diekspresikan secara konstitutif pada (C) pCMV-GFP, (D) pCaMV-GFP, (E) pmBA-GFP, (F) pJfKer-GFP.

4. 2. 3 Deteksi DNA Transforman dengan Polymerase Chain Reaction

Hasil analisis PCR menunjukkan bahwa keberadaan sekuen gen penanda (GFP) yang diintroduksikan ke dalam sel embrio somatik rumput laut K. alvarezii sesuai dengan primer gen tersebut, seperti ditunjukkan pada Gambar 10B, terdapat pita DNA produk PCR dengan cetakan DNA genom dari embrio somatik transforman menggunakan konstruksi gen pCMV-GFP (Gambar 10B kolom 1)

C F A B 30µm D 20µm 28µm E 28µm 4mm 1mm

27

dan pJfKer-GFP (Gambar 10B kolom 3), sama ukurannya dengan produk PCR dengan cetakan berupa konstruksi gen GFP pada posisi sekitar 600 bp (Gambar 10B C+). Sementara itu, produk PCR DNA K. alvarezii non-transgenik tidak menghasilkan pita DNA yang sama dengan ukuran fragmen GFP (Gambar 10B NT). Hal ini menggambarkan bahwa embrio somatik transforman mengandung gen GFP dan sudah menyisip ke dalam genom K. alvarezii dan tidak didapatkan pada non-transgenik. Produk PCR dengan cetakan DNA genom dari pCaMV-GFP (Gambar 10B kolom 2) dan pmBA-pCaMV-GFP (Gambar 10B kolom 4) tidak terlihat, tetapi kondisi DNA genom hasil ekstraksi untuk keempat konstruksi gen tersebut relatif sama (Gambar 10A). Tidak adanya pita DNA produk PCR tersebut diduga disebabkan karena jumlah embrio somatik transforman yang membawa GFP yang diambil untuk ekstraksi DNA genom sangat sedikit atau tidak ada.

Gambar 10 (A) DNA genom hasil ekstraksi, keempat konstruksi gen relatif sama (>10 kb), (B) Tanda panah menunjukkan fragmen gen GFP pada posisi sekitar 600bp; M=Marker DNA, 1=pCMV-GFP, 2=pCaMV-GFP, 3=pJfKer-2=pCaMV-GFP, 4=pmBA-2=pCaMV-GFP, C+=Kontrol plasmid 2=pCaMV-GFP, dan NT=Non transgenik.

Perbedaan ekspresi dari masing-masing promoter sangat ditentukan oleh sifat dan karakter promoter. Promoter yang baik, memiliki sifat antara lain: constitutive berarti promoter dapat aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon, ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan dan bukan pada jaringan tertentu saja, house keeping berarti promoter dapat aktif kapan saja bila diperlukan (Liu 1990 dalam Volckaert 1994). Promoter yang

M 1 2 3 4 NT 6,0 - kb 8,0 - 10,0 - ◄ (A) M 1 2 3 4 C+ NT 0,5 - 0,7 - 0,8 - ◄ (B)

hanya aktif pada jaringan spesifik, aktivitasnya lebih lemah dari yang bersifat ubiquitous (Hackett 1993).

Efektivitas suatu promoter juga dipengaruhi oleh kesesuaian cis-acting promoter dan trans-acting inang (Inyengar et al. 1996; Alimuddin 2003). Promoter dengan ekspresi kuat : elemen cis-actingnya lebih dikenali oleh elemen trans-acting inang, kekurangsesuaian elemen cis-acting promoter dengan elemen trans-acting inang, berakibat pada terhambatnya mekanisme transkripsi sehingga tidak menghasilkan ekspresi yang optimal. Cis-acting (faktor transkripsi) mempengaruhi transkripsi dalam segmen DNA yang sama dimana promoter tersebut berada. Sekuen ini dikenali oleh RNA polimerase yang kemudian menempel dan mengendalikan proses transkripsi (Hackett 1993; Glick & Pasternak 2003).

Perbedaan ekspresi transgen mungkin berhubungan dengan posisi dimana transgen terintegrasi dalam kromosom. Ekspresi gen yang lemah atau bahkan tidak ada sama sekali bila terintegrasi di sentromer atau di telomer dimana DNA tidak aktif melakukan transkripsi, selain itu kemungkinan integrasi gen terjadi secara acak dalam kromosom sehingga terjadi perbedaan tingkat ekspresi gen (Alimuddin et al. 2007).

Proses transkripsi suatu gen sangat dipengaruhi oleh karakteristik sekuen promoter yang mengaturnya. Proses transkripsi suatu gen umumnya diawali oleh penempelan faktor transkripsi dan kompleks enzim RNA polymerase yang berada pada daerah promoter. Sekuen faktor transkripsi adalah elemen yang menentukan dan berperan dalam aktivitas promoter, meliputi : boks TATA yang berperan dalam mengarahkan proses transkripsi berlangsung pada posisi yang benar, boks CCAAT berfungsi dalam peningkatan ekspresi dengan stimulasi tertentu, dan CC(A/T)6GG atau motif CArG berperan dalam pengaturan serum response element (Quitschke et al. 1988; Takagi et al. 1994). Boks TATA merupakan elemen yang umum dijumpai pada sekuen promoter, sebagai tempat melekatnya RNA polimerase pada saat transkripsi RNA akan berlangsung (Glick & Pasternak 2003). Secara in vitro penghapusan boks TATA membuat promoter tidak aktif dan pada in vivo aktivitasnya menurun (Quitschke et al. 1989).

29

Promoter CMV (cytomegalovirus) dalam mengatur ekspresi gen target memiliki elemen faktor transkripsi, selain boks TATA juga terdapat boks CCAAT, motif CArG-like, GAL-1, SP-1 serta beberapa motif transkripsi lainnya (Lampiran 2). Boks CCAAT juga sangat penting dalam mengawali transkripsi, mutasi pada boks CCAAT dapat menyebabkan hilangnya aktivitas promoter dan diketahui berfungsi mengikat protein faktor transkripsi (binding transcription factor) dan enhancer binding protein (Yuwono 2005). Promoter CMV merupakan promoter konstitutif telah dilaporkan penggunaannya dan sukses dalam mengendalikan ekspresi gen target pada kegiatan transgenesis baik pada eukaryot (tanaman dan hewan) maupun pada prokaryot, misalnya : introduksi gen pengkode TSP-CP (taura syndrome virus-coat protein) pada udang windu (Arenal et al. 2008), introduksi gen pengkode glikoprotein IHNV pada salmon Atlantik (Traxler et al. 1999), transgenesis pada ikan lele Afrika Clarias gariepinus (Volckaert et al. 1994).

Promoter CaMV (cauliflower mosaicvirus) memiliki beberapa elemen faktor transkripsi yang mendukung kemampuan promoter ini mengatur ekspresi gen target pada lintas spesies, khususnya pada tanaman. Selain elemen boks TATA, juga memiliki faktor transkripsi seperti TFIID, GATA-1 dan beberapa elemen lainnya (Lampiran 3). TFIID merupakan faktor transkripsi pertama yang secara langsung berkaitan dengan boks TATA sehingga penempelan faktor transkripsi ini akan mengarahkan faktor transkripsi lainnya (Yuwono 2005). Jika TFIID dihilangkan maka tidak akan terbentuk kompleks pra-inisiasi meskipun faktor transkripsi lain ditambahkan. Sejak tahun 1990 telah dilaporkan bahwa promoter CaMV 35S bukan hanya aktif pada tanaman tetapi juga di bakteri Escherichia coli (Assaad & Signer 1990 ; Lewin et al. 1998), pada jamur atau ragi Schizosaccharomyces pombe (Pobjecky et al. 1990) dan pada ekstrak dari cell line dari kanker manusia (Guilley et al. 1982 ; Cooke & Penon 1990 ; Burke et al. 1990). Dari beberapa penelitian terbaru memperlihatkan bahwa promoter ini dapat aktif mengendalikan ekspresi gen anti patogen pada Yersinia enterocolitica (Lewin et al. 1998) dan bakteri tanah : Agrobacterium rhizogenes (Lewin et al. 1998).

Kemampuan promoter mBA (β-aktin) mengatur ekspresi gen GFP pada transgenesis rumput laut K. alvarezii tidak setinggi aktivitasnya dengan promoter CMV dan CaMV, hal ini terkait dengan beberapa sifat yang dimiliki promoter dengan aktivitas elemen-elemennya (Liu 1990 dalam Volckaert 1994). Aktin merupakan protein yang sitoskeleton berlimpah dalam sel eukaryot (Vandekerckhove & Weber 1978 dalam Quitschke et al. 1988). β-aktin merupakan isoform aktin sitoplasmik dan diekspresikan pada kebanyakan sel-sel nonmuscle eukariyot. Sekuen faktor transkripsi yang berperan dalam aktivitas promoter β-aktin adalah boks TATA, boks CCAAT, dan CC(A/T)6GG atau motif CArG (Quitschke et al. 1988; Takagi et al. 1994). Motif CArG berada pada 2 tempat, yang pertama ada di antara boks TATA dan boks CCAAT sedangkan yang lain berada di intron 1. Motif CArG yang terdapat pada intron 1 berfungsi sebagai pemicu (enhancer) aktivitas transkripsi (Liu et al. 1990; Noh et al. 2003). Selanjutnya dikatakan aktivitas promoter β-aktin tergantung pada keberadaan elemen CCAAT, dengan adanya elemen ini berguna pada tingkat tertinggi transkripsi promoter β-aktin (Quitschket et al. 1988).

Rendahnya aktivitas promoter JfKer (keratin) dalam mengendalikan dan mengatur ekspresi gen GFP pada transgenesis rumput laut K. alvarezii dibandingkan dengan promoter lainnya diduga karena elemen cis-acting yang dimiliki promoter keratin kurang atau tidak dikenali oleh elemen trans-acting rumput laut K. alvarezii. Kurang sesuainya elemen cis-acting pada promoter keratin dengan trans-acting pada rumput laut K. alvarezii dapat berakibat pada terhambatnya mekanisme transkripsi sehingga tidak menghasilkan ekspresi yang optimal. Hal tersebut senada dengan penjelasan Inyengar et al. (1996) yang menyebutkan bahwa efektivitas suatu promoter dalam mengendalikan gen untuk terekspresi sangat terkait erat dengan kesesuaian antara elemen cis-acting pada promoter dengan elemen trans-acting pada inang target. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa awalnya promoter keratin merupakan promoter spesifik yang digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al. 2002). Namun Giordano et al. (1990) menyebutkan bahwa efektivitas promoter keratin tidak

31

hanya terbatas pada jaringan kulit dan epitel, tapi juga terdapat pada sel yang sedang berkembang dan sel saraf tertentu.

Berdasarkan analisis tersebut di atas diperoleh bahwa faktor transkripsi yang merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi aktivitas promoter. Kemampuan promoter mengatur ekspresi gen GFP tidak terlepas dengan keberadaan beberapa elemen penting regulator atau dikenal dengan faktor transkripsi. Elemen penting bagi promoter adalah boks TATA, motif CCAAT, motif CArG. Kerjasama antara ketiga elemen tersebut menyebabkan promoter dapat aktif dan mengendalikan ekspresi transgen pada waktu dan tempat yang tepat. Selain itu beberapa binding site lain yang potensial dan penting dalam proses transkripsi adalah GATA, TFIID, CBF, SP-1, TBP dan beberapa faktor transkripsi lainnya. Tingkat ekspresi gen pada setiap promoter ada yang kuat dan ada yang lemah, diduga berhubungan dengan jumlah copy transgen pada setiap sel (Hwang et al. 2003).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi transgenesis pada rumput laut K. alvarezii telah berhasil dilakukan dengan pengujian aktivitas beberapa promoter sebagai pengatur ekspresi gen target (gen GFP sebagai marker) pada embrio somatik dengan menggunakan metode elektroporasi. Hal tersebut

Dokumen terkait