• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

Evaluasi yang dilakukan pada tujuh galur sorgum mutan menghasilkan tiga galur terpilih. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan galur sorgum mutan dan waktu panen terbaik sebagai hijauan pakan ternak. Metoda yang digunakan adalah scoring system merujuk pada The Hay Marketing Task Force of the American Forage and Grassland Council (AFGC) dan Acker (1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur sorgum mutan terbaik adalah galur BMR Patir 3.7 dan waktu panen terbaik adalah fase hard dough. Sorgum dapat dijadikan sebagai hijauan pakan berkualitas baik untuk alternatif selain rumput gajah dan jagung.

Kata kunci : galur mutan, scoring system, sorgum brown midrib.

ABSTRACT

Evaluation was done on seven sorghum mutant lines to obtain three promising sorghum mutant lines. The purpose of this study was to determine the best mutant line and harvest time. The evaluation method used scoring system that referring to The Hay Marketing Task Force of the American Forage and Grassland Council (AFGC) and Acker (1971). The results showed that the best sorghum mutant line was BMR Patir 3.7 and the best harvest time was at the hard dough phase. Sorghum can be used as good quality alternative forage other than grass and maize.

Key words :brown midrib sorghum, mutan lines, scoring system.

Pendahuluan

Galur sorgum mutan BMR lebih ideal dimanfaatkan sebagai hijauan pakan alternatif selain rumput yang biasa dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Ada enam galur sorgum mutan BMR yang dikembangkan di Indonesia yang perlu dievaluasi potensi produksi, kualitas nutrisi dan kecernaannya agar dapat dibudidayakan sebagai hijauan pakan. Evaluasi tanaman sorgum mutan dilakukan dengan cara memilih tanaman galur mutan yang menunjukkan sifat agronomi, produksi kualitas nutrisi dan kecernaan yang unggul, sehingga diperoleh galur mutan terpilih.

Evaluasi pertama dimulai dari tujuh galur sorgum mutan menjadi tiga galur sorgum mutan terpilih berdasarkan produksi biomasa tertinggi. Evaluasi berikutnya dilakukan berdasarkan kualitas nutrisi meliputi kandungan protein kasar, ADF, NDF, lignin, TDN dan kecernaan bahan kering. Penentuan galur sorgum mutan terbaik dilakukan melalui skoring.

Skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai terhadap masing- masing value parameter untuk menentukan tingkatan atau rankingnya sehingga dapat diinterpretasikan secara kualitatif. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan,sehingga dapat membantu mengambil keputusan secara objektif. Hasil skoring diharapkan dapat menentukan kualitas hijauan yang dihasilkan pada penelitian ini. Hijauan berkualitas didefinisikan sebagai potensi hijauan yang dapat

52 menghasilkan respon ternak sesuai dengan yang diinginkan (Ball 2001). Faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas hijauan antara lain tahap kedewasaan tanaman saat panen, spesies tanaman dan rasio daun dan batang. Kualitas hijauan menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Hijauan berdasarkan kualitasnya dapat dibagi berdasarkan tiga kelompok (Acker 1971) yaitu hijauan berkualitas rendah seperti jerami, hijuan berkualitas sedang atau baik seperti rumput dan hijauan yang berkualitas tinggi seperti leguminosa dan daun umbi-umbian. Penyediaan hijauan berkualitas dalam ransum sangat diperlukan agar performa ternak dapat dipertahankan, dan mengurangi input dari bahan konsentrat sehingga biaya ransum menjadi lebih lebih murah (Abdullah 2010). Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan galur sorgum mutan dan waktu panen terbaik untuk menghasilkan hijauan pakan ternak berkualitas, serta potensinya sebagai alternatif hijauan pakan selain tebon jagung dan rumput gajah.

Materi dan Metoda

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tiga galur terbaik yang didapatkan dari penelitian tahap sebelumnya yaitu galur sorgum mutan non BMR P 3.1 dan galur sorgum mutan BMR Patir 3.2 dan Patir 3.7. Metoda yang digunakan adalah scoring system merujuk pada The Hay Marketing Task Force of the American Forage and Grassland Council (AFGC) dan Acker (1971). Galur sorgum mutan BMR dan waktu panen dengan nilai skor tertinggi merupakan galur terbaik. Galur sorgum mutan BMR potensial yang diperoleh pada scoring system ini kemudian dibandingkan dengan hijuan pakan konvensional lainnya (tebon jagung dan rumput gajah).

Hasil dan Pembahasan

Skoring yang dilakukan pada galur sorgum mutan dan waktu panen tersaji pada Tabel 16 dan Tabel 17. Berdasarkan hasil skoring, kandungan nutrisi galur sorgum mutan pada penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hijauan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari skor yang diperoleh dengan nilai 3 dan 4 (untuk kualitas baik). Nilai skor 2 untuk kandungan protein kasar bukan berararti kualitas bahan yang rendah, hal ini disebabkan skor yang digunakan merujuk pada AFGC (Lampiran 91) yang banyak digunakan untuk hijauan dari jenis legum yang mengandung protein kasar >20%. Kandungan protein galur sorgum mutan pada penelitian ini adalah 8% - 9%, termasuk dalam kelompok hijauan berkualitas sedang. Acker (1971) menyatakan kelompok hijauan yang berkualitas sedang kandungan protein kasar berkisar antara 5-10% dari bahan kering. Berdasarkan Tabel 16 nilai skor tertinggi diperoleh oleh galur sorgum mutan BMR Patir 3.7, hal ini berarti bahwa Patir 3.7 merupakan galur terbaik pada penelitian ini.

Tabel 17 menyajikan skor yang dilakukan pada tiga fase pemanenan. Nilai skor pada fase berbunga untuk fraksi serat dan lignin memperoleh nilainya rendah yaitu 1 dan 2, ini berarti dari segi komposisi serat, galur sorgum mutan termasuk hijuaun pada kelompok kualitas rendah. Namun pada fase soft dough dan hard dough nilai skor untuk fraksi serat dan lignin meningkat menjadi 3-6, artinya dari segi komposisi fraksi serat telah terjadi peningkatan kualitas hijuan dari kelompok kualitas rendah menjadi berkualitas sedang sampai tinggi. Hasil skoring

53 menunjukkan bahwa nilai tertinggi dihasilkan pada pemanenan fase hard dough,

ini berartiwaktu panen terbaik untuk galur sorgum mutan pada penelitian ini adalah fase hard dough.

Tabel 16 Skor pemilihan galur sorgum mutan terbaik*

Kriteria Patir 3.1 Patir 3.2 Patir 3.7

Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor

Rataan produksi bahan kering (ton ha-1) 11 3 9 2 9 2

Rataan kandungan protein kasar (%)** 8 2 9 2 9 2

Rataan kandunga ADF (%)** 37 4 35 4 34 5

Rataan kandunga NDF (%)** 59 4 58 5 56 5

Rataan kandunga Lignin (%) 8 3 6 3 6 3

Rataan kandunga TDN (%)*** 54 2 54 3 55 3

Rataan kecernaan bahan kering (%)** 60 4 65 5 63 5

Jumlah skor 22 24 25

Rangking 3 2 1

Keterangan : * nilai skor berdasarkan range yang ditetapkan AFGC dan Acker, 1971 (Lampiran 91).

** Standard assigned by Hay Market Task Force of American Forage & Grassland Council (AFGC)

***Acker (1971)

Tabel 17 Skor pemilihan waktu panen terbaik*

Kriteria Berbunga Soft dough Hard dough

Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Rataan produksi bahan kering (ton ha-1)

6 2 9 2 13 3

Rataan kandungan protein kasar (%)** 9 2 8 2 8 2

Rataan kandunga ADF (%)** 47 1 33 5 27 6

Rataan kandunga NDF (%)** 69 1 54 3 50 4

Rataan kandunga Lignin (%) 8 2 6 3 6 3

Rataan kandunga TDN (%)*** 50 4 55 5 58 5

Rataan kecernaan bahan kering (%)** 54 2 66 6 68 6

Jumlah skor 14 26 29

Rangking 3 2 1

Keterangan : * nilai skor berdasarkan range yang ditetapkan AFGC dan Acker, 1971 (Lampiran 91).

** Standard assigned by Hay Market Task Force of American Forage & Grassland Council (AFGC)

***Acker (1971)

Estimasi produksi biomasa dan produksi nutrisi merupakan gambaran kemampuan hijauan pakan dalam memproduksi biomasa dan nutrisi dalam jumlah dan satuam luas tertentu. Estimasi produksi galur sorgum mutan BMR Patir 3.7

54 biomasa segar galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 adalah 48 ton ha-1, lebih tinggi dari jagung (45 tonha-1) dan rumput gajah (40 ton ha-1). Hal ini disebabkan masa panen galur sorgum mutan BMR lebih lama yaitu 110 hari, sedangkan jagung dan rumput gajah masa panennya lebih singkat yaitu berturut-turut 75 hari dan 55 hari. Semakin lama tanaman melakukan fotosintesis maka semakin tinggi akumulasi hasil fotosintesis pada jaringan tanaman (Gardner et al. 2008) yang dimanifestasikan dalam bentuk produksi biomasa. Fase hard dough pada tanaman sorgum juga menghasilkan malai (biji) dengan proporsi 60% dari total tanaman, biji menyumbang bobot tertinggi dari total berat tanaman, sehingga bobot tanaman semakin meningkat. Pada tanaman jagung, umur panen 75 hari menghasilkan biji jagung yang masih muda berupa cairan seperti susu (milky) dimana akumulasi bahan kering pada biji masih rendah, sedangkan hijauan rumput gajah tidak menghasilkan biji, menyebabkan produksi biomasa jagung dan rumput gajah lebih rendah dibanding tebon sorgum mutan BMR Patir 3.7 hard dough dan tebon jagung. Namun, apabila dibandingkan dengan produksi biomasa akumulatif, maka rumput gajah menghasilkan produksi biomasa segar paling tinggi mencapai 200 ton ha-1 tahun-1. Hal ini disebabkan umur panen rumput gajah paling rendah yaitu 50- 55 hari, sehingga dalam satu tahun dapat dipanen sebanyak 7 kali.

Tabel 18 Perbandingan estimasi produksi biomasa dan produksi nutrisi Patir 3.7, jagung dan rumput gajah

Jenis Hijauan Tebon Patir 3.7

Hard Dough

Tebon Jagung*

Rumput Gajah**

Umur panen (hari) 110 65-75 50-55

Jumlah panen (tahun-1) 3 3 7

Kandungan protein kasar (%) 9 9 7

Produksi segar (ton ha-1) 48 45 40

Total produksi segar (ton ha-1 tahun-1) 144 135 200

Produksi bahan kering (ton ha-1) 13.81 13.7 10

Total produksi bahan kering (ton ha-1 tahun-1) 19.89 18.50 20

Total produksi protein kasar (ton ha-1 tahun-1) 1.79 1.66 1.4

Kecernaan bahan kering (%) 68 60 55

Total bahan kering tercerna (ton ha-1 tahun-1) 13.52 11.10 11

TDN (%) 59 54 55

Produksi TDN (ton ha-1 tahun-1) 11.73 9.99 11

Keterangan : * Chaudhary (2012). ** Rusdy (2016).

Bahan kering menunjukkan kualitas dari suatu bahan, karena di dalam bahan kering terdapat zat-zat nutrisi. Bahan kering juga dipergunakan untuk membandingkan kualitas antar bahan makanan ternak (Tillman et al. 1999). Apabila dilihat dari estimasi total produksi bahan kering per tahun, maka tebon galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 hard dough produksinya mencapai 19 ton tahun-1, hampir sama dengan produksi rumput gajah (20 ton tahun-1), namun lebih tinggi dari tebon jagung (18 ton tahun-1) (Tabel 18). Hal ini berarti tebon galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 hard dough dapat menjadi hijauan alternatif selain

55 rumput gajah dalam hal produksi biomasa, dan dapat menggantikan tebon jagung sebagai hijauan pakan ternak. Tebon jagung hanya dapat diproduksi satu kali dalam satu musim tanam, sedangkan tebon sorgum dapat dipanen sampai tiga kali dalam satu musim tanam sehingga lebih efisien dalam biaya produksi hijauan.

Berdasarkan estimasi produksi nutrisi, total produksi protein kasar tebon galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 menghasilkan protein kasar mencapai 1.79 ton ha-1 tahun-1, lebih tinggi dibanding tebon jagung (1.66 ton ha-1 tahun-1) dan rumput gajah (1.4 ton ha-1 tahun-1). Kecernaan bahan kering dan kandungan TDN pada tebon galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 lebih tinggi dibanding tebon jagung dan rumput gajah, sehingga estimasi total bahan kering tercerna dan produksi TDN pada galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 juga lebih tinggi.

Simpulan

Galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 merupakan galur terbaik yang diperoleh pada penelitian ini, sedangkan waktu panen terbaik adalah pada fase hard dough. Tebon galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 dapat dijadikan sebagai alternatif hijauan pakan berkualitas baik selain rumput gajah dan jagung.

57

6

PEMBAHASAN UMUM

Pemuliaan mutasi (mutation breeding) adalah bentuk pemuliaan tanaman yang memanfaatkan radiasi (gelombang elektromagnetik) yang dapat menyebabkan mutasi untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman. Dengan keragaman genetik yang tinggi maka dapat dilakukan seleksi jenis tanaman dengan karakter yang diinginkan. Teknik ini banyak digunakan di negara-negara maju dan telah menghasilkan banyak tanaman unggul antara lain tanaman sorgum. Pemuliaan tanaman melalui teknologi mutasi dengan iradiasi sinar gamma yang berkembang belakangan ini telah menghasilkan beberapa galur sorgum yang ideal untuk pakan, yaitu sorgum mutan Brown midrib (BMR).

Sorgum BMRmerupakan salah satu hasil pemuliaan sorgum yang difokuskan pemanfaatannya untuk pakan ternak. Banyak penelitian melaporkan bahwa sorgum BMR memiliki kandungan lignin lebih rendah dan kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibanding sorgum konvensional (Oliver et al. 2005), dan merupakan komponen penting sebagai pakan ternak. Batang dan daun BMR kurang mengalami lignifikasi, mengakibatkan kecernaan dinding sel menjadi lebih tinggi (Ouda et al. 2005). Di Indonesia sendiri galur sorgum mutan BMR sudah dikembangkan di SEAMEO-BIOTROP. Patir 3.2, Patir 3.3, Patir 3.4, Patir 3.5, Patir 3.6 dan Patir 3.7 merupakan galur sorgum mutan BMR yang telah dihasilkan di SEAMEO- BIOTROP yang perlu dievaluasi kualitas dan produkstivitasnya sebagai pakan berkualitas (Supriyanto 2014).

Berdasarkan evaluasi enam galur sorgum mutan BMR, Patir 3.2 dan Patir 3.7 menghasilkan produksi biomasa yang tidak berbeda dengan galur sorgum non BMR (Patir 3.1). Sifat sorgum mutan BMR sering dikaitkan dengan produksi biomasa yang rendah sehingga kultivar ini belum banyak diadopsi di dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi penurunan kandungan lignin pada galur sorgum mutan BMR namun tidak menyebabkan penurunan produksi biomasa. Ini berarti berkurangnya kadar lignin tidak menyebabkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Produksi biomasa segar galur sorgum mutan BMR pada penelitian ini sama dengan produksi biomasa segar jagung yaitu 30-46 ton ha-1 (Chaudhary et al. 2012) atau lebih tinggi dari produksi rumput gajah yaitu 40 ton ha-1 (Rusdy 2016). Hal ini berarti tanaman sorgum mutan BMR berpotensi digunakan sebagai sumber hijauan alternatif untuk pakan ternak ruminansia.

Kandungan protein kasar galur sorgum mutan BMR Patir 3.2 dan Patir 3.7 pada penelitian ini lebih tinggi dibanding galur sorgum mutan non BMR Patir 3.1 (Tabel 6). Hasil penelitian ini sesuai dengan Mc Collum et al. (2005) bahwa kandungan protein kasar galur BMR lebih besar 0.6% unit dibanding galur non BMR yang dipanen pada saat fase soft dough. Berdasarkan waktu panen, fase berbunga, soft dough dan hard dough menghasilkan kadar protein kasar yang tidak berbeda secara statistik (Tabel 6). Faktor yang paling mempengaruhi kualitas hijauan adalah kedewasaan tanaman saat panen, kondisi ini dapat menyebabkan menurunnya konsumsi pakan oleh ternak karena tanaman menjadi lebih berserat sehingga kecernaan menurun (Ball et al. 2001). Kedewasaan tanaman juga mempengaruhi kandungan nutrisi, umumya kadar protein akan menurun dengan meningkatnya umur tanaman (Susetyo 1980). Pada penelitian ini terjadi penurunan

58 kandungan protein kasar (batang dan daun) pada fase generatif lanjut, namun pada fase yang sama juga terjadi peningkatan protein kasar pada malai (terutama pada galur mutan BMR). Kondisi ini menyebabkan tidak terjadi perbedaan kandungan protein kasar pada tebon sorgum fase berbunga, fase soft dough dan hard dough

(Tabel 6).

Kandungan fraksi serat (ADF, NDF dan lignin) terukur lebih rendah pada galur sorgum mutan BMR dibanding galur sorgum mutan non BMR, hal ini menyebabkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pada galur sorgum mutan BMR juga lebih tinggi dibanding galur sorgum mutan non BMR. Hal yang menarik juga ditemukan bahwa pemanenan pada fase generatif lanjut (soft dough dan hard dough) menghasilkan kandungan fraksi serat (ADF, NDF dan lignin) yang lebih rendah dibanding fase berbunga, hal ini berkorelasi dengan kecernaan secara in vitro yang juga terukur paling tinggi pada fase hard dough. Kenyataan ini kontradiksi dengan teori bahwa semakin meningkat kedewasaan tanaman maka kadar serat kasar dan lignin akan mengalami peningkatan sehingga menurunkan kecernaan (Susetyo 1980; Guo et al. 2001), namun tidak demikian pada penelitian ini.

Lebih rendah kandungan ADF batang pada fase hard dough dan soft dough

dibanding fase berbunga erat hubungannya dengan kebutuhan karbohidrat untuk produksi biji. Fase soft dough dan hard dough merupakan fase perkembangan dan produksi biji, sehingga asimilat lebih dibutuhkan untuk memproduksi biji dan mensintesis pati (Qu et al. 2014; Li et al. 2015; Rosser 2009; Marsalis 2009). Selain itu meningkatnya kadar gula pada batang sorgum mengakibatkan penurunan kandungan ADF batang. Karbohidrat yang seharusnya untuk membangun dinding sel (karbohidrat struktural) digunakan juga untuk menghasilkan gula pada batang (karbohidrat nonstruktural). Gambar 14 mengilustrasikan metabolisme karbon pada tumbuhan.

Gambar 14 Metabolisme karbon pada tumbuhan

59 Galur sorgum mutan yang digunakan pada penelitian ini merupakan varietas sorgum manis (sweet sorghum) karena berasal dari indukan ZH-30 yang merupakan varietas sorgum manis. Sorgum manis adalah jenis tanaman yang mempunyai dua

sink (Djanaguiraman et al. 2013), yang mempunyai sistim source dan sink yang unik. Batang tanaman sorgum merupakan sink yang menyimpan fotosintat sebagai disakarida yang soluble seperti sukrosa. Hal ini berbeda dengan tanaman pada umumnya, dimana batang menyimpan karbon dalam bentuk polisakarida yang tidak larut seperti pati dan selulosa, serta konsentrasi sukrosa yang rendah. Selama proses penuaan pada tanaman sorgum manis, karbon hasil asimilat tidak hanaya digunakan untuk membentuk karbohidrat yang tidak larut (selulosa) tetapi juga mensintesis sukrosa. Sukrosa tidak hanya disimpan pada bagian batang tetapi juga pada bagian biji (terminal sink) dalam bentuk pati. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kompetisi karbon untuk keperluan dua sink yaitu biji dan batang pada tanaman sorgum manis. Kompetisi karbon dari source ke sink

diilustrasikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Partisi karbon dari source ke sink pada tanaman sorgum manis

Sumber : Botha (2013)

Walaupun terjadi peningkatan kebutuhan karbohidrat pada fase pengisian biji untuk memenuhi kebutuhan dua sink, namun kemampuan fotosintesis pada tanaman justru menurun. Kondisi ini disebabkan telah terjadi proses penuaan tanaman yang ditandai dengan adanya sejumlah daun bagian bawah yang menua, kering dan mati. Proses penuaan (senescence) daun menyebabkan daun kehilangan fungsi dan struktur meliputi proses biokimia dan fisiologis sehingga kemampuan fotosintesis menjadi rendah (Throop 2005). Kondisi daun yang menua dapat dilihat pada Gambar 16.

Kekuatan sink dalam menarik asimilat berbeda-beda, sink yang kuat akan mendapat bagian asimilat lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan sink yang tidak terlalu kuat. Perubahan kekuatan sink pada fase generatif diilustrasikan pada Gambar 17. Pada tanaman sorgum manis, fase elongation to heading (perpanjangan batang sampai pembentukan bunga), batang merupakan pusat pertumbuhan utama

60 sedangkan malai yang kedua. Sebaliknya, setelah fase pembungaan berakhir, malai menjadi pusat utama pertumbuhan dan batang menjadi yang kedua.

Gambar 16 Kondisi daun tanaman sorgum fase hard dough

Gula mulai terakumulasi dalam jumlah besar pada batang pada fase pembungaan. Pada fase selanjutnya terjadi kompetisi karbohidrat untuk batang dan untuk perkembangan biji, akibatnya porsi karbohidrat untuk membentuk karbohidrat struktural berkurang. Kandungan gula batang dan produksi biji merupakan indikator bagaimana asimilat dibagi antara dua sink yaitu batang dan biji (Subramanian 2013). Pada penelitian ini hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya proporsi malai (biji) (Tabel 4) dan kandungan gula (Tabel 3) paling tinggi dihasilkan pada fase hard dough.

Gambar 17 Kekuatan sink fase berbeda pada tanaman sorgum manis

Sumber : Botha (2013)

Sifat BMR juga dikaitkan secara negatif dengan kesehatan tanaman dan berkurangnya kekokohan tanaman. Lignin diperlukan oleh jaringan vaskular untuk mengangkut air, jaringan vaskular yang rusak sering dialami pada tanaman mutan dengan sintesis lignin yang rendah seperti pada varietas BMR (Sattler et al. 2014). Penurunan kandungan lignin pada galur sorgum BMR pada penelitian ini mempengaruhi kekokohan batang tertutama pada fase hard dough, dimana bagian malai sudah menghasilkan biji dan terjadi akumulasi bahan kering yang tinggi. Hal

Sink 2 (grain)

Fase sebelum berbunga Fase setelah berbunga

Malai berwarna putih merata

Daun segar

61 ini mengakibatkan kekuatan batang dalam menyokong berat biji menjadi berkurang. Kondisi ini diperparah oleh musim kemarau yang terjadi pada fase ini (Bulan September 2014), dimana curah hujan sangat rendah yaitu 45 mm (Gambar 4). Musim kemarau mengakibatkan tanaman BMR menjadi kekurangan air yang mempengaruhi kebugaran tanaman. Perbandingan kondisi tanaman galur sorgum mutan BMR dan galur sorgum mutan non BMR pada fase hard dough dapat dilihat pada Gambar 18.

Keterangan : 1 dan 2, batang tanaman sorgum non BMR masih tegak. 3 dan 4, batang tanaman sorgum BMR banyak yang rebah

Gambar 18 Morfologi tanaman galur sorgum mutan fase hard dough.

Penurunan kandungan lignin pada galur sorgum BMR dikaitkan dengan mutasi gen pada jalur biosintesis monoglikol (monomer lignin). Gen BMR pada tanaman sorgum mutan ini berhubungan dengan ekspresi dari aktivitas masing- masing enzim untuk biosintesis lignin. Gen BMR akan menyandi enzim Cinnamyl Alkohol Dehidrogenase (CAD) sehingga aktivitasnya berkurang, padahal CAD berperan sebagai katalis pada step terakhir sintesis monoglikol. Penelitian- penelitian sebelumnya menyatakan bahwa setidaknya ada dua enzim yang menunjukkan penurunan aktivitas akibat mutasi BMR ini yaitu CAD dan COMT, sehingga kandungan lignin yang terbentuk lebih rendah (Li et al. 2015). Sintesis monomer lignin dan enzim-enzim yang berperan dapat dilihat pada Gambar 19.

4 3

62

Gambar 19 Sintesis monomer lignin pada tanaman

Sumber : Sattler dan Harris (2013)

Galur terbaik pada penelitian ini adalah Patir 3.7 fase hard dough, pada fase ini sorgum BMR Patir 3.7 hard dough menghasilkan persentase daun, batang dan malai berturut-turut 25%, 14% dan 60% dan kandungan protein kasar dan TDN berturut-turut 9.36% dan 59.98%. Berdasarkan kandungan protein kasar dan TDN maka galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 fase hard dough termasuk dalam kelompok hijauan berkualitas baik (Lampiran 91), dibandingkan dengan hijauan dari spesies rumput lokal yang sebagian besar hanya mengandung protein kasar sekitar 5% -7% (Abdullah dan Suharlina 2010). Hijauan berkualitas adalah sejauh mana hijauan memiliki potensi untuk menghasilkan respon ternak sesuai dengan yang diinginkan (Ball et al. 2001).

Berdasarkan standar kebutuhan ternak ruminansia, kebutuhan nutrisi sapi jantan dengan berat 150 kg dengan konsumsi bahan kering 3% dari bobot badan, untuk mencapai pertambahan bobot badan harian (ADG) 0.75 kg hari-1, maka konsumsi protein kasar dan TDN berturut-turut adalah 13% dan 58% (Kearl 1982). Namun, kandungan protein kasar galur sorgum mutan BMR belum memenuhi kebutuhan untuk ternak sapi jantan bobot 150 kg, sehingga dalam pemberian pada ternak perlu dikombinasikan dengan bahan pakan lain untuk mengoptimalkan pemanfaatannya.

Dengan kandungan protein kasar dan TDN 9.36% dan 59.98%, maka galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 hard dough ini dapat berkontribusi dalam ransum sebesar 70%, jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan spesies rumput lokal yang hanya memberikan kontribusi sekitar 30% sampai 40% untuk kebutuhan protein ideal dalam ransum ternak ruminansia (Abdullah dan Suharlina 2010). Upaya agar komposisi nutrisi galur sorgum mutan BMR Patir 3.7 fase hard dough

mencapai kebutuhan nutrisi ideal (protein kasar 13-14% dan TDN 66%), maka pemberiannya dalam ransum ternak sapi periode pertumbuhan perlu ditambah

Dokumen terkait