• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA PENGADAAN BUS

D. Wanprestasi oleh Salah Satu Pihak dan Penyelesaiannya

Wanprestasi merupakan pertentangan dari prestasi sehingga turut bertentangan dengan Pasal 1234 KUH Perdata tetang Prestasi, bahwa :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Prestasi sebagai objek perjanjian terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, menjadi kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana undang-undang yang mengikat bagi parapihak yang membuatnya, berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata.

Prestasi juga harus dapat ditentukan arti dan isinya secara cukup dan diperbolehkan oleh perundang-undangan yang berlaku, serta dimungkinkan bagi para pihak untuk melaksanakannya dan dapat dinilai dengan uang.

Apabila prestasi tidak dapat dipenuhi sebagian maupun seluruhnya maka hal ini disebut sebagai wanprestasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya.

Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 KUH Perdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalannya kepada hakim, tetapi dengan sendirinya telah batal menurut hukum.44

Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Syarat batal selalu dianggap tercantum dalam persetujuan-persetujuan bertimban-balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”

Dalam hal demikian persetujuan tidak bataldemi hukum tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada Hakim.

Subekti mengatakan bahwa, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya dan tidak seperti yang diperjanjikan”.45

Jika dirinci, wujud wanprestasi menurut Subekti adalah:46

Surat perintah yang dimaksud merupakan surat peringatan resmi dari seorang Juru Sita Pengadilan. Istilah akta sejenis itu oleh undang-undang

a. Tidak melakukan apa yang akan dilakukannya ;

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan ;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat ;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Adapun tata cara menentukan seorang debitur telah melakukan tindakan wanprestasi atau melalaikan kewajibannya dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yaitu:

“Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewat waktu yang ditentukan”.

45

R. Subekti. 1982. Op.cit. Hal 147.

46

dimaksudkan suatu peringatan tertulis. Peringatan atau teguran itu dapat juga dilakukan secara lisan, asal saja secara tegas menyebutkan permintaan kreditur agar prestasi dilakukan atau dipenuhi dalam waktu secepatnya.

Wanprestasi bukan hanya terbats pada tidak melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama, tetapi termasuk juga melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi sebagai bentuk kelalaian, dapat mengakibatkan salah satu pihak yang dinyatakan bertanggung jawab karena kehilangan sebagian hak perdatanya dalam pengurangan keuntungan karena pengeluaran yang harus dibayar untuk menanggung resiko maupun kelalaian kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya.

Sebagian dari kelalaian yang dimaksud terdantum dalam surat perjanjian kerjasama, antara lain:

Pasal 13 tentang Denda, bahwa “Apabila Pihak Pertama tidak dapat menyelesaikan pembayaran sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, yaitu selambat-lambatnya 10 hari setelah tanggal 1, maka Pihak Pertama dikenakan denda 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai kontrak untuk setiap hari

keterlambatan dengan jumlah maksimum sebesar 5 % (lima per seratus) dari kontrak.”

Hal ini sesuai dengan kelalaian atas kewajiban pembayaran oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua.

Sedangkan ketentuan mengenai kelalaian dari Pihak Kedua tercantum dalam isi perjanjian terkait pada tugas yang diterima dari Pihak Pertama, beserta jangka waktu penyelesaian tugas pekerjaan tersebut dalam waktu 2 (dua) tahun yang diperjanjikan.

Akibat dari kelalaian tanggung jawab tersebut tercantum dalam Pasal 12 Surat Perjanjian Kerjasama mengenai Memutuskan Kontrak Sepihak, yang berakibat pada kewajiban dalam pekerjaan dan kewajiban pembayaran bus.

Pasal 12 tentang Memutuskan Kontrak Sepihak, bahwa:

12.1. “Apabila Pihak kedua dalam melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan dan setelah mendapat tegoran tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dari Pihak Kesatu, tetapi Pihak kedua tidak menghiraukan tegoran tersebut sebagaimana mestinya maka Pihak Kesatu berhak secara sepihak memutuskan perjanjian”.

12.2. “Apabila Pihak Kedua atau Pihak pertama secara sepihak memutuskan surat perjanjian ini tanpa alasan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak maka penyelesaiannya akan diatur dalam perjanjian khusus.”

12.3. “Apabila hal seperti tersebut padal pasal 14.1. dan 14.2. terjadi maka Pihak Kesatu berhak melanjutkan sendiri atau memberikan perkerjaan tersebut kepada Pihak Ketiga atas biaya Pihak Kedua dengan terlebih dahulu mempergunakan sisa biaya yang belum dibayarkan kepada Pihak kedua.”

2. Penyelesaiannya

Subekti menyatakan ada 3 (tiga) alasan yang dapat diajukan untuk pembebasan debitur dari hukuman tuduhan wanprestasi, yaitu :47

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force

majeure) ;

b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus) ;

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Mengenai keadaan memaksa ditentukan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Kedua pasal ini dimaksudkan untuk membebaskan debitur dari kewajibannya mengganti kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sehingga menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan. Hal inilah yang jika diteliti lebih tepat menunjukkan keadaan memaksa sebagai pembelaan bagi debitur yang dituduh melakukan wanprestasi.

Penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak dalam Surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus Wisata, yaitu:

a. Penyelesaian secara Musyawarah

Hal ini terdapat dalam Pasal 14 ayat 1, bahwa “Bilamana terjadi perselisihan atau sengketa yang timbul antara kedua belah pihak sebagai akibat dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam surat perjanjian ini maka penyelesaiaannya diutamakan secara musyawarah.

b. Penyelesaian melalui Arbitrase

Hal ini tercantum dalam Pasal 14 ayat 2, bahwa “Bilamana secara musyawarah perselisihan tersebut tidak dicapai penyelesaiaan, maka akan dibentuk Panitia Arbitrase yang terdiri dari :

• Seorang wakil Pihak Kesatu • Seorang wakil Pihak Kedua

• Seorang yang tidak ada hubungannya dengan masing-masing pihak Keputusan yang diambil oleh Panitia Arbitrase tersebut bersifat mengikat kedua belah pihak.”

c. Penyelesaian melalui jalur hukum

Hal ini tercantum dalam Pasal 14 ayat 3, bahwa Perselisihan akan diteruskan melalui saluran hukum yang berlaku apabila ternyata cara-cara tersebut di atas tidak mencapai kesepakatan.

Dalam hal ini tentu melalui gugatan ke Pengadilan bagi Pihak yang merasa dirugikan.

Dokumen terkait