• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Kendaraan Bus Wisata Antara PT. Lingga Jati Al Manshurin Dengan P.O. Karona

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Kendaraan Bus Wisata Antara PT. Lingga Jati Al Manshurin Dengan P.O. Karona"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Sitra Aditya Bakti.

Djamin, Djanius dan Arifin, Syamsul. 1991. Pengantar Ilmu Hukum. Medan: IKIP Medan.

Hadisoprapto, Hartono. 1984. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan. Yogyakarta: Liberty.

Meilala, A. Qirom Syamsudin. 1985. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty.

Patriastomo, Ikag G. 2003. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Jakarta.:Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Prodjodikoro, Wiryono. 1981. Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu. Bandung: Sumur.

---. 1982. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur. Purba, Hasim. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Medan: Cv. Cahaya Ilmu.

Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan yang Lahir dari Undang-undang. Buku I. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Subekti, R. 1963. Hukum Perjanjian. Jakarta : Pembimbing Masa

---. 1976. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni ---. 1979. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa

---. 1980. Hukum Perjanjian. Jakarta : Pembimbing Masa ---. 1982. Pokok-pokok Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa ---. 1992. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. ---. 2001. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa

Subekti, R. dan Tjitrosidibio, R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Subiyantoro, Heru dan Riphat, Singgih. 2004. Kebijakan Fiskal, pemikiran, konsep, dan implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

(2)

Susiyat, Iman. 1981. Hukum Adat dan Sketsas Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty.

Syahrani, Ridwan. 1985. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni.

Tim Sosialisasi Keppres 80/03. 2003. Aspek Hukum Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.Jakarta:BJ

Yahya, M. Harahap. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni.

Internet :

(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM PENGADAAN BARANG/ JASA

A. Definisi Umum

Pengadaan Barang/ jasa antara antara perorangan/ badan hukum dengan perorangan/badan hukum, diatur secara umum dalam KUH Perdata, tetapi tidak diatur secara khusus. Dalam hal terjadi kesepakatan antara para pihak untuk melakukan pengadaan barang/ jasa, harus sesuai dengan persyaratan perjanjian sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Peraturan yang mengatur mengenai pengadaan barang/ jasa diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, yang kemudian diganti dengan Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai Pengganti atas PP No. 80 Tahun 2003, yang mulai diberlakukan bagi pengadaan barang/ jasa pemerintah sejak 6 Agustus 2010.

Berdasarkan pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, pada Pasal 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa, bahwa “Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.”

Yang dimaksud dengan dilaksanakan secara swakelola pada bagian penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Keppres No. 80 Tahun 2003 ini adalah :

a. Dilaksanakan sendiri secara langsung oleh instansi penanggung jawab anggaran;

b. Institusi pemerintah penerima kuasa dari penanggung jawab anggaran, misalnya : perguruan tinggi negeri atau lembaga penelitian/ilmiah pemerintah;

(4)

Berdasarkan pengertian lain dari Tim Sosialisasi Keppres No. 80 Tahun 2003 dinyatakan bahwa, “Kontrak pengadaan barang/jasa adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.”40

Hal ini tentunya dikaitkan dengan penyusunan dan penetapan APBN dan APBD. APBN dan APBD tersebut merupakan pengeluaran yang akan digunakan Pengertian Pengguna barang/jasa menurut Pasal 1 Ayat (2) Keppres No. 80 Tahun 2003 adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/ pemimpin bagian proyek/pengguna anggaran Daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja/proyek tertentu;

Pengertian Penyedia barang/jasa berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Keppres No. 80 Tahun 2003 tersebut adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/ layanan jasa.

Maksud dan tujuan dibentuknya Keppres No. 80 Tahun 2003 tercantum di dalam Pasal 2, bahwa:

“(1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari APBN/ APBD.

(2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/ jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.”

40

Ikag G. Patriastomo. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Keppres Nomor 80

Tahun 2003. Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa

(5)

untuk membiayai pengadaan barang/ jasa yang akan disediakan oleh penyedia barang/ jasa bagi pengguna barang/ jasa.41

Pengeluaran tersebut direncanakan dengan mempertimbangkan kemampuan penerimaan, sehingga perlu dilakukan alokasi belanja sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat dan ekonomi nasional.42

Sementara menurut Perpres No. 54 Tahun 2010, tujuan pokok diterbitkannya peraturan ini adalah:43

a) Pengangkatan pejabat perbendaharaan (Pejabat Pembuat Komitmen, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, Verifikator, Pejabat Pemeriksa/Penerima Barang, Pejabat Penerbit SPM) diangkat tidak setiap tahun, namun jabatan tersebut berpindah apabila ada rotasi dan mutasi terhadap jabatan bersangkutan (revisi Keppres Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

“1. Mempercepat proses pengadaan, sehingga kontrak-kontrak pengadaan bisa mulai dilaksanakan pada bulan Januari/Februari (Awal Tahun Fiskal yang sedang berjalan). Diharapkan apabila pelaksanaan pekerjaan sudah dimulai pada bulan Januari/Februari, maka penyerapan APBN/APBD tidak menumpuk diserap pada triwulan keempat, namun sejak triwulan pertama sudah diserap dengan baik. Usaha untuk mempercepat ini antara lain dilakukan dengan :

b) Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) secara permanent. c) Penyediaan biaya untuk melakukan proses pengadaan mendahului

berlakunya dokumen anggaran, dan kontrak baru ditandatangani pada waktu Dokumen Anggaran telah berlaku syah (disebutkan dalam pasal Perpres Nomor 54 Tahun 2010).

2. Akselerasi Penggunaan e-Procurement, Mulai tahun 2011, dan diwajibkan (mandatory) pada tahun 2012, seluruh K/L/D/I mempergunakan sistem

e-Procurement; Ini adalah effort untuk mewujudkan pasar yang terintegrasi

secara nasional, untuk mencapai efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas yang lebih tinggi; Untuk itu dilakukan pula revisi Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi.

3. Penyederhanaan aturan, diperkenalkan Lelang Sederhana, serta Pengadaan Langsung untuk barang/jasa yang sudah memiliki price list dikenal luas (Harga mobil GSO, sewa hotel dan kantor).

41

Tim Sosialisasi Keppres 80/03. Aspek Hukum Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. BJ. 2003. Jakarta. Hal 3.

42

Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat. 2004. Kebijakan Fiskal, pemikiran, konsep dan implementasi. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. hal. 588

43

(6)

4. Untuk pekerjaan yang tergantung dengan cuaca (reboisasi, pembenihan), maupun layanan yang harus tersedia sepanjang tahun mulai tanggal 1 Januari (pelayanan perintis udara/laut, pita cukai, konsumsi/obat di Rumah Sakit, konsumsi di Lapas, pembuangan sampah, dan cleaning service) diperkenalkan

contract multiyears (tahun jamak), dan asalkan nilai kontrak tidak lebih dari

Rp10 Miliar, persetujuan langsung dilakukan oleh PA masing-masing (tidak lagi minta persetujuan Menteri Keuangan; di luar yang diatas, tetap perlu persetujuan Menteri Keuangan.

5. Swakelola untuk Alutsista, Almatsus, dilakukan oleh industri strategis dalam negeri, untuk mencapai kemandirian;

6. Swakelola untuk riset dan rekayasa dilakukan oleh lembaga riset atau perguruan tinggi, agar dapat diwujudkan produk yang inovatif. Disamping itu ekonomi kreatif untuk hal-hal yang inovatif berbasis budaya juga difasilitasi dengan sayembara.

7. Keberpihakan pada usaha kecil ditingkatkan dari Rp1 Miliar menjadi Rp2,5 Miliar.

8. Keberpihakan kepada Industri dalam negeri ditingkatkan; dan

9. Diperkenalkan Jaminan Sanggah Banding sebesar 2 per mil dari nilai kontrak.”

B. Prinsip Dasar Pengadaan Barang/ Jasa

Berdasarkan pada Keppres No. 80 Tahun 2003, sebagai acuan terhadap pengadaan barang/ jasa pemerintah yang dilakukan sebelum 2011, atau sebelum diberlakukannya Perpres No. 54 Tahun 2010, ada beberapa prinsip dasar terhadap pengadaan barang/ jasa, yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3, bahwa:

“Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip:

a. efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;

b. efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang

telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

c. terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;

(7)

peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;

e. adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;

f. akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.”

Panitia pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, dan tindakan lainnya, harus didasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut. Dengan demikian akan dapat tercipta suasana yang kondusif bagi tercapainya efisiensi, partisipasi dan persaingan yang sehat dan terbuka antara penyedia jasa yang setara dan memenuhi syarat, menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik dari segi fisik, keuangan dan manfaatnya bagi kelancaran pelaksanaan tugas institusi pemerintah.

Pelaksanaan Pengadaan barang dan Jasa harus sesuai dengan prinsio dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 tersebut, dan pelaksanaan pengadaan barang/ jasa pemerintah dilakukan dengan 2 (dua) cara sesuai dengan Pasal 6, yaitu:

a. dengan menggunakan penyedia barang/jasa;

b. dengan cara swakelola.

(8)

C. Penyusunan Harga Pengadaan Barang

Penyusunan harga merupakan hasil perkiraan tersendiri yang didasarkan pada Pasal 13 Keppres No. 80 Tahun 2003, bahwa:

(1) “Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan.

(2) HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa.

(3) HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran.

(4) Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia.

(5) HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan.” Data yang digunakan sebagai dasar penyusunan HPS antara lain :

a. Harga pasar setempat menjelang dilaksanakannya pengadaan;

b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh agen tunggal/ pabrikan;

d. Biaya kontrak sebelumnya yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya, apabila terjadi perubahan biaya;

e. Daftar biaya standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Nilai total HPS diumumkan sejak rapat penjelasan lelang/aanwijzing, rincian HPS tidak boleh dibuka dan bersifat rahasia.

Pembayaran uang muka dilakukan berdasarkan pada Pasal 33 Keppres ini yaitu:

(1) “Uang muka dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa sebagai berikut :

a. Untuk usaha kecil setinggi-tingginya 30% (tiga puluh per seratus) dari nilai kontrak;

b. Untuk usaha selain usaha kecil setinggi-tingginya 20% (dua puluh per seratus) dari nilai kontrak.

(9)

Khusus untuk pekerjaan konstruksi, pembayaran hanya dapat dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang, tidak termasuk bahan-bahan, alat-alat yang ada di lapangan.

D. Bentuk Kontrak Pengadaan Barang/ Jasa

Berdasarkan pada Pasal 29 Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman bentuk kontrak pengadaan barang/jasa sebagai berikut:

“(1) Kontrak sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut :

a. para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan, dan alamat;

b. pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan;

c. hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian;

d. nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran;

e. persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci;

f. tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadual waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya;

g. jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelaikan;

h. ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya;

i. ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak;

j. ketentuan mengenai keadaan memaksa;

k. ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan;

l. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja;

m. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan;

n. ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan.

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah adalah peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.

(10)

(4) Perjanjian/kontrak dalam bentuk valuta asing tidak dapat membebani dana rupiah murni;

(5) Perjanjian atau kontrak dalam bentuk valuta asing tidak dapat diubah dalam bentuk rupiah dan sebaliknya kontrak dalam bentuk rupiah tidak dapat diubah dalam bentuk valuta asing.

(6) Pengecualian terhadap ketentuan ayat (3), (4) dan (5) pasal ini harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.”

Perubahan isi kontrak dapat dilakukan berdasarkan pada ketentuan Pasal 34 Keppres No. 80 Tahun 2003, bahwa “Perubahan kontrak dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa (para pihak) apabila terjadi perubahan lingkup pekerjaan, metoda kerja, atau waktu pelaksanaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

Jenis kontrak berdasarkan Pada Pasal 30 Keppres No. 80 Tahun 2003 yakni:

(1) “Kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan atas: a. berdasarkan bentuk imbalan:

1) lump sum;

2) harga satuan;

3) gabungan lump sum dan harga satuan; 4) terima jadi (turn key);

5) persentase.

b. berdasarkan jangka waktu pelaksanaan: 1) tahun tunggal;

2) tahun jamak.

c. berdasarkan jumlah pengguna barang/jasa: 1) kontrak pengadaan tunggal;

2) kontrak pengadaan bersama.

(11)

pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa.

(3) Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.

(4) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.

(5) Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.

(6) Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultansi di bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.

(7) Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.

(8) Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.

(9) Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.

(10) Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama. “

(12)

Untuk sistem kontrak harga satuan, pekerjaan tambah/ kurang dimungkinkan berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan. Pertimbangan untuk memilih dengan cara ini adalah karena untuk keakuratan pengukuran volume pekerjaan yang tinggi diperlukan survei dan penelitian yang sangat mendalam, detail dan sampel yang banyak, waktu yang lama sehingga biaya sangat besar, padahal pengukuran juga lebih mudah dalam pelaksanaan, dipihak lain pekerjaan sangat mendesak dan harus segera dilaksanakan, sehingga untuk pekerjaan yang sifat kondisinya seperti hal tersebut tidak tepat bila digunakan kontrak dengan Sistem Lump Sum.

Sistem kontrak terima jadi, ini lebih tepat digunakan untuk membeli suatu barang atau industri jadi yang hanya diperlukan sekali saja, dan tidak mengutamakan kepentingan untuk alih (transfer) teknologi selanjutnya.

Untuk sistem kontrak tahun jamak perlu diperhatikan bahwa ketentuan mengenai eskalasi dan perhitungan rumus eskalasi ditetapkan oleh kepala kantor/satuan kerja/pimpinan proyek/pimpinan bagian proyek dan dimasukan dalam dokumen pengadaan/kontrak.

E. Hak dan Tanggung Jawab Para Pihak

Berdasarkan pada Pasal 32 Keppres No. 80 Tahun 2010, hak dan tnggung jawab para pihak yang menandatangani kontrak pengadaan barang/ jasa adalah:

(1) “Setelah penandatanganan kontrak, pengguna barang/jasa segera melakukan pemeriksaan lapangan bersama-sama dengan penyedia barang/jasa dan membuat berita acara keadaan lapangan/serah terima lapangan.

(13)

(3) Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain.

(4) Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada penyedia barang/jasa spesialis

(5) Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.”

Bentuk acara serah terima lapangan ditetapkan berdasarkan hasil berita acara peninjauan lapangan yang dilakukan pada saat peninjauan lapangan.

F. Penghentian dan Pemutusan Kontrak

Penghentian kerjasama pengadaan barang diatur sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 35 Keppres No. 80 Tahun 2003 bahwa:

(1) “Penghentian kontrak dilakukan bilamana terjadi hal-hal di luar kekuasaan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan, perang saudara, sepanjang kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekacauan dan huru hara serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak.

(2) Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak.

(3) Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa :

a. jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;

b. sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa; c. membayar denda dan ganti rugi kepada negara;

d. pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu.

(14)

(5) Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kesalahan pengguna barang/jasa, dikenakan sanksi berupa kewajiban mengganti kerugian yang menimpa penyedia barang/jasa sesuai yang ditetapkan dalam kontrak dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(6) Kontrak batal demi hukum apabila isi kontrak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(7) Kontrak dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN, kecurangan, dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan kontrak. “

G. Penyelesaian Perselisihan

Perselisihan yang terjadi dalam pengadaan barang/ jasa tersebut diselesaikan sebagaimana yang diatur berdasarkan pada Pasal 38 Keppres No. 80 Tahun 2003, bahwa:

(1) “Bila terjadi perselisihan antara pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa maka kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan di Indonesia dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau melalui pengadilan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kontrak menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

(2) Keputusan dari hasil penyelesaian perselisihan dengan memilih salah satu cara tersebut di atas adalah mengikat dan segala biaya yang timbul untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dipikul oleh para pihak sebagaimana diatur dalam kontrak.”

Arbitrase atau perwasitan adalah cara penyelesaian suatu sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase (Arbitrarian

agreement) adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum

(15)

diantara mereka yang mungkin timbul dimasa depan menyangkut hubungan hukum mereka ke forum arbitrase.

Arbiter/wasit adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Musyawarah adalah metode penyelesaian sengketa melalui perundingan dan persetujuan yang mengikat kedua belah pihak diluar arbitrase maupun pengadilan.

Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh suatu panitia pendamai yang berfungsi sebagai wasit dibentuk dan diangkat oleh kedua belah pihak yang terdiri dari anggota mewakili pihak pertama dan pihak kedua dan ketua yang disetujui oleh kedua belah pihak. Keputusan panitia pendamai mengikat kedua belah pihak dan biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan ditanggung secara bersama.

Penyelesaian pengadilan adalah metode penyelesaian sengketa yang timbul dari hubungan hukum mereka yang diputuskan oleh pengadilan. Keputusan pengadilan mengikat kedua belah pihak.

Biaya yang diakibatkan penyelesaian perselisihan yang merupakan tanggung jawab kepala kantor/ satuan kerja/ pemimpin proyek/ bagian proyek dibebankan pada kegiatan proyek bersangkutan.

(16)

PERJANJIAN KERJASAMA PENGADAAN BUS DITINJAU

BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM PERDATA

A. Keabsahan Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus

KUH Perdata memberikan keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di luar KUH perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan Undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku.

Agar suatu perjanjian kerjasama dapat berlaku dan mengikat bagi mereka yang mengadakannya maka perjanjian kerjasama tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka mengakibatkan perjanjian tersebut dikatakan batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim.

Pasal 1319 KUH perdata menentukan bahwa :

“Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada bab yang lalu”.

Dari ketentuan pasal tersebut jelaslah bahwa apabila tidak terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang perjanjian yang mempunyai nama khusus, maka terhadap perjanjian tersebut berlakulah ketentuan mengenai perjanjian pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan umum mengenai perjanjian.

(17)

karena tidak terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian kerjasama secara khusus.

Bentuk perjanjian kerjasama pengadaan bus wisata antara PT. Lingga Jati Al Manshurin dengan P.O. Karona adalah Akta di Bawah tangan (tertulis).

Berdasarkan pasal 1867 KUH Perdata, pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Terhadap hal demikian maka para pihak dalam perjanjian kerjasama ini membentuk perjanjian standar yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan yang berbentuk formulir yang isinya ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian.

Hubungan yang terjadi antara perjanjian kerjasama pengadaan armada kendaraan bus ini terhadap Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 adalah hubungan substansi pokok kontrak yang harus sesuai dan tidak bertentangan dengan yang diperjanjikan sebelumnya oleh PT. Bonowarindo Jayasakti dengan Pemerintah untuk menyelesaikan suatu tugas pekerjaan yang salah satunya adalah menyediakan armada bus wisata. Lalu PT. Bonowarindo Jayasakti meminta bantuan kepada PT. LJM melalui Surat Permohonan Nomor : 044/ BNW/ PH/ II/ 2008 tanggal 11 Mei 2008 tentang Penambahan Armada Kendaraan. Dalam Hal ini PT. LJM memiliki proyek pengangkutan tersendiri yakni Lingga Trans, tetapi armada kendaraan bus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut melebihi ketersediaan bus di PT. LJM sehingga dilakukan lagi kerjasama dengan P.O. Karona untuk menyediakan beberapa armada kendaraan bus wisata lainnya.

(18)

yang harus diselesaikan oleh PT. Bonowarindo melalui bantuan dari PT. LJM dan P.O. Karona.

Bentuk Perjanjian yang terdapat pada surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus antara PT. LJM dengan P.O. Karona, sesuai dengan yang dicantumkan dalam Pasal 30 Ayat (1) Keppres No. 80 Tahun 2003 yaitu, perjanjian tersebut merupakan perjanjian pengadaan barang / jasa yang berbentuk imbalan harga satuan, berdasarkan jangka waktu pelaksanaan tahun jamak, berdasarkan pengguna barang/ jasa, yakni pengadaan bersama.

Hal ini dapat ditinjau dari berbagai pasal yang turut serta menjadi substansi utama dalam surat perjanjian tersebut, yaitu:

1. Bentuk Imbalan berupa harga satuan d) Pasal 5 tentang Pembiayaan e) Pasal 6 tentang Nilai kontrak

f) Pasal 7 tentang Tahap-tahap Pembayaran

Penentuan harga sebagaimana yang ditetapkan sebelumnya pada PT. Bonowarindo Jayasakti, kemudian ditetapkan pada P.O. Karona oleh PT. LJM sebagaimana berdasarkan anggaran untuk proyek untuk penyediaan bus tersebut, berdasarkan anggaran PT. LJM. Sedangkan untuk spesifikasi, merupakan kriteria atas objek yang ditetapkan dalam perjanjian yaitu bus sebagaimana yang dipersyaratkan yang harus disediakan dengan layak untuk digunakan sebagai armada kendaraan wisata.

(19)

operasionalnya dalam bentuk penugasan dari Pihak Pertama (PT. Lingga Jati Al Manshurin) kepada Pihak Kedua sesuai permohonan PT. Boniwarindo Jayasakti Nomor : 044/ BNW/ PH/ II/ 2008. Sehingga diperlukan spesifikasi yang memadai untuk melakukan pekerjaan tersebut, yang disesuaikan dengan harga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

h) Harga (biaya) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian kerjasama, yang penentuan tarif busnya dapat ditentukan secara lisan maupun tulisan. Dan penentuan tarif bus ini akan menjadi bagian dari kewajiban PT. Lingga Jati Al Manshurin sebagai pihak yang memberi penugasan, serta menjadi hak dari P.O. Karona atas penagihan pembayaran bus.

i) Kedua Pihak yang disebut di atas, dalam surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Bus Wisata, menentukan tarif sebagai berikut:

j) Pasal 5 tentang Pembiayaan, bahwa :

k) “Biaya pelaksanaan pekerjaan tersebut dalam pasal 1 dibebankan pada Anggaran PT. LJM (Lingga Jati AL Manshurin) Tahun Anggaran 2008-2010 ;

l) 5.1. Surat Pengesahan DIP Nomor : 004/ L/ --/ 2008 tgl 1/ 1/ 2008

m) 5.2. Mata Anggaran : 20.1.05.111120.50.01.01 n) 5.3. Nama Proyek : Lingga Trans”

(20)

p) 6.1. Nilai Kontrak pekerjaan tersebut dalam pasal 1 adalah sebesar Rp. 864.000.000,00 (delapan ratus enam puluh empat juta rupiah) yang dibayarkan setiap bulan selama 2 (dua) tahun, sesuai unit bus yang dapat digunakan. Adapun nilai satuan untuk tiap unit bus adalah Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)

q) 6.2. Bea materai dan lain-lain yang timbul akibat berlakunya Surat Perjanjian ini dibebankan kepada Pihak Pertama;

r) 6.3. Nilai kontrak tersebut di atas merupakan harga tetap (fixed

price) kecuali apabila ada perubahan dan/ atau penyimpangan yang

dinyatakan secara tertulis dari Pemimpin Proyek Lingga Trans seperti di atur dalam Pasal 9, serta apabila terjadi keadaan kahar sepertu yang diatur dalam pasal 10 yang dapat menyebabkan berubahnya nilai kontrak tersebut;

s) Sedangkan tata cara pembayaran yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan pada Surat Perjanjian Kerja Sama Pengadaan Bus Wisata, ditentukan dalam Pasal 7 tentang Tahap-tahap Pembayaran, bahwa:

t) 7.1. Pembayaran dilakukan melalui cek giro Pihak I ke rekening Pihak II

u) 7.2. Pembayaran pertama dan selanjutnya ketika penandatanganan MoU ini adalah sebesar Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) v) Pembayaran pertama (uang muka) ditentukan tidak bertentangan

(21)

w) “(1) Uang muka dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa sebagai berikut :

x) a. Untuk usaha kecil setinggi-tingginya 30% (tiga puluh persen) dari nilai kontrak;

y) b. Untuk usaha selain usaha kecil setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) dari nilaikontrak.

z) (2) Pembayaran prestasi pekerjaan dilakukan dengan sistem sertifikat bulanan atau sistem termin, dengan memperhitungkan angsuran uang muka dan kewajiban pajak.”

aa)

bb) Cara pembayaran uang muka sebesar Rp.12.000.000,- dari total Rp.864.000.000,- memenuhi syarat persentase uang muka dari nilai kontrak pengadaan bus/ jasa angkutan tersebut.

2. Jangka waktu pelaksanaan tahun jamak

cc) Pasal 8 tentang Jangka Waktu Pelaksanaan (dua tahun sejak ditandatangani surat perjanjian)

dd) Pasal 9 tentang Pekerjaan Tambah/ Kurang 3. Pengguna Barang/ Jasa

ee) Tujuan penyediaan bus merupakan untuk armada kendaraan bus wisata yang disediakan bersama oleh PT. LJM, dan P.O. Karona. Pengguna bus merupakan penumpang yang termasuk dalam bentuk pengguna barang bersama.

ff) Penyediaan bus harus sesuai dengan kriteria yang diperjanjikan antara PT. Bonowarindo Jayasakti dengan pemerintah, sebagaimana yang kemudian diperjanjikan oleh PT. LJM dengan P.O. Karona. gg) Kriteria bus merupakan spesifikasi yang disepakati oleh para pihak

(22)

hh) Pasal 1.2. Tugas yang diberikan oleh Pihak kesatu dan diterima Pihak Kedua adalah pekerjaan Pengadaan Bus Wisata dengan jenis dan volume pekerjaan sesuai Berita Acara Negosiasi Harga Nomor: 01 Tanggal 16 April 2008, sebagai berikut:

ii) 1. 44 AC, Mercedes Benz Intercooler……… (2 unit)

jj) 2. 40 A, Mercedes Benz Toilet, Smoking Area…………... (1 unit)

kk) 3. Syarat & Kondisi : Mesin diatas tahun 1997, ll) Body tahun 2001, (Adputro/ RS/ New Armada). mm) TV, VCD, recleaning seat

nn) Perawatan rutin tiap bulan, termasuk penggantian ban, ganti oli & AC.

oo) Asuransi Kendaraan dan Jiwa.

pp) Ganti unit jika bus tidak dapat beroperasi lebih dari 3 (tiga) hari.

qq) Kru wisata menjadi tanggungan PT. Boniwarindo Jayasakti. Surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus Wisata ini, sebagaimana pembuatan perjanjian pada umumnya harus memenuhi 4 (empat) syarat dasar sebuah kontrak demi terwujudnya sebuah kontrak yang bisa dilaksanakan, yaitu:

a. Kesepakatan

(23)

mensyaratkan adanya suatu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) dari pihak yang ditawari (offeree).

Dalam Perjanjian Kerjasama telah dipenuhi unsure-unsur pokok mengenai kendaraan bus dan pembiayaan pembayaran, antara lain: spesifikasi unit bus dan harga per unit dalam waktu tertentu, beserta nilai kontrak, serta hal lain yang terkait pada tugas pekerjaan dalam perjanjian tersebut.

b. Pertimbangan

Pertimbangan mencakup dukungan atas janji melalui tawar-menawar berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Pertimbangan merupakan bagian yang sangat sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUH Perdata, bahwa:

“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Perlu diadakan pertimbangan antara kedua belah pihak, yang kemudian dimasukkan dalam berita acara negosiasi, sebagai mana yang telah dilakukan dan dipertegas dalam Pasal 1 ayat 2 Surat Perjanjian Kerjasama tersebut.

c. Kapasitas

Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah memiliki kemampuan untuk mengadakan kontrak sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu orang telah dewasa dan mampu untuk melakukan perbuatan hukum.

(24)

sebagaimana mereka memiliki kecakapan dalam kapasitasnya untuk mewakili perusahaan masing-masing.

d. Obyek yang sah

Obyek kontrak harus sah dan tidak melawan hukum. Kontrak yang diadakan oleh P.O. Karona dengan PT. Lingga Jati Al Manshurin diadakan sebagaimana dalam bagian pembukaan, yaitu berdasarkan Surat Permohonan PT. Bonowarindo Jayasakti Nomor: 044/ BNW/ PH/ II/ 2008 tanggal 11 Mei 2008 tentang Penambahan Armada Kendaraan, kepada PT. LJM, yang kemudian dilakukan kerjasama untuk memenuhi Surat Permohonan tersebut antara PT. LJM dengan P.O. Karona.

Bus harus sesuai dengan tujuan dasar penggunaan bus yaitu sebagai bus wisata, dan saat mengoperasikannya tidak boleh digunakan bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana tertulis dalam Pasal 1337 KUH Perdata, bahwa:

“”Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengankesusilaan yang baik atau ketertiban umum”.

Adapun untuk sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata seperti yang telah diuraikan sebelumnya adalah :

a. Adanya kesepakatan bagi para pihak yang mengikat diri; b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

(25)

Syarat yang lebih spesifik menyangkut perjanjian adalah syarat sah khusus, yang terdiri dari: syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu; syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu; syarat izin dari yang berwenang.

Konstruksi surat perjanjian kerjasama pengadaan bus harus sesuai serta tidak bertentangan dengan konstruksi surat perjanjian pengadaan barang/ jasa yang dibuat oleh PT. Bonowarindo Jayasakti dengan Pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menyeseuaikan tujuan tugas/ pekerjaan yang diberikan kepada PT. Bonowarindo selaku penyedia barang/ jasa, sekaligus agar sesuai dengan ketentuan Keppres No. 80 Tahun 2003.

Konstruksi perjanjian kerjasama pengadaan bus antara PT. LJM dengan P.O. Karona adalah sebagai berikut:

A) Bagian pembukaan :

i) Nama perjanjian : Memorandum of Understanding Nomor : SP 007/ PIC/ V/ 2008 tentang Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Kendaraan Bus Wisata :

a. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 1342 KUH Perdata, jika nama suatu perjanjian adalah jelas maka tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran.

b. Bahwa sesuai dengan kata-kata yang tertera dengan jelas pada nama atau judul perjanjian serta dikaitkan pada bagian isi perjanjian selanjutnya maka penggunaan nama atau judul perjanjian in casu adalah sudah tepat dan benar.

(26)

iii) Komparisi :

rr) Bahwa para pihak dalam perjanjian telah mencantumkan identitas yang jelas, seperti alamat lengkap, serta kapasitas untuk bertindak atas suatu badan usaha.

ss) Bahwa dalam identitas pihak pertama (kesatu) dan pihak kedua, telah disebutkan alamat domisili secara lengkap.

tt) Bahwa dalam komparisi pihak pertama maupun pihak kedua telah disebutkan kapasitasnya untuk melakukan perjanjian untuk suatu badan usaha.

iv) Pernyataan awal (recitals) :

uu) Bahwa recitals dalam suatu perjanjian memberikan maksud dari diadakannya suatu perjanjian;

vv) Bahwa pihak pertama dalam recitalsnya menjelaskan atau menerangkan bahwa “Penambahan Armada Kendaraan Bus Wisata” yang akan dilaksanakan berdasarkan Surat Permohonan PT. Boniwarindo Jayasakti Nomor : 044/ BNW/ PH/ II/ 2008 tanggal 11 Mei 2008 tentang Penambahan Armada Kendaraan, tanpa menyebutkan telah disetujuinya surat permohonan tersebut dari PT. Lingga Jati Al Manshurin itu sendiri.

(27)

B) Isi/ pasal-pasal dalam perjanjian

i) Ketentuan pokok (principal provisions) : (1) Klausula transaksional

a. Pasal 1; Tugas pekerjaan; b. Pasal 3; Kerja sama;

c. Pasal 4; Surat jaminan pelaksanaan (performance bond); d. Pasal 5; Pembiayaan (price and payment terms);

e. Pasal 6; Nilai kontrak;

f. Pasal 7; Tahap-tahap pembayaran; (2) Klausula spesifik

a. Pasal 8; Jangka waktu pelaksanaan (operasional time); b. Pasal 9; Pekerjaan tambah/ kurang;

c. Pasal 10; Keadaan Kahar;

d. Pasal 11; Keselamatan tenaga kerja; (3) Klausula Antisipatif

a. Pasal 12; Memutuskan kontrak sepihak (termination of

agreement);

b. Pasal 13; Denda; c. Pasal 14; Perselisihan;

d. Pasal 15; Domisili hukum (settlement of disputes);

ii) Ketentuan penunjang (suplementary provisions): (1) Conditions precendent :

(28)

(2) Affirmative covenant :

Pasal 16; Lain-lainnya, mengenai tanggungjawab perbaikan dan pertanggungjawaban biayanya.

(3) Negative covenant :

Milik eksklusif (exclusivity); berdasarkan bentuk kepala surat serta catatan (nota) tiap lembaran perjanjian (MoU).

C. Bagian penutup Pasal 17; Penutup

17.1. “Kontrak ini dianggap sah setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak.”

17.2. “Kontrak ini beserta lampiran-lampirannya tidak dapat dipisah-pisahkan, dibuat dalam rangkap 2 (dua), masing-masing dibubuhi materai Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) dengan bunyi dan mempunyai kekuatan hukum yang sama.”

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak M. L. P. Sigalingging, S.E. dari P.O. Karona, selaku kepala divisi, pada tanggal 16 Juli 2010 mengenai keabsahan perjanjian pengadaan bus yaitu:

xx) Kesepakatan dalam perjanjian tersebut pernah dinegosiasikan sebelumnya, bahkan sampai pada cara pemutusan kontrak, tetapi lebih difokuskan pada jenis dan volume bus.

(29)

yang diinginkan, serta masih berlanjut pada negosiasi harga mengingat pada saat itu terjadi krisis harga mata uang pada tahun 2008. Lalu perjanjian ditandatangani pada tanggal 24 Juni 2008.

zz) Dalam surat perjanjian tersebut tidak terdapat saksi-saksi yang turut serta menanda tangani perjanjian, hal tersebut tidak menjadi masalah pokok bagi para pihak, baik PT. LJM maupun P.O. Karona, karena dalam berita acara negosiasi tanggal 16 April 2008 telah dicantumkan tanda tangan para saksi serta perwakilan dari para pihak. Dengan kata lain, perjanjian tersebut hanya penegasan atas negosiasi yang dilakukan oleh para pihak sebelumnya.

(30)

bbb) Dalam hal penyediaan bus, sebenarnya di dalam surat perjanjian seolah-olah bus dari Medan, karena alamat Pihak P.O. Almasar di Medan, tetapi bus Karona banyak tersedia di daerah Lampung, sehingga penyediaan bus semakin mudah ke Jakarta.

ccc) Maksud pembiayaan pelaksanaan pekerjaan dalam Pasal 5 merupakan kekurangan proyek pengangkutan yang dimiliki oleh PT. LJM yang bernama Lingga Trans, yang kemudian meminta bantuan ke P.O. karona untuk menambah unit bus, agar dapat memenuhi permohonan PT. Boniwarindo sehingga sebgaimana biaya pelaksanaan bus untuk bus mereka yang telah ada sebelumnya, kemudian disetarakan jugalah biaya pelaksanaan untuk pelaksanaan pekerjaan bagi bus dari P.O. Karona. Berdasarkan wawancara tersebut, terdapat kesepakatan para pihak dalam perjanjian, pertimbangan melalui negosiasi tanggal 16 April 2008, serta kapasitas para pihak dalam perjanjian dalam melaksanakan perjanjian, dan obyek bus yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata dan sesuai dengan yang diperjanjikan.

(31)

dengan turut serta mengikutsertakan beberapa ketentuan dalam KUH Perdata apabila belum dilakukan persetujuan atas hal itu.

Pengaturan mengenai perjanjian kerjasama tidak terdapat dalam KUH Perdata secara khusus, tetapi diatur secara umum sehingga untuk mendapatkan pedoman pengaturannya dapat dilakukan melalui perbandingan atas perjanjian kerjasama yang dimaksud terhadap perjanjian yang memiliki nama tertentu dalam KUH perdata.

Surat perjanjian pengadaan barang antara PT. LJM dengan P.O. Karona mengatur mengenai berbagai hak dan kewajiban berkaitan erat dengan resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan pengadaan barang, serta harus sesuai dengan yang diatur dalam pasal 32 Keppres No. 80 Tahun 2003. Hak dan kewajiban yang diatur dalam surat perjanjian tersebut antara lain:

a) Hak Pihak Pertama i) Pasal 1;

Ayat 1 : memberikan tugas pekerjaan bagi Pihak Kedua (P.O. Karona);

Ayat 2 : Menentukan spesifikasi (jenis dan volume pekerjaan); ii) Pasal 2 : Menentukan referensi pokok pekerjaan bagi Pihak Kedua,

yang tidak terpisahkan dari surat perjanjian tersebut. iii) Pasal 12;

(32)

Ayat 2, bahwa Pihak I berhak melakukan penuntutan apabila terjadi pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pihak pertama.

Ayat 3, bahwa Pihak I berhak melanjutkan sendiri atau memberikan pekerjaan kepada pihak ketiga atas biaya pihak II apabila terjadi perselisihan sesuai pasal 14 ayat 1 dan 2 perjanjian tersebut.

b) Hak Pihak Kedua i) Pasal 7;

Ayat 1 : menerima pembayaran dari Pihak I ke rekening Pihak II. ii) Pasal 9;

Ayat 2, bahwa Pihak II berhak untuk menerima perintah yang disetujui bersama yang berhubungan dengan penambahan atau pengurangan armada.

iii) Pasal 12;

Ayat 2, bahwa Pihak II juga berhak melakukan penuntutan apabila terjadi pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pihak pertama.

iv)Pasal 13, bahwa Pihak II berhak menerima denda atas keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh Pihak Pertama dengan denda maksimum yang diterima sebesar 5 % (lima per seratus) dari kontrak.

c) Kewajiban Pihak Pertama

(33)

ii) Pasal 4;

Ayat 1, bahwa Pihak Pertama wajib mengasuransikan unit kendaraan;

Ayat 2, bahwa Pihak Pertama wajib menjamin sepenuhnya atas unit yang disewakan kepedanya dari Pihak Kedua.

iii) Pasal 6 ayat 2, bahwa bea materai dan lain-lain yang timbul akibat berlakunya Surat Perjanjian ini dibebankan kepada Pihak Pertama. iv)Pasal 7,

Ayat 1, bahwa Pihak Pertama wajib melakukan pembayaran ke rekening Pihak Kedua

Ayat 2, bahwa Pihak Pertama melakukan pembayaran sebesar Rp. 12.000.000,00 x jumlah unit bus terkirim.

v) Pasal 9 ayat 2, bahwa Pihak Pertama wajib menegaskan dalam Surat Perintah yang berhubungan dengan penambahan atau pengurangan armada.

vi)Pasal 11;

Ayat1, bahwa Pihak Pertama bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan tenaga kerja (pengemudi dan kernet);

Ayat 2, bahwa segala biaya yang dikeluarkan akibat hal tersebut semata-mata menjadi tanggung jawab Pihak Pertama;

d) Kewajiban Pihak Kedua

(34)

ii) Pasal 2, bahwa Pihak kedua Wajib melaksanakan pekerjaan atas dasar referensi pokok yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian, yaitu:

ddd) Ketentuan-ketentuan dalam Surat Perjanjian; eee) Rencana kerja dan syarat (RKS);

fff) Time schedule harga dari Pihak Kedua;

ggg) Ketentuan-ketentuan tambahan dan atau petunjuk-petunjuk Pihak Pertama yang diberikan kepada Pihak Kedua.

iii) Pasal 3, bahwa Pihak Kedua wajib melaksanakan pekerjaan atas nama Pihak Pertama, menjaga nama baik dan ketentuan yang terkandung dalam surat perjanjian ini.

iv)Pasal 8, bahwa Pihak Kedua harus menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ditanda-tanganinya Surat Perjanjian ini oleh kedua belah pihak;

v) Pasal 16,

Ayat 1, bahwa Pihak Kedua bertanggung jawab atas perbaikan dan biayanya apabila terbukti adanya kerusakan akibat pemakaian sebelum terjadi serah terima kendaraan tersebut kepada Pihak Pertama.

Ayat 2, bahwa Pihak Kedua bertanggung jawab terhadap surat-surat kendaraan, seperti STNK dan Pajak.

(35)

tersebut, bahwa “Pihak Pertama menjamin sepenuhnya atas unit kendaraan yang disewakan kepada pihak Pertama”.

Dalam pengaturannya dikaitkan dengan Pasal 1553 KUH Perdata menjelaskan mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa secara keseluruhan, sebagai akibat suatu kejadian yang tiba-tiba (kahar), yang tidak dapat dielakkan maka perjanjian batal demi hukum atau apabila barang musnah sebagian maka dapat dimintakan pengurangan harga sewa. Hal ini tidak tercantum secara tegas dalam Surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan bus, tetapi diatur secara lebih luas sesuai Pasal 10 ayat 1 tentang Keadaan Kahar, yaitu “dalam hal terjadi keadaan kahar, akan diadakan pembicaraan penyelesaian antara Pihak Kesatu dan Pihak kedua, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak terjadinya keadaan kahar.

Yang secara tersirat dapat dihubungkan dengan Pasal 1553 KUH perdata menyangkut musnahnya sebagian barang berupa kerusakan ialah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16, yaitu “Pihak kedua bertanggung jawab atas perbaikan dan biayanya apabila dikemudian hari setelah serah terima kendaraan tersebut dalam surat perjanjian ini diserahkan kepada Pihak Kesatu terbukti adanya kerusakan akibat pemakaian sebelumnya”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak M. L. P. Sigalingging, S.E. dari P.O. Karona selaku kepala divisi, 16 Juli 2010 mengenai resiko pada saat perjanjian pengadaan bus dilaksanakan yaitu:

(36)

iii) Pembagian tanggung jawab atas risiko tersebut tidak pernah bermasalah, karena sampai saat ini resiko yang terjadi masih sesuai berdasarkan hal yang diperjanjikan oleh para pihak.

jjj) Bus tersebut pernah mengalami kerusakan sebelum diserahkan kepada Pihak Kesatu, tetapi unit bus tidak diserahkan, tetapi diperbaiki terlebih dahulu, lalu diuji kembali kondisinya, agar tidak bermasalah. kkk) Pembagian resiko tersebut biasanya langsung diselesaikan, tetapi

apabila dari salah satu pihak belum juga menunaikan tanggung jawabnya, pihak lain bisa menyelesaikannya terlebih dahulu lalu dikonfirmasikan melalui bukti kwitansi perbaikan atau bukti lain, karena keselamatan penumpang sangat perlu diperhatikan.

lll) Hal-hal yang dipersiapkan untuk menghindari resiko tersebut, biasanya dilakukan melalui kewajiban bagi sopir bus untuk membawa suku cadang, untuk mempermudah apabila dalam perjalanan terjadi kerusakan bus.

Dengan perkataan lain ialah Pihak Kedua hanya bertanggung jawab apabila bus mengalami kerusakan akibat pemakaian bus sebelum diserah terimakan kepada Pihak Kesatu. Dan hal ini mempertegas bahwa segala kerusakan yang tidak dapat dibuktikan oleh Pihak Pertama sebagai akibat dari pemakaian bus sebelum diserahterimakan, adalah tanggung jawab dari Pihak Pertama.

(37)

salah satu syarat yang harus diserahkan sebelum dilakukan penandatanganan kontrak, hal ini diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) Keppres No. 80 tahun 2003, bahwa, “Para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya surat keputusan penetapan penyedia barang/ jasa dan setelah penyedia barang/ jasa menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% (lima persen) dari nilai kontrak kepada pengguna barang/jasa.”

Dengan kata lain, dari Rp. 864.000.000,- nilai proyek, penyedia harus menyerahkan 5% kepada pengguna jasa sebelum menandatangani kontrak, yaitu sebesar Rp. 43.200.000,- sebagai jaminan pelaksanaan kontrak.

Untuk melaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya yakni PT. Bonowarido dengan Pemerintah, PT. LJM dan P.O. Karona membuat bentuk lain sebagai jaminan pelaksanaan perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal 4 tentang Surat jaminan Pelaksanaan (Performance bond), yaitu:

Pasal 4 Ayat 1, bahwa “Pihak Kesatu diwajibkan mengasuransikan unit kendaraan/ jaminan Bank Pemerintah atau Bank/ Lembaga Keuangan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar 5 % (Lima per seratus) dari nilai kontrak.”;

Pasal 4 ayat 2, bahwa “Pihak Pertama menjamin sepenuhnya atas unit kendaraan yang disewakan kepada pihak Pertama.”

(38)

C. Cara Berakhirnya Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus

Ketentuan berakhirnya Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus Wisata tidak diatur secara khusus dalam KUH perdata, tetapi secara umum berdasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang mengatur mengenai dibuatnya perjanjian kerjasama berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena itu dalam perjanjian kerjasama harus dibuat cara berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut.

Berakhirnya perjanjan kerjasama pengadaan bus tidak terlepas dari masa pelaksanaan pengadaan bus. Masa perjanjian berlangsung ditetapkan dalam Pasal 8 tentang Jangka Waktu Pelaksanaan, yang menyatakan bahwa :

Ayat 1, bahwa “Pihak Kedua harus menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ditanda-tanganinya Surat Perjanjian ini oleh kedua belah pihak.”

Ayat 2, bahwa “waktu penyelesaian tersebut tidak dapat dirubah kecuali dalam keadaan kahar seperti di atur dalam Pasal 10 atau berdasarkan perintah pekerjaan tambahan/ pengurangan seperti diatur dalam Pasal 9 dan dinyatakan secara tertulis bahwa jangka waktu penyelesaian dirubah. Pasal 10 tentang Keadaan Kahar, meyatakan bahwa

Ayat 1, bahwa “Dalam hal terjadi keadaan kahar akan diadakan penyelesaian antara Pihak Kesatu dan Pihak Kedua, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak terjadi keadaan kahar” ;

(39)

bencana alam, kebakaran dan lain-lain kejadian yang tidak dapat diduga atau diramalkan sebelumnya.”

Sedangkan isi Pasal 9 tentang Pekerjaan Tambah/ Kurang, menyatakan: Ayat 1, bahwa “Jika dalam pelaksanaan terdapat perubahan-perubahan yang memerlukan penambahan atau pengurangan armada, akan dilakukan setelah disetujui oleh kedua belah pihak”;

Ayat 2, bahwa “Pekerjaan tambah atah kurang armada yang menyebabkan perubahan atau bertambahnya masa penyelesaian pekerjaan oleh Pihak Kedua, harus disebutkan secara tegas dalam Surat Perintah yang berhubungan dengan penambahan atau pengurangan tersebut.”

Dengan perkataan lain bahwa masa perjanjian kerjasama pengadaan bus wisata ini adalah 2 (dua) tahun dengan dimungkinkannya pengurangan atau penambahan jangka waktu penyelesaian pekerjaan, yang mana berakibat pada penambahan atau pengurangan masa perjanjian kerjasama pengadaan bus. Berdasarkan masa perjanjian tersebut, ditemukan bentuk dari perjanjian kontrak antara PT. LJM dengan P.O Karona, yaitu berdasarkan jangka waktu pelaksanaan yaitu tahun jamak.

Dalam Perjanjian kerjasama mengatur mengenai 2 (dua) cara berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut, yaitu:

1. Perjanjian berakhir tepat pada waktu yang diperjanjikan, yaitu selama 2 (dua) tahun, atau

(40)

- Karena keadaan kahar, dalam Pasal 8 ayat 2 menentukan bahwa “waktu penyelesaian tersebut tidak dapat dirubah kecuali dalam keadaan kahat seperti diatur dalam pasal 10 atau berdasarkan perintah pekerjaan tambahan/ pengurangan seperti diatur dalam pasal 9 dan dinyatakan secara tertulis bahwa jangka waktu penyelesaian berubah”.

- Karena pemutusan kontrak secara sepihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mengenai Memutuskan Kontrak Sepihak, dalam Ayat 1 dengan alasan bahwa “Apabila Pihak kedua dalam melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengn persyaratan yang telah ditetapkan dan setelah mendapat tegoran tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dari Pihak Kesatu, tetapi Pihak kedua tidak menghiraukan tegoran tersebut sebagaimana mestinya maka Pihak Kesatu berhak secara sepihak memutuskan perjanjian”.

(41)

diperbolehkan pemutusan hubungan perjanjian secara sepihak sebagaimana dimaksud di atas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak M. L. P. Sigalingging, S.E. dari P.O. Karona selaku kepala divisi, 16 Juli 2010 mengenai resiko pada saat perjanjian pengadaan bus dilaksanakan yaitu:

mmm) Pemutusan kontrak secara sepihak termasuk dalam negosiasi sebelumnya pada tanggal 16 April 2008, mengingat keselamatan penumpang merupakan yang terutama, jadi para pihak harus tetap sesuai dengan tugas tersebut dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.

nnn) Tegoran secara tertulis belum pernah dikirimkan kepada P.O. Karona atau pun dari P.O. Karona kepada PT. LJM.

ooo) Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan tersebut sesuai dengan jangka waktu yang sewajarnya, tidak terlalu mendesak, bahkan justru jangka waktu tersebut termasuk dalam kategori cukup lama, tetapi berdasarkan negosiasi yang dilakukan sebelumnya, dengan menetapkan bersama jangka waktu tersebut karena didasarkan pada kemungkinan terburuk apabila kondisi bus sudah tidak layak lagi untuk di operasikan sehingga membutuhkan waktu untuk memperbaiki ataupun menyediakan unit sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.

(42)

D. Wanprestasi oleh salah satu pihak dan penyelesaiannya 1. Wanprestasi

Wanprestasi merupakan pertentangan dari prestasi sehingga turut bertentangan dengan Pasal 1234 KUH Perdata tetang Prestasi, bahwa :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Prestasi sebagai objek perjanjian terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, menjadi kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana undang-undang yang mengikat bagi parapihak yang membuatnya, berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata.

Prestasi juga harus dapat ditentukan arti dan isinya secara cukup dan diperbolehkan oleh perundang-undangan yang berlaku, serta dimungkinkan bagi para pihak untuk melaksanakannya dan dapat dinilai dengan uang.

Apabila prestasi tidak dapat dipenuhi sebagian maupun seluruhnya maka hal ini disebut sebagai wanprestasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya.

(43)

Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Syarat batal selalu dianggap tercantum dalam persetujuan-persetujuan bertimban-balik, mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”

Dalam hal demikian persetujuan tidak bataldemi hukum tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada Hakim.

Subekti mengatakan bahwa, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya dan tidak seperti yang diperjanjikan”.45

Jika dirinci, wujud wanprestasi menurut Subekti adalah:46

Surat perintah yang dimaksud merupakan surat peringatan resmi dari seorang Juru Sita Pengadilan. Istilah akta sejenis itu oleh undang-undang

a. Tidak melakukan apa yang akan dilakukannya ;

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan ;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat ;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Adapun tata cara menentukan seorang debitur telah melakukan tindakan wanprestasi atau melalaikan kewajibannya dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yaitu:

“Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewat waktu yang ditentukan”.

45

R. Subekti. 1982. Op.cit. Hal 147.

46

(44)

dimaksudkan suatu peringatan tertulis. Peringatan atau teguran itu dapat juga dilakukan secara lisan, asal saja secara tegas menyebutkan permintaan kreditur agar prestasi dilakukan atau dipenuhi dalam waktu secepatnya.

Wanprestasi bukan hanya terbats pada tidak melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama, tetapi termasuk juga melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi sebagai bentuk kelalaian, dapat mengakibatkan salah satu pihak yang dinyatakan bertanggung jawab karena kehilangan sebagian hak perdatanya dalam pengurangan keuntungan karena pengeluaran yang harus dibayar untuk menanggung resiko maupun kelalaian kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya.

Sebagian dari kelalaian yang dimaksud terdantum dalam surat perjanjian kerjasama, antara lain:

Pasal 13 tentang Denda, bahwa “Apabila Pihak Pertama tidak dapat menyelesaikan pembayaran sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, yaitu selambat-lambatnya 10 hari setelah tanggal 1, maka Pihak Pertama dikenakan denda 1 0/00 (satu per seribu) dari nilai kontrak untuk setiap hari

keterlambatan dengan jumlah maksimum sebesar 5 % (lima per seratus) dari kontrak.”

(45)

Sedangkan ketentuan mengenai kelalaian dari Pihak Kedua tercantum dalam isi perjanjian terkait pada tugas yang diterima dari Pihak Pertama, beserta jangka waktu penyelesaian tugas pekerjaan tersebut dalam waktu 2 (dua) tahun yang diperjanjikan.

Akibat dari kelalaian tanggung jawab tersebut tercantum dalam Pasal 12 Surat Perjanjian Kerjasama mengenai Memutuskan Kontrak Sepihak, yang berakibat pada kewajiban dalam pekerjaan dan kewajiban pembayaran bus.

Pasal 12 tentang Memutuskan Kontrak Sepihak, bahwa:

12.1. “Apabila Pihak kedua dalam melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan dan setelah mendapat tegoran tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dari Pihak Kesatu, tetapi Pihak kedua tidak menghiraukan tegoran tersebut sebagaimana mestinya maka Pihak Kesatu berhak secara sepihak memutuskan perjanjian”.

12.2. “Apabila Pihak Kedua atau Pihak pertama secara sepihak memutuskan surat perjanjian ini tanpa alasan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak maka penyelesaiannya akan diatur dalam perjanjian khusus.”

(46)

2. Penyelesaiannya

Subekti menyatakan ada 3 (tiga) alasan yang dapat diajukan untuk pembebasan debitur dari hukuman tuduhan wanprestasi, yaitu :47

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force

majeure) ;

b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus) ;

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Mengenai keadaan memaksa ditentukan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Kedua pasal ini dimaksudkan untuk membebaskan debitur dari kewajibannya mengganti kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sehingga menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan. Hal inilah yang jika diteliti lebih tepat menunjukkan keadaan memaksa sebagai pembelaan bagi debitur yang dituduh melakukan wanprestasi.

Penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak dalam Surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Bus Wisata, yaitu:

a. Penyelesaian secara Musyawarah

(47)

b. Penyelesaian melalui Arbitrase

Hal ini tercantum dalam Pasal 14 ayat 2, bahwa “Bilamana secara musyawarah perselisihan tersebut tidak dicapai penyelesaiaan, maka akan dibentuk Panitia Arbitrase yang terdiri dari :

• Seorang wakil Pihak Kesatu • Seorang wakil Pihak Kedua

• Seorang yang tidak ada hubungannya dengan masing-masing pihak Keputusan yang diambil oleh Panitia Arbitrase tersebut bersifat mengikat kedua belah pihak.”

c. Penyelesaian melalui jalur hukum

Hal ini tercantum dalam Pasal 14 ayat 3, bahwa Perselisihan akan diteruskan melalui saluran hukum yang berlaku apabila ternyata cara-cara tersebut di atas tidak mencapai kesepakatan.

Dalam hal ini tentu melalui gugatan ke Pengadilan bagi Pihak yang merasa dirugikan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

(48)

Berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 terdapat dasar hukum yang menyatakan sahnya perjanjian kerjasama pengadaan bus tersebut. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, dengan menjunjung asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata serta asas Pacta sunt

servanda (janji itu mengikat) dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

2. Dalam hal melaksanakan pembagian tanggung-jawab, dalam perjanjian kerjasama pengadaan bus, tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh kedua pihak terlihat seimbang bila dibandingkan dengan tujuan kerjasama pengadaan bus wisata tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pihak dalam perjanjian tersebut turut serta menjunjung asas konsensualisme dalam hal terjadinya risiko/ insiden pada saat kontrak berlangsung.

3. Cara berakhirnya perjanjian kerjasama pengadaan bus wisata tersebut adalah melalui daluarsa atau habis masa waktu berlangsungnya perjanjian kerjasama pengadaan bus, yakni pada tanggal 2010, atau melalui pemutusan hubungan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian.

Sedangkan dalam hal terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak, penyelesaian yang ditempuh melalui 3 (tiga) cara yang saling bertahapan, yaitu: Musyawarah, yang apabila gagal dilanjutkan dengan jalur Arbitrase, dan kemudian akan dilanjutkan ke jalur hukum (Pengadilan) apabila tidak tercapai penyelesaian melalui Arbitrase.

D. Saran

(49)

1. Berdasarkan isi dari Surat Perjanjian Kerjasama Pengadaan Armada Kendaraan Bus Wisata antara PT. Lingga Jati Al Manshurin dengan P.O. Karona, perlu dibuat adendum untuk menentukan lembaga manakah yang dimaksud sebagai pihak penjamin atas pelaksanaan perjanjian kerjasama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Perjanjian Kerjasama tersebut.

2. Sebaiknya sebelum dicapai penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat tercapai, sebaiknya terlebih dahulu bagi PT. Lingga Jati Al Manshurin untuk tidak menyerahkan tugas pekerjaan kepada Pihak Ketiga, tetapi tetap mengerjakan sendiri, agar tidak terjadi masalah hukum yang baru apabila ternyata putusan pengadilan menyatakan Pihak Kedua (P.O. Karona) yang harus melanjutkan pekerjaan tersebut.

3. Berdasarkan cara berakhirnya perjanjian kerjasama, yang dapat dilakukan oleh salah satu pihak tanpa mencantumkan pengecualian atas pasal 1266 KUH Perdata, dalam hal terjadinya wanprestasi perjanjian kerjasama ini, harus dimintakan pembatalan kepada hakim, dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur sudah wanprestasi, hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Badrulzaman, Mariam Darus. 1993. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya. Bandung : Alumni.

(50)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BERDASARKAN

KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian Secara Umum

Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan kepentingan yang sangat beraneka ragam.

Dalam hal adanya tujuan dan kepentingan yang ingin dicapai maka untuk mewujudkan kebutuhan para pihak tersebut, terlebih dahulu harus dipertemukan kehendak yang mereka inginkan. Hal inilah yang menjadi dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian.

KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku.

(51)

Perjanjian lahir karena adanya kesepakatan, kesamaan kehendak (konsensus) dari para pihak. Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak diadakan secara formal saja, melainkan juga secara konsensual.

Dalam kehidupan sehari-hari, telah tercipta suatu anggapan bahwa kontrak merupakan bentuk formal dari suatu perjanjian yang berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis.

Ketentuan umum dari suatu perjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Buku III Bab II, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam Buku III Bab XVIII. Pada Buku III Bab II KUH Perdata berjudul “Tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”.

Dengan adanya kata “atau” berarti pada hakekatnya kesengajaan penulisan kata kontrak atau perjanjian yang disebutkan dalam Buku III KUH Perdata memiliki makna yang sama. Hal ini bertujuan untuk dapat mengembalikan pengertian kontrak dan perjanjian dalam tafsiran sebagai perbuatan hukum yang tidak berbeda.

Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lainnya atau lebih.”

(52)

Akan tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata karena perjanjian menurut Buku III KUH Perdata kriterianya dapat dinilai secara materiil, artinya dapat dinilai dengan uang.

Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.

Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.16

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap,

Dari perjanjian tersebut maka timbullah perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban itu.

17

16

R. Subekti. 1980.op cit, hal. 1

(53)

Hal ini dimaksudkan sebagai pengertian persetujuan yang sebenarnya yang lebih mengenai harta benda kekayaan, sedangkan perjanjian memiliki pengertian yang lebih luas, tidak hanya berbentuk sebagaimana yang terdapat di dalam KUH Perdata, tetapi juga yang terdapat di luar KUH Perdata.

Kedua pernyataan di atas yang dimaksud oleh Subekti dan M. Yahya Harahap, jelas memberikan pengertian yang sesuai antara para pihak yang mengikat dirinya dalam suatu persetujuan atau perjanjian atau perikatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hubungan ini mengenai suatu sebab yang mencakup bidang harta kekayaan, serta pembagian hak dan kewajiban atas prestasi, termasuk tuntutan pelaksanaan perjanjian tersebut.

Berdasarkan pendapat Subekti yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa suatu persetujuan merupakan suatu perjanjian di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18

a. Unsur perbuatan

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi.

Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) hal yang dapat di telaah lebih rinci menyangkut perjanjian, yaitu :

Dalam Pasal 1313 KUHP Perdata, definisi perjanjian yang disebutkan sebagai suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya terhadap satu lebih orang lain.

18

(54)

Jika diteliti secara lebih mendalam, maka pengertian persetujuan adalah kesepkatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Akibat kesepakatan itu muncullah hak dan kewajiban yang menjadi unsur mengikat di antara para pihak tersebut. Dapat dikatakan bahwa keterikatan ini merupakan suatu akibat hukum dikehendaki oleh para pihak.

Akibat hukum ini dapat dilindungi atau dibela oleh hukum, dengan batasan bahwa dapat diterima akal sehat yang memang dapat dilakukan oleh pihak yang dibebani kewajiban. Dalam hal ini pihak yang secara langsung adalah pihak yang melaksanakan perjanjian.

Selain itu kesepakatan mengenai hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum atau yang dilarang oleh undang-unang juga tidak akan dilindungi oleh hukum. Misalnya adalah perjanjian pertarungan hidup atau mati bagi dua orang yang berseteru.

Jika diperhatikan dalam skema peristiwa hukum maka peristiwa hukum timbul karena perbuatan atau tindakan manusia yang meliputi “tindakan hukum” atau pun “tindakan manusia yang lain” yang bukan merupakan tindakan hukum.19

19

J. Satrio. 1995. Hukum Perikatan Yang Lahir dari Undang-undang. Citra Adiya Bakti.

Referensi

Dokumen terkait

Dari daun tanaman rami ini dihasilkan serat rami (Gambar 2.) yang dipilin menjadi bahan tali setengah jadi, dan kemudian diproses lebih lanjut menjadi tali

Model jarinya dipasang seperti net voly, panjangnya (Jaring) 30 meter, tinggi tiangnya 10 meter. Tiangnya dari pipa besi. Tiangnya dibuat tiga tiang. 10 meter tersebut dibagi

Hasil analisis konteks (keadaan peserta didik,.. madrasah, kebutuhan/ kondisi masyarakat/ unggulan lokal maupun global) ini digunakan sebagai dasar

Ekosistem mangrove juga, merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis organismelainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman

Ungaran Timur secara kuantitas, Secara kuantitas kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran berbasis ICT juga mengalami peningkatan, yaitu sebelum diberikan tindakan

Peserta didik mampu menganalisis tentang penggunaan pelbagai media digital untuk penyampaian materi tertentu dalam buku

Kepedulian Bangsa Indonesia terhadap Kemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pengakuan terhadap martabat yang melekat pada hak yang melekat

Untuk menguji hipotesis ini yang menyatakan bahwa variabel pelatihan (X3) berpengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas kerja karyawan (Y) yang