• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soil and Water Assessment Tools (SWAT)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMAS

2.4 Soil and Water Assessment Tools (SWAT)

SWAT adalah model yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990- an untuk pengembangan Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Model tersebut dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak dari manajemen lahan pertanian terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang lama. SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model, diantaranya adalah Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB), Chemical, Runoff and Erosion from Agricultural Management System (CREAMS), Groundwater Loading Effect an Agricultural Management System (GREAMS), dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC) (Neitsch et al 2004).

Model ini memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai analisis serta simulasi suatu DAS, sehingga agar menghasilkan output yang baik, model SWAT melakukan simulasi berdasarkan beberapa hal, diantaranya adalah:

6 Gambar 2. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi dalam model SWAT (Neitsch et al

2004)

1. Menjalankan proses secara fisik, yaitu menghasilkan output berdasarkan informasi yang spesifik mengenai iklim, karakteristik tanah, topografi, vegetasi, dan manajemen lahan pada suatu DAS. Hal ini memungkinkan model SWAT dalam memodelkan DAS walaupun tanpa data observasi, serta dapat menghitung pengaruh alternatif data input, seperti perubahan penggunaan lahan, data iklim, dan lainnya.

2. Menggunakan input yang telah tersedia, saat SWAT akan digunakan untuk melakukan proses analisa yang lebih spesifik maka diperlukan tambahan data yang diperoleh dari instansi penelitian pemerintah.

3. Menggunakan perhitungan dengan proses yang lebih efisien, sehingga dalam melakukan simulasi DAS yang luas serta dengan banyak strategi pengelolaan dapat menghemat waktu dan materi.

4. Memungkinkan untuk dapat melakukan penelitian untuk dampak dalam jangka waktu yang lama.

Dalam menjalankan setiap analisis hidrologi, SWAT menggunakan neraca air sebagai dasar permodelan. Siklus hidrologi yang digunakan oleh SWAT dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida dalam pengisian

saluran utama pada masing-masing sub basin.

2. Fase air yang berupa pergerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan sungai pada DAS menuju outlet. Skema fase lahan pada siklus hidrologi dan persamaan neraca air yang digunakan dalam model SWAT dapat dilihat pada Gambar 2 dan persamaan (1).

7 ∑ ... (1)

Keterangan:

: Kandungan akhir air tanah (mm)

: Kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm) : Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm) : Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm)

: Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)

: Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i (mm) : Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)

Dalam mengestimasikan aliran permukaan (Qsurf), SWAT menggunakan dua buah

metode, yaitu SCS curve number (CN) dan infiltrasi Green and Ampt. Berdasarkan volume aliran permukaan dan puncaknya, dilakukan simulasi pada setiap HRU (Hydrology Response Units). SCS curve number merupakan fungsi dari permeabilitas tanah, tata guna lahan, dan kondisi air tanah. Persamaan SCS curve number disajikan pada persamaan (2) (Neitsch et al 2004).

( ) ... (2)

Keterangan:

: Curah hujan per hari (mm) : retention parameter (mm)

... (3)

Besarnya laju Wseep, dan Qgw dihitung dengan persamaan (4), dan (5) (Neitsch et al

2004):

... (4)

Keterangan:

: Total air yang berada di bawah tanah pada hari ke-i (mm)

: Jumlah air perkolasi yang keluar dari lapisan terbawah (mm)

: Jumlah air yang mengalir melewati lapisan yang lebih bawah dari muka tanah

untuk mengalirkan aliran pada hari ke-i (mm) ... (5) Keterangan:

: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm) µ : Specific yield dari akuifer dangkal (m/m)

: Konstanta resesi aliran mantap : Tinggi muka air pada watertable (m)

8 Pada penentuan nilai evapotranspirasi, model SWAT melakukan perhitungan berdasarkan tiga metode, yaitu metode Penman-Monteith , metode Priestley and Taylor, serta metode Hargreaves. Metode Penman-Monteith merupakan salah satu metode perhitungan besar evapotranspirasi potensial dari permukaan air terbuka maupun permukaan vegetasi. Model ini membutuhkan lima parameter iklim, yaitu suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin, tekanan uap jenuh, dan radiasi netto. Persamaan Penman-Monteith disajikan pada persamaan (6).

[ ]

⁄ ... (6)

Keterangan:

E : Laju evaporasi (m s-1)

λE : Panas laten akibat densitas sinar matahari (MJ m-2 d-1)

Δ : Kemiringan pada kurva tekanan uap air jenuh-temperatur, de/dT (kPaoC-1) Hnet : Radiasi yang mengenai permukaan (W m-2)

G : Kerapatan fluks panas ke tanah (MJ m-2 d-1) cp : Kapasitas panas spesifik dari audara (J kg-1 K-1)

ρair : Densitas udara (kg m-3)

: Tingkat tekanan uap air jenuh di udara pada ketinggian z (kPa) ez : Tekanan uap air di udara pada ketinggia z (kPa)

rc : Resistensi dari kanopi tanaman (s m-1)

gs : Difusi resistensi lapisan udara atau aerodynamic resistance (s m-1)

γ : Konstanta Psychrometri (γ≈ 66 Pa K-1)

Soil and Water Assessment Tool - Calibration and Uncertainty Program atau SWAT- CUP merupakan program komputer yang digunakan dalam melakukan kalibrasi model hidrologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat buah program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi, dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. Pada penelitian ini, digunakan metode kalibrasi SUFI2 atau Sequential Uncertainty Fitting version 2.

SUFI2 merupakan metode kalibrasi di mana ketidakpastian parameter masukan digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Berdasarkan ketidakpastian nilai output tersebut, model dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling. 95PPU menggambarkan luasan dari range parameter yang digunakan. Jika data observasi bersinggungan dengan luasan grafik 95PPU, maka parameter yang dimasukkan sesuai dengan karakteristik DAS yang ditinjau. Konsep analisis ketidakpastian dari SUFI2 dapat dijelaskan lebih lanjut dengan grafik pada Gambar 3.

9

Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar tersebut memberikan gambaran bahwa nilai tunggal parameter masukan (diwakili oleh titik hitam) memberi pengaruh tunggal pada model yang diwakili oleh garis abu- abu, yaitu model a. Kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis hitam) mempengaruhi nilai output hasil 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah berwarna abu-abu pada model b. Ketika ketidakpastian pada parameter masukan meningkat (diwakili oleh garis hitam yang semakin panjang), yaitu model c, maka terjadi peningkatan pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan 95PPU (diwakili oleh luasan wilayah abu-abu yang semakin lebar). Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU menunjukkan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat atau valid. Jika situasi pada model d terjadi, di mana data hasil observasi yang diwakili oleh garis merah tidak berpotongan dengan luasan 95PPU, maka range nilai parameter masukan harus diubah, sedangkan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka permasalahan yang terjadi bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi.

Berdasarkan Gambar 3, model a memberikan gambaran bahwa nilai tunggal parameter masukan menghasilkan respon nilai tunggal, sedangkan pada model b ketidakpastian nilai parameter masukan menyebabkan ketidakpastian pada prediksi nilai output yang digambarkan oleh 95PPU. Model c menggambarkan bahwa jika semakin besar nilai ketidakpastian pada parameter masukan, maka semakin besar ketidakpastian pada output hasil 95PPU, sedangkan model d menggambarkan bahwa jika parameter masukan berada pada limit nilai maksimum dan 95PPU tidak berpotongan dengan data hasil observasi, maka model harus dievaluasi.

SUFI2 memulai proses kalibrasi dengan mengasumsikan besarnya ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi hingga dua syarat terpenuhi. Syarat tersebut adalah jika sebagian besar data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, serta selisih rata-rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80-100% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, serta selisih antara batas atas dan batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.

10 SWAT-CUP dengan metode SUFI2 memiliki 3 bagian penting dalam melakukan proses kalibrasi, diantaranya adalah calibration inputs, executable file, dan calibration outputs. Calibration inputs merupakan bagian awal dari proses kalibrasi, yaitu pemasukan data. Bagian ini terdiri dari Par_inf.txt, SUFI2_swEdit.def, File.Cio, dan Absolute_SWAT_Values.txt, serta sub bagian pemasukan data, diantaranya adalah Observation, Extraction, Objective Function, dan No Observation. Executable file merupakan bagian proses yang digunakan untuk melakukan perintah kalibrasi, bagian ini terdiri dari SUFI2_pre.bat, SUFI2_run.bat, SUFI2_post.bat, dan SUFI2_Extract.bat. Pada bagian calibration outputs dapat dilihat hasil dari proses kalibrasi yang telah dilakukan. Bagian ini teridiri dari 95ppu plot, 95ppu No Observed plot, Dotty Plots, Best_par.txt, Best_Sim.txt, Goal.txt, New_pars.txt, Summary_Stat.txt.

Pemilihan parameter dilakukan berdasarkan hal-hal yang terkait dengan limpasan permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah (groundwater flow), struktur tanah, dan tekstur tanah (Kohnke et al 1959).

Menurut Abbaspour (2008), hasil simulasi dengan metode SUFI2 yang dilakukan merupakan indikasi dari grafik luasan 95PPU (95 Percentage Prediction Uncertainty), sehingga diperlukan 2 pengukuran validitas lain, yaitu nilai p-factor dan r-factor. P-factor merupakan persentase data observasi yang bersinggungan dengan grafik 95PPU. Nilai validitas ini memberikan gambaran mengenai kemampuan hasil perhitungan melakukan pemilihan nilai, sehingga jika nilai p-factor mendekati 1, maka nilai validitas tersebut semakin baik, di mana model dianggap valid jika lebih dari 80% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU (p-factor > 0.8). Selain p-factor, r-factor merupakan nilai validitas yang perlu diperhitungkan. R-factor menggambarkan kualitas kalibrasi yang mengindikasikan ketebalan dari 95PPU. Nilai validitas ini dihitung berdasarkan rata-rata jarak antara nilai maksimum dan minimum 95PPU yang dibagi dengan standar deviasi data observasi, sehingga jika nilai r-factor mendekati 0, maka nilai semakin baik.

11

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait