• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ii

DISCHARGE ANALYSIS USING SWAT MODEL AT CIPASAURAN

WATERSHED, BANTEN

MI Rau, NH Pandjaitan, and A Sapei

Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, Indonesia

e-mail: maulanaibrau@gmail.com.

ABSTRACT

(2)

iii Maulana Ibrahim Rau. F44080038. Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten. Di bawah bimbingan Nora H. Pandjaitan dan Asep Sapei. 2012

RINGKASAN

Permintaan jumlah air untuk kawasan non industri dan sektor industri di wilayah Kota Cilegon terus meningkat. PT Krakatau Tirta Industri dengan kapasitas produksi air baku sebesar 2,000 lt/dt belum dapat memenuhi kebutuhan air baku seluruh sektor di Cilegon. Terjadi kekurangan air baku sebesar ±600 lt/dt sehingga PT KTI harus menambah pengambilan air di DAS Cipasauran. Untuk itu diperlukan informasi mengenai hubungan antara ketersediaan air baku dengan debit sungai. Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan pemodelan Soil and Water Assessment Tools (SWAT). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis debit sungai untuk penyediaan air baku di DAS Cipasauran dengan menggunakan model SWAT.

Pengamatan dilakukan di kawasan DAS Cipasauran yang secara geografis terletak pada 06°

13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. Penelitian yang dilaksanakan dari Maret hingga Mei 2012 dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait yang akan digunakan pada proses analisis. Data yang diperlukan pada penelitian ini antara lain adalah data debit Sungai Cipasauran tahun 2007-2010, data digital elevation model (DEM) dengan resolusi 30 m, data klimatologi Stasiun Iklim Serang 1996-2009, peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat tahun 1966 dengan skala 1:250,000, dan data landuse DAS Cipasauran skala 1:25,000 dari Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010.

(3)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Saat ini pertumbuhan penduduk merupakan hal yang patut diperhatikan. Meningkatnya jumlah penduduk memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tersebut terjadi dikarenakan pertumbuhan kuantitas dalam sektor industri maupun domestik yang semakin besar, di mana kegiatan ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan. Penurunan nilai kualitas lingkungan ini akan memberikan dampak yang besar terhadap sistem hidrologi DAS pada suatu wilayah. Penurunan nilai kualitas lingkungan dapat terjadi karena adanya pencemaran wilayah perairan, lahan kritis, erosi serta kerusakan alam lainnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi punggung gunung di mana air hujan yang jatuh akan ditampung dan dialirkan melalui sungai kecil menuju sungai utama. DAS memberikan pengaruh yang besar terhadap kebutuhan air baku suatu daerah, sehingga dalam pengelolaannya dibutuhkan perencanaan yang sebaik mungkin. Air baku merupakan air yang dibutuhkan dalam proses produksi maupun air untuk kebutuhan sehari-hari yang pada umumnya berasal dari air hujan, air danau, air tanah, dan air sungai.

Cilegon merupakan kota yang terletak di wilayah Barat Pulau Jawa di mana kawasan industri mencakup 20% dari seluruh wilayah kota dan kontribusi dari sektor industri mencapai ±64% terhadap pembangunan ekonomi. Pada tahun 1992 Kota Cilegon memiliki penduduk sebanyak 232,248 jiwa, sedangkan pada tahun 2002 meningkat menjadi 309,097 jiwa. Pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai 2.64%/tahun mengakibatkan kebutuhan air baku juga meningkat. PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) merupakan salah satu perusahaan di Kawasan Cilegon yang menyediakan air bersih dengan kapasitas terpasang sebesar 2,000 lt/dt. Pasokan air diperoleh dari Sungai Cidanau yang mengalir pada DAS Cidanau, yang kemudian ditampung di Waduk Krenceng. Waduk ini berfungsi dalam menampung air, untuk kemudian diambil dan diolah oleh PT KTI. Sebagai salah satu perusahaan penyedia air baku, PT KTI memiliki kontribusi yang besar dalam penyediaan air di seluruh wilayah Cilegon, termasuk untuk kebutuhan domestik (rumah tangga).

(4)

2 Kapasitas produksi air baku PT KTI sebesar 2,000 lt/dt belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bersih seluruh sektor di Cilegon. Pada musim kering debit Sungai Cidanau hanya sebesar 1,375 lt/dt, sehingga air bersih yang dapat diproduksi sepanjang tahun tidak lebih dari 1,375 lt/dt. Jika memperhitungkan air baku yang tersimpan di Waduk Krenceng, maka Sungai Cidanau dan Waduk Krenceng saat ini hanya dapat menyediakan air baku sebanyak 1,515 lt/dt, sedangkan yang dibutuhkan ±2,100 lt/dt. Untuk menanggulangi kekurangan air baku sebesar ±600 lt/dt, maka PT KTI melakukan berbagai alternatif penambahan air yang memungkinkan, diantaranya adalah dengan menambah pengambilan air di DAS Cipasauran. Tata letak DAS Cipasauran, Waduk Krenceng, PT KTI, dan Proyek PT Krakatau POSCO disajikan pada Lampiran 2.

DAS Cipasauran merupakan salah satu DAS yang berada di Provinsi Banten yang

terletak pada 06° 13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT. DAS ini memiliki luas sebesar 44 km² dengan panjang Sungai Cipasauran sebesar 15.5 km. Sebagai DAS yang akan digunakan untuk penyediaan air baku, diperlukan informasi mengenai hubungan antara ketersediaan air baku dengan analisis debit sungai. Informasi mengenai ketersediaan air baku merupakan informasi hidrologi yang penting dilakukan dalam pengembangan sumber daya air. Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan melakukan pemodelan.

Saat ini berbagai negara termasuk Indonesia mengalami kendala dalam melakukan perancangan model. Kendala yang dihadapi antara lain berupa kurangnya dana dan tenaga yang berpengalaman, kurangnya pelatihan, dan ketergantungan pada ahli yang berasal dari luar negeri (Chang, 2004). Model pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satu cara yang cukup teliti dan cermat adalah dengan menggunakan geographic information system (GIS). Terdapat berbagai macam perangkat lunak GIS yang dapat digunakan untuk memperhitungkan dan mengkaji kondisi hidrologi serta perubahan tata guna lahan suatu wilayah.Salah satu software tersebut adalah Soil and Water Assessment Tools (SWAT).

SWAT merupakan perangkat lunak yang terintegrasi di dalam MapWindows GIS, dan merupakan perangkat lunak yang bersifat terbuka (open source) sehingga telah dikembangkan dan digunakan secara luas di berbagai negara. Dengan menggunakan data yang relevan dan representatif, SWAT dapat digunakan untuk melakukan analisis debit sungai suatu DAS suatu wilayah. Untuk penggunaan model SWAT di Indonesia, terlebih dahulu perlu dilakukan kalibrasi dan validasi sesuai dengan ketersediaan data, agar hasil yang diperoleh dapat sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Proses ini dibutuhkan karena setiap DAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Relevansi model dengan keadaan yang sebenarnya dievaluasi dengan memperhitungkan standar deviasi dan efisiensi model.

1.2

Tujuan Penelitian

(5)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debit Sungai

Gerakan air di permukaan bumi dapat ditelusuri melalui siklus hidrologi, yang mencakup penguapan air dari permukaan bumi ke atmosfer kemudian kembali lagi ke permukaan tanah dan ke laut (Gambar 1). Dalam pergerakannya tersebut, air akan tertahan di sungai, danau/waduk, maupun dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia serta makhluk hidup lainnya.

Dalam siklus hidrologi, energi panas matahari menyebabkan terjadinya proses evaporasi dan evapotranspirasi. Uap air tersebut akan terbawa oleh angin dan kemudian naik ke atmosfer serta mengalami kondensasi. Apabila keadaan atmosfer memungkinkan, maka air akan turun kembali ke bumi sebagai hujan. Air yang turun sebagai hujan dapat tertahan oleh tajuk vegetasi maupun bangunan. Sebagian dari air hujan tersebut akan tertahan pada permukaan tajuk tanaman sedangkan sebagian sisanya ada yang jatuh langsung ke permukaan tanah, danau, sungai dan laut, yang nantinya akan menguap kembali ke atmosfer dan mengalami proses yang sama (Asdak 1995).

Gambar 1. Skema siklus hidrologi (NWS 2009)

(6)

4 kemudian menjadi sungai. Aliran ini mengalir ke permukaan yang memiliki ketinggian lebih rendah, sesuai dengan sifat air yang mengalir dari tempat dengan tempat tinggi ke rendah. Saat dilakukan pengukuran tinggi permukaan air oleh alat ukur, diperoleh debit sungai. Debit sungai merupakan laju aliran air (volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, di mana satuan besaran debit dalam satuan internasional adalah meter kubik per detik (m3/dt).

2.2 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) merupakan campur tangan manusia terhadap kondisi lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu, dikenal berbagai macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan, dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan menjadi penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya (Arsyad 2006).

Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku. Pada setiap proses klasifikasi, suatu kesimpulan dapat memiliki pertimbangan yang valid maupun tidak. Hal ini memungkinkan untuk menduga label yang paling mendukung untuk penentuan kelas. Aturan ini disebut endorsement (pengesahan) (Richards 1993). Dalam penentuan akurasi klasifikasi, nilai evaluasi dapat dihitung dengan martriks kontingensi atau matriks konfusi. Ukuran akurasi yang dapat dihitung oleh matriks ini adalah overall accuracy, producer’s accuracy, user’s accuracy, dan kappa accuracy.

Producer’s accuracy merupakan probabilitas suatu area yang diklasifikasikan dengan benar, serta menunjukkan ketepatan setiap kelas telah diklasifikasi di lapangan. Jika suatu area di lapangan tidak diklasifikasikan dengan benar, ukuran ini dapat digunakan pula untuk menghitung rata-rata kesalahan omisi (omission error). User’s accuracy adalah probabilitas rata-rata suatu area dari citra yang telah diklasifikasi secara aktual, serta mewakili setiap kelas tersebut di lapangan. Ukuran ini dapat digunakan dalam menghitung nilai rata-rata dari kesalahan komisi (commission error) jika suatu area salah terklasifikasi di lapangan. Overall accuracy adalah akurasi yang membandingkan jumlah total area yang diklasifikasikan dengan benar terhadap jumlah total area observasi, sedangkan kappa accuracy merupakan ketepatan yang dihasilkan oleh klasifikasi secara acak (Arhatin 2007).

2.3 Geographic Information System (GIS)

(7)

5 memanipulasi, menganalisis, menampilkan, dan mengeluarkan data yang berhubungan dengan fitur-fitur geografis. Sistem ini tidak hanya meliputi penggunaan perangkat lunak dan keras, tetapi juga database yang diperlukan atau dikembangkan dan personal yang mengerjakan (Bettinger dan Wing 2004). Software Sistem Informasi Geografis (SIG) banyak digunakan karena penggunaannya lebih mudah dan akurat jika dibandingkan dengan metode konvensional.

Aplikasi GIS digunakan dalam berbagai keperluan informasi keruangan, selama data yang digunakan memiliki referensi geografi. Pada pelaksanaannya, GIS digunakan untuk melakukan pengolahan data peta digital yang memiliki sistem koordinat sendiri. Sistem koordinat merupakan pendefinisian suatu titik awal dari pembuatan peta. Sistem koordinat di Indonesia terdiri dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat Universal Transverse Mecator (UTM). Kedua sistem koordinat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pada koordinat geografis, bumi dibagi menurut garis khayal yang biasa disebut dengan garis lintang (latitude/paralell) dan garis bujur (longitude/meridian). Pada sistem koodinat UTM permukaan bumi dibagi ke dalam 60 bagian zona bujur dan setiap zona dibatasi oleh 2 meridian selebar 6° yang memiliki meridian tengah sendiri. Zona 1 sampai 60 dimulai dari 180°-174°, 174°-168° BB dan seterusnya, sampai 174°-180° BT. Pada wilayah Indonesia terdapat sembilan zona yaitu zona 46-54 (Gandasasmita et al 2003).

GIS memiliki 2 jenis data yang berbeda, yaitu data vektor dan data raster. Data vektor merupakan data yang tidak memiliki bentuk dan ketentuan, di mana data ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu point, line, dan polygon. Data vektor menggunakan koordinat x dan y dalam menampilkan data spasial (Chang 2004). Data raster merupakan informasi data yang terdiri dari satuan piksel yang memiliki kolom serta baris tertentu, seperti data hasil citra satelit maupun Digital Elevation Model (DEM). Data raster merupakan hal penting dalam penerapan GIS.

2.4 Soil and Water Assessment Tools (SWAT)

SWAT adalah model yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk pengemb1990-ang1990-an Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Model tersebut dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak dari manajemen lahan pertanian terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang lama. SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model, diantaranya adalah Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB), Chemical, Runoff and Erosion from Agricultural Management System (CREAMS), Groundwater Loading Effect an Agricultural Management System (GREAMS), dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC) (Neitsch et al 2004).

(8)

6 Gambar 2. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi dalam model SWAT (Neitsch et al

2004)

1. Menjalankan proses secara fisik, yaitu menghasilkan output berdasarkan informasi yang spesifik mengenai iklim, karakteristik tanah, topografi, vegetasi, dan manajemen lahan pada suatu DAS. Hal ini memungkinkan model SWAT dalam memodelkan DAS walaupun tanpa data observasi, serta dapat menghitung pengaruh alternatif data input, seperti perubahan penggunaan lahan, data iklim, dan lainnya.

2. Menggunakan input yang telah tersedia, saat SWAT akan digunakan untuk melakukan proses analisa yang lebih spesifik maka diperlukan tambahan data yang diperoleh dari instansi penelitian pemerintah.

3. Menggunakan perhitungan dengan proses yang lebih efisien, sehingga dalam melakukan simulasi DAS yang luas serta dengan banyak strategi pengelolaan dapat menghemat waktu dan materi.

4. Memungkinkan untuk dapat melakukan penelitian untuk dampak dalam jangka waktu yang lama.

Dalam menjalankan setiap analisis hidrologi, SWAT menggunakan neraca air sebagai dasar permodelan. Siklus hidrologi yang digunakan oleh SWAT dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida dalam pengisian

saluran utama pada masing-masing sub basin.

(9)

7 ∑ ... (1)

Keterangan:

: Kandungan akhir air tanah (mm)

: Kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm) : Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm) : Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm)

: Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)

: Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i (mm) : Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)

Dalam mengestimasikan aliran permukaan (Qsurf), SWAT menggunakan dua buah

metode, yaitu SCS curve number (CN) dan infiltrasi Green and Ampt. Berdasarkan volume aliran permukaan dan puncaknya, dilakukan simulasi pada setiap HRU (Hydrology Response Units). SCS curve number merupakan fungsi dari permeabilitas tanah, tata guna lahan, dan kondisi air tanah. Persamaan SCS curve number disajikan pada persamaan (2) (Neitsch et al 2004).

( ) ... (2)

Keterangan:

: Curah hujan per hari (mm) : retention parameter (mm)

... (3)

Besarnya laju Wseep, dan Qgw dihitung dengan persamaan (4), dan (5) (Neitsch et al

2004):

... (4)

Keterangan:

: Total air yang berada di bawah tanah pada hari ke-i (mm)

: Jumlah air perkolasi yang keluar dari lapisan terbawah (mm)

: Jumlah air yang mengalir melewati lapisan yang lebih bawah dari muka tanah

untuk mengalirkan aliran pada hari ke-i (mm) ... (5) Keterangan:

: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm) µ : Specific yield dari akuifer dangkal (m/m)

(10)

8 Pada penentuan nilai evapotranspirasi, model SWAT melakukan perhitungan berdasarkan tiga metode, yaitu metode Penman-Monteith , metode Priestley and Taylor, serta metode Hargreaves. Metode Penman-Monteith merupakan salah satu metode perhitungan besar evapotranspirasi potensial dari permukaan air terbuka maupun permukaan vegetasi. Model ini membutuhkan lima parameter iklim, yaitu suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin, tekanan uap jenuh, dan radiasi netto. Persamaan Penman-Monteith disajikan pada persamaan (6).

[ ]

⁄ ... (6)

Keterangan:

E : Laju evaporasi (m s-1)

λE : Panas laten akibat densitas sinar matahari (MJ m-2 d-1)

Δ : Kemiringan pada kurva tekanan uap air jenuh-temperatur, de/dT (kPaoC-1) Hnet : Radiasi yang mengenai permukaan (W m-2)

G : Kerapatan fluks panas ke tanah (MJ m-2 d-1) cp : Kapasitas panas spesifik dari audara (J kg-1 K-1)

ρair : Densitas udara (kg m-3)

: Tingkat tekanan uap air jenuh di udara pada ketinggian z (kPa) ez : Tekanan uap air di udara pada ketinggia z (kPa)

rc : Resistensi dari kanopi tanaman (s m-1)

gs : Difusi resistensi lapisan udara atau aerodynamic resistance (s m-1)

γ : Konstanta Psychrometri (γ≈ 66 Pa K-1)

Soil and Water Assessment Tool - Calibration and Uncertainty Program atau SWAT-CUP merupakan program komputer yang digunakan dalam melakukan kalibrasi model hidrologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat buah program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi, dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. Pada penelitian ini, digunakan metode kalibrasi SUFI2 atau Sequential Uncertainty Fitting version 2.

(11)

9

Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar tersebut memberikan gambaran bahwa nilai tunggal parameter masukan (diwakili oleh titik hitam) memberi pengaruh tunggal pada model yang diwakili oleh garis abu-abu, yaitu model a. Kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis hitam) mempengaruhi nilai output hasil 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah berwarna abu-abu pada model b. Ketika ketidakpastian pada parameter masukan meningkat (diwakili oleh garis hitam yang semakin panjang), yaitu model c, maka terjadi peningkatan pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan 95PPU (diwakili oleh luasan wilayah abu-abu yang semakin lebar). Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU menunjukkan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat atau valid. Jika situasi pada model d terjadi, di mana data hasil observasi yang diwakili oleh garis merah tidak berpotongan dengan luasan 95PPU, maka range nilai parameter masukan harus diubah, sedangkan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka permasalahan yang terjadi bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi.

Berdasarkan Gambar 3, model a memberikan gambaran bahwa nilai tunggal parameter masukan menghasilkan respon nilai tunggal, sedangkan pada model b ketidakpastian nilai parameter masukan menyebabkan ketidakpastian pada prediksi nilai output yang digambarkan oleh 95PPU. Model c menggambarkan bahwa jika semakin besar nilai ketidakpastian pada parameter masukan, maka semakin besar ketidakpastian pada output hasil 95PPU, sedangkan model d menggambarkan bahwa jika parameter masukan berada pada limit nilai maksimum dan 95PPU tidak berpotongan dengan data hasil observasi, maka model harus dievaluasi.

(12)

10 SWAT-CUP dengan metode SUFI2 memiliki 3 bagian penting dalam melakukan proses kalibrasi, diantaranya adalah calibration inputs, executable file, dan calibration outputs. Calibration inputs merupakan bagian awal dari proses kalibrasi, yaitu pemasukan data. Bagian ini terdiri dari Par_inf.txt, SUFI2_swEdit.def, File.Cio, dan Absolute_SWAT_Values.txt, serta sub bagian pemasukan data, diantaranya adalah Observation, Extraction, Objective Function, dan No Observation. Executable file merupakan bagian proses yang digunakan untuk melakukan perintah kalibrasi, bagian ini terdiri dari SUFI2_pre.bat, SUFI2_run.bat, SUFI2_post.bat, dan SUFI2_Extract.bat. Pada bagian calibration outputs dapat dilihat hasil dari proses kalibrasi yang telah dilakukan. Bagian ini teridiri dari 95ppu plot, 95ppu No Observed plot, Dotty Plots, Best_par.txt, Best_Sim.txt, Goal.txt, New_pars.txt, Summary_Stat.txt.

Pemilihan parameter dilakukan berdasarkan hal-hal yang terkait dengan limpasan permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah tanah (groundwater flow), struktur tanah, dan tekstur tanah (Kohnke et al 1959).

(13)

11

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di PT Krakatau Tirta Industri dan DAS Cipasauran selama 3 bulan yaitu dari Maret hingga Mei 2012. Kawasan DAS Cipasauran secara geografis terletak

pada 06° 13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT. Secara administratif terletak di Provinsi Banten dengan luas 44 km2 (Gambar 4).

Sumber: Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten 2010

Gambar 4. Peta lokasi DAS Cipasauran

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah peta tanah tinjau dengan skala 1:250,000, peta DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 30 meter, dan citra landsat TM. Data penunjang lainnya adalah debit sungai, data aliran sungai, data curah hujan, serta data fisik tanah dan bilangan kurva.

Alat yang diperlukan diantaranya adalah perangkat komputer dengan kebutuhan minimum sebagai berikut:

1. Komputer desktop atau laptop dengan prosesor Intel Pentium I dengan clock 166 MHz. 2. RAM dengan kapasitas 64 MB.

3. Sistem operasi Microsoft Windows 95, 98, NT 4.0, XP, 7 atau Win2000 dengan kernel patch terbaru.

4. Adapter VGA dan monitor.

5. Kapasitas harddisk minimum untuk instalasi sebesar 300 MB

(14)

12

3.3. Metode Pelaksanaan

Penelitian dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait yang akan digunakan pada proses analisis. Data yang diperlukan pada penelitian ini di antara lain:

1. Data Debit Sungai Cipasauran tahun 2007-2010 dari PT Krakatau Tirta Industri.

2. Data Digital Elevation Model (DEM) dari ASTER Global DEM V2 untuk wilayah Cipasauran dengan resolusi 30 x 30 m.

3. Data klimatologi Stasiun Iklim Serang 1996-2009.

4. Data landuse DAS Cipasauran skala 1:25,000 dari Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010. 5. Peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat tahun 1966 dengan skala 1:250,000 dari Lembaga

Penelitian Tanah.

6. Kebutuhan air penduduk dan industri dari PT Krakatau Tirta Industri.

Analisis debit aliran sungai DAS Cipasauran dilakukan dengan menggunakan model SWAT. Data input berupa karakteristik tanah, iklim, tata guna lahan, dan hidrologi yang telah disiapkan pada proses pengumpulan data dimasukkan ke dalam data input file. Tahapan kegiatan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Delineasi Daerah Observasi

Proses delineasi menggunakan data DEM SRTM dengan resolusi 30 meter yang diolah menggunakan perangkat lunak MapWindows. Daerah observasi akan didelineasi berdasarkan batas topografi alami DAS. Metode yang digunakan dalam proses delineasi adalah metode threshold, di mana besar kecil nilai threshold yang digunakan akan menentukan jumlah jaringan sungai yang terbentuk.

2. Pembentukan HRU (Hydrological Response Unit)

HRU adalah unit satuan lahan dengan unsur karakteristik sub DAS yang berpengaruh terhadap terjadinya erosi. Setiap HRU akan memiliki informasi sub DAS, nomor HRU, jenis penutupan lahan, jenis tanah, dan luas HRU. HRU didapatkan dari overlay peta tanah dan peta penggunaan lahan.

Pembuatan HRU terdiri dari interval slope, peta raster landuse dan peta raster tanah format sistem koordinat proyeksi UTM, dan threshold dari presentase total luasan landuse 10%, jenis tanah sebesar 5%, dan slope sebesar 5%.

3. Penggabungan HRU dengan Data Iklim

Proses penggabungan HRU dan data iklim dilakukan setelah satuan analisis terbentuk. Pada tahap ini ditentukan periode simulasi terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan pemasukan data iklim.

4. Simulasi

(15)

13 permukaan adalah metode SCS Curve Number. Analisis SCS curve number dilakukan dengan menggunakan persamaan (2) dan (3).

Tabel 1. File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi

Nama file Fungsi

CIO File untuk mengontrol data input dan output COD Mengontrol file input dan output

FIG Mengidentifikasi jaringan hidrologi sungai BSN Mengontrol keragaman parameter di tingkat DAS SUB Mengontrol keragaman parameter di tingkat Sub DAS HRU Mengontrol keragaman parameter di tingkat HRU GW File air bawah tanah

RTE File pergerakan air, sedimen, hara, dan pestisida CROP File parameter tumbuh tanaman

URBAN File data lahan terbangun atau urban area PCP File data curah hujan harian

TMP File temperatur udara maksimum dan minimum harian SLR File radiasi matahari harian

HMD File kelembaban udara harian WGN File data generator iklim SOL File data tanah

MGT File pengelolaan dan penutupan lahan

Sumber: Neitsch et al 2004

5. Kalibrasi

Dalam input model SWAT, terdapat 500 parameter yang digunakan dalam simulasi. Tetapi parameter tersebut tidak seluruhnya dapat digunakan karena adanya keterbatasan waktu dan data. Pemilihan parameter yang dominan dilakukan hingga didapatkan hasil yang mendekati kondisi sebenarnya.

Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi dan validasi adalah model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang direkomendasikan oleh The American of Civil Engineers (Ahl et al 2008). Persamaan model yang digunakan adalah persamaan (6) dan persamaan (7).

[

∑ ̅ ̅

√∑ ̅ ∑ ̅

]

... (6)

[

∑ ̅

∑ ̅

]

... (7)
(16)

rata-14 rata (m3/dt). Dalam kriterianya, simulasi dianggap baik jika nilai NS > 0.75, memuaskan jika 0.36 < NS < 0.75, serta kurang baik jika NS < 0.36.

6. Parameterisasi Input Simulasi

Parameterisasi yang dilakukan dalam simulasi menggunakan SWAT-CUP. Langkah-langkah dalam pengoperasian SWAT-CUP adalah sebagai berikut:

1. Setelah program telah dilakukan instalasi, masukan SWAT TxInOut directory dipilih sebagai sumber data untuk proyek baru.

2. Kemudian dipilih satu program kalibrasi yang tersedia (SUFI2, GLUE, ParaSol, MCMC). 3. Setelah proyek diberi nama, lokasi penyimpanan file proyek ditentukan.

4. Pada tampilan project explorer window terdapat menu masukan kalibrasi yang berisi data parameter yang akan dikalibrasi. Menu kalibrasi tersebut merupakan parameter yang akan diteliti.

5. Setelah nilai parameter diubah, proses kalibrasi dijalankan dengan tombol execute pada tool bar.

Nilai parameter dalam bentuk range dimasukkan pada proses kalibrasi. Nilai parameter tersebut akan disimulasikan oleh SWAT-CUP dengan melakukan simulasi pada tiap nilai parameter yang terdapat pada nilai absolut dalam SWAT-CUP. Kemudian hasil tersebut dibandingkan dengan data observasi, serta dilihat pula besar nilai perpotongan antara hasil simulasi dengan data di lapangan. Model dianggap valid jika data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU sebesar 80% (p-factor > 0.8) (Abbaspour 2008). 7. Simulasi dengan SWAT Terkalibrasi

(17)

15 Gambar 5. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Mulai

Pengumpulan dan persiapan data (data karakteristik tanah,

iklim, tata guna lahan, dan hidrologi DAS) Analisis spasial

Simulasi SWAT Kondisi

penggunaan lahan

Output Debit ya

Kebutuhan air baku tidak

Simulasi SWAT terkalibrasi Evaluasi klasifikasi

penggunaan lahan (overall accuracy

dan kappa accuracy

> 85%)

Kalibrasi dan Validasi

NS > 0.75 (baik) atau 0.36

< NS < 0.75 (memuaskan)

ya

(18)

16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi DAS Cipasauran

Daerah Aliran Sungai Cipasauran secara geografis terletak pada 06° 13’ 51” - 06° 17’

33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. DAS Cipasauran secara keseluruhan memiliki luas sebesar 44 km² yang berjarak ±35 km dari Kota Serang, di mana keadaan topografi didominasi dengan pegunungan pada wilayah timur dan dataran rendah pada wilayah barat. Wilayah Utara DAS meliputi Desa Umbul Tanjung dan Desa Pasauran, wilayah selatan meliputi Desa Jiput, Desa Pejanten, Desa Sukacai, dan Gunung Asseupan, wilayah barat meliputi Selat Sunda, sedangkan wilayah timur meliputi Gunung Asseupan. Peta lokasi DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 4.

Pada penelitian ini, lokasi perencanaan Bendung Cipasauran digunakan sebagai outlet, yang berlokasi pada 6°13'41.57" LS dan 105° 50' 25.20" BT. Penempatan outlet pada lokasi perencanaan bendung menghasilkan luasan DAS yang lebih sempit karena lokasi tersebut berada ±1.4 km dari wilayah hilir di laut, yaitu sebesar 38.87 km2. Penempatan outlet pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran dilakukan karena debit sungai yang dianalisis diharuskan berada pada lokasi pengambilan air, sehingga data debit sungai dapat dibandingkan dengan informasi ketersediaan air baku.

(19)

17 Gambar 7. Peta DAS Cipasauran dengan outlet Bendung Cipasauran

4.2 Penggunaan lahan

Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat dari Lembaga Penelitian Tanah berskala 1:250,000 pada tahun 1966, jenis tanah yang terdapat pada DAS Cipasauran terdiri dari 2 jenis, yaitu asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat yang menutupi 69.7% dari luasan DAS, serta latosol merah kekuningan yang menutupi 30.3% DAS. Latosol merupakan tanah dengan kadar liat lebih dari 30%, berwarna coklat hingga merah, memiliki tekstur yang halus, bersolum tebal, serta bergembur pada seluruh profilnya (Astisiasari 2008). Berdasarkan kelas erodibilitas atau koefisien kepekaan erosi dari Bapedal (2001), latosol coklat kemerahan dan latosol coklat, serta latosol merah kekuningan merupakan jenis tanah dengan erodibilitas rendah. Sebaran jenis tanah DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 8.

(20)

18 metode mozaik, yaitu proses overlay antara dua citra pada lokasi dan koordinat yang sama, tetapi pada waktu yang berbeda. Kemudian data citra pada setiap band disatukan dengan menggunakan layer stack. Pada penelitian ini, digunakan band dengan komposisi warna merah, hijau, dan biru sebesar 5, 4, dan 3.

Gambar 8. Peta sebaran tanah DAS Cipasauran

(21)

19 Data tutupan lahan dibagi menjadi 7 jenis, diantaranya adalah badan air, hutan sekunder, pemukiman, perkebunan, sawah irigasi, semak belukar, dan tegalan. Berdasarkan Tabel 2, DAS Cipasauran didominasi oleh semak belukar dengan luas 10.14 km2 atau 26.08% dari total luas DAS. Sebaran wilayah tutupan lahan pada DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 9.

Tabel 2. Sebaran tutupan lahan pada DAS Cipasauran

No. Jenis Penggunaan Lahan Luas

km2 %

1 Badan Air 0.81 2.08

2 Hutan Sekunder 9.02 23.20

3 Pemukiman 1.77 4.56

4 Perkebunan 6.19 15.94

5 Sawah Irigasi 2.54 6.54

6 Semak Belukar 10.14 26.08

7 Tegalan 8.40 21.60

Total 38.87 100.00

(22)

20 Tabel 3. Nilai matriks konfusi untuk setiap penggunaan lahan

Tabel 4. Nilai akurasi untuk setiap penggunaan lahan

4.3 Analisis SWAT

Pada penelitian ini dilakukan analisis SWAT menggunakan MWSWAT 1.7. MWSWAT merupakan sub-aplikasi dari Map Window, yaitu perangkat lunak berbasis open source yang berguna dalam melakukan distribusi data, mengembangkan tools yang berkaitan dengan analisis spasial, dan melakukan proses sebagaimana perangkat lunak GIS lainnya. Pada simulasi SWAT ini, dilakukan 4 proses, diantaranya adalah proses delineasi DAS, pembentukan hydrological response unit (HRU), pengolahan data SWAT, dan proses simulasi.

Data Klasifikasi Data Referensi Total Baris Hutan Sekunder Badan

Air Perkebunan Tegalan

Semak

Belukar Pemukiman

Sawah Irigasi Hutan

Sekunder 45 0 1 0 1 0 0 47

Badan Air 0 10 0 0 0 0 3 13

Perkebunan 3 0 36 0 0 0 0 39

Tegalan 1 0 5 7 0 1 3 17

Semak

Belukar 0 0 0 0 17 0 0 17

Pemukiman 0 0 0 0 0 31 0 31

Sawah

Irigasi 0 1 0 1 0 0 10 12

Total Kolom 49 11 42 8 18 32 16 176

Jenis Tutupan Lahan

User's Accuracy (%) Producer's Accuracy (%) Overall Accuracy (%) Kappa Accuracy (%)

Hutan Sekunder 95.74 91.84

88.64 86.07

Badan Air 76.92 90.91

Perkebunan 92.31 85.71

Tegalan 41.18 87.50

Semak Belukar 100.00 94.44

Pemukiman 100.00 96.88

(23)

21

4.3.1 Proses Delineasi DAS

Pada tahap pertama, dilakukan delineasi daerah aliran sungai berdasarkan data digital elevation model (DEM) wilayah DAS yang akan diteliti. Data DEM yang digunakan pada penelitian ini adalah data ASTER Global DEM V2 dengan resolusi 30 meter. Pada tahap ini, data DEM dimasukkan terlebih dahulu, kemudian batas DAS ditentukan, sehingga dapat diperoleh aliran sungai serta sub DAS. Ketepatan pembentukan aliran sungai dan sub DAS ditentukan oleh ketelitian dalam melakukan delineasi. Semakin kecil nilai kolom cells yang dimasukkan maka semakin banyak aliran sungai serta sub DAS yang terbentuk.

Pada penelitian ini digunakan ketelitian sebesar 0.5 km2, sehingga terbentuk DAS dengan total luas 38.87 km2. Total luas DAS yang diperoleh lebih kecil dibandingkan total keseluruhan DAS yaitu 44 km2, karena outlet yang digunakan pada penelitian ini berlokasi pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran. Lokasi perencanaan Bendung Cipasauran terletak pada 6°13'41.57" LS dan 105° 50' 25.20" BT atau ±1.4 km dari wilayah hilir di laut. Penempatan outlet pada lokasi tersebut dilakukan karena debit sungai yang dianalisis diharuskan berada pada lokasi pengambilan air, sehingga data debit sungai dapat dibandingkan dengan informasi ketersediaan air baku.

(24)

22

4.3.2 Pembentukan HRU

Setelah proses delineasi, dilakukan pembentukan HRU (hydrological response unit). Pada tahap ini dilakukan overlay antara hasil data DEM, data penggunaan lahan, serta data tanah. Selain dapat melakukan analisis hidrologi berdasarkan karakeristik tanah dan penggunaan lahan yang spesifik, proses ini berguna dalam melakukan pemasukan data slope (kemiringan). Pada penelitian ini dilakukan pengelompokkan kemiringan sebesar 0-3% (datar), 3-8% (landai), 8-15% (bergelombang), 15-30% (miring), 30-45% (agak curam), 45-65% (curam), dan >65% (sangat curam) (Arsyad 2006). Peta sebaran kemiringan dan hasil pembentukan HRU DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11. Peta sebaran kemiringan DAS Cipasauran

(25)

23 Gambar 12. Peta HRU DAS Cipasauran

4.3.3 Pengolahan Data dan Simulasi SWAT

Pada tahap ini dilakukan pemasukan data iklim untuk mendapatkan keluaran berupa debit harian hasil simulasi. Simulasi SWAT membutuhkan data iklim berupa curah hujan dan suhu pada stasiun yang mewakili daerah DAS, serta data weather generator berupa radiasi matahari, kecepatan angin, suhu, curah hujan, dan titik embun. Data curah hujan pada DAS Cipasauran diperoleh dari 2 pos hujan, yaitu wilayah Anyer dan Padarincang. Pos Hujan Anyer terletak pada 6° 0' 41.52" LS dan 105° 9' 21.66" BT dengan elevasi 0 meter di atas permukaan laut, sedangkan Pos Hujan Padarincang terletak pada 6° 12' 32.82" LS dan 105° 57' 5.88" BT dengan elevasi 99 meter di atas permukaan laut. Data curah hujan yang digunakan pada masing-masing pos, serta data suhu yang diperoleh dari Stasiun Iklim Serang adalah tahun 2007 hingga 2010. Data curah hujan yang digunakan pada proses simulasi SWAT disajikan pada Lampiran 6.

(26)

24 Irsyad (2011) dalam tesisnya yang berjudul "Analisis Debit Sungai Cidanau Dengan Aplikasi SWAT". Peta lokasi curah hujan dan iklim untuk SWAT DAS Cipasauran disajikan pada Lampiran 5.

4.3.4 Proses Visualisasi

Pada tahap ini dilakukan proses visualisasi debit. Data debit yang divisualisasikan merupakan data debit harian serta debit bulanan pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran. Hasil dari simulasi ditampilkan dengan menggunakan SWAT Plot and Graph. Berdasarkan hasil visualisasi yang diperoleh, debit simulasi harian maksimum yang terjadi adalah sebesar 64.71 m3/dt, dengan debit minimum sebesar 0.02 m3/dt, serta debit rata-rata sebesar 3.11 m3/dt. Berdasarkan nilai debit bulanan, debit maksimum yang diperoleh sebesar 7.31 m3/dt, debit minimum sebesar 0.83 m3/dt, serta debit rata-rata sebesar 3.11 m3/dt. SWAT Plot and Graph dapat pula digunakan untuk membandingkan debit hasil simulasi dengan debit hasil pengukuran di lapangan, sehingga dapat diperoleh nilai validitas model.

Fluktuasi hasil debit simulasi dan debit observasi disajikan pada Gambar 13 dan 14. Data debit observasi diperoleh dari pos pengukuran di Desa Dahu, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang pada tahun 2007 hingga 2010, di mana lokasi pengukuran debit berada pada 6° 13' 10.57" LS dan 105° 52' 22.77" BT, dan disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan grafik hubungan debit simulasi dan observasi, terlihat bahwa sebaran debit observasi memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan debit simulasi. Hal ini disebabkan karena lokasi pengukuran debit aktual yang lebih hulu dibandingkan lokasi tinjau penelitian.

Berdasarkan Gambar 13 dan 14, hasil simulasi yang diperoleh kurang mendekati kondisi sebenarnya di lapangan, sehingga perlu diketahui nilai validitas model. Untuk mengetahui nilai validitas awal dari model, digunakan SWAT plot and graph.

Gambar 13. Fluktuasi debit harian observasi dan hasil simulasi 0 10 20 30 40 50 60 70

1-Jan-07 1-Mar-07 1-May-07 1-Ju

l-07 1-S e p -07 1-N o v-07

1-Jan-08 1-Mar-08 1-May-08 1-Ju

l-08 1-S e p -08 1-N o v-08

1-Jan-09 1-Mar-09 1-May-09 1-Ju

l-09 1-S e p -09 1-N o v-09

1-Jan-10 1-Mar-10 1-May-10 1-Ju

l-10 1-S e p -10 1-N o v-10 Deb it ( m 3/d t)

(27)

25 Gambar 14. Fluktuasi debit bulanan hasil observasi dan hasil simulasi

Berdasarkan perbandingan data simulasi dan observasi, nilai koefisien determinasi (R2)dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang diperoleh untuk debit harian adalah 0.0004 dan -0.204, sedangkan nilai R2 dan NS untuk debit bulanan adalah 0.045 dan -0.909. Nilai validitas tersebut tidak sesuai dengan range nilai yang seharusnya. Dalam kriterianya, menurut Van et al (2003) simulasi dianggap baik jika nilai NS > 0.75, memuaskan jika 0.36 < NS < 0.75, serta kurang baik jika NS < 0.36, sedangkan menurut Santi et al (2001) hasil simulasi dianggap baik

jika NS ≥ 0.5 dan R2≥ 0.6. Oleh karena itu, diperlukan proses kalibrasi agar nilai validitas yang diperoleh dapat diterima.

4.4 Kalibrasi dan Validasi

Kalibrasi dan validasi model SWAT yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan SWAT-CUP dengan metode SUFI2 (Sequential Uncecrtainty Fitting). Kalibrasi dan validasi dilakukan dengan membandingkan debit harian dan bulanan DAS Cipasauran pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran dengan debit harian dan bulanan hasil pengukuran di Pos Pengukuran Kampung Dahu pada tahun 2007-2010.

Kalibrasi dengan SWAT-CUP dilakukan berdasarkan range nilai minimum dan maksimum. Pada awal proses, dapat dilakukan pemasukan data berdasarkan file Absolute_SWAT_Values.txt. File tersebut berguna dalam mengetahui range nilai awal yang dianjurkan. Setelah tahap iterasi pertama dilakukan, diperoleh range nilai baru yang disarankan pada new_pars.txt, yang dapat dimasukkan kembali dalam masukan parameter. Hal ini kemudian dilakukan secara berulang hingga diperoleh nilai validitas yang diinginkan. Parameter dalam SWAT berjumlah sangat banyak (disajikan pada Lampiran 1), namun pada penelitian ini 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Jan-07 Mar -07 May-07 Ju l-07 S e p -07 N o v-07 Jan -08 Mar -08 May-08 Ju l-08 S e p -08 N o v-08 Jan-09 Mar -09 May-09 Ju l-09 S e p -09 N o v-09 Jan-10 Mar -10 May-10 Ju l-10 S e p -10 N o v-10 D ebi t (m 3/dt )

(28)

26 dilakukan pemasukan 13 parameter yang diperkirakan dapat mempengaruhi hasil keluaran dari simulasi secara signifikan.

Pada penelitian ini kalibrasi dan validasi dilakukan sebanyak 8 kali iterasi dengan 750 simulasi pada tiap iterasinya. Parameter dan masukan nilai akhir yang digunakan pada proses kalibrasi disajikan pada Tabel 5, sedangkan tambahan informasi range nilai yang digunakan untuk kalibrasi harian dan bulanan disajikan pada Lampiran 3 dan 4. Parameter bulanan dan harian menggunakan range nilai yang sama, tetapi nilai masukan yang dihasilkan berbeda karena metode parameterisasi yang dilakukan menggunakan metode SUFI2 (Sequential Uncertainty Fitting). Nilai masukan tersebut memberikan hasil validitas p-factor sebesar 0.84, r-factor sebesar 2.43, R2 sebesar 0.07, dan NS sebesar 0.03 untuk debit harian, serta nilai validitas p-factor sebesar 0.83, r-factor sebesar 2.04, R2 sebesar 0.28, dan NS sebesar 0.25 untuk debit bulanan, dengan grafik hasil kalibrasi yang disajikan pada Gambar 15 dan 16.

Tabel 5. Parameter dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi

Proses kalibrasi dan validasi pada penelitian ini dilakukan secara bersamaan. Proses validasi tidak dilakukan terhadap simulasi dengan periode waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan

No Parameter Definisi (satuan)

Nilai masukan Bulanan Harian

1 r__CN2.mgt SCS curve number 21.17552 28.79522

2 v__ALPHA_BF.gw Faktor alfa untuk aliran permukaan

(hari) 0.013733 0.067284

3 v__GW_DELAY.gw Perlambatan aliran bawah tanah (hari) 349.3549 377.3485

4 v__GWQMN.gw

Kedalaman ambang air pada akuifer dangkal yang dibutuhkan agar terjadi arus balik (mm)

2108.982 1973.281

5 v__GW_REVAP.gw Koefisien "revap" air bawah tanah 0.094034 0.096386 6 v__ESCO.hru Faktor pergantian evaporasi tanah 0.363364 0.342166

7 v__REVAPMN.gw

Kedalaman ambang air pada akuifer dangkal agar perkolasi mencapai akuifer dalam (mm)

289.8673 440.1356

8 v__EPCO.hru Faktor pergantian terusan tanaman -0.47644 -0.50643

9 v__ALPHA_BNK.rte Faktor alfa untuk aliran permukaan pada

tampungan pinggir sungai (hari) 0.147208 0.159303 10 r__SOL_BD().sol moist bulk density (Mg/m3 atau g/cm3) 0.480985 0.508179 11 v__HRU_SLP.hru kemiringan aliran permukaan 0.135064 0.04554 12 r__OV_N.hru Koefisien kekasaran manning 0.016252 0.287339 13 v__SLSUBBSN.hru Panjang kemiringan aliran permukaan

(29)

27 karena dalam pendugaan model hidrologi, semakin lama rentang waktu simulasi yang dilakukan, semakin baik model mewakili tahun-tahun yang berbeda, sehingga untuk tahun-tahun berikutnya model akan lebih valid dalam memprediksi hasil. PT Krakatau Tirta Industri sebagai perusahaan penyedia air baku, kedepannya akan menggunakan model hidrologi DAS Cipasauran dalam menduga debit ketersediaan air baku tahun-tahun yang akan datang.

Gambar 15. Grafik hasil kalibrasi debit harian DAS Cipasauran

Gambar 16. Grafik hasil kalibrasi debit bulanan DAS Cipasauran

(30)

28 goodness of fit dari persamaan regresi, sehingga persentase variasi total data dalam variabel terikat (data debit observasi DAS Cipasauran) yang dijelaskan oleh variabel bebas (data debit simulasi DAS Cipasauran) diharuskan memiliki karakteristik atau fluktuasi sebaran yang sama. Namun pada penelitian ini sebaran yang terjadi antara data debit simulasi dan observasi pada periode tertentu terlihat tidak seragam. Kurangnya nilai R2 disebabkan karena data debit observasi dan hasil simulasi yang kurang sesuai. Ketidaksesuaian data dapat diakibatkan karena tidak tersedianya data debit pada lokasi tinjau penelitian, yaitu lokasi perencanaan Bendung Cipasauran. Hal ini terlihat dari sebaran debit observasi yang lebih kecil dibandingkan debit simulasi. Lebih kecilnya debit observasi disebabkan karena lokasi pengukuran debit berada pada wilayah yang lebih hulu dari lokasi tinjau penelitian. Lokasi pengukuran debit disajikan pada Gambar 7. Sebaran debit yang lebih rendah dari debit simulasi ini mengakibatkan debit observasi yang diperoleh tidak memiliki karakteristik fluktuasi yang sama. Selain nilai R2 yang rendah, hal tersebut berimplikasi pula pada nilai efisiensi Nash-Sutcliffe (NS), sehingga nilai NS yang diperoleh pun kurang baik.

Tabel 6. Nilai statistik hasil penelitian

Variabel Simulasi Kalibrasi dan validasi Harian Bulanan Harian Bulanan

p-factor - - 0.84 0.83

r-factor - - 2.43 2.04

R2 0.0004 0.045 0.07 0.28

NS -0.204 -0.909 0.03 0.25

4.5 Analisis Debit Sungai

Berdasarkan model SWAT terkalibrasi, diperoleh nilai untuk debit harian dan debit bulanan. Berdasarkan data debit harian, DAS Cipasauran menghasilkan debit maksimum sebesar 3.309 m3/dt, debit minimum 0 m3/dt, serta debit rata-rata 1.79 m3/dt. Debit air baku yang dibutuhkan oleh PT Krakatau Tirta Industri adalah 600 lt/dt atau 0.6 m3/dt, yang dialirkan dari DAS Cipasauran untuk ditampung pada Waduk Krenceng, dan nantinya akan diolah oleh PT KTI. Dalam analisis digunakan data debit harian karena debit harian memberikan informasi yang lebih baik mengenai fluktuasi debit air. Berdasarkan debit harian, PT KTI dapat memperhatikan periode di mana terjadi kelebihan air, sehingga air dapat dikumpulkan agar nantinya dapat dimanfaatkan pada saat terjadi kekurangan air. Berdasarkan debit simulasi harian terkalibrasi, maka kebutuhan air baku harian dapat terpenuhi sebesar 98.22 %. Grafik hubungan antara debit harian terkalibrasi dengan debit kebutuhan air baku disajikan pada Gambar 17.

(31)
[image:31.595.109.530.142.796.2]

29 data harian. Berdasarkan perbandingan data debit bulanan dan kebutuhan air, terlihat bahwa kebutuhan air baku bulanan dapat terpenuhi sepenuhnya. Grafik hubungan antara debit bulanan terkalibrasi dengan kebutuhan air baku disajikan pada Gambar 18.

Gambar 17. Grafik hubungan debit harian terkalibrasi dengan kebutuhan air baku

Gambar 18. Grafik hubungan debit bulanan terkalibrasi dengan kebutuhan air baku 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 1-Jan-07 1-M ar -07 1-May-07 1-Ju l-07 1-S e p -07 1-N o v-07 1-Jan-08 1-Mar-08 1-May-08 1-Ju l-08 1-S e p -08 1-N o v-08 1-Jan-09 1-Mar-09 1-May-09 1-Ju l-09 1-S e p -09 1-N o v-09 1-Jan-10 1-Mar-10 1-May-10 1-Ju l-10 1-S e p -10 1-N o v-10

D

ebi

t

(m

3

/dt)

Debit Simulasi Terkalibrasi Harian Debit Kebutuhan Air Baku

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 F e b -07 A p r-07 Ju n -07 A u g -07 O ct -07 De c-07 F e b -08 A p r-08 Ju n -08 A u g -08 O ct -08 De c-08 F e b -09 A p r-09 Ju n -09 A u g -09 O ct -09 De c-09 F e b -10 A p r-10 Ju n -10 A u g -10 O ct -10 De c-10

D

ebi

t

(m

3

/dt)

[image:31.595.138.525.155.391.2]
(32)

30

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dengan menggunakan model SWAT yang telah divalidasi, diperoleh nilai debit harian di DAS Cipasauran berkisar dari 0 - 3.309 m3/dt, sedangkan nilai debit bulanan DAS Cipasauran berkisar dari 0.648 - 3.266 m3/dt.

2. Debit bulanan dan debit harian masing-masing dapat memenuhi kebutuhan air baku sebesar 98.22% dan 100%.

3. Hasil kalibrasi harian dan bulanan menunjukkan bahwa 84% dan 83% data observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, dengan nilai p-factor harian dan bulanan sebesar 0.84 dan 0.83. Dengan demikian model hasil kalibrasi dikatakan valid, meskipun nilai R2 dan nilai NS yang didapat kurang memuaskan.

5.2 Saran

1. Diperlukan pos pengukuran curah hujan dan stasiun iklim yang berada dalam area DAS, sehingga data iklim yang diperoleh dapat lebih menggambarkan kondisi DAS.

(33)

i

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL SWAT PADA DAS CIPASAURAN, BANTEN

SKRIPSI

MAULANA IBRAHIM RAU

F44080038

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(34)

31

DAFTAR PUSTAKA

Abbaspour KC. 2008. SWAT-CUP2: SWAT Calibration and Uncertainty Programs. Duebendorf: Department of Systems Analysis, Integrated Assessment and Modelling (SIAM), Eawag, Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology.

Ahl RS, Woods SW and Zuurig HR. 2008. Hydrologic Calibration and Validation of SWAT in A Snow-Dominated Rocky Mountain Watershed, Montana, USA. Journal of The American Water Resources Association. 44 (6). 1411.

[Anonim]. 2001. Pengelolaan Daerah Aliran Citarum Hulu Berbasis Sistem Informasi Geografis (Pekerjaan Tahap II: Kajian Wilayah Prioritas Penanganan / Penanggulangan Resiko Erosi). Depok: PPGT – FMIPA UI.

Arhatin R E. 2007. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove dari Data Satelit Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM+: Studi Kasus di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Astisiasari. 2008. Perubahan Penggunaan Tanah Terkait Penyusutan Luas Perairan Laguna [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia, FMIPA.

Bettinger P, Wing MG. 2004. Geographic Information Systems: Applications in Forestry and Natural Resource Management. New York: McGraw-Hill.

Chang KT. 2004. Introduction to Geographic Information Systems. 2nd Edition. Iowa: McGraw-Hill. Cipasauran. 2010. Peta Daerah Aliran Sungai Cipasauran [Peta DAS]. Dinas Sumber Daya Air dan

Pemukiman Provinsi Banten. 1 lembar

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius

Gandasasmita K, Hadi SA, Saroinsong FB. 2003. Data structure developing for land resources information storage and management (in Indonesian). The 10th National Seminar of Persada, 3-4 July 2003. Nikko Hotel, Jakarta

Hafid A. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MW-SWAT Pada Analisis Debit Aliran Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Hamdan M. 2010. Analisis Debit Sungai Sub-DAS Ciliwung Hulu Menggunakan MWSWAT [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Harakita DY. 2010. Pemodelan Hidrologi dengan MWSWAT 1.5SR di Sub-DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

(35)

32 Irsyad F. 2011. Analisis Debit Sungai Cidanau Dengan Aplikasi SWAT [Tesis]. Bogor: Institut

Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana.

Laksana I. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MWSWAT Pada Analisis Debit Aliran Sungai Sub DAS Cisadane Hulu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Miller GT. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. California: Wadsworth Publishing Company.

Nashir M. 2011. Potensi DAS Cipasauran. Cilegon: PT Krakatau Tirta Industri. p. 1 -12.

Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, and William J. R. 2004. Soil and Water Assessment Tools Input/Output File Documentation Version 2005. [e-book] Texas: Agricultural Reasearch Service US http://www.brc.tamus.edu/swat/document.html [20 Januari 2012].

[NWS] Nimbus Water Systems Inc. 2009. Water Fundamentals.

http://www.nimbuswatersystems.com/a_water_fundamentals.htm [25 Januari 2012].

Richards J A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer-verlag. Berlin. Riswanto E. 2009. Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi Rendah Studi Kasus di Pulau Kalimantan. Fakultas Kehutanan IPB: Tugas Akhir Tidak Diterbitkan.

(36)

i

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL SWAT PADA DAS CIPASAURAN, BANTEN

SKRIPSI

MAULANA IBRAHIM RAU

F44080038

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(37)

ii

DISCHARGE ANALYSIS USING SWAT MODEL AT CIPASAURAN

WATERSHED, BANTEN

MI Rau, NH Pandjaitan, and A Sapei

Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, Indonesia

e-mail: maulanaibrau@gmail.com.

ABSTRACT

(38)

iii Maulana Ibrahim Rau. F44080038. Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten. Di bawah bimbingan Nora H. Pandjaitan dan Asep Sapei. 2012

RINGKASAN

Permintaan jumlah air untuk kawasan non industri dan sektor industri di wilayah Kota Cilegon terus meningkat. PT Krakatau Tirta Industri dengan kapasitas produksi air baku sebesar 2,000 lt/dt belum dapat memenuhi kebutuhan air baku seluruh sektor di Cilegon. Terjadi kekurangan air baku sebesar ±600 lt/dt sehingga PT KTI harus menambah pengambilan air di DAS Cipasauran. Untuk itu diperlukan informasi mengenai hubungan antara ketersediaan air baku dengan debit sungai. Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan pemodelan Soil and Water Assessment Tools (SWAT). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis debit sungai untuk penyediaan air baku di DAS Cipasauran dengan menggunakan model SWAT.

Pengamatan dilakukan di kawasan DAS Cipasauran yang secara geografis terletak pada 06°

13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. Penelitian yang dilaksanakan dari Maret hingga Mei 2012 dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait yang akan digunakan pada proses analisis. Data yang diperlukan pada penelitian ini antara lain adalah data debit Sungai Cipasauran tahun 2007-2010, data digital elevation model (DEM) dengan resolusi 30 m, data klimatologi Stasiun Iklim Serang 1996-2009, peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat tahun 1966 dengan skala 1:250,000, dan data landuse DAS Cipasauran skala 1:25,000 dari Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010.

(39)

iv

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL

SWAT PADA DAS CIPASAURAN, BANTEN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

SARJANA TEKNIK

pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MAULANA IBRAHIM RAU

F44080038

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(40)

v

Judul Penelitian

: Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT

Pada DAS Cipasauran, Banten

Nama

: Maulana Ibrahim Rau

NIM

: F44080038

Departemen

: Teknik Sipil dan Lingkungan

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS

NIP. 19580527 198103 2 001

NIP. 19561025 198003 1 003

Mengetahui :

Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS

NIP. 19561025 198003 1 003

(41)

vi

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Debit

Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten adalah hasil

karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

Yang membuat pernyataan

(42)

vii © Hak cipta milik Maulana Ibrahim Rau, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(43)

viii

BIODATA PENULIS

(44)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini, diantaranya adalah:

1. Bapak, Ibu, Adik, dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan serta bimbingannya, baik berupa moral maupun material.

2. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA dan Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, solusi, dan seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi.

3. Bapak M Budi Saputra, ST, M.Eng selaku Kepala Dinas Air Baku PT. Krakatau Tirta Industri, Bapak M. Nashir, ST serta seluruh karyawan PT. Krakatau Tirta Industri yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi selama pelaksanaan penelitian.

4. Fransisca Hicca Karunia, Joan Kartini Rossi, dan Sekar Dwi Rizki, sebagai teman satu bimbingan, atas motivasi dan dukungannya.

5. Yanuar Chandra, Haska A. Pradana, Andri B. Wicaksono, Amanda D. Pulungan, Nina Tri Lestari, sebagai teman satu lokasi penelitian atas kerjasamanya, serta teman-teman Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 45 yang senantiasa memberikan semangat.

Pada penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan diperlukan perbaikan guna pencapaian hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Juli 2012

(45)

x

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... x DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN ...xiii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 LATAR BELAKANG ... 1 1.2 TUJUAN PENELITIAN ... 2 II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 DEBIT SUNGAI ... 3 2.2 PENGGUNAAN LAHAN ... 4 2.3 GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) ... 4 2.4 SOIL AND WATER ASSESSMENT TOOLS (SWAT) ... 5 III.METODOLOGI PENELITIAN ... 11 3.1 WAKTU DAN TEMPAT... 11 3.2 ALAT DAN BAHAN ... 11 3.3 METODE PELAKSANAAN ... 12 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16 4.1 KONDISI DAS CIPASAURAN ... 16 4.2 PENGGUNAAN LAHAN ... 17 4.3 ANALISIS SWAT ... 20 4.4 KALIBRASI DAN VALIDASI ... 25 4.5 ANALISIS DEBIT SUNGAI ... 28 V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 30 5.1 KESIMPULAN ... 30 5.2 SARAN ... 30 DAFTAR PUSTAKA ... 31 LAMPIRAN ... 33

(46)

xi

DAFTAR TABEL

[image:46.595.109.517.110.800.2]
(47)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema siklus hidrologi ... 3 Gambar 2. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi dalam model SWAT ... 6 Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan

[image:47.595.95.515.94.815.2]
(48)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Parameter SWAT untuk file .gw, .bsn, .mgt, .hru, .sol, .sub, dan .rte ... 34 Lampiran 2. Tata letak DAS Cipasauran, Waduk Krenceng, PT KTI, dan Proyek PT

Krakatau POSCO... 38 Lampiran 3. Parameter, range, dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi

harian ... 39 Lampiran 4. Parameter, range, dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi

(49)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Saat ini pertumbuhan penduduk merupakan hal yang patut diperhatikan. Meningkatnya jumlah penduduk memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tersebut terjadi dikarenakan pertumbuhan kuantitas dalam sektor industri maupun domestik yang semakin besar, di mana kegiatan ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan. Penurunan nilai kualitas lingkungan ini akan memberikan dampak yang besar terhadap sistem hidrologi DAS pada suatu wilayah. Penurunan nilai kualitas lingkungan dapat terjadi karena adanya pencemaran wilayah perairan, lahan kritis, erosi serta kerusakan alam lainnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi punggung gunung di mana air hujan yang jatuh akan ditampung dan dialirkan melalui sungai kecil menuju sungai utama. DAS memberikan pengaruh yang besar terhadap kebutuhan air baku suatu daerah, sehingga dalam pengelolaannya dibutuhkan perencanaan yang sebaik mungkin. Air baku merupakan air yang dibutuhkan dalam proses produksi maupun air untuk kebutuhan sehari-hari yang pada umumnya berasal dari air hujan, air danau, air tanah, dan air sungai.

Cilegon merupakan kota yang terletak di wilayah Barat Pulau Jawa di mana kawasan industri mencakup 20% dari seluruh wilayah kota dan kontribusi dari sektor industri mencapai ±64% terhadap pembangunan ekonomi. Pada tahun 1992 Kota Cilegon memiliki penduduk sebanyak 232,248 jiwa, sedangkan pada tahun 2002 meningkat menjadi 309,097 jiwa. Pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai 2.64%/tahun mengakibatkan kebutuhan air baku juga meningkat. PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) merupakan salah satu perusahaan di Kawasan Cilegon yang menyediakan air bersih dengan kapasitas terpasang sebesar 2,000 lt/dt. Pasokan air diperoleh dari Sungai Cidanau yang mengalir pada DAS Cidanau, yang kemudian ditampung di Waduk Krenceng. Waduk ini berfungsi dalam menampung air, untuk kemudian diambil dan diolah oleh PT KTI. Sebagai salah satu perusahaan penyedia air baku, PT KTI memiliki kontribusi yang besar dalam penyediaan air di seluruh wilayah Cilegon, termasuk untuk kebutuhan domestik (rumah tangga).

(50)

2 Kapasitas produksi air baku PT KTI sebesar 2,000 lt/dt belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bersih seluruh sektor di Cilegon. Pada musim kering debit Sungai Cidanau hanya sebesar 1,375 lt/dt, sehingga air bersih yang dapat diproduksi sepanjang tahun tidak lebih dari 1,375 lt/dt. Jika memperhitungkan air baku yang tersimpan di Waduk Krenceng, maka Sungai Cidanau dan Waduk Krenceng saat ini hanya dapat menyediakan air baku sebanyak 1,515 lt/dt, sedangkan yang dibutuhkan ±2,100 lt/dt. Untuk menanggulangi kekurangan air baku sebesar ±600 lt/dt, maka PT KTI melakukan berbagai alternatif penambahan air yang memungkinkan, diantaranya adalah dengan menambah pengambilan air di DAS Cipasauran. Tata letak DAS Cipasauran, Waduk Krenceng, PT KTI, dan Proyek PT Krakatau POSCO disajikan pada Lampiran 2.

DAS Cipasauran merupakan salah satu DAS yang berada di Provinsi Banten yang

terletak pada 06° 13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT. DAS ini memiliki luas sebesar 44 km² dengan panjang Sungai Cipasauran sebesar 15.5 km. Sebagai DAS yang akan digunakan untuk penyediaan air baku, diperlukan informasi mengenai hubungan antara ketersediaan air baku dengan analisis debit sungai. Informasi mengenai ketersediaan air baku merupakan informasi hidrologi yang penting dilakukan dalam pengembangan sumber daya air. Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan melakukan pemodelan.

Saat ini berbagai negara termasuk Indonesia mengalami kendala dalam melakukan perancangan model. Kendala yang dihadapi antara lain berupa kurangnya dana dan tenaga yang berpengalaman, kurangnya pelatihan, dan ketergantungan pada ahli yang berasal dari luar negeri (Chang, 2004). Model pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satu cara yang cukup teliti dan cermat adalah dengan menggunakan geographic information system (GIS). Terdapat berbagai macam perangkat lunak GIS yang dapat digunakan untuk memperhitungkan dan mengkaji kondisi hidrologi serta perubahan tata guna lahan suatu wilayah.Salah satu software tersebut adalah Soil and Water Assessment Tools (SWAT).

SWAT merupakan perangkat lunak yang terintegrasi di dalam MapWindows GIS, dan merupakan perangkat lunak yang bersifat terbuka (open source) sehingga telah dikembangkan dan digunakan secara luas di berbagai negara. Dengan menggunakan data yang relevan dan representatif, SWAT dapat digunakan untuk melakukan analisis debit sungai suatu DAS suatu wilayah. Untuk penggunaan model SWAT di Indonesia, terlebih dahulu perlu dilakukan kalibrasi dan validasi sesuai dengan ketersediaan data, agar hasil yang diperoleh dapat sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Proses ini dibutuhkan karena setiap DAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Relevansi model dengan keadaan yang sebenarnya dievaluasi dengan memperhitungkan standar deviasi dan efisiensi model.

1.2

Tujuan Penelitian

(51)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debit Sungai

Gerakan air di permukaan bumi dapat ditelusuri melalui siklus hidrologi, yang mencakup penguapan air dari permukaan bumi ke atmosfer kemudian kembali lagi ke permukaan tanah dan ke laut (Gambar 1). Dalam pergerakannya tersebut, air akan tertahan di sungai, danau/waduk, maupun dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia serta makhluk hidup lainnya.

[image:51.595.116.524.373.670.2]

Dalam siklus hidrologi, energi panas matahari menyebabkan terjadinya proses evaporasi dan evapotranspirasi. Uap air tersebut akan terbawa oleh angin dan kemudian naik ke atmosfer serta mengalami kondensasi. Apabila keadaan atmosfer memungkinkan, maka air akan turun kembali ke bumi sebagai hujan. Air yang turun sebagai hujan dapat tertahan oleh tajuk vegetasi maupun bangunan. Sebagian dari air hujan tersebut akan tertahan pada permukaan tajuk tanaman sedangkan sebagian sisanya ada yang jatuh langsung ke permukaan tanah, danau, sungai dan laut, yang nantinya akan menguap kembali ke atmosfer dan mengalami proses yang sama (Asdak 1995).

Gambar 1. Skema siklus hidrologi (NWS 2009)

(52)

4 kemudian menjadi sungai. Aliran ini mengalir ke permukaan yang memiliki ketinggian lebih rendah, sesuai dengan sifat air yang mengalir dari tempat dengan tempat tinggi ke rendah. Saat dilakuk

Gambar

Gambar 4. Peta lokasi DAS Cipasauran
Gambar 5. Diagram alir pelaksanaan penelitian
Gambar 6. Lokasi perencanaan Bendung Cipasauran
Gambar 7. Peta DAS Cipasauran dengan outlet Bendung Cipasauran
+7

Referensi

Dokumen terkait

UPI Singosari-Malang menggunakan formulir pesanan yang sudah bernomor urut tercetak dan dipertanggungjawabkan oleh sekertaris, hal itu sudah sesuai dengan sistem

Sama halnya dengan karakteristik ruang berupa pembatas ruang, komponen- komponen ruang tersebut juga menunjukkan tingkat perekonomian yang berbeda di antara pemilik

Penelitian ini ber- tujuan untuk melihat kandungan fito- kimia dan penampilan pola pita pro- tein pegagan hasil konservasi in vitro yang telah diaklimatisasikan dan

Kegiatan penting yang harus dilakukan oleh manajemen keuangan menyangkut empat aspek, yaitu: (1) perencanaan dan perkiraan dimana manajer keuangan harus bekerja

Dengan semangat kerja yang tinggi maka karyawan diharapkan akan mencapai tingkat produktivitas yang lebih baik, dan pada akhirnya menunjang terwujudnya tujuan dari

masing sosis daging ayam mempunyai perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan dari penambahan MDAG dan lemak, dengan kisaran antara 275,81 sampai 303,7 kcal/100g (Gambar2)...

Dalam penelitian ini analisis yang digunakan bersifat deskriptif analisis yang digunakan dengan 4 tahap antara lain (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data,

Kata Kunci :Jump stop shoot, tripple threat position, dan hasil jump shoot. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu 1) adakah pengaruh latihan jump stop shoot terhadap hasil jump