• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawan : Mahasiswa Yang Merasa Asing Di Lingkungannya

BAB III KEHIDUPAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK DI DAERAH

3.3 Wawan : Mahasiswa Yang Merasa Asing Di Lingkungannya

Informan ketiga peneliti dalam penelitian ini adalah seorang mahasiswa Semester 3 yang bernama Adi Irawan atau yang biasa dipanggil Wawan. Saat ini Wawan berusia 20 tahun dan sedang kuliah di salah satu Universitas Swasta di Kota Medan dengan mengambil jurusan Hukum. Wawan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dimana kakak perempuannya saat ini bekerja sebagai guru di Sekolah Madrasah di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Sementara itu adik perempuan Wawan saat ini masih berada di kelas VIII bangku SMP.

Ayah Wawan merupakan seorang yang pekerja keras dimana pada malam hari ayah Wawan bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik pengolahan kayu di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, sementara pada siang harinya ayah Wawan akan berjualan es cendol untuk mencari pendapatan tambahan. Ibu Wawan adalah seorang ibu rumah tangga, fokus pada aktifitas mengurus rumah dan mempersiapkan dagangan yang akan dijual oleh suaminya. Ayah Wawan hanya bisa menamatkan pendidikannya sebatas Sekolah Menengah Pertama (SMP), sementara ibu Wawan adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Wawan dan keluarganya tinggal di Jalan Kawat V Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Seperti biasa kehidupan mereka tidak jauh dari kata “buruh” dan “pabrik”. Dalam pergaulannya sehari-hari Wawan memiliki banyak teman sebaya di lingkungan tempatnya tinggal. Namun, semuanya saat ini telah lulus sekolah dan bekerja sebagai buruh pabrik ataupun bekerja sebagai kuli bangunan. Wawan yang merupakan seorang mahasiswa mengaku semenjak tamat sekolah sudah jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Hal ini terjadi lantaran teman- teman sebayanya sudah sibuk bekerja, sementara Wawan sehari-harinya sibuk membantu orangtuanya dan kuliah.

Dalam hubungan dengan lingkungan tempatnya tinggal akhir-akhir ini banyak hal yang membuat Wawan sedikit tidak nyaman. Hal tersebut adalah tanggapan teman-teman dan juga tetangganya yang melihat statusnya sebagai mahasiswa. Sebagai gambaran, di lingkungan Kawat V bisa dihitung dengan jari siapa saja orang yang menjadi mahasiswa, sementara sisanya merupakan pekerja, walaupun masih dalam usia pendidikan. Sehingga timbul keadaan dimana lingkungan sosial Wawan kurang menyukai dirinya karena berbeda dengan mereka. Rasa tidak suka tersebut terkadang ditunjukan langsung kepada dirinya, maupun kepada orangtuanya ketika berbincang-bincang dengan tetangga.

Tidak sedikit tetangga yang menyindir dirinya dengan kata-kata “pengangguran terselubung” kemudian “hanya menghabiskan uang orangtua” dan juga kata-kata sindiran lainnya. Hal seperti ini menurutnya sangat lumrah terjadi di tempatnya tinggalnya, sebab teman-teman dan tetangganya yang lain tidak suka jika ada yang berbeda dengan mereka.

“ . . . kadang kalau aku lagi duduk-duduk sama kawanku di dekat rumah, ada aja itu nanti yang nyindir aku pengangguran abis itu dibilang kuliah cuman ngabisin duit orangtua lah, banyak lah pokoknya. Jadi udah biasa lah ngadepin orang-orang yang kayak gitu. Lagian kan orang itu nyindir-nyindir karena enggak suka kalau ada orang yang lebih maju daripada orang itu . . .”

Wawan menceritakan bahwa dirinya dulu memutuskan untuk kuliah karena melihat keadaan lingkungan sosial yang menurutnya sudah semakin buruk. Anak-anak di lingkungannya sudah banyak yang terjerumus ke dunia narkoba, menjadi pencuri dan hal buruk lainnya karena mengabaikan pendidikan. Sering sekali menurutnya anak-anak di lingkungannya menganggap remeh pendidikan dan menganggap pendidikan hanya sarat formal saja untuk bisa melamar kerja.

Senada dengan dirinya, orangtua Wawan juga mendukung keinginan anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Ayah Wawan yang bekerja sebagai buruh pabrik sadar bahwa keadaan keluarganya tidak akan pernah berubah, bila tidak mencoba keluar dari cara berfikir sempit dimana menjadi buruh adalah satu-satunya pilihan pekerjaan. Orangtua Wawan berharap agar anaknya kelak tidak ada lagi yang menjadi buruh pabrik.

Wawan merupakan tamatan dari Sekolah Teknik Mesin (STM) swasta yang ada di daerah Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Wawan memang sedikit berbeda dengan taman-temannya, semenjak di bangku STM Wawan sudah memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dirinya juga sedikit membatasi pergaulannya dengan teman-temannya ketika masih STM. Hal ini menurut Wawan dilakukannya karena tidak mau ikut-ikutan terjerumus dengan

pergaulan yang buruk seperti merokok, cabut sekolah, memakai narkoba dan juga tindakan agresi lainnya.

“ . . . dulu waktu masih di STM agak aku jaga juga lah pergaulan sama kawan-kawan. Karena kadang orang itu cuman tiga kali seminggu sekolah, uda gitu pake narkoba lagi. Jadi harus dijaga betul lah pergaulan waktu di STM, karena kan satu kelas laki-laki semua . . .”

Pergaulan dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari keluarga buruh pabrik membuat Wawan sempat terpengaruh untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Wawan menceritakan bahwa ketika tamat sekolah dirinya sempat bekerja di pabrik pengolahan karet di salah satu pabrik di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Dengan gaji Rp.1.750.000/bulan Wawan dan kedua orang temannya yang sama- sama baru tamat sekolah mecoba peruntungan di pabrik tersebut. Namun, jam kerja yang panjang serta pekerjaan yang sangat berat membuat Wawan berhenti setelah dua bulan bekerja di pabrik tersebut. Pengalaman beratnya bekerja di pabrik tersebut membuat Wawan sadar bahwa dirinya tidak akan mampu bertahan apabila tetap bekerja menjadi buruh pabrik.

Wawan bercerita bahwa orangtuanya memberikan kesempatan kepadanya untuk menentukan masa depannya sendiri. Apakah ingin lanjut kuliah ataupun langsung bekerja, masing-masing tidak ada paksaan diberikan oleh orangtuanya. Orangtua Wawan bahkan menyambut baik keputusan Wawan untuk berhenti bekerja dan mencoba untuk kuliah. Dukungan juga diberikan oleh kakak Wawan yang sudah bekerja sebagai guru.

Pada masa awal kuliahnya banyak sekali teman-teman Wawan yang mengejek Wawan karena lebih memilih kuliah daripada bekerja. Hal tersebut terjadi menurut Wawan karena sedikitnya pengetahuan teman-temannya tentang dunia kuliah. Tidak jarang teman-temannya menyarankan agar Wawan berhenti kuliah saja dan menjanjikan kepada Wawan untuk dapat bekerja di tempat mereka bekerja. Wawan sadar bahwa dirinya saat ini belum ada apa-apanya dari segi materi dibandingkan dengan teman-temannya yang sudah bekerja.

Seringkali teman-teman sepergaulannya memamerkan sepeda motor baru milik mereka kepada Wawan. Walaupun hampir bisa dipastikan sepeda motor yang mereka beli tersebut masi dalam masa keredit, namun teman-teman Wawan tidak ragu menunjukannya kepada Wawan. Walaupun dirinya saat ini bukan apa- apa, namun Wawan tahu ketika dirinya tamat kuliah kelak dia akan bisa melampaui apa yang sudah didapat teman-temannya dalam sekejap.

“ . . . sering itu bang kawan-kawan mamerkan kereta yang baru dibeli orang itu. Ditunjukannya lah sama ku keretanya yang masih keredit itu sama ku. Ya untuk sekrang memang aku enggak ada apa-apanya, tapi kalau udah tamat kuliah abis itu uda kerja aku nanti, yakin aku pasti bisa ngelebihin orang itu semua . . .”

Tekat kuat yang ditunjukan oleh Wawan tersebut memang merupakan suatu refleksi, dari beberapa orang yang mencoba untuk keluar dari pakem yang telah ada dilingkungan Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Adanya semacam

invisible power di tengah masyarakat yang seolah memaksa anak-anak yang baru

tamat sekolah untuk menjadi buruh pabrik, membuat sebagian orang yang mencoba melawannya menjadi tersisihkan. Wawan tidak merasa cemas dengan

adanya sarjana yang juga menjadi buruh ataupun pengangguran. Menurutnya hal tersebut bukan lah salah pendidikannya, tetapi salah dari orangnya yang tidak mau berusaha. Wawan sadar bahwa sarjana memang bukan lah jaminan untuk dirinya bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari teman-temannya. Namun, menurutnya pendidikan setidaknya merubah pandangannya mengenai dunia yang luas ini.

“ . . . ya kalau ada sarjana yang jadi pengangguran atau jadi buruh pabrik juga ya itu salah dial ah bang. Kalau pendidikannya kan hanya memberikan pengetahuan yang lebih untuk dia supaya bisa nyari kesempatan yang lebih baik. Tapi kalau ujung-ujungnya jadi pengangguran juga ya uda pasti itu salah dia. Kalau aku enggak ngerasa pesimis dengan aku kuliah ini, paling enggak cara berfikir aku udah lebih luas dari orang yang ada di tempat ku tinggal ini . . .”

Bila dilihat dari diagram kekerabatannya, perubahan di keluarga Wawan sudah terjadi di mulai dari kakak Wawan yang bekerja sebagai guru. Karena keluarga Wawan merupakan keluarga yang berasal dari persilangan antara suku Melayu (ayah) dan Jawa (ibu) maka keluarganya memakai sistem kekerabatan patrilineal atau garis keturunan menurut sang ayah. Selengkapnya dalam gambar berikut ini :

Gambar 4: Diagram Kekerabatan Keluarga Wawan.

3 4 5 6 7

8 9. ego 10

Sumber : Analisis Data Lapangan

Keterangan gambar :

1. Ayah dari ayahnya ego. Saat ini sudah meninggal, dahulu bekerja sebagai buruh di pabrik triplek.

2. Ibu dari ayahnya ego. Saat ini sudah tidak bekerja lagi, dahulu bekerja di pabrik triplek. Hanya menamatkan sekolah sampai di bangku SD.

3. Ayah dari ego. Saat ini masih aktif bekerja di pabrik dan juga berjualan es cendol. Lulusan SMP.

4. Ibu dari ego. Ibu rumah tangga. Lulusan SMA

5. Adik laki-laki dari ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik pengelolahan karet. Lulusan SMK jurusan teknik industri.

6. isteri dari adik laki-laki ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik sabun di Kawasan Industri Medan. Lulusan SMK.

7. Adik dari ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik yang sama dengan ego. Lulusan SMK di jurusan teknik elektro.

8. Kakak dari Ego. Saat ini bekerja sebagai guru madrasah. Lulusan S1 pendidikan agama. Berasal dari SMA.

9. Ego. Saat ini kuliah. Berasal dari SMK. 10. Adik perempuannya ego. Masih bersekolah.

Dilihat dari diagram tersebut, terlihat bahwa usaha dari keluarga Wawan untuk keluar dari lingkaran pekerja buruh sudah dimulai pada saat kakaknya yang mengambil sekolah SMA dan melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini dilakukan untuk mencari kehidupan yang lebih baik selain menjadi buruh pabrik. Langkah tersebut juga diikuti oleh Wawan yang walaupun berasal dari sekolah SMK, namun dirinya memutuskan untuk lanjut ke bangku perguruan tinggi, agar kelak tidak usah menjadi buruh pabrik. Keputusan tersebut diambil karena pengalamannya sendiri yang sudah merasakan bagaimana sakitnya menjadi buruh pabrik.

Wawan mengungkapkan keinginannya agar anak-anak di lingkungannya juga bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi seperti dirinya. Satu hal yang menjadi penyesalan dirinya dahulu adalah kenapa dirinya mau masuk ke STM dan bukannya masuk ke SMA. Wawan memang mengakui bahwa keinginan untuk masuk ke STM adalah keinginannya, namun sedikit banyaknya juga karena dipengaruhi oleh taman-temannya juga. Teman sepergaulannya semuanya masuk ke STM yang sama sehingga Wawan merasa takut jika masuk ke sekolah lain akan sulit menemukan teman.

Namun, yang terjadi menurutnya adalah setelah dirinya tamat dari sekolah tersebut, Wawan merasa tidak mendapatkan apa-apa selama di STM. Wawan

malah merasa dirinya semakin nakal dan juga semakin jauh tertinggal dari orang lain. Hal tersebut diungkapkan Wawan karena ketika masuk kuliah dirinya sama sekali tertinggal dalam bidang apapun dari teman-teman kuliahnya yang rata-rata berasal dari SMA. Wawan memang tidak mengambil kesimpulan bahwa STM merupakan pilihan yang buruk dan SMA adalah pilihan yang terbaik. Namun, hal yang ingin disampaikan Wawan adalah seharusnya orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk memilih pendidikan yang seperti apa yang diinginkan. Wawan juga ingin agar setiap anak di lingkungannya memilih jenis pendidikan yang diinginkannya, bukan karena ingin ikut-ikutan dengan teman.

Dokumen terkait