DAFTAR PUSTAKA :
B. Prato, Giuliana, 2009. Beyond Multiculturalism Views From Anthropology.
Burlington England: Ashgate Publishing Company
Binawan, Al. Andang L. (2007) Habitus (?) Nyampah: Sebuah Refleksi, dalam
Basis, Nomor 05-06, Tahun ke 56, Mei-Juni.
Boas, Franz, 1962. Anthropology And Modern Life. New York: W. W. Norton &
Company, Inc.
Bourdieu, Pierre (1977) Outline of a Theory of Practice, London: Cam- bridge
University Press.
Bourdieu, Pierre dan Loic JD. Wacuant (1992) “The Purpose of Reflexive
Sociology (The Chicago Work- shop).” Dalam Piere Bourdieu dan L.J.D.
Wacquant (ed.), An Invitation to Reflexive Sociology,. Chicago: University
of Chicago Press.
Chaer, Abdul, 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta :
Rineka Cipta.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications,
Inc: California.
Dahrendorf, Ralf, 1986, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri.
Jakarta; Rajawali
Djamarah, Pola, 2004. Komunikasi Orangtua dan Anak Dalam Keluarga (Jakarta:
Rineka Cipta).
Dworkin, Dennis, 2007. Class Struggles. Great Britain: Pearson Education Limited
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York : Basil Blackwell Inc.
GBHN tahun 1993.
Forshee, Jill, 2006. Culture And Customs Of Indonesia. United States of America:
Greenwood Press.
Fromm, Erich 2004, Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Giddens, Anthony,1987, Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Jakarta: Rajawali
Goode, William J,. 2007, SosiologiKeluarga. Edisiketiga, Jakarta: BumiAksara,
2001
Hasibuan, Jasman Saripuddin, 2011. Analisis Kontribusi Sektor Industri Terhadap
Pdrb Kota Medan. Jurnal. UMSU.
J. M. Nas, Peter, 2011. Cities Full of Symbols A Theory of Urban Space and
Culture. Amsterdam: Leiden University Press.
Jenks, Chris, 1993. Culture (Konsep Budaya). London: Routledge.
Jhingan, M.L, 2002, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Keesing, Roger, 1989. Antropologi Budaya. Jakarta: Erlangga.
Kelsh, Deborah, 2010. Class In Education. New York: Routledge.
Kleden, Ignas (2005) Habitus: Iman da- lam Perspektif Cultural Product- ion
dalam RP AndRianus Sunarko, OFM, dkk. (eds.) Bangkit dan Bergeraklah:
Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indo- nesia 2005, Jakarta:
Sekretariat SAGKI.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teoti Antropologi 1. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press)
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi 2. Jakarta: Universitas
Indonesia (Ui-Press)
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT
Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lincoln, Ys dan Guba, FG. 1985. Naturalistik Inguiry. Beverly. Hill Sage
Publication.
Lull, James, 2007. Culture and Demand. United Kingdom: Blackwell Publishing.
M. Hoffman, Lilly, 2003. Cities And Visitors. United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd.
McGee, R. John, 2008. Anthropological Theory An Introduction History 4th
Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
McGuigan, Jim, 1996. Culture And The Public Sphere. London, Routledge.
Menno, S dan dan Alwi Muslimin.1994. Antropologi Perkotaan. PT. Radja
Mintargo, Bambang. 1999. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta.
Moleong, Lexy.J. 1999. Metodologi penelitian Kualitatif. Rakesarasin,
Yogyakarta.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Saifuddin, Achmad Fedyani 1982, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam
Agama Islam. Jakarta: Rajawali
Silaban, Rekson, 2007, Pekerja Anak, Pendidikan Anak Pekerja/Buruh, Skema
Bantuan, Dan Komite Sekolah. Jakarta : KSBI & KSPSI.
Soekartawi, (2004), Pengantar Ekonomi Makro, Yogyakarta : BPFE.
Sukirno, Sadono, (2004), Ekonomi Pembangunan di Dunia Ketiga, Jakarta :
Erlangga.
Spredley, James, 1979. The Ethnograpfic Interview. New York: Reinhart &
Winston
Spredley, James, 1980. The Participant Observation. New York: Reinhart &
Winston
Spredley, James, 1980. Foundation Of Cultural Knowledge dalam Culture and
Cognition roles, Maps dan Plans, Toronto : Chandler Publications, Inc 1972.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Sudantoko, Djoko dan Hamdani, Muliawan. 2009. Dasar-Dasar Pengantar
Ekonomi Pembangunan. PT. PP. Mardi Mulya. Jakarta.
Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. P.T. Rineka
Cipta. Jakarta.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema.
Surakarta UNS Press.
Troman, Geoff, 2004. Identity Agency and Social Institutions in Educational
Ethnography. United Kingdom: Elsevier, Ltd.
Usman, Hardius dan Nachrowi. 2004. Pekerja Anak di Indonesia dan Kondisi,
Determinan dan Eksploitasi.(Kajian Kuantitatif). PT. Gramedia, Jakarta.
Watson, C.W, 1999. Being There Fieldwork In Anthropology. London: Pluto
Press.
Sumber Lain
Amalia, 2009, Persepsi Keluarga Pemulung tentang Pendidikan. (Online)
(http://www.4buku.com/-persepsi-keluarga-pemulung-tentang-pendidikan--di- kelurahan---pdf.html, diakses 13 Desember 2015)
FauzulAdmin.2012.(Online)(http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/06/orang-
miskin-harus-sekolah-467872.html, diakses 7 pebruari 2013)
Hanafi, Imam, 2012. 32 Pelajar Putus Sekolah. Artikel. (Online)(http://www.antar-
kalsel.com, diakses 9 Pebruari 2013)
Hariyanto. 2012. Pentingnya Pendidikan Bagi Kehidupan, artikel (online )
(http://belajarpsikologi.com, diakses 06 Januari 2016)
Ruslan, Agus, 2007. Agen Sosialisasi Budaya. Artikel. (Online)
(http://researchengines.com/agusruslan30-5.html, diakses 29 November
2015)
Sunjaya, Dito 2012. Pendidikan Bagi Orang Miskin. Artikel (Online)
(http://ditosunjaya.blogspot.com/2012/11/ diakaes 10 Pebruari 2013)
BAB III
KEHIDUPAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK DI DAERAH INDUSTRI
3.1. Rian : Kisah Anak SMP Penjual Kue Keliling
Rian merupakan seorang anak yang saat ini duduk di kelas 9 di salah satu
SMP Negeri di Kelurahan Metal. Rian tinggal bersama kedua orangtuanya yang
bekerja sebagai buruh pabrik dan juga dengan ketiga saudaranya. Usia Rian saat
ini sudah menginjak usia 16 tahun, sedikit lebih tua dibandingkan dengan usia
rata-rata temannya di kelas 9 SMP yang saat ini sekitar 14 - 15 tahun. Hal tersebut
terjadi karena orangtuanya harus menunda Rian masuk Sekolah Dasar (SD) agar
abangnya yang saat itu akan tamat SD bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP.
Hal tersebut memang kerap terjadi di lingkungan masyarakat Kelurahan Tanjung
Mulia Hilir, walaupun kedua orangtua bekerja sebagai buruh pabrik, tetap saja
kehidupan masih jauh dalam taraf sejahtera.
Dalam kegiatannya sehari-hari Rian telah terbiasa sejak kecil membantu
ekonomi keluarganya dengan menjadi penjual kue keliling. Rian telah bekerja
menjadi penjual kue semenjak usia 9 tahun atau ketika dirinya masih kelas 3 SD.
Sebenarnya Rian terpaksa untuk menjual kue, kondisi ekonomi yang serba
kekurangan membuat ibu dan ayahnya memaksa dirinya untuk menjual kue
keliling. Rian dan keluarganya tinggal di Jalan Kawat V, Kelurahan Tanjung
Di Indonesia, masalah pekerja anak mulai dibicarakan sejak awal tahun
1990-an ketika media mulai mengungkap kasus-kasus perlakuan buruk terhadap
pekerja anak, terutama mereka yang dipekerjakan di jermal, Sumatera Utara.
Namun di luar kasus-kasus dramatis tersebut masih banyak hal tentang pekerja
anak yang masih belum diketahui oleh masyarakat. Kajian yang dilakukan oleh
ILO menyebutkan bahwa 77% anggota masyarakat di 6 kota menganggap bahwa
pekerja anak adalah masalah besar, tetapi tidak banyak yang tahu apa sebenarnya
pengertian dari pekerja anak tersebut. Kurangnya pemahaman ini membuat
fenomena pekerja anak disikapi dengan berbagai cara, kebanyakan cenderung
diabaikan dan disepelekan.
Jelaslah bahwa upaya menghapuskan pekerja anak harus didahului dengan
pemahaman tentang apa yang hendak dihapuskan. Tidak semua anak yang terlibat
dalam pekerjaan adalah pekerja anak. Anak yang mengerjakan tugas kecil di
sekitar rumah atau pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah tidaklah
termasuk pekerja anak. Beberapa tugas yang wajar dilakukan untuk tingkat
perkembangan anak seusianya justru memberikan peluang kepada anak untuk
memperoleh keterampilan praktis dan memupuk tanggung jawab. Jadi, bukan
itulah yang hendak dihapuskan. Pekerja anak hakekatnya adalah anak-anak yang
harus terjun ke dunia kerja sebelum mencapai usia legal untuk bekerja sehingga
hak-hak dasar mereka terampas. Beberapa bentuk hak dasar tersebut antara lain
adalah hak kebebasan untuk memilih dan jaminan untuk tumbuh kembang secara
utuh baik fisik maupun mental, termasuk hak untuk bersekolah.
Di Indonesia, batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja di semua
belajar ini, ditetapkan oleh oleh Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 1999 yang
meratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk
diperbolehkan Bekerja. Konvensi, yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
dasar anak ini, juga mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang
akan secara efektif menghapus pekerja anak.
Sementara itu orangtua Rian bisa dikatakan telah melanggar UU dengan
mempekerjakan Rian semenjak usia 9 tahun hingga saat ini. Walaupun dalam
konteks penelitian ini tidak ada sedikitpun hak dari peneliti untuk menghakimi
orangtua dari Rian, namun ada semacam rasa ingin meluruskan persoalan ini
dalam bentuk hasil penelitian. Tidak berhenti disitu, Rian juga mengalami
kehidupan yang cukup sulit didalam keluarganya. Masyarakat sekitar rumah Rian
mengenal ayahnya sebagai sosok yang kasar dan juga suka melakukan kekerasan
kepada anaknya. Terlebih lagi ketika ayah Rian mengetahui jika Rian tidak
menjual kue dalam satu hari, maka ayahnya akan memukulnya. Maka mau tidak
mau Rian harus menjual kue setelah pulang sekolah maupun di hari libur.
“ . . . aku jual kue tiap hari bang buat bantu orangtua nambah-nambah penghasilan keluarga. Tapi kalau aku enggak jualan aku dipukulin bapak sama enggak dikasih uang jajan satu hari . . .”
Anwar Sitepu (Amalia, 2009) mengatakan bahwa anak merupakan salah
satu golongan penduduk yang berada dalam situasi rentan dalam kehidupannya di
tengah masyarakat. Kehidupan anak dipandang rentan karena memiliki
ketergantungan tinggi dengan orangtuanya. Jika orangtua lalai menjalankan
generasi penerus. Fungsi dari seorang ayah seharusnya adalah melakukan fungsi
pengawasan dan pengajaran, bukan menggunakan fungsinya sebagai hakim untuk
mengadili si anak dengan cara-cara kekerasan.
Setiap pergi ke sekolah Rian diberikan uang jajan oleh orangtuanya
sebesar Rp.2000, kadang bila Rian tidak berjualan kue maka dia tidak akan
diberikan uang jajan oleh orangtuanya. Untuk mensiasatinya Rian menggunakan
sepeda pergi ke sekolah, walaupun kebanyakan temannya pergi ke sekolah dengan
sepeda motor ataupun angkot, Rian tidak merasa malu. Hal tersebut semata-mata
Rian lakukan agar bisa terus bersekolah, bahkan dirinya memiliki keinginan untuk
bisa menjadi sarjana dan memperbaiki keadaan hidupnya.
“ . . . aku kalau pigi sekolah naik sepeda bang, karena kadang aku enggak dikasih uang jajan sama bapak. Daripada aku jalan kaki ke Cemara buat sekolah, bisa terlambat lah aku tiap hari bang. Ya semua ini aku kerjain pun biar supaya bisa terus sekolah bang, mana tau bisa jadi sarjana. Kan kalau uda jadi sarjana bisa aku nyari kerja yang lebih bagus dari bapak mamakku . . .”
Pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan
kualitas manusia. Artinya melalui pendidikan kualitas manusia dapat ditingkatkan.
Dengan kualitas yang meningkat produktivitas individualpun akan meningkat.
Selanjutnya jika secara individual produktivitas manusia meningkat, maka secara
komunal produktivitas manusia akan meningkat (Amalia, 2009).
Selain keterkaitan dengan ekonomi, pandangan pendidikan juga memiliki
keterkaitan dengan sistem nilai budaya pada suatu masyarakat. Suatu sistem nilai
budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagai
dalam hidup. Karena itu dalam sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertingi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1997).
Dalam lingkungan tempat Rian tinggal memang didominasi oleh
pekerja-pekerja pabrik yang setiap harinya bekerja pagi dan pulang petang. Sehingga
membuat anak-anak dari orangtua yang bekerja sebagai buruh seperti orangtua
Rian hanya aktif di rumah pada malam hari. Namun, tingkat stress dan kelelahan
yang tinggi yang dialami oleh ayah Rian setelah pulang bekerja, terkadang
menjadikan Rian sebagai korban amukan ayahnya sendiri.
Ayah Rian merupakan buruh di salah satu pabrik furniture di KIM. Ayah
Rian baru bekerja di pabrik tersebut sekitar 1 tahun yang lalu atau tepatnya pada
akhir tahun 2014. Sebelumnya ayah Rian bekerja di pabrik pengolahan kayu PT.
Tjipta Rimba Djaya, namun dirinya di PHK pada tahun 2012 yang lalu karena
kondisi pabrik yang sedang krisis. Ayah Rian berangkat bekerja pukul 08.00 pagi
dan akan pulang ke rumah pukul 17.00 sore. Sedangkan ibu Rian yang juga
bekerja sebagai buruh di pabrik minuman di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir
bekerja malam yaitu pukul 21.00 hingga pukul 07.30 pagi. Sehingga untuk
mengurus anak-anak dan rumah ayah dan ibu Rian bergantian untuk
mengurusnya.
Ketika pagi hari ibu Rian akan membereskan rumah terlebih dahulu, lalu
kemudian memasak kue yang akan dijual oleh Rian dan adiknya Yoyo. Rian dan
adiknya Yoyo merupakan penjual kue yang tersisa, setelah sebelumnya ada sekitar
Namun, anak-anak tersebut memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut
sehingga menyisahkan Rian dan adiknya Yoyo sebagai penjual kue.
Harga kue yang dijual oleh Rian juga masih sangat murah yakni
Rp.500/satu kue. Rian mendapatkan gaji Rp.100 untuk setiap satu kue yang
dijualnya. Rian dan adiknya Yoyo diperlakukan sama seperti penjual kue lainnya
yang pernah bekerja dengan ibu Yoyo sebagai penjual kue. Rian dan adiknya
Yoyo mendapatkan jatah 200 kue untuk dijual, jadi jika dihitung Rian akan
mendapatkan keuntungan Rp.20.000 jika kue yang dibawanya habis terjual.
Namun, hal yang sangat miris adalah ketika seusai pulang berjualan hasil
penjualan akan seluruhnya diambil oleh ibu Rian dengan alasan untuk biaya
sekolahnya. Sementara Rian hanya diberi upah Rp.2000 untuk uang saku.
Namun, Rian tidak pernah berkecil hati karena menurutnya dia akan
berusaha mengubah nasibnya. Rian berencana setelah tamat SMP akan
melanjutkan sekolah ke tingkat SMA dengan membidik SMA Negeri favorit di
Kota Medan. Rian memang salah seorang siswa yang cukup pintar, bahkan
walaupun dirinya memiliki sedikit waktu untuk belajar namun dirinya tetap
mampu masuk ranking sepuluh besar di kelasnya. Rian beralasan dirinya akan
berusaha untuk menjadi seorang sarjana agar tidak menjadi buruh pabrik seperti
orang-orang di lingkungannya.
Kesadaran untuk merubah nasib seperti yang difikirkan dan dilakukan oleh
Rian merupakan suatu bentuk nyata dari usaha untuk keluar dari kondisi suram
keluarga. Keluarga yang hanya hidup dalam dunia yang mengenal pekerjaan
sebagai buruh pabrik, akhirnya memancing kegelisahan sang anak untuk bisa
mendapatkan yang lebih baik lewat pendidikan. Walaupun hanya dalam tatanan
wacana dan tindakan kecil dari seorang anak SMP, namun yang dilakukan oleh
Rian merupakan gambaran nyata dari anak-anak buruh yang mencoba lepas dari
pusaran perburuhan.
Bila dilihat dari diagram kekerabatannya, pola pekerjaan sebagai buruh di
keluarga Rian sudah terjadi di mulai dari sang ayah dan ibu yang bekerja sebagai
buruh di pabrik. Karena keluarga Rian merupakan keluarga yang berasal dari
persilangan antara suku Jawa (ayah) dan Melayu (ibu) maka keluarganya
memakai sistem kekerabatan patrilineal atau garis keturunan menurut sang ayah.
Selengkapnya dalam gambar berikut ini :
Gambar 2 : Diagram Kekerabatan Keluarga Rian
1 2
3 4
Keterangan gambar :
1. Ayah dari ego. Saat ini bekerja sebagai buruh di pabrik furniture. Hanya
tamatan Sekolah Dasar.
2. Ibu dari ego. Saat ini bekerja sebagai buruh di pabrik minuman.
Menamatkan pendidikan di hingga bangku SMP.
3. Ego. Saat ini masih duduk di kelas IX SMP dan berkeinginan untuk
melanjutkan sekolah ke SMA. Bekerja sambilan sebagai penjual kue
keliling.
4. Adik laki-laki dari ego. Saat ini masih bersekolah di kelas VIII SMP.
Dari diagram kekerabatan yang ada di atas terlihat bahwa pekerjaan ayah
yang menjadi buruh pabrik ternyata turut menentukan pendidikan si anak. Rian
yang tidak mau menjalani kehidupan yang sulit seperti kedua orangtuanya yang
bekerja sebagai buruh, akhirnya mencoba untuk keluar dari kehidupan tersebut
dengan cara berusaha untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Rian
berkeyakinan bahwa pendidikan lah satu-satunya sarana baginya untuk keluar dari
kesulitan ekonomi yang dialami oleh keluarganya.
3.2. Jamal : Antara Sekolah Atau Bekerja
Jamal adalah salah seorang informan kunci dalam penelitian ini. Jamal saat
ini statusnya masih sebagai pelajar Sekolah Menengah Kejuruan di salah satu
sekolah di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Sehari-harinya Jamal lebih banyak
menghabiskan waktunya di luar rumah, bahkan bila dihitung-hitung, Jamal hanya
pulang ke rumahnya untuk tidur dan ganti baju saja. Jamal tinggal di Jalan Kawat
ayahnya saat ini sudah bekerja sebagai buruh di pabrik pengolahan karet di
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Jam bekerja ayahnya dari pukul 08.00 pagi
hingga pukul 15.30. Sedangkan ibu nya seorang ibu rumah tangga yang saat ini
juga sedang sakit dan lebih banyak berbaring di rumah. Jamal sendiri merupakan
anak ke 6 dari 6 bersaudara. Kakak-kakaknya saat ini sudah menikah dan
semuanya bekerja sebagai buruh pabrik.
Dalam kesehariannya Jamal merupakan pelajar Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) atau orang Kelurahan Tanjung Mulia Hilir lebih sering
menjulukinya sebagai Sekolah Teknik Mesin (STM). Saat ini Jamal sudah
memasuki kelas XII dan sebentar lagi akan mengikuti Ujian Nasional (UN).
Namun, ada yang berbeda dengan dirinya dibanding pelajar lainnnya. Bila
biasanya anak sekolah akan sibuk belajar lengkap dengan seragamnya di sekolah
pada waktu pukul 07.30 hingga pukul 13.00, maka lain halnya dengan Jamal.
Pada jam-jam itu Jamal akan berada di tempat-tempat permainan seperti Warnet
(Warung Internet), Futsal, Billiard atau di tempat Rental Playstation. Kalau Jamal
sedang tidak memiliki uang, maka dia akan pergi ke tempat dia bekerja sambilan
yakni tempat Doorsmer atau tempat jasa pencucian kereta (sepeda motor).
Peneliti juga mengamati gaya berpakaian dan juga kebiasaan-kebiasaan
Jamal. Ketika Jamal pergi ke sekolah, biasanya dia memakai seragam STM yang
bajunya dibiarkan keluar artinya tidak dimasukkan kedalam pinggang celana.
Kebiasaan seperti ini merupakan hal yang wajar bagi anak-anak STM yang
memang dalam kegiatan belajarnya hampir semua murid kelas adalah laki-laki.
juga merupakan sebuah fenomena yang terjadi di kalangan pelajar STM di
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Walaupun mereka memiliki tas, namun mereka
lebih menyukai membawa buku seadanya dan menyelipkannya di dalam baju.
Alasan dari Jamal melakukan hal tersebut adalah :
“ . . . ngapain pula bawa buku banyak-banyak. Bukannya awak (aku) sekolah, sikit dibawa buku biar gampang cabut bang. Kalau pun sekolah ya paling kami pake buku tulis aja, buku bacaan pinjam sama kawan. Kadang kalau diperiksa guru paling dimarahin. Kalau baju dimasukin itu bang lucu kali la ditengok (dilihat) sama kawan, macem betul aja. Kalau dikeluarin gini kan lebih garang dia bang, namanya anak STM . . .”
Peneliti melihat bahwa dikalangan anak-anak STM di Kelurahan Tanjung
Mulia Hilir ternyata sudah memiliki kebiasaan bahwa setiap siswa harus
mengeluarkan bajunya agar dianggap anak STM. Apabila ada orang yang
memasukkan bajunya ke pinggang, maka akan dicap sebagai anak baik-baik. Hal
ini dikarenakan lingkungan belajar yang hampir semuanya adalah anak laki-laki
dan sudah sejak lama memiliki trend sebagai anak-anak yang mencari kebebasan.
Satu hal lagi yang menjadi kebiasaan Jamal adalah merokok. Jamal tidak
akan malu-malu lagi meghisap rokok di muka umum, walaupun ketika dirinya
berjalan dengan menggunakan seragam sekolah. Hal ini juga dilakukan oleh
banyak anak-anak STM lainnya di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Ketika Jamal
berpapasan dengan teman sekolahnya di jalan, maka biasanya mereka akan
mengobrol bersama kemudian nongkrong di Warnet dekat sekolah mereka. Selain
nongkrong di depan warnet, Jamal dan teman-temannya juga ikut bermain game
Mereka menganggap bahwa sekolah atau tidak sekolah ujung-ujungnya
mereka akan kerja menjadi buruh pabrik juga. Maka buat apa repot-repot pergi ke
sekolah, belajar dengan giat bila nanti hasilnya tetap sama yaitu menjadi buruh
pabrik. Lebih baik waktu mereka dihabiskan untuk bermain atau mencari uang.
Seperti yang diungkapkan Jamal :
“ . . . untuk apa la sekolah bang ? presiden udah banyak gubernur udah banyak. Sekolah.. sekolah.. nanti ujung-ujungnya kerja pabrik juga. Bagus awak main-main, disekolah pun awak gak nya ngerti apa yang dijelasin. Sekolah gak sekolah lulus juga nya nanti bang. Mana la mau sekolah kami banyak muridnya yang gak lulus. Bisa-bisa tahun depan gak ada lah muridnya . . .”
Orangtua Jamal sebenarnya sudah capek menasehati Jamal. Namun, Jamal
selalu bersikeras untuk tidak pergi ke sekolah dengan berbagai alasan. Kalau pn
Jamal pergi ke sekolah, itu hanya agar dia bisa mendapatkan uang jajan Rp.3000,
yang kemudian dia habiskan untuk bermain game online di Warnet. Tidak jarang
Jamal dan teman-temannya dipergoki oleh guru sekolahnya ketika bermain di
warnet. Biasanya ketika mereka tertangkap mereka akan dibiarkan dulu, namun
keeseokan harinya sekolah akan memberikan surat SPO (Surat Pemanggila
Orangtua) kepada mereka-mereka yang tertangkap.
Namun, bagi Jamal dan teman-temannya SPO adalah sebuah surat yang
biasa-biasa saja. Artinya mereka tidak terbebani secara moral apabila orangtua
mereka sampai dipanggil ke sekolah karena kenakalan mereka. Biasanya ketika
datang ke sekolah selama tiga hari. Hal ini dilakukan agar guru mereka sudah lupa
dengan kejadian tersebut.
“ . . . biasanya kalau kami pigi ke warnet bang ada aja itu guru-guru kami yang nyariin muridnya yang cabut di warnet. Kalau ketangkep udah lah, pasti kena SPO. Awak pun sering bang dapat SPO, cuman mana pernah kukasi sama bos1
Namun, lain halnya jika Jamal ketahuan oleh abangnya ketika cabut ku, mati lah aku dibacok sama bos ku bang. Palingan kalo dapet SPO pas pulang kuliah buang ke paret (selokan), abis itu gak usah datang ke sekolah tiga hari . . .”
Hal tersebut sudah lazim dilakukan oleh pelajar-pelajar di STM tempat
Jamal bersekolah. Membolos sekolah selama tiga hari untuk menghindari SPO
juga adalah saran-saran yang didapatnya dari teman-temannya di sekolah.
Sehingga hal itu lah yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Jamal dan
teman-temannya.
2
“ . . . kalau sama guru BP yang ketahuan cabut masih enggak papa bang. Tapi kalau uda ketahuan aku sama abangku, wihh ampun lah bang. Pernah aku dipukulin sama abang ku waktu main PS aku di dekat sekolah. Habis aku bang ditunjangi dia, ini aja sampe masi ada bekas cobel di plipisku gara-gara jatuh ditunjang dia. Itu
sekolah. Biasanya bila Jamal ketahuan oleh abangnya cabut sekolah maka dia
akan langsung dipukuli di tempatnya cabut. Seperti ceritanya ketika dia cabut
sekolah dan bermain Playstation di dekat sekolahnya, disitu abangnya
memukulinya hingga pelipisnya berdarah. Lalu kemudian abangnya membawa
Jamal pulang untuk dilaporkan ke ayah dan ibunya.
1 Panggilan untuk ayah/ibu, dengan menggunakan bahasa slang
makannya aku sekarang kalau mau cabut tengok-tengok tempat juga. Takutnya ketahuan lagi aku sama abangku . . .”
Keluarga Jamal sebenarnya menginginkan agar Jamal bersekolah yang
baik, tidak usah cabut, merokok atau yang lainnya. Mereka mnginginkan agar
Jamal dapat menjadi orang yang lebih baik daripada mereka. Namun, pada
akhirnya Jamal lebih nyaman dengan hidupnya yang seperti ini. Hal ini
sebenarnya juga merupakan pemberontakan yang dilakukan oleh Jamal, sebab dia
merasa diperlakukan tidak adil. Mengapa dirinya tidak boleh cabut, merokok atau
bermain-main sementara abang-abangnya dulu juga melakukan hal yang sama.
Sementara ketika dia juga ingin melakukannya dirinya dilarang bahkan dipukuli.
Seperti yang diungkapkan Jamal berikut :
“ . . . sebenarnya bang bosku sama abang-bangku pengen aku sekolah bagus-bagus. Jangan cabut, ngerokok atau main-main ngabisin duit. Tapi masalahnya orang itu kan duluan ngelakuin daripada aku, awak kan cuman nyontoh abang-abang awak aja. Ini awak cabut dimarahin, merokok dimarahin, main warnet dimarahin. Sementara orang itu gak pernah awak ganggu hidupnya, itu makannya aku males dirumah. Asik direpetin aja aku bang, bagus aku kerja, dapet uang . . .”
Sementara itu dilain kesempatan ibu dari Jamal pernah berbicara kepada
Jamal agar jangan cabut-cabut sekolah lagi. Ibu nya beralasan biarlah Jamal
menyelesaikan sekolahnya agar dapat mudah diterima bekerja di pabrik. Namun,
Jamal bersikeras lebih memilih untuk bekerja saja di doorsmer untuk mencari
tambahan uang jajan.
bisa gampang dimasukin kerja pabrik sama abang-abangku. Cuman males kali aku buat nunggu sampe tamat, udah enggak tahan aku . . .!
Cabut sekolah merupakan kebiasaan yang wajar bagi Jamal dan
teman-temannya. Dalam waktu seminggu bersekolah, biasanya Jamal cabut dua hingga
empat kali seminggu. Tergantung pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keputusannya untuk cabut, misalnya seperti :
1. kondisi keuangan : Jamal dan teman-temannya biasanya akan cabut
sekolah bila uang mereka sedang banyak. Sehingga ketika mereka cabut sekolah
mereka bisa pergi ke warnet, rental PS ataupun bermain futsal dengan anak-anak
sekolah lain.
2. kondisi sekolah : Jamal akan pergi cabut sekolah apabila dirinya sedang
mendapatkan masalah di sekolah seperti pengutipan uang SPP, mendapatkan
SPO, atau bila guru yang tidak disukainya sedang masuk pada hari itu.
3. waktu ujian : walaupun Jamal suka sekali cabut, namun dirinya tidak
akan mau cabut ujian apabila sedang waktu ujian.
Lalu untuk biaya selama cabut tersebut peneliti mendapatkan beberapa
fakta yang mengejutkan. Karena apabila Jamal hanya mengandalkan uang jajan
sekolahnya yang hanya Rp.3000 tentu uang tersebut hanya dapat membeli rokok 3
batang. Sementara sisanya Jamal dapati dari memakan uang sekolah yang
orangtuanya tiap bulannya kerap kali dipakainya untuk membeli rokok atau pun
keperluan lain ketika dirinya cabut sekolah.
Jumlah uang SPP nya sebesar Rp.150.000/ bulan dan biasanya ketika
ditanyai oleh bagian keuangan sekolah Jamal hanya menjawab “belum dikasih
sama orangtua”. Tentunya jika Jamal hanya memakai uang sekolah nya saja, tanpa
mencoba untuk mencari uang lain maka lambat laun orangtuanya akan tahu.
Ternyata Jamal memiliki cara untuk menutupi uang sekolah yang sudah
diambilnya tersebut. Menurut pengakuan Jamal selain dirinya bekerja mencari
uang dari doorsmer biasanya Jamal juga menjual barang-barang dirumahnya.
Bahkan dari penuturan Jamal, dirinya pernah menjual tabung gas elpiji 3 Kg,
ayam, sepatu dan juga pakaian miliknya.
“ . . . untuk nutupinya ya harus pande-pande lah bang. Kalao aku kan kerja doorsmer, tapi kadang juga enggak cukup jadi kujual aja lah bang barang-barang yang ada dirumahku. Kalo tabung gas bisa diangkut ya angkut . . .”
Tindakan Jamal ini merupakan upayanya untuk menutupi lubang yang
sudah digalinya dengan membuka lubang lainnya. Dirinya terpaksa melakukannya
karena sudah terjepit tidak memiliki uang. Biasanya ketika Jamal sedang cabut
sekolah, dirinya akan berpapasan dengan teman-teman lainnya yang satu sekolah
ataupun dari sekolah lainnya. Bahkan untuk menghindari rajia yang dilakukan
oleh guru-guru mereka, Jamal dan teman-temannya biasanya pergi ke
tempat-tempat yang cukup jauh dari sekolah mereka seperti daerah Brayan, Cemara,
Jamal mengaku dirinya dan teman-temannya sangat suka pergi ke
tempat-tempat baru karena lebih menantang. Satu tempat-tempat yang menjadi favorit Jamal dan
teman-temannya cabut sekolah adalah di warnet. Ada salah satu warnet yang
berlokasi di Jalan Yosudarso yang menjadi tempat favorit mereka untuk cabut.
Jamal dan teman-temannya menyukai warnet tersebut karena bukan hanya siswa
laki-laki saja yang cabut disitu tetapi juga siswa perempuan dari sekolah lain.
Biasanya ditempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk mencari pacar atau
bahkan hanya untuk sekedar berkenalan dengan perempuan dari sekolah lain.
“ . . .biasanya bang kalo kami cabut di warnet kami pigi ke warnet langganan kami. Disitu tempatnya banyak kali cewek-cewek nya bang dari sekolah lain, hitung-hitung cari cewek la bang . . .”
Sementara itu apabila Jamal dan teman-temannya cabut sekolah dan
bermain futsal hanya sekali-sekali saja. Karena untuk bermain futsal dibutuhkan
orang yang banyak dan juga uang yang tidak sedikit untuk menyewa lapangan
futsal. Maka apabila Jamal dan teman-temannya ingin cabut sekolah dan bermain
futsal, maka harus disepakati dulu siapa-siapa saja orang yang sudah pasti
bermain futsal. Kemudian mereka juga akan menyepakati uang taruhan yang akan
mereka pertaruhkan dalam pertandingan tersebut, karena menurut Jamal bila
mereka hanya bermain futsal tanpa bertaruh maka tidak akan seru.
Satu hal lain yang juga cukup mengejutkan dilakukan oleh Jamal dan
teman-temannya adalah ngelem. Jamal menyadari bahwa perilaku ngelem nya
merupakan suatu usaha pelaRian yang dia lakukan karena merasa tidak betah di
rumah, merasa kurang diperhatikan, merasa dikecewakan, dan merasa tidak
keluarga baru, mencari kesenangan untuk menghilangkan kesedihannya, dan
mencari orang yang lebih peduli dengan dirinya untuk mengekspresikan diri
sendiri serta mengikuti cara hidup anak jalanan3
Pada tahap ini anak mempelajari aturan-aturan yang mengatur orang-orang
yang kedudukannya sejajar. Dalam kelompok teman sepermainan, anak mulai
mempelajari nilai-nilai keadilan. Semakin meningkat umur anak, semakin penting
pula pengaruh kelompok teman sepermainan. Kadang-kadang dapat terjadi
konflik antara norma yang didapatkan dari keluarga dengan norma yang
diterimanya dalam pergaulan dengan teman sepermainan. Tahap ini ditandai
dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang .
Jamal melakukan perilaku ngelem sebagai proses sosialisasi yang dia
peroleh dari anak-anak lainnya yang dia temui ketika cabut sekolah. Kemudian
anak-anak ini yang menjadi kelompok baru dimana teman/teman sebaya
merupakan agen sosialisasi utama karena seorang anak belajar berinteraksi dengan
orang-orang yang sebaya dengan dirinya. Awalnya dirinya hanya sebatas
coba-coba, namun setelah mencoba Jamal mengaku dirinya langsung ketagihan dan
akhirnya ngelem setiap hari. Uang dari hasil mencuri, dan bekerjanya akan Jamal
belikan lem untuk dihirup ketika cabut dengan teman-temannya.
“ . . . sebenarnya malu juga bang ngomongnya. Karena dulu waktu pertama kali aku ngelem diajakin sama kawan-kawan anak bengkel (Brayan Bengkel) waktu aku cabut. Katanya enak kalo udah abis ngelem, memang pertama-tamanya enak kali rasanya. Cuman sekarang ketagiha awak jadinya. Kek gini lah bang apapun tegade gara-gara awak pengen ngelem . . .”
dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini seorang anak mulai belajar
mengambil peran orang yang berada disekitarnya.
Jenis lem yang digunakan Jamal dalam melakukan aktifitas “ngelem”
yakni, lem jenis fox, aibon untuk mnimbulkan efek nyaman (fly), lem perabotan
atau lem alat rumah tangga. Lem ini mengandung bermacam-macam zat kimia
yang sangat berbahaya jika dikonsumsi. Perilaku ngelem, khususnya pada remaja
sering berawal dari pengaruh pola pergaulan dan gaya berteman, di samping
berasal dari keinginan pribadi dan problem yang terjadi di masyarakat serta akibat
dari adanya sosialisasi yang berjalan dengan tidak baik dalam keluarga maupun
lingkungan sekitarnya.
Sosialisasi dalam keluarga dianggap berjalan dengan tidak baik, ketika
peran keluarga sebagai orang terdekat pada anak, kurang atau tidak berfungsi
sama sekali seperti apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh anak. Sedangkan
pada lingkungan sekitar, sosialisasi juga tidak jarang dilakukan untuk
mengajarkan hal-hal buruk untuk mengajak orang lain melakukan tindakan
menyimpang salah satunya perilaku ngelem di kalangan remaja. Banyak faktor
yang dapat menjelaskan kejadian ini, dilihat dari akibat ngelem, remaja
mengalami perubahan emosional yang tidak jarang membawa mereka kepada
halusinasi dan perilaku negatif seperti, berbicara kotor, mencuri dan berkelahi.
Semakin banyak mengambil peran dari individu lain, maka self semakin
berkembang dengan baik. Ngelem pada umumnya diajarkan oleh anak-anak
sebagai salah satu kebiasaan yang menyenangkan dan kemudian mengajak
anak-anak jalanan lainnya yang baru turun ke jalanan untuk ikut merasakannya.
Perjalanan Jamal dan teman-temannya ketika cabut sekolah cukup jauh.
Mereka tidak ragu jika ingin pergi ke Belawan yang letaknya berpuluh-puluh
kilometer dari rumah mereka. Bahkan mereka juga pernah pergi ke luar kota yaitu
Kota Binjai hanya untuk cabut sekolah. Namun, ternyata usaha mereka untuk
pergi ke tempat-tempat jauh tersebut bukan ditempuh dengan menggunakan
sepeda motor ataupun angkutan umum, melainkan dengan manaiki kereta api.
Foto 2 : Salah Satu Sekolah Kejuruan Yang Ada Di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir
Sumber : Peneliti
Kereta api merupakan salah satu transportasi masal yang digunakan
yang Jamal dan teman-temannya naiki bukan lah kereta api penumpang, tetapi
kereta api pengangkut CPO (Crude Palm Oil). Menurut pengakuan Jamal dirinya
dan teman-temannya awalnya hanya iseng-iseng saja pergi dengan kereta api.
Mereka berjalan menelusuri rel kereta api yang letaknya sangat dekat dengan
kereta kemudian menuju Setasiun Kereta Api Pulo Brayan Bengkel. Disini lah
mereka akan naik diam-diam disalah satu gerbong kereta api.
Namun, mereka sama sekali tidak mengetahui arah dari jalannya kereta api
tersebut menuju kemana. Akhirnya mereka sampai di Kota Binjai dan tidak tahu
bagaimana jalan pulang. Disepanjang perjalanan mereka tidak lupa membawa lem
yang akan mereka hirup dalam perjalanan.
Jamal saat ini memiliki pekerjaan sambilan untuk menambah uang jajan,
yakni bekerja sebagai pencuci kereta (doorsmeer sepeda motor). Pekerjaan ini
dilakukan oleh Jamal setiap hari ketika selesai pulang sekolah atau pada saat
dirinya tidak sekolah. Jamal biasanya bekerja hingga 8 jam sehari dengan gaji
Rp.3000/ motor. Gaji yang relative kecil tersebut didapat karena Jamal adalah
anak buah di tempat usaha doorsmeer tersebut, sehingga dirinya hanya
mendapatkan upah pencucian saja.
Untuk tarif mencuci kereta4
4 Mulai dari bagian ini peneliti akan menggunakan istilah kereta untuk menyebutkan istilah sepeda motor. Karena kereta adalah penyebutan untuk sepeda motor di masyarakat Kota Medan.
sendiri Jamal menetapkan tariff yang sama
dengan tempat doorsmeer lainnya yaitu Rp.10.000. Jamal tidak sendiri di tempat
doorsmer tersebut, dirinya juga ditemani oleh anak-anak seumurannya yang
bekerja menjadi “tukang doorsmeer” di tempat tersebut. Dari lima orang tukang
masih bersekolah, anak-anak yang lain sudah tidak bersekolah lagi (putus
sekolah).
Menurut Ruslan (2007) kebanyakan anak yang berprestasi di sekolahnya
sampai lulus studi hingga bekerja disebabkan lingkungan keluarga yang baik yang
dapat mendorong anak-anak mencapai keberhasilan. Sedangkan anak-anak yang
prestasi belajarnya kurang baik atau drop out di sekolah lebih besar dikarenakan
lingkungan keluarga. Oleh karena itu keluarga mempunyai tanggung jawab dan
peranan yang sangat besar dalam melahirkan dan membentuk generasi yang baik
dan berkualitas.
Mereka bekerja menjadi tukang doorsmer karena tidak tahu mau bekerja
apa lagi. Karena jika mereka ingin bekerja di pabrik seperti kebanyakan orang di
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, maka mereka harus memiliki ijazah SMA atau
sederajat untuk bisa masuk, sementara mereka tidak memiliki ijazah SMA. Jamal
sendiri belum tamat dari STM dan masih menunggu beberapa bulan lagi untuk
tamat dari sekolah. Lingkungan yang begitu keras membuat anak-anak ini harus
bisa mandiri menghidupi dirinya sendiri walaupun masih muda.
Putus sekolah dan pekerja anak adalah dua masalah yang saling terkait.
Secara umum, anak putus sekolah dan kemudian masuk ke pasar kerja merupakan
rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda
kemiskinan. Keterbatasan ekonomi memaksa keluarga mengerahkan sumber daya
yang ada untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian pendapat
masalah ini, seperti rendahnya kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan
ditambah tingginya biaya pendidikan.
Walaupun begitu, mereka tetap menyimpan harapan yang lebih baik untuk
masa depan mereka. Seperti Jamal yang mengatakan bahwa selain untuk
menambah uang jajan, dirinya bekerja juga untuk membantu meringankan beban
orangtuanya. Pada awalnya Jamal diajak oleh salah seorang teman di
lingkungannya untuk bekerja mencuci kereta di doorsmeer. Temannya tersebut
mengatakan kepada Jamal bahwa dirinya kasihan melihat Jamal yang hanya
berkeliaran saja, dan menambah fikiran orangtuanya. Jamal pun menyetujui
ajakan temannya tersebut, namun sebelumnya Jamal meminta ijin kepada
orangtuanya untuk bekerja. Orangtua Jamal pun mengijinkan dirinya bekerja,
asalkan tidak melupakan sekolahnya.
“ . . . waktu diajak sama kawan buat kerja aku mau-mau aja bang. Tapi aku minta ijin dulu sama bos ku, rupanya bos pun senang-senang aja aku kerja. Asalkan enggak ganggu sekolah katanya . . .”
Salah satu kekhawatiran dari munculnya kebudayaan kemiskinan
sebagaimana yang diistilahkan oleh Oscar Lewis adalah semakin banyaknya
anak-anak yang terjun dalam dunia kerja. Menurut Bellamy (Usman, 2004 :149) bahwa
pekerja anak akan terperangkap dalam lingkaran setan karena anak-anak yang
bekerja pada usia yang dini yang biasanya berasal dari keluarga miskin dengan
pendidikan yang terabaikan akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak
dengan pekerjaan yang terlatih dengan upah yang sangat buruk. Anak-anak ini
kemungkinannya kembali menjadi pekerja anak yang tidak punya kesempatan
luas untuk mendapatkan pendidikan yang memadai.
Anwar Sitepu (Amalia, 2009) mengatakan bahwa anak merupakan salah
satu golongan penduduk yang berada dalam situasi rentan dalam kehidupannya di
tengah masyarakat. Kehidupan anak dipandang rentan karena memiliki
ketergantungan tinggi dengan orangtuanya. Jika orangtua lalai menjalankan
tanggung jawabnya, maka anak akan menghadapi masalah. Anak dalam setiap
masyarakat adalah anggota baru karena usianya masih muda dan ia merupakan
generasi penerus. Dalam kedudukan demikian amat penting bagi anak untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga kelak akan bisa melaksanakan
tugas dan tanggung jawab sosialnya secara mandiri.
Sebelum bekerja di Doorsmeer Jamal juga pernah ikut dengan tetangganya
menjadi kuli bangunan dan juga buruh las di tempat pengelasan milik
tetangganya. Semua itu Jamal lakukan agar mendapatkan uang tambahan, karena
bila mengandalkan orangtuanya saja dirinya tidak akan bisa membeli apapun,
bahkan hanya untuk membeli satu batang rokok untuk dihisap. Setelah Jamal
bekerja sebagai pencuci kereta di Doorsmeer, dirinya mulai mengenal
teman-teman baru lagi.
Diantara Jamal dan teman-temannya tersebut tidak ada satu pun yang
berencana untuk menjadikan pekerjaan doorsmeer tersebut sebagai pekerjaan
jangka panjang mereka. Jamal dan teman-temannya memiliki keinginan untuk
Hilir ataupun sekitarnya. Hampir setiap hari di tempat doorsmeer mereka selalu
berbagi cerita mengenai info-info lowongan kerja di pabrik-pabrik tersebut.
Bahkan ketika peneliti menanyakan kepada Jamal tentang pilihan pabrik
yang paling ingin dia masuki, Jamal menjawab yang paling pertama adalah Pabrik
Musimas, PT. Sumatera, dan Nitori. Alasan Jamal memilih ketiga pabrik tersebut
adalah karena ketiga pabrik tersebut lah yang dia tahu memberikan gaji paling
tinggi dibandingkan pabrik-pabrik lainnya. Dua orang kakak Jamal saat ini juga
bekerja di pabrik Nitori sebagai Harlep (HaRian Lepas).
Ketika peneliti menanyakan apakah Jamal memiliki cita-cita atau
keinginan lain selain menjadi buruh pabrik, Jamal menjawab bahwa dirinya tidak
tahu mau menjadi apa lagi. Jamal sadar bahwa dirinya berasal dari keluarga yang
pas-pasan dan tidak terlalu berharap banyak untuk bisa menjadi lebih dari sekedar
buruh.
“ . . . kalau ditanya mau jadi apa besar nanti ya enggak tahu bang. Karena awak pun enggak mau berharap yang tinggi-tinggi lah. Karena kan bos pun juga orang gak mampu, mana la sanggup awak minta yang macem-macem . . .”
Tentu tanggapan yang begitu dalam seperti ini sangat miris kita rasa,
apalagi bila yang mengatakannya adalah seorang anak sekolah. Namun, keadaan
kehidupan lah yang memaksa Jamal untuk mempunyai pola fikir seperti itu.
Kemiskinan yang dihadapi oleh para orangtua, secara tidak langsung akan
mempengaruhi pola fikir dan penanaman nilai-nilai budaya pada anak anaknya.
merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si
miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas
kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraannya sehingga
menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan
dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal dan
membawa konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah.
Anak sendiri memiliki nilai ekonomi. Pepatah mengatakan banyak anak,
banyak rezeki‖. Hal ini dapat kita jumpai pada masyarakat di pedesaan di Jawa.
Anak merupakan faktor terpenting dalam kehidupan berkeluarga terutama
berkaitan dengan potensi nilai ekonomis yang ditimbulkannya. Para orangtua atau
calon ayah dan ibu (yang membuat keputusan-keputusan terpenting dalam
menentukan jumlah anak mereka) hidup dalam lingkungan ekonomi yang bisa
dinamakan ekonomi rumah tangga (Benyamin White dalam Koentjaraningrat,
1997 : 145).
Sekalipun pengaruh kemiskinan sangat besar terhadap anak anak,
kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh. Faktor lainnya adalah
pola fikir yang pendek dan sederhana akibat rendahnya pendidikan. Dalam budaya
Indonesia, kepala rumah tangga terutama seorang ayah mempunyai peranan yang
sangat besar dalam rumah tangga, termasuk dalam hal menentukan boleh atau
tidaknya anak melanjutkan sekolah. Untuk mengambil keputusan tersebut tentu
Dalam pergaulannya sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun di
tempat doorsmeer, Jamal dan temannya terbiasa menggunakan bahasa-bahasa
slang atau bahasa-bahasa yang menjurus ke kasar seperti :
Tabel 7 : Kata-Kata Slang Dan Kasar Yang Sering Dipakai Anak-Anak Kelurahan Tanjung Mulia Hilir
Kata-Kata Slang Arti Dalam Bahasa Indonesia
Mana bos ? Kemana ?
Santing la dulu Meminta berbagi rokok
Pakdul (Pake Dulu) Meminjam uang
Kimak Ungkapan yang menjurus ke kata kasar
untuk mengumpat
Mana anjeng (mana anjing) Untuk bertanya kepada temannya
Pompa Menghisap sabu
Abis bius Kondisi dimana seseorang sudah
kehabisan efek dari narkoba atau lem
Sporing Kabur dari rumah
GL (goyang lemari) Kondisi dimana seseorang sudah tidak
punya uang dan bermaksud untuk
mencuri uang orangtuanya
Sumber : Analisis Data Lapangan
Penggunaan kata-kata slang ini sudah biasa dikalangan anak-anak remaja
di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir dalam bergaul. Slang berasal dari kata Slang
atau Slanguage. Istilah ini pertama kali digunakan di Inggris pada pertengahan
abad ke-18. Slang merupakan bahasa yang datang dari kelas sosial terendah dalam
masyarakat, yang dianggap sebagai bahasa kasar , vulgar dan tidak berpendidikan.
Slang terbentuk dari upaya menghadirkan kata lama dengan makna yang baru agar
slang, siapa yang berbicara tidaklah penting, melainkan kesepakatan dan
pemahaman antar individulah yang memegang kendali. Status Slang sebagai
kelompok bahasa terendah cenderung berjuang untuk mendapatkan status yang
lebih formal atau ingin lebih diakui keberadaannya di masyarakat.
Perbedaan bahasa Inggris Slang dan bahasa Inggris standar diantaranya
terletak pada diterima atau tidaknya bahasa tersebut oleh masyarakat bahasa dan
lebih kepada statusnya dalam masyarakat bahasa, selain itu menurut Fasold
(1984:195) mengatakan perbedaan utama antara bahasa formal bahasa Inggris
standar/ dengan bahasa slang adalah dalam perbedaharaan kata.
Jamal dan teman-temannya mengaku sudah terbiasa memakai kata-kata
slang dan kasar semenjak kecil. Lingkungan yang keras dan juga pemakaian
kata-kata kasar menjadi sesuatu yang setiap hari didengar mereka semasa kecil. Jamal
pun tidak merasa risi bila menggunakan kata-kata slang dan kasar seperti itu,
menurutnya kata-kata tersebut adalah kata-kata dalam pergaulan dirinya dan
teman-temannya.
“ . . . dari mulai kecil bang uda terbiasa dengar omongan-omongan yang kayak gitu, jadinya tebawa-bawa sampe sekarang. Kan gak mungkin la kami pake bahasa yang bagus waktu ngumpul, nanti dipikir sok pula sama kawan . . .”
Menurut Marzali (Spradley, 1997) bahwa penanaman nilai-nilai budaya
pada anak bukan hanya sekedar merawat dan mengawasi saja melainkan lebih dari
itu yaitu meliputi pendidikan, sopan santun, tanggung jawab, mandiri, dan
yang diberikan orangtuanya. Hampir seluruh aktivitas yang dilakukan manusia
dalam kehidupannya adalah dari proses belajar, walaupun ada sebagian kecil
aktivitas yang merupakan gerakan reflek dan bukan kegiatan belajar. Biasanya
gerakan reflek tersebut terjadi secara tiba-tiba di bawah kendali dari manusia itu
sendiri.
Lebih lanjut Spradley menjelaskan bahwa kebudayaan sebagai suatu
sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar yang kemudian
mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka sekaligus
untuk menusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.
Jamal merupakan seorang anak yang memakai bahasa slang dan kasar dalam
sehari-harinya, dimana kebiasaan tersebut didapat dari lingkungan tempat
tinggalnya.
Carl Sandburg (dalam Suwito 1983-1967) “Slang is a language that takes
off its coat, spits on its hands and goes to work”. Slang dinyatakan sebagai bahasa
yang tidak memandang siapa pembicaranya dan datang dari latarbelakang
masyarakat apa, jadi slang bebas digunakan oleh siapa saja.
Pei dan Gaynor menjelaskan:
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa slang merupakan bahasa
yang datang dari kelas sosial yang rendah, yang dianggap sebagai bahasa yang
kasar, vulgar, dan tidak berpendidikan yang terbentuk dari upaya untuk
menghadirkan kata lama dengan makna baru yang berasal dari kesepakatan dan
pemahaman antar individu yang memegang kendali. Penggunaan bahasa ini juga
sering diucapkan disekolah, karena menurut Jamal hampir semua teman
sekolahnya sama-sama berasal dari lingkungan yang sama.
Jamal menceritakan awalnya dirinya sudah tidak mau lagi melanjutkan
sekolahnya setelah tamat SMP. Karena menurutnya sekolah merupakan kegiatan
yang membosankan dan juga membuang-buang waktu. Namun, dirinya harus
melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya karena desakan dari orangtua
dan kakak-kakaknya.
Awalnya Jamal ingin bersekolah di SMA saja karena menurutnya akan
lebih menyenangkan jika bersekolah ditempat yang banyak perempuannya.
Namun, orangtuanya memaksa agar dirinya masuk ke Sekolah Teknik Mesin
(STM) agar kelak bisa lebih mudah melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik.
“ . . . pertamanya aku maunya di SMA bang, karena banyak ceweknya. Cuman bosku asik maksa aku buat sekolah di STM. Katanya biar gampang nanti dimasukin abangku kerja pabrik. Ya terpaksa lah aku turutin bang . . .”
Jamal tidak dapat menolak keinginan orangtuanya tersebut, lagi pula
hampir seluruh anak-anak dilingkungannya bersekolah di STM. Sebagaimana
diketahui rata-rata anak laki-laki di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir bersekolah di
bersekolah di STM maka akan lebih mudah melamar pekerjaan sebagai buruh
pabrik.
Hal yang terjadi ti Kelurahan Tanjung Mulia Hilir saat ini adalah orangtua
membuat semacam klaster atau dinding terhadap pendidikan anaknya, agar setelah
tamat dapat bekerja menjadi buruh pabrik seperti orangtuanya. Pada masyarakat
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir pekerjaan sebagai buruh pabrik adalah lebih baik
dibandingkan berdagang makanan atau wiraswasta lainnya. Bahkan pekerjaan
sebagai buruh pabrik terkesan diturunkan orangtua kepada anak-anaknya.
Orangtua menggunakan posisinya sebagai orang lama di pabrik tersebut
untuk memudahkan anaknya kelak masuk di pabrik tersebut. Seperti pengakuan
Jamal ketika pertama kali masuk ke STM :
“ . . . dulu bos bilang masuk aja kau ke STM, kalau SMA susah buat kerja pabrik. Nanti kalau kau uda tamat sekolah biar bapak masukkan kau ke pabrik tempat kerja bapak. Kek gitu bang dibilang bos, ya awak mana la bisa ngebantah . . .”
Pembatasan seperti ini sangat lah miris apabila masih terjadi pada zaman
yang sangat canggih seperti sekarang ini. Sekalipun pengaruh kemiskinan sangat
besar terhadap anak anak, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang
berpengaruh. Faktor lainnya adalah pola fikir yang pendek dan sederhana akibat
rendahnya pendidikan. Dalam budaya Indonesia, kepala rumah tangga terutama
seorang ayah mempunyai peranan yang sangat besar dalam rumah tangga,
Untuk mengambil keputusan tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh pandangan
orangtua terhadap pendidikan.
Sekolah merupakan kebutuhan setiap orang. Oleh karenanya investasi
masyarakat semakin banyak di tanam di sekolah..Dalam hal ini Dimyati Mahmud
(Amalia, 2009) mengatakan bahwa sekolah meraih dua tujuan yaitu (1)
tujuan-tujuan yang menitikberatkan pada aspek individual, yaitu mengembangkan anak
didik secara optimal agar kelak menjadi pribadi yang bebas dan pandai,
memikirkan secra merencakan kehidupan yang lebih baik; (2) tujuan yang
menakankan pada aspek sosial yakni memindahkan warisan-warisan budaya yang
penting untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup serta kehidupan bersama. Dua
tujuan ini nampaknya berorienatasi agar anak kelak menjadi waarga Negara yang
mengabdi kepada masyarakat.
Namun, sayangnya pendapat Amalia tersebut seolah terpatahkan dengan
kasus-kasus yang terjadi di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Masyarakat di
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir selalu dihadapkan kepada pilihan-pilahan yang
kritis menganai pekerjaan. Ketika anda memiliki pekerjaan yang jelas tentu hidup
anda akan jelas. Hal itu lah yang melatarbelakangi pilihan yang diambil oleh
orangtua di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir seperti orangtua Jamal. Peneliti sadar
bahwa pilihan orangtuanya untuk menyekolahkan anaknya di STM agar bisa
menjadi buruh pabrik adalah pilihan rasional bagi para orangtua.
Bila dilihat dari diagram kekerabatannya, pola pekerjaan sebagai buruh di
keluarga Jamal sudah terjadi di mulai dari sang ayah yang bekerja sebagai buruh
berasal dari persilangan antara suku Aceh (ayah) dan Jawa (ibu) maka
keluarganya memakai sistem kekerabatan patrilineal atau garis keturunan menurut
sang ayah. Selengkapnya dalam gambar berikut ini :
Gambar 3: Diagram Kekerabatan Keluarga Jamal
1 2
3 4 5 6 7 8. ego
Sumber : Analisis Data Lapangan
1. Ayah dari ego. Saat ini masih aktif bekerja di pabrik dan juga berjualan es
cendol. Lulusan SMP.
2. Ibu dari ego. Ibu rumah tangga. Lulusan SMA
3. Abang pertama dari Ego. Saat ini bekerja sebagai buruh las besi di pabrik
besi. Lulusan SMP.
4. Abang kedua dari Ego. Saat ini bekerja di perusahaan pengolahan karet.
Berasal dari SMP.
5. Kakak dari ego. Saat ini bekerja di pabrik pengolahan kayu. Tamatan SMP.
6. Abang ke tiga dari ego. Saat ini bekerja di pabrik minuman. Tamatan SMP.
7. Abang keempat dari ego. Saat ini bekerja di pabrik roti di Kawasan
Industri Medan (KIM). Tamatan SMP.
8. Ego. Saat ini selain menjadi pelajar juga bekerja di tempat pencucian
Bisa dikatakan di keluarga Jamal memang memang memiliki kebiasaan
untuk bekerja menjadi buruh pabrik. Hal ini terlihat dari diagram kekerabatan
yang menunjukan keluarga dari ego (Jamal) seluruhnya bekerja menjadi buruh
pabrik, kecuali ibunya. Hal yang sama juga terjadi pada pilihan untuk menentukan
sekolah, dalam hal ini seluruh anggota keluarga Jamal memilih untuk bersekolah
di SMK daripada harus memilih bersekolah di SMA.
Peneliti memang tidak menyalahkan orangtua untuk memiliki pandangan
seperti itu terhadap duni pendidikan. Terlebih lagi Jamal merupakan anak yang
berasal dari keluarga yang pas-pasan sehingga akan sulit untuk mendapatkan
akses pendidikan yang lebih baik, ditambah lagi dengan lingkungannya. Keluarga
atau orangtua yang serba kekurangan tentunya sangat mempengaruhi akan pola
fikir tentang pendidikan anak-anaknya. Menurut Fauzul Amin (2012) ada
beberapa alasan yang menyebabkan orang miskin enggan menyekolahkan
anak-anak mereka, yaitu :
1. Keyakinan yang salah tentang sekolah: boleh dibilang banyak orang
miskin memiliki sebuah keyakinan bahwa sekolah merupakan lembaga
pendidikan yang hanya boleh diisi oleh anak dari keluarga berduit,
anak-anak yang pintar. Sedangkan mereka orang miskin merasa bahwa mereka tidak
memiliki uang serta anak-anak mereka bodoh sehingga mereka akhirnya enggan
menyekolahkan anak-anaknya.
2. Kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang dunia pendidikan. Harus
diakui bahwa faktor kurangnya informasi mengenai dunia pendidikan
miskin masih dianggap sebagai kebutuhan tersier (istimewa) yang tidak harus
dipenuhi saat ini. Padahal kalau mau jujur pendidikan sama pentingnya dengan
kebutuhan primer manusia seperti makan, minum, sandang dan papan. Bahkan
bisa dikatakan pendidikan merupakan kunci sukses manusia untuk bisa makan,
minum, memiliki sandang dan juga papan.
3. Anggapan salah tentang sekolah. Selama ini ada anggapan yang salah
dari orang miskin tentang sekolah, mereka mengganggap bahwa sekolah itu mahal
dan tidak bisa terjangkau oleh orang-orang miskin. Anggapan bahwa sekolah
mahal memang tak salah, tetapi menjadi salah apabila mereka merasa bahwa
sekolah tidak bisa dijangkau oleh mereka adalah keliru. Karena saat ini telah ada
berbagai program beasiswa dari pemerintah, lembaga swasta, lsm dan lain
sebagainya bagi anak-anak dari keluarga miskin, apalagi bagi anak-anak yang
memiliki prestasi. Jadi ada baiknya jika anggapan salah tentang sekolah harus di
buang jauh-jauh. Sudah jelas sekolah adalah tempat belajar semua orang baik
yang miskin ataupun kaya punya hak yang sama untuk bersekolah.
4. Sikap mudah putus asa pada keadaan. Satu hal yang menjadi kebiasaan
dari orang miskin adalah terlalu pasrah (putus asa) terhadap keadaan. Sikap ini
pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak anak-anak orang miskin
yang tidak bersekolah. Mereka lebih banyak menerima keadaan bahwa orang
miskin hanya memiliki kewajiban untuk mencari nafkah untuk makan bukan
untuk memiliki pendidikan.
5. Terbawa lingkungan. Biasanya orang miskin akan menjalani kehidupan
jarang berpendidikan, maka besar kemungkinan anak-anaknya juga tidak akan
berpendidikan. Kondisi semacam itu hampir terjadi dilinkungan masyarakat
miskin, jikapun ada keluarga miskin yang menyekolahkan anaknya hanya satu dua
orang saja. Mereka lebih suka menikmati kehidupan sebagaimana kehidupan
masyarakat miskin lainnya yang tidak menyekolahkan anak-anaknya dan lebih
merasa nyaman jika anak-anaknya membantu mencari nafkah keluarga.
3.3. Wawan : Mahasiswa Yang Merasa Asing Di Lingkungannya
Informan ketiga peneliti dalam penelitian ini adalah seorang mahasiswa
Semester 3 yang bernama Adi Irawan atau yang biasa dipanggil Wawan. Saat ini
Wawan berusia 20 tahun dan sedang kuliah di salah satu Universitas Swasta di
Kota Medan dengan mengambil jurusan Hukum. Wawan merupakan anak kedua
dari tiga bersaudara, dimana kakak perempuannya saat ini bekerja sebagai guru di
Sekolah Madrasah di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Sementara itu adik
perempuan Wawan saat ini masih berada di kelas VIII bangku SMP.
Ayah Wawan merupakan seorang yang pekerja keras dimana pada malam
hari ayah Wawan bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik pengolahan kayu di
Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, sementara pada siang harinya ayah Wawan akan
berjualan es cendol untuk mencari pendapatan tambahan. Ibu Wawan adalah
seorang ibu rumah tangga, fokus pada aktifitas mengurus rumah dan
mempersiapkan dagangan yang akan dijual oleh suaminya. Ayah Wawan hanya
bisa menamatkan pendidikannya sebatas Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Wawan dan keluarganya tinggal di Jalan Kawat V Kelurahan Tanjung
Mulia Hilir. Seperti biasa kehidupan mereka tidak jauh dari kata “buruh” dan
“pabrik”. Dalam pergaulannya sehari-hari Wawan memiliki banyak teman sebaya
di lingkungan tempatnya tinggal. Namun, semuanya saat ini telah lulus sekolah
dan bekerja sebagai buruh pabrik ataupun bekerja sebagai kuli bangunan. Wawan
yang merupakan seorang mahasiswa mengaku semenjak tamat sekolah sudah
jarang bergaul dengan teman sebayanya. Hal ini terjadi lantaran
teman-teman sebayanya sudah sibuk bekerja, sementara Wawan sehari-harinya sibuk
membantu orangtuanya dan kuliah.
Dalam hubungan dengan lingkungan tempatnya tinggal akhir-akhir ini
banyak hal yang membuat Wawan sedikit tidak nyaman. Hal tersebut adalah
tanggapan teman-teman dan juga tetangganya yang melihat statusnya sebagai
mahasiswa. Sebagai gambaran, di lingkungan Kawat V bisa dihitung dengan jari
siapa saja orang yang menjadi mahasiswa, sementara sisanya merupakan pekerja,
walaupun masih dalam usia pendidikan. Sehingga timbul keadaan dimana
lingkungan sosial Wawan kurang menyukai dirinya karena berbeda dengan
mereka. Rasa tidak suka tersebut terkadang ditunjukan langsung kepada dirinya,
maupun kepada orangtuanya ketika berbincang-bincang dengan tetangga.
Tidak sedikit tetangga yang menyindir dirinya dengan kata-kata
“pengangguran terselubung” kemudian “hanya menghabiskan uang orangtua” dan
juga kata-kata sindiran lainnya. Hal seperti ini menurutnya sangat lumrah terjadi
di tempatnya tinggalnya, sebab teman-teman dan tetangganya yang lain tidak suka
“ . . . kadang kalau aku lagi duduk-duduk sama kawanku di dekat rumah, ada aja itu nanti yang nyindir aku pengangguran abis itu dibilang kuliah cuman ngabisin duit orangtua lah, banyak lah pokoknya. Jadi udah biasa lah ngadepin orang-orang yang kayak gitu. Lagian kan orang itu nyindir-nyindir karena enggak suka kalau ada orang yang lebih maju daripada orang itu . . .”
Wawan menceritakan bahwa dirinya dulu memutuskan untuk kuliah
karena melihat keadaan lingkungan sosial yang menurutnya sudah semakin buruk.
Anak-anak di lingkungannya sudah banyak yang terjerumus ke dunia narkoba,
menjadi pencuri dan hal buruk lainnya karena mengabaikan pendidikan. Sering
sekali menurutnya anak-anak di lingkungannya menganggap remeh pendidikan
dan menganggap pendidikan hanya sarat formal saja untuk bisa melamar kerja.
Senada dengan dirinya, orangtua Wawan juga mendukung keinginan
anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Ayah Wawan yang
bekerja sebagai buruh pabrik sadar bahwa keadaan keluarganya tidak akan pernah
berubah, bila tidak mencoba keluar dari cara berfikir sempit dimana menjadi
buruh adalah satu-satunya pilihan pekerjaan. Orangtua Wawan berharap agar
anaknya kelak tidak ada lagi yang menjadi buruh pabrik.
Wawan merupakan tamatan dari Sekolah Teknik Mesin (STM) swasta
yang ada di daerah Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Wawan memang sedikit
berbeda dengan taman-temannya, semenjak di bangku STM Wawan sudah
memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dirinya juga
sedikit membatasi pergaulannya dengan teman-temannya ketika masih STM. Hal
pergaulan yang buruk seperti merokok, cabut sekolah, memakai narkoba dan juga
tindakan agresi lainnya.
“ . . . dulu waktu masih di STM agak aku jaga juga lah pergaulan sama kawan-kawan. Karena kadang orang itu cuman tiga kali seminggu sekolah, uda gitu pake narkoba lagi. Jadi harus dijaga betul lah pergaulan waktu di STM, karena kan satu kelas laki-laki semua . . .”
Pergaulan dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari keluarga
buruh pabrik membuat Wawan sempat terpengaruh untuk bekerja sebagai buruh
pabrik. Wawan menceritakan bahwa ketika tamat sekolah dirinya sempat bekerja
di pabrik pengolahan karet di salah satu pabrik di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir.
Dengan gaji Rp.1.750.000/bulan Wawan dan kedua orang temannya yang
sama-sama baru tamat sekolah mecoba peruntungan di pabrik tersebut. Namun, jam
kerja yang panjang serta pekerjaan yang sangat berat membuat Wawan berhenti
setelah dua bulan bekerja di pabrik tersebut. Pengalaman beratnya bekerja di
pabrik tersebut membuat Wawan sadar bahwa dirinya tidak akan mampu bertahan
apabila tetap bekerja menjadi buruh pabrik.
Wawan bercerita bahwa orangtuanya memberikan kesempatan kepadanya
untuk menentukan masa depannya sendiri. Apakah ingin lanjut kuliah ataupun
langsung bekerja, masing-masing tidak ada paksaan diberikan oleh orangtuanya.
Orangtua Wawan bahkan menyambut baik keputusan Wawan untuk berhenti
bekerja dan mencoba untuk kuliah. Dukungan juga diberikan oleh kakak Wawan
Pada masa awal kuliahnya banyak sekali teman-teman Wawan yang
mengejek Wawan karena lebih memilih kuliah daripada bekerja. Hal tersebut
terjadi menurut Wawan karena sedikitnya pengetahuan teman-temannya tentang
dunia kuliah. Tidak jarang teman-temannya menyarankan agar Wawan berhenti
kuliah saja dan menjanjikan kepada Wawan untuk dapat bekerja di tempat mereka
bekerja. Wawan sadar bahwa dirinya saat ini belum ada apa-apanya dari segi
materi dibandingkan dengan teman-temannya yang sudah bekerja.
Seringkali teman-teman sepergaulannya memamerkan sepeda motor baru
milik mereka kepada Wawan. Walaupun hampir bisa dipastikan sepeda motor
yang mereka beli tersebut masi dalam masa keredit, namun teman-teman Wawan
tidak ragu menunjukannya kepada Wawan. Walaupun dirinya saat ini bukan
apa-apa, namun Wawan tahu ketika dirinya tamat kuliah kelak dia akan bisa
melampaui apa yang sudah didapat teman-temannya dalam sekejap.
“ . . . sering itu bang kawan-kawan mamerkan kereta yang baru dibeli orang itu. Ditunjukannya lah sama ku keretanya yang masih keredit itu sama ku. Ya untuk sekrang memang aku enggak ada apa-apanya, tapi kalau udah tamat kuliah abis itu uda kerja aku nanti, yakin aku pasti bisa ngelebihin orang itu semua . . .”
Tekat kuat yang ditunjukan oleh Wawan tersebut memang merupakan
suatu refleksi, dari beberapa orang yang mencoba untuk keluar dari pakem yang
telah ada dilingkungan Kelurahan Tanjung Mulia Hilir. Adanya semacam
invisible power di tengah masyarakat yang seolah memaksa anak-anak yang baru
tamat sekolah untuk menjadi buruh pabrik, membuat sebagian orang yang
adanya sarjana yang juga menjadi buruh ataupun pengangguran. Menurutnya hal
tersebut bukan lah salah pendidikannya, tetapi salah dari orangnya yang tidak mau
berusaha. Wawan sadar bahwa sarjana memang bukan lah jaminan untuk dirinya
bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari teman-temannya. Namun, menurutnya
pendidikan setidaknya merubah pandangannya mengenai dunia yang luas ini.
“ . . . ya kalau ada sarjana yang jadi pengangguran atau jadi buruh pabrik juga ya itu salah dial ah bang. Kalau pendidikannya kan hanya memberikan pengetahuan yang lebih untuk dia supaya bisa nyari kesempatan yang lebih baik. Tapi kalau ujung-ujungnya jadi pengangguran juga ya uda pasti itu salah dia. Kalau aku enggak ngerasa pesimis dengan aku kuliah ini, paling enggak cara berfikir aku udah lebih luas dari orang yang ada di tempat ku tinggal ini . . .”
Bila dilihat dari diagram kekerabatannya, perubahan di keluarga Wawan
sudah terjadi di mulai dari kakak Wawan yang bekerja sebagai guru. Karena
keluarga Wawan merupakan keluarga yang berasal dari persilangan antara suku
Melayu (ayah) dan Jawa (ibu) maka keluarganya memakai sistem kekerabatan
patrilineal atau garis keturunan menurut sang ayah. Selengkapnya dalam gambar
berikut ini :
Gambar 4: Diagram Kekerabatan Keluarga Wawan.
3 4 5 6 7
8 9. ego 10
Sumber : Analisis Data Lapangan
Keterangan gambar :
1. Ayah dari ayahnya ego. Saat ini sudah meninggal, dahulu bekerja sebagai
buruh di pabrik triplek.
2. Ibu dari ayahnya ego. Saat ini sudah tidak bekerja lagi, dahulu bekerja di
pabrik triplek. Hanya menamatkan sekolah sampai di bangku SD.
3. Ayah dari ego. Saat ini masih aktif bekerja di pabrik dan juga berjualan es
cendol. Lulusan SMP.
4. Ibu dari ego. Ibu rumah tangga. Lulusan SMA
5. Adik laki-laki dari ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik pengelolahan
karet. Lulusan SMK jurusan teknik industri.
6. isteri dari adik laki-laki ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik sabun di
Kawasan Industri Medan. Lulusan SMK.
7. Adik dari ayahnya ego. Saat ini bekerja di pabrik yang sama dengan ego.