Masyarakat pendukung wayang khususnya masyarakat Jawa mengenal dan mengerti wayang bahkan banyak memahami serta menghayatinya. Ada pula sebagian pendukung pewayangan atau budayawan yang mengatakan bahwa memahami pertunjukan wayang berarti dapat mengenali kehidupannya sendiri.
Lakon-lakon wayang yang ditampilkan seolah-olah menggambarkan kehidupan manusia sendiri. Tidak jarang dalam kehidupan, mereka mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin pada karakter tokoh-tokoh wayang untuk melakukan perbuatan dalam kehidupan. Pertunjukan wayang kulit bukan sekadar tontonan dan pencerahan belaka, melainkan menjadi pemberi makna dalam kehidupan. Oleh sebab itu, wayang tetap terpeliharadi tengah commit to user
masyarakat Jawa dan dipentaskan dalam berbagai upacara, seperti upacara perkawinan, khitanan, ulang tahun, ruwatan, bersih desa, sedekah laut, dan sebagainya.
Pertunjukan wayang kulit sering dipandang sebagai bahasa simbol dari kehidupan yang bersifat rohaniah daripada lahiriah. Masyarakat pendukung pewayangan menyadari bahwa pertunjukan wayang mengandung konsepsi dan tidak jarang digunakan sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok masyarakat tertentu. Konsepsi-konsepsi tersirat dalam pergelaran wayang, sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Khalik-Nya, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alamnya. Pertunjukan wayang kulit merupakan sumber nilai bilamana sajiannya dapat mengungkapkan isi secara artistik-estetik. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang merupakan nilai esensial dalam kehidupan manusia dengan harapan bahwa nilai itu dapat diresapi serta diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertunjukan wayang kulit purwa yang mengambil cerita dari Mahabarata bukan bernilai historis, melainkan lebih bernilai etis (Soetarno, 2011:50).
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa tetap hidup dalam era globalisasi karena tidak hanya aspek estetis visualnya saja, tetapi juga dibalik pertunjukan wayang terkandung makna yang dalam sehingga bagi masyarakat Jawa berfungsi sebagai tontonan, tuntunan, dan tatanan. Tahun 2003 wayang kulit purwa Jawa mendapat pengakuan UNESCO sebagai karya agung dunia yang nonbendawi.
Dengan demikian, dalam pertunjukan wayang tidak hanya diperhatikan penampilan luar atau visualnya saja, tetapi juga yang paling hakiki adalah nilai–
nilai yang tersirat atau tersurat dalam pertunjukan wayang disampaikan oleh dalang dan seberapa jauh nilai-nilai itu dapat ditangkap penonton atau penghayat.
Nilai-nilai itu bilamana dapat dihayati maka terjadilah komunikasi sambung rasa antara penonton dan penyaji (dalang). Selanjutnya, terjadilah komunikasi estetis yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia yang pada giliranya akan meningkatkan kualitas hidup serta memperkaya pengalaman jiwa, memperluas persepsi, serta meningkatkan kedewasaannya. commit to user
Asal mula pertunjukan wayang kulit menurut data sejarah telah ada sejak abad ke-11 Masehi pada zaman Airlangga seperti tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha bait ke: 59 sebagai berikut.
“Hanânonton ringgit manangis asěkěl mudha hiděpan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresnèng wisaya malahâ tan wihikana tatwan yan mâyâ sahana-haning bhâwa siluman”
(Soetarno dkk, 2007:25).
Terjemahan:
‟Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Mereka tidak mengerti Semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semau saja‟.
Pertunjukan wayang diperkirakan telah ada sejak masa Jawa Kuna (tahun 908 M) pada pemerintahan Raja Dyah Balitung dari kerajaan Mataram Kuna seperti tersurat dalam isi Prasasti Wukajana sebagai berikut.
“hinyunakěn tontonan mamidu sang tangkil hyang Sintaalu macarita bhima kumara mangigěl kicaka si jaluk macarita Ramayana mamirus mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buatt hyang macarita ya kumara…”(Haryono, 2006: 177-178).
Terjemahan:
‟Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil hyang si Nalu bercerita Bhima kumara dan menarikan Kicaka. Si Jaluk bercerita Ramawijaya, menari topeng dan melawak oleh si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk hyang (arwah nenek moyang) dengan cerita BhimaKumara‟.
Pertunjukan wayang sebagian masyarakat Jawa disebut dengan istilah pakêliran. Pertunjukan wayang tidak hanya sebagai seni pertunjukan semalam, tetapi juga luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani berbagai kepentingan masyarakat, seperti peringatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau kepercayaan);
peringatan hari-hari besar kenegaraan atau keagamaan; untuk kepentingan sosial;
untuk sarana pencapaian ide-ide dan pesan pemerintah atau kelompok masyarakat; commit to user
untuk tontonan dan tuntunan. Kelenturannya menyebabkan kehidupan wayang kulit di Jawa selalu mendapat tempat di hati masyarakat. Adapun pesan-pesan yang terkandung dalam setiap pertunjukan wayang kulit semalam adalah hal yang sangat penting dalam inti cerita.
Pesan-pesan yang disampaikan mulai dari awal sebuah cerita (lakon) wayang biasa disebut dengan jejer. Struktur adegan atau bangunan lakon pertunjukan wayang purwa (wayang kulit) semalam dibagi menjadi tiga babak atau tiga pathet: pathet nem mulai pukul 21.00 s.d. 24.00; pathet sanga mulai pukul 24.00 s.d 03.00; dan pathet manyura mulai pukul 03.00 s.d 6.00. Jejer berupa adegan-adegan yang mencerminkan perjalanan hidup manusia dari awal hingga akhir hayatnya. Pathet nemmulai pukul 21.00 s.d. 24.00meliputi jejer, gapuran, adegan kedhatonan. adegan paseban jawi, budhalan, kapalan, perang ampyak; adegan sabrang, perang gagal. Pathet sanga yang dimulai pukul 24.00 s.d 03.00 meliputi adegan pendhita, gara-gara, perang kembang, adegan sintren jika ada perang dinamakan perang begalan. Pathet manyura dimulai pukul 03.00 s.d 05.00 pagi yang meliputi adegan manyura jika terdapat perang dinamakan perangbrubuh,perang amuk-amukan, tayungan.adeg tancep kayon, dan golekan(Soetarno, 2007:49). Dengan demikian, masing-masing jejer mempunyai kecocokan yang efektif untuk pesan tertentu.
Keberhasilan dalang dalam menyampaikan pesan-pesan didukung oleh cara dan bentuk pengkomunikasian yang populer dengan daya tangkap masyarakat.Tingkat sosial masyarakat/ penonton wayang dan frekuensi menonton atau mendengarkan wayang kulit mempengaruhi sikap kondusif masyarakat terhadap pesan-pesan yang disampaikan (Waluyo,1994:215). Selanjutnya dijelaskan bahwa adegan gara-gara dianggap oleh para dalang sebagai adegan yang paling bebas untuk membicarakan apa saja, baik pesan yang bersifat informasi maupun kritik sosial. Demikian pula pesan-pesan pembangunan yang disampaikan melalui adegan gara-gara tidak merusak keindahan ataupun tidak merusak pakem. Yang dimaksud dengan pakem berisi cerita, pedoman yang berisi perbendaharaan cerita pewayangan, baik yang dipakai sebagai sumber ataupun sebagai pedoman bagi para dalang dalam mempergelarkan wayang. commit to user
Adegan yang menegangkan sekaligus mengharuskanadalah penggambaranan salah satu realitas liku-liku kehidupan yang ada dalam setiap masyarakat dari dahulu, sekarang, dan masa datang. Seorang dalang dengan cara dan gayanya sendiri berusaha memikat hati para penontonnya dengan menampilkan tragedi, komedi, dan tragikomedi. Ada adegan cinta yang menghanyutkan, ada dilema sosial-politik yang berat dan rumit, dan ada pula adegan riang yang memesona, atau lawakan lucu yang menyegarkan. Banyak santapan yang bersifat psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis, dan etis yang sengaja diramu dalam berbagai adegan oleh sang dalang dengan menggunakan lambang-lambang dalam bentuk kata dan gerak. Penonton berhak memberikan interprestasi masing-masingsesuai dengan sikap dan pandangan, pengalaman, kemampuan, dan tingkat intelektual yang mewarnai pribadinya.
Demikian pula pesan-pesan sosial dan moral, termasuk pembangunan yang disampaikan dalang melalui lambang, mengajak penonton memberikan maknanya sendiri.
b. Perlengkapan dan Pelaku Pertunjukan Wayang
Pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta memerlukan beberapa perlengkapan, yakni seperangkat gamelan slendro dan pelog. Instrumennya terdiri dari gender, kendang, rebab, slentem, demung, saron barung, saron penerus, siter, seruling, ketuk, kenong, kempul, gong, gambang, bonangbarung,dan bonang penerus. Selain itu, untuk keperluan pertunjukan juga diperlukan gawangan kêlir untuk merentangkan layar (kêlir) dan kothak wayang yang berfungsi untuk menyimpan wayang serta menimbulkan efek bunyi (dhodhogan kothak). Kothak wayang berisi wayang kulit yangberjumlah kurang lebih 200 buah wayang. Ketika pertunjukan berlangsung, sebagian figur wayang dalam kotak dikeluarkan dan ditancapkan di kanan-kiri layar (kêlir) yang terlentang atau istilahnya wayang disimping di kanan-kiri ditancapkan pada gêdêbog atau batang pisang. Sementara itu, sebagian figur berada dalam kotak untuk dimainkan dalang. Perlengkapan lain adalah kêpyak atau kêprak yang terbuat dari logam berjumlah tiga keping yang digantungkan pada kotak. Alat ini commit to user
berfungsi untuk menimbulkan suara yang digerakkan kaki dalang guna mengiringi gerak wayang. Demikian pula cêmpala,terbuat dari kayu asam dan merupakan alat untuk memukul kotak wayang sehingga menimbulkan suara guna mengiringi sulukan atau nyanyian dalang serta gerak wayang.
Berhasil dan tidaknya pertunjukan wayang disamping kemampuan dan kreativitas dalang yang tinggi, juga ditentukan pesindhen pemain gamelan (pengrawit), dan penggerong yang mengiringi pergelaran wayang. Pada era sekarang, persiapan pementasan dilakukan dengan latihan atau proses yang melibatkan dhalang, pengrawit, pesindhen, dan penggerong agar dalam pementasan dapat berhasil dan bermutu. Pertunjukan wayang kulit sajian Nartasabda maupun Purbo Asmoro tidak memasukkan pelawak, penyanyi, dan campursari.Mereka menggunakan gamelan laras slendro dan pelog lengkap seperti yang disebutkan di atas.
Pelaku pertunjukan wayang paling pokok adalah dalang. Kata dhalangberasal dari kata lang yang berarti „meloncat-loncat‟.Oleh sebab itu, seorang dalang dalam pertunjukan selalu berpindah-pindah dari kota ke kota lain.
Dalam pergelaran wayang kulit, dalang menempati kedudukan sentral, yakni bertanggung jawab terhadap seluruh pergelaran wayang, sebagai pemimpin musik/karawitan, sebagai sutradara, sebagai penyaji, sebagai pemimpin artistik, sebagai juru penerang, juru pendidik, juru penghibur, pendorong, dan inovator.
Dengan kata lain, seorang dalang pada pertunjukan wayang bertindak sebagai komunikator, dinamisator, inovator, fasilitator, dan emansipator. Tugas dalang paling tidak mencakup tiga fungsi. Pertama, dalang bertindak sebagai komunikator.Artinya, dalang bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan yang bersifat sosial, pendidikan, moral, serta spiritual. Kedua, dalang berfungsi sebagai inovator.Artinya, seorang dalangharus dapat menempatkan diri pada posisi yang tidak memihak pada salah satu norma tertentu. Selain itu, pedalangan yang dihasilkan diharapkan berwawasan ke depan, berorientasi masa sekarang, serta dapat memotivasi munculnya proses perubahan sosial. Ketiga,dalang bertindak sebagai emansipator. Artinya, seorang dalang dalam mempergelarkan wayang diharapkan dapat membantu mengantarkan penonton secara kelompok commit to user
atau Individu ke tingkat perkembangan kepribadian yang lebih tinggi, meningkatkan daya apresiasi seni pedalangan, dan meningkatan kepekaan rasa keindahan yang pada gilirannya akan memperluas persepsi, memperkaya pengalaman jiwa, dan mengubah perilakunya (Soetarno,dkk.,2007:29).
c.Fungsi Wayang di Tengah Masyarakat
Pertunjukan wayang sering dipandang sebagai simbol kehidupan yang bersifat rohaniah daripada lahiriah. Masyarakat pendukung wayang tidak bosan-bosan menyaksikan pertunjukan wayang walaupun cerita yang disajikan telah dinikmatinya berulang-ulang. Orang yang melihat wayang ingin mendapatkan pengalaman estetis yang memuaskan di samping hal-hal lain, seperti hiburan dan sebagainya. Isi atau pesan yang disampaikan tidak berwujud rumusan ilmiah, tetapi berwujud pesan mengimbau penonton yang pada gilirannya dapat memengaruhi perilaku manusia. Dunia wayang merupakan sumber nilai bilamana sajiannya dapat mengungkapkan isi secara artistik dan estetik.
Hasil-hasil penelitian maupun penulisan tentang wayang menginformasikan peranan wayang erat kaitannya dengan fungsi tontonan.
Sebagian besar wayang dipandang sebagai alat semata atau dipandang dari dimensi antropologis atau sosiologi dan belum dikaji dari dimensi kebahasaan, khususnya kajian pragmatik yang memfokuskan pada tindak tutur ekspresif dan tindak tutur direktifserta relevansinya dalam membentuk watak bangsa. Studi ini ingin mengkaji pertunjukan wayang, yakni lakon Karna Tandhing dan Dewaruci lakon sajian Nartasabda serta lakon Brubuh Ngalengka dan Rama Gandrung sajian Purbo Asmoro, khususnya pada adegan pathet sanga dan pathet manyura.
Nartasabda adalah seorang dalang tenar tahun 1959-1985. Sementara itu, Purba Asmoro adalah dalang tenar tahun 1995 sampai sekarang. Kedua dalang mewakili generasi tua dan generasi muda serta memiliki masyarakat pendukung yang berbeda. Di samping itu, kedua dalang memiliki sanggit dan garap pakeliran yang berbeda, tetapi wujud garapan wayangnya bermutu serta mendapat perhatian dari penonton hingga sekarang.
commit to user
d. Sumber Cerita dan Struktur Pertunjukan Wayang
Lakon yang dipergelarkan dalam pertunjukan wayang gaya Surakarta pada umumnya mengambil epos Ramayanadan Mahabarata. Kedua kitab Ramayanadan Mahabarata pada zaman Keraton Surakarta disadur kembali oleh Pujangga Keraton, yakni Yasadipura dan Ranggawarsita. Selanjutnya, karya sastra pedalangan itu dijadikan sumber lakon wayang kulit di Wilayah Surakarta. Serat Ramawijaya karya Yasadipura I, Serat Dewaruci karya Yasadipura I, dan Serat Pustaka Rajapurwa karya Ranggawarsita digunakan sebagai acuan dalam menyusun lakon wayang kulit. Objek material dalam penelitian ini adalah lakon Dewaruci termasuk lakon lebet, lakon Karna Tandhing termasuk lakon bratayuda dari siklus Pandawa dan lakon RamaGandrung, lakon Brubuh Ngalengka termasuk lakon bratayuda dari siklus Rama. (Soetarno dkk,2007:58).
Objek kajian penelitian mengambil pathet sanga dan pathet manyura karena kedua pathet penuh pemecahan permasalahan serta esensi lakon. Dalam pertunjukan wayang kulit semalam, dibagi menjadi tiga pathet atau tiga babak, bagian pathet nem berisi tentang masalah-masalah yang muncul dalam pokok cerita, sedangkan pathet sanga berisi pencapaian pesan moral dan petunjuk atau jalan pemecahan masalah. Selanjutnya, dalam pathet manyura berisi esensi cerita atau penyampaian pesan- pesan esensial dalam lakon yang ditampilkan.
e. Unsur-unsur Pertunjukan Wayang
Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa yang dalam jagad pedalangan disebut pakêliranmempunyai medium ganda. Perwujudannya merupakan kesatuan berbagai unsur yaitu:unsurlakon, catur, sabet, dan karawitan pakêliran.
Keempat unsur terpadu dan merupakan kesatuan yang utuh dan kental dalam sajian pakêliran. Lakon dalam dunia pedalangan mengandung beberapa pengertian. Pertama, lakon berarti tokoh utama dalam keseluruhan cerita wayang yang disajikan.Kedua, lakon dapat berarti alur cerita. Ketiga, lakon berarti menunjuk judul repertoar cerita yang disajikan dalam pertunjukan wayang dantercermin dalam pertanyaan lakone apa. Memaknai lakon wayang berasal dari pangkal kata lakuyang berarti „berjalan‟ atau „sesuatu peristiwa‟ (Sastroamidjojo, commit to user
1961:98). Dalam wayang kulit,lakon berarti rentetan peristiwa atau perjalanan cerita yang berkaitan dengan tokoh tertentu sebagai pelaku dalam pertunjukan wayang. Cerita wayang purwa biasanya akan memunculkan permasalahan dan konflik yang muncul pada adegan pathet nem. Petunjuk permasalahan terdapat pada pathet sangadanpenyelesain terdapat dalam pathet manyura.
Ginem (dialog) adalah wacana dalang dalam memerankan dialog tokoh wayang pada adegan tertentu sesuai karakter tokoh yang sedang ditampilkan.
Terdapat dua macam ginem. Pertama,ngudarasa(monolog) adalah tokoh yang berbicara dengan dirinya sendiri. Kedua, dialog adalah pembicaraan antara dua tokoh atau lebih dalam suatu adegan tertentu. Contoh ginem dalam adegan Ramawijaya dengan Sintaadalah sebagai berikut.
Ramawijaya:Yayi muskaraning pun kakang, nimas sayêktiné ing alas iki akèh kéwan ingkang manca warna, nanging miturut tuturé sira yayi déné ana kidang kok sêmuné nyalawadi.
Sinta: Pangéran kula dados garwa paduka kula dèrèng naté gadhah panyuwun, èdhêping tékad kula inggih namung sêpisan punika mugi kêparênga mituruti gungan kula.
Ramawijaya: Lesmana
Lesmana : Kula wontên dhawuh
Ramawijaya: Mara gagé tunggunên rêksanên jaganên mbakayumu yayi Rakyan Sinta, siadhi aja nganti lunga saka papan kéné, sakdurungepun kakang têka nggawa Kidang Kencana, Yayi.
(RGPA) Terjemahan:
Ramawijaya: „AdindaSinta yang saya cintai, di hutan banyak binatang yang beraneka macam, menurut penuturan Adinda Sinta ada kijang yang agak aneh‟.
Sinta: „Pangeran selama saya menjadi istrimu belum pernah minta sesuatu, hanya kali ini permintaan saya,esmoga kanda dapat mengkabulkan‟.
Ramawijaya:„DindaLesmana‟.
Lesmana:„Iya Kanda ada apa‟.
Ramawijaya:„Saya minta Adinda Lesmana menjaga Sinta, dan pesan saya jangan sampai dinggalkan tempat ini sebelum saya datang membawa kijang emas‟.
Catur pedalangan mencakup ginem (dialog), pocapan (narasi), dan janturan (deskripsi) yang mengandung tindak tutur ekspresifmaupuntindak tutur direktif. Sebagai contoh tuturan direktif dalam ginem (dialog) lakon Karna commit to user
Tandhing antara Hardawalika dengan Patih Kridamanggala adalah sebagai berikut.
Kridamanggala: Dhuh Gusti menawi keparêng andhahar atur kula prayogi kawurunga, kêparêng paduka ingkang makatên jer satriya Madukara menika kinasihing déwa kinêmulan para widadari, Sintaungga para brahmana.
Hardawalika: Embuh ora idhêp, nanging kiraku patih ora ngêrti karo kasêktènku. Mara gage sawangen mengko yen ana wujud dudu wujudku kowe aja kaget patih.
Terjemahan:
Kridamanggala:„Gusti saya minta keinginan membunuh kasatriya Madukara dibatalkan saja, sebab dia seorang kasatriya selalu dilindungi para dewa, bidadari, dan bidadara‟.
Hardawalika: „Tidak tahulah, namun sekiraku patih tudak tahu akan kesaktianku. Coba lihat nanti bilamana kamu melihat perwujudan jangan terkejut‟.
Isi atau esensi lakon wayang pada umumnya disampaikan lewat unsurcatur yang berdasarkan kaidah estetika pedalangan. Isi lakon disampaikan secara implisit melalui pesan-pesan yang berupa nilai-nilai kehidupan, seperti nilai religius, nilai moral, nilai kultural, nilai hedonistik dan sebagainya.
Pesan-pesan bilamana dapat ditangkap diharapkan dapat memengaruhi dan mengubah sikap atau perilaku penonton wayang. Pesan-pesan pada umumnya merupakan kearifan lokal yang tidak jarang secara implisit dan eksplisit tercermin dalam dialog.Pesan berupa kearifan lokal itu sangat relevan dengan kehidupan sekarang dalam rangka pendidikan karakter.
f. Pathet
Struktur lakon wayang kulit purwa Jawa gaya Surakarta menurut Sri Hastanto (1985) terdiri dari struktur bertingkat dan tingkatan yang dimaksud adalah pathet, dimulai dari pathet nem (awal atau pertama), pathet sanga (tengah atau kedua), dan diakhiri pathet manyura (akhir atau ketiga). Setiap pathet memiliki jangka waktu dan rangkaian adegan. Waktu berkaitan dengan lamanya sajian lakon, sedangkan adegan merupakan materi dramatik meliputi tempat, tokoh yang tampil, permasalahan dan suasana yang dihadirkan (Hastanto, 1985:
25).Pathet dalam pertunjukan wayang kulit bentuk semalam dipergunakan untuk commit to user
menandai adanya pergantian wilayah nada yang membingkai struktur lakon, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pathet nem kurang lebih jam 21.00 s.d jam 24.00; pathet sanga kurang lebih jam 24.00 s.d jam 03.00; dan pathet manyura kurang lebih jam 03.00 sampai dengan jam 06.00 (Soetarno,dkk.2007:59).
Adanya jalinan antara waktu dengan adegan tokoh wayang dapat diberikan contoh dalam pertunjukan wayang semalam: pathet nem atau bagian awal berisi adeganjejer, bedhol jejer, kedhatonan dan sebagainya; pathet sanga atau disebut bagian tengah (madya) berisi adegan gara-gara, alas-alasan, perang kembang dan sebagainya; dan pathet manyura atau bagian akhir (wusana) berisi adegan manyura, perang amuk-amukan, tayungan dan tancep kayon.