• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjuan Pustaka

Tujuanpustaka ini mengetengahkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh para peneliti yang memiliki relevansi dengan disertasi yang sedang dikerjakan. Hasil penelitian yang berupa buku yang telah diterbitkan, disertasi, atau tesis selengkap penuturya diuraikan di bawah ini.

Abdul Syukur Ibrahim. 1996. “Bentuk Direktif Bahasa Indonesia Kajian Etnografi Komunikasi.”Disertasi. Program Pascasarjana Univeristas Arilangga Surabaya. Bentuk Direktif Bahasa Indonesia (BDBI) belum banyak dikaji, khusus pemakaian BDBI dalam Interaksi Diadik Bersemuka (IDB )antara Camat dengan Kades di Kabupaten Malang. BDBI dapat menimbulkan Salah pemahaman terhadap apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang dilakukan mereka dalam IDB. Penelitian ini memperkaya teori-teori tindak tutur yang memiliki kaitan dengan tuturan langsung dan tidak langsung serta menambah cakrawala peneliti.

Kunjana Rahardi.2008. “Makna-makna Imperatif dalam Ranah Sosial: Kajian Sosiopragmatik”. Penelitian Hibah. ASMI Santa Maria Yogyakarta. Imperatif memiliki fungsi komunikatif yang sangat signifikan dalam komunikasi. Imperatif dipastikan selalu hadir dalam gradasi keseringan yang tinggi. Kajian ihwal makna imperatif di dalam ranah sosial ini menerapkan ancangan sosiopragmatik.Pelaksanaannya melibatkan delapan ranah sosial (social domain), yakni (1) pendidikan, (2) keagamaan, (3) kemasyarakatan, (4) media, (5) pemerintahan, (6) perkantoran, (7) keluarga, dan (8) transaksional bisnis. Tujuan pokok kajian ini adalah untuk memerikan atau mendeskripsikan makna-makna sosiopragmatik imperatif dalam ranah-ranah sosial tersebut. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman tentang model-model kajian linguistik dari dimensi sosiopragmatik sehingga menambah wawasan dan perspektif peneliti.

commit to user

(2)

Slamet Supriyadi. (2008) “Karikatur Karya GM Sudarta di Surat Kabar Kompas: Kajian Pragmatik”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.Karikatursebagai gambaran pengisi rubrik opini dapat menimbulkan emosi orang, rasa nasionalisme, rasa solidaritas, dan rasa kebencian.

Karikatur bisa mendidik, mengejek, menyindir, mengimbau, menyarankan, memerintahkan, menertawai, menghibur dengan kelucuan-kelucuan, menanggapi sesuatu peristiwa, dan lain-lain. Di dalam kerangka pragmatik, tuturan yang dipergunakan tersebut merupakan bentuk dari tindak tutur. Dalam komunikasi yang sesungguhnya, pemakaian tuturan tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguisti, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya nonlinguistik.

Penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan peneliti, yaknikajian pragmatik dengan objek material karikatur G.M. Sudarta. Sementara itu, peneliti mengkaji pragmatik dengan objek material pertunjukan wayang sehingga berbeda walaupun objek formalnya sama.

Galih Wicaksono. (2011). “Tindak Tutur Ekspresif pada Rubrik Gambang Suling di Majalah Jaya Baya”. Tesis. Unnes Semarang. Berdasarkan hasil analisis data, tindak tutur ekspresif dan efek perlokusi dalam rubrik gambang suling di majalah Jaya baya terbagi dalam sepuluh jenis tindak tutur ekspresif. Penelitian tesis ini berbeda dengan yang dikerjakan peneliti.Kajian tindak tutur ekspresif dalam rubrik gambang suling berbeda dengan kajian tindak tutur ekspresif dalam pertunjukan wayang.

Harun Joko Prayitno (2011). “Tindak Tutur Direktif Pejabat dalam Peristiwa Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik Berperspektif Jender di Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta”.Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua hal pokok, yaitu pemakaian bahasa dan jender, khususnya tindak tutur direktif (TTD) dalam kajian sosiopragmatik dengan studi berperspektif jender. Disertasi tentang tindak tutur direktif tersebut memberikan wawasan tentang kajian tindak tutur direktif, tetapi penelitian ini sangat berbeda dengan yang dikerjakan peneliti tentang tindak tutur direktif pada pertunjukan wayang kulit.

commit to user

(3)

Mulyani. (2011). “Tindak Tutur Direktif Guru SMA dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas: Kajian Pragmatik dengan Perspektif Gender di SMA Kabupaten Ponorogo”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah TTD guru SMA laki-laki dan guru perempuan dalam KBM di kelas.

Sumber data adalah peristiwa tutur di kelas. Disertasi tentang tindak tutur direktif yang digunakan di kalangan guru di sekolah memberikan wawasan tentang kajian tindak tutur direktif. Penelitian ini sangat berbeda dengan yang dikerjakan peneliti tentang tindak tutur direktif pada pertunjukan wayang kulit.

Sutopo (2011). “Tindak Tutur Direktif dalam Proses Pembahasan Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang di Kabupaten Karanganyar”. Disertasi.

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukan TTD yang terjadi dalam proses pembahasan Perda RPJPD sejak dari tingkat desa sampai provinsi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi tuturan direktif dalam proses pembahasan RPJPD di Kabupaten Karanganyar. Objek formal penelitian yang dilakukan Sutopo adalah kajian tindak tutur direktif. Akan tetapi, peneliti mengkaji objek material yang berbeda dengan Sutopo, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta.

Sutarno Haryono. (2010). “Kajian Pragmatik Teks Menakjingga Lenapada Seni Pertunjukan Langendriya Mandraswara Mangkunegaran”.

Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian tersebut menggunakan komponen verbal dan komponen nonverbal sebagai media komunikasi antarpenari. Komponen verbal dalam bentuk bahasa Jawa berupa tembang macapat yang sangat terikat oleh konvensi-konvensi yang berlaku.

Penelitian itu memiliki fokus kajian yang sama fokus dengan disertasi ini yakni seni pertunjukan, tetapi sangat berlainan dalam aspek objek kajian wayang kulit yang disajikan oleh dalang. Langendriyan dilakukan oleh sejumlah penari dengan dialog berupa tembang Macapat. Langendriyan mengambil cerita Damarwulan, sedangkan wayang kulit dengan cerita Mahabarata dan Ramayana. Hal ini berbeda

commit to user

(4)

dengan objek material yang dikerjakan oleh peneliti, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta.

Maryono. (2010).“Komponen Verbal dan Nonverbal dalam Genre Tari Pasihan Gaya Surakarta. (Kajian Pragmatik)”.Disertasi.Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Disertasi ini memiliki objek material seni pertunjukan Tari Pasihan Gaya Surakarta dan merupakan kajian pragmatik.

Fokus kajiannya adalah seni pertunjukan, tetapi berlainan dalam objek kajian, yakni dilakukan oleh sejumlah penari dengan gerap verbal dan nonverbal. Hal ini berbeda dengan objek material yang dikerjakan oleh peneliti, yaitu tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta.

Suratno(2012). “Kajian Sosiopragmatik Tindak Tutur Adegan Limbukan dalam Seni Pertunjukan Wayang Purwa di Surakarta (Studi Kasus Terhadap Ki AnomSuroto, Ki Purbo Asmoro, dan Ki Warseno Slenk)”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu, strategi bertutur yang dominan adalah bertutur tidak langsung dan implementasinya yang dominan adalah konvensional ke dalam ungkapan daya pragmatik. Temuan prinsip kerjasama para dalang mengadegankan Limbukan. Disertasi Suratno memiliki objek material pertunjukan wayang kulit dengan fokus dalang AnomSuroto, Purbo Asmoro, dan Warseno Slenk yang mengambil adegan Limbuk Cangik dari perspektif kajian sosiopragmatik. Hal ini berbeda dengan penelitian tindak tutur ekspresif dan direktif pada adegan pathet sanga dan manyura sajian Nartasabda dan Purbo Asmoro. Walaupun sama objek materialnya, fokus kajian berbeda sehingga hasilnya juga berlainan.

Penelitian yang telah dilakukan terdahulu lebih mengetengahkan masalahtindak tutur direktif dalam kaitanya dengan objek kebahasaan. Ketiga peneliti berikutnya ialah (Sutarno Haryono, Maryono, dan Suratno). Penelitian dilakukan dengan objek kajian masalah seni pertunjukan, yaitu berfokus pada tari Karonsih atau Pasihan dan Langendriyandengan kajan sosiopragmatik mengenai adegan Limbuk Cangik dalam pertunjukan wayang dalang Anom Suroto, Purbo Asmoro, dan Warseno Slenk. Berdasarkan paparan hasil penelitian tersebut di atas, ternyata kajian tindak tutur ekspresif dan direktif pertunjukan wayang kulit commit to user

(5)

sajian Nartasabda dan Purbo Asmoro dalam lakon Karna Tandhing, Dewa Ruci, Rama Gandrung dan Brubuh Ngalengka belum pernah dilakukan, khususnya pada adegan pathet sanga dan manyura.

B. Kajian Teori

Kajian teori ini akan mengetengahkan teori pragmatik, tetapi sebelumnya perlu dijelaskan pula teori linguistik. Linguistik memiliki berbagai cabang ilmudi antaranya fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan digunakan di dalam komunikasi sehingga merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa. Kajiannya tidak hanya aspek kebahasaan, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks. Secara umum, pragmatik yang lebih tinggi cakupannya dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa. Pragmatik sebagai ilmu memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam yang meliputi variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana, dan lain-lain.

1. Pragmatik

Pragmatik dalam perkembangannya memiliki hubungan yang amat erat denganSemantik sehingga sulit untuk membuat pemisahan yang tegas antara keduanya. Subroto menegaskan bahwa pragmatik dan semantik adalah aspek yang berbeda atau bagian yang berbeda dari bidang studi yang sama, yaitu soal meaning. Baik pragmatik maupunsemantik sama-sama mengkaji arti, tetapi dari kacamata yang berbeda. Semantik mengkaji arti, yaitu arti bahasa (arti lingual), sedangkan pragmatik mengkaji arti menurut si penutur (speaker's meaning atau speaker's sense) (Edi Subroto, 2008: 6).

commit to user

(6)

Arti bahasa yang menjadi bidang kajian semantik adalah arti kata-kata yang dipakai dalam sebuah kalimat serta arti kalimat sesuai dengan strukturnya.

Arti lingual tersebut tidak bergantung pada konteks dan biasa disebut arti yang bersifat natural (natural meaning). Natural meaning adalah arti dalam pengertian maksud yang menjadi bidang kajian pragmatik sangat bergantung pada konteks, yaitu siapa penutur, kepada siapa penutur itu berbicara, hubungan penutur dan mitra tutur, apa yang menjadi motif bertutur, dalam rangka apa penutur itu bertutur, tujuannya apa, di mana tuturan itu terjadi, dan sebagainya.

Pragmatik tidak dapat dipahami maksudnya tanpa adanya konteks maksud tuturan.Secara pas, pragmatik hanya dapat dipahami dalam hubungan konteks.

Selanjutnya, Levinson (1987) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkodifikasikan sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya. Jadi, di dalam menganalisis makna sebuah satuan kebahasaan tertentu tidak mungkin melakukan penelanjangan satuan kebahasaan dari konteks situasi tuturannya(Levinson, 1987:236).

Pandangannya paling mendasar tercermin dalam kuliah-kuliahnya yang terkumpul menjadi sebuah buku yang diberi judul How to Do Things with Words. Austin (1987:53) mengamati bahwa tuturan-tuturan tidak saja dipakai untuk melaporkan sesuatu kejadian.Dalam hal-hal tertentu, tuturan diperhitungkan sebagai sebuah pelaksanaan tindakan (actions). Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik, menerangkan pragmatik dan yang menjadi cakupannya sebagai berikut (dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting).

(1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan Semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.

(2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.

commit to user

(7)

(3) Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional.Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.

(4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.

(5) Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.

(6) Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.

Ilmu bahasa pragmatik adalah telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung, presuposisi, implikatur, entailment, dan percakapan atau kegiatan konversasional antara penutur dan mitra turur. selanjutnyaKunjana menegaskan bahwa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji dalam pragmatik adalah maksud penutur dalam menyampaikan tuturannya, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna bahasa, yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi, perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanyaadalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal (Kunjana Rahardi, 2003:16).

a. Teks

Halliday dan Hasan (1976:1-2) menjelaskan teks sebagai unit bahasa dalam penggunaan, bukan unit gramatikal, seperti halnya klausa atau kalimat.Jadi, teks tidak tergantung pada ukurannya. Teks paling tepat dianggap sebagai unit semantik, yaitu unit yang berisi makna, bukan berisi bentuk. Teks dapat berbentuk lisan atau tulisan, prosa atau puisi, dialog atau monolog. Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi.Hal itu berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan di papan tulis. commit to user

(8)

Masalah teks dan konteks melalui aspek-aspek pragmatik yang perlu diperhatikan adalah adanya sebuah asumsi bahwa teks itu bukan hanya segala sesuatu yang dipersepsi berupa buku. Teks bisa berupa (1) teks verbal (buku, tulisan-tulisan, prosa puisi, prosa, teks adalah unit bahasa hasil penggunaan sintaksis dan fonologi, tentang peristiwa komunikatif tertentu atau potongan wacana untuk tujuan analisis; berbentuk lisan atau tulisan; bagian dari wacana, terikat pada konteks (situasi); berupa pesan budaya dan atau pesan verbal. dsb), dan (2) teks nonverbal (misalnya: acungan jempol artinya hebat, atau jari telunjuk yang menempel di bibir yang artinya agar diam).

b. Konteks

Peranan konteks amat penting dalam rangka memahami maksud sebuah tuturan. Konsekuensi dari definisi itu ialah semua ilmu kemanusiaan (all the human sciences) menjadi bagian dari pragmatik. Cakupan bidang studi itu terlalu luas dan perlu dibatasi, yaitu terbatas pada semua bentuk tuturan yang terjadi dalam konteks tuturan tertentu yang bersifat nyata dalam rangka melakukan suatu tindakan (mengingatkan, memerintahkan, meminta, menasihati, menolak, mengungkapkan, berjanji, menjatuhkan hukuman, mengungkapkan suasana kejiwaan tertentu, dan sebangsanya). (Edi Subroto2008:508)

Mey (1994:13) menjelaskan konteks (ujaran) sebagai salah satu aspek situasi tuturan disamping pengirim/penerima, tujuan, tindak ilokusioner, ujaran sebagai hasil tindak verbal, serta waktu dan tempat dari ujaran tersebut. Konteks sebagai pengetahuan latar apa saja yang dianggap diketahui bersama oleh penutur maupun petutur dan yang membantu petutur menginterpretasikan maksud penutur.

membicarakan konteks dalam kaitannya dengan pragmatik, yaitu kajian tentang penggunaan bahasa di dalam konteks. Lebih lanjut Mey menjelaskan sekilas bahwa konteks sering dilibatkan untuk menganalisis kalimat yang ambigu dan digunakan untuk memahami Semua faktor yang berperan dalam memproduksi serta memahami tuturan. Konteks adalah suatu konsep yang dinamis bukan statis.

Dinyatakan lebih lanjut "... it is to be understood as the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to commit to user

(9)

interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible".

Jadi, konteks menyangkut segala sesuatu yang terdapat di sekitarnya atau lingkungannya yang memungkinkan para peserta tutur dalam proses komunikasi berinteraksi serta memungkinkan ekspresi kebahasaan dalam interaksi itu dapat dipahami. Konteks dalam pragmatik juga berkaitan dengan praanggapan (presuposisi), implikatur (kaitannya dengan eksplikatur), serta Semua pengetahuan latar para peserta tutur

Kreidler menyatakan bahwa konteks itu adalah suatu konsep yang bersifat dinamis. Benda-benda yang terdapat di alam sekitar serta hal-hal lainnya disebut sebagai "... the physical social context of an utterance" (Kreidler, 1998: 27).

Termasuk dalam pengertian konteks di sinilah latar umum yang dimiliki bersama dan kesadaran akan latar umum bersama yang memungkinkan mereka dapat saling mengerti dalam proses komunikasi.

Selanjutnya pengertian konteks dalam pragmatik yang dinyatakan sebagai berikut.

a) Konteks itu sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis.

b) Konteks itu menyangkut benda-benda dan hal-hal yang terdapat di mana dan kapan tuturan itu terjadi.

c) Konteks itu berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur menyangkut variabel kekuasaan, status sosial, jarak sosial, umur, dan jenis kelamin.

d) Konteks juga berkaitan dengan kondisi psikologis penutur dan mitra tutur selama proses interaksi terjadi dan motif tuturan.

e) Konteks juga menyangkut presuposisi, pengetahuan latar, skemata, implikatur (kaitannya dengan eksplikatur).

f) Termasuk dalam konteks yang bersifat fisik ialah warna suara dan nada suara para peserta tutur (Edi Subroto, 2008:511).

Aspek pragmatik berkaitan dengan teks dan konteksyang akan sangat berpengaruh serta menentukan sebuah makna pertuturan. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik, yakni kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dalam perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan commit to user

(10)

aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab- sebab nonbahasa. Dalam ranah pragmatik terdapat tindak tutur lokusi, ilokusi,dan perlokusi. Tindak tutur ilokusi sangat produktif dan sebagai tindak terpenting di dalam dunia pragmatik karena mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat,ilokusi adalah efek dari tindak tutur bagi mitratutur. Misalnya, dalam tuturan “Jafar ini jam berapa?” Saat si penanya masih mandi di pagi hari. Kemudian dijawab: “Tuh korannya udah datang Ajeng”. Sekilas tuturan jawaban ini tidak sesuai. Namun, karena antara penutur (Ajeng) dan mitra tutur (Jafar) dalam konteks budaya yang sama, jawaban Jafar terhadap Ajeng telah berterima. Artinya, saat Ajeng mandi bisa dipastikan bahwa waktu telah menunjuk pada jam tujuh pagi di saat jadwal waktu koran datang di pagi hari yang biasanya hadir jam tujuh. Secara linguistik tidak bisa dicerna tuturan tersebut, tetapi secara pragmatik hal ini justru bisa dipahami. (Jumanto (2008: 84)

c. Tindak Tutur dan Jenis-Jenisnya

Setiap komunikasi menggunakan bahasapenutur menyampaikan informasi yang terjadi dalam peristiwa tutur karena interaksi berbahasa tersebut melibatkan penutur dan petutur dengan suatu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, terjadinya interaksi kebahasaan untuk saling menyampaikan informasi antara penutur dan petutur tentang suatu topik atau pokok bahasan pada waktu, tempat, dan situasi tertentu disebut peristiwa tutur. Nadar menggarisbawahi tentang pendapat Hymes yang merumuskan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang disingkat SPEAKING. (1) Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung dan scene mengacu kepada situasi pertuturan. Perbedaan setting dan scene mengakibatkan variasi bahasa. (2) Participant adalah peserta tutur, yaitu penutur dan petutur dengan status sosialnya. (3) Endsmengacu pada maksud dan tujuan tuturan. (4) Act Sequences berhubungan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key berkaitan dengan nada suara (tone), penjiwaan (spirit), dan sikap atau cara (manner) saat suatu tuturan diucapkan. (6) Instrumentalities berkaitan commit to user

(11)

dengan saluran (channel) dan bentuk bahasa (the form of speech) yang digunakan dalam tuturan. (7) Normsof Interaction and Interpretation adalah normaatau aturan yang harusdipahami dalam berinteraksi. (8) Genremengacu pada bentuk pencapaian, seperti puisi, peri bahasa, dan prosa. Ada yang membedakan genre ke dalam tiga jenis, yaitu percakapan di dalam gedung, di luar gedung, dan melaui media. Keseluruhan komponen dan peranan komponen tutur dalam sebuah peristiwa berbahasa disebut peristiwa tutur (Nadar, 2009:7).

Mengujarkan sebuah kalimat tertentu oleh Austin (1955) dalam bukunya How to do Things with Words dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act) di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran dibedakan atas lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusiadalah semata- matatindak berbicara, tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Tiga segi tindak tutur adalah lokusi, ilokusi, dan perlokusi. (i) Tindaklokusi adalah hasil dari ungkapan linguistik yang bermakna.

(ii) Tindakilokusi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk dilakukan oleh penutur dalam mengujarkan suatu ungkapan linguistik melalui dorongan konvensional yang dikaitkan dengan ungkapan itu, baik implisit maupun eksplisit.

(iii) Tindakperlokusi adalah hasil dari konsekuensi atau efek pada pendengar melalui ujaran ungkapan linguistik.Konsekuensi atau efek semacam itu menjadi khusus bagi keadaan ujaran itu.

Tindak lokusi adalah tindak bicara yang dasar. Tindak itu sendiri terdiri dari tiga subtindak yang terkait. Tiga subtindak tersebut adalah (i) tindak yang bersifat phonik untuk menghasilkan suatu persembahan ujar (utterance- inscription), (ii) tindakyang bersifat phatik (phatic) untuk menyusun ungkapan lingusitik khusus dalam bahasa tertentu, dan (iii) tindak bersifat yang rhetic untuk mengontekstualisasi utterance-inscription (Lyons, 1995: 177-185). Dengan kata lain, yang pertama dari tiga subtindak itu berkaitan dengan tindak fisik untuk membuat serangkaian bunyi vokal tertentu (dalam hal bahasa lisan) atau serangkaian simbol tertulis (dalam hal bahasa tulis). Yang kedua mengacu pada tindak membentuk serangkaian bunyi/simbol yang bentuknya baik, katakan commit to user

(12)

sebuah kata, frase atau kalimat, dalam bahasa tertentu. subtindak ketiga bertanggung jawab atas tugas-tugas, seperti menentukan acuan, menyelesaikan deikis, dan menghilangkan ambiguitas utterance-inscription secara leksikal dan/atau gramatikal. Ketiga subtindak tersebut secara luas sesuai dengan tiga level dan modus yang jelas untuk menjelaskan dalam teori linguistik, yaitu fonetik/fonologi, morfologi/sintaksis, dan semantik/pragmatik.

Tindak ilokusi mengacu pada jenis fungsi yang ingin dipenuhi oleh penutur atau jenis tindakan yang ingin diselesaikan penutur pada waktu menghasilkan suatu ujaran. Contoh-contoh tindak ilokusi mencakup menuduh, minta maaf, menyalahkan, memberi selamat, memberi izin, memerintah, menolak, dan berterima kasih. Fungsi atau tindakan yang barusaja disebutkan biasanya diacu sebagai daya ilokusi atau point of utterance. Daya ilokusi sering disebut Searle (1962) sebagai Illocutionary Force Indicating device (IFID). Jenis tindak ini paling konvensional dan langsung yang merupakan performatif eksplisit.

Sebenarnya, istilah tindak tutur dalam pengertian sempit sering digunakan untuk mengacu secara khusus pada tindak ilokusi.

Syarat felicity condition (kondisi kelayakan) dari Searle (1962) pada tindak tutur harus dipenuhi bukan hanya cara supaya suatu tindak tutur dapat tepat atau tidak tepat, tetapi juga bila digabungkan merupakan daya ilokusi. Dengan kata lain, kondisi kelayakan merupakan aturan yang menciptakan aktivitas itu sendiri dari tindak ujar. Pandangan Searle bahwa melakukan tindak tutur harus menaati aturan konvensional tertentu merupakan pokok dari jenis tindak tuturnya. Searle mengembangkan kondisi kelayakan itu dari Austin. Searle menjadikannya klasifikasi empat kategori dasar neo-Austinian, yaitu (i) isi proposisional, (ii) syarat persiapan, (iii) syarat ketulusan, dan (iv) syarat esensial. Sebagai gambaranan syarat-syarat tersebut, misalnya syarat ketepatan Searle untuk berjanji.

(i) Isi proposisional: tindak ke masa depan A dari S.

(ii) Persiapan: (a) H akan lebih memilih S melakukan Adaripada tidak melakukan A, dan S percaya demikian (b). Tidak jelas bagi S dan H bahwa S akan melakukan A dalam perjalanan tindakan yang normal. commit to user

(13)

(iii) Ketulusan: S bermaksud melakukan A.

(iv)Esensial: ujaran dari e berarti sebagai usaha untuk melakukan A.

AdapunS(Speaker) adalah pembicara, H(Hearer) pendengar, A(Activity) tindakan, dan e(expresion) ungkapan linguistik.

Syarat kondisi kelayakan Searle untuk permintaan adalah sebagai berikut.

(i) Isi proposisional: tindak masa depan A dari H.

(ii) Persiapan: (a) S percaya H dapat melakukan A. (b). Tidak jelas bahwa H akan melakukan A tanpa diminta.

(iii) Ketulusan: S menginginkan H melakukan A.

(iv) Esensial: ujaran dari e berarti usaha untuk meminta H melakukan A

Austin (1955) mengangkat teori tindak tutur. Tampaknya teori diacu dan dikembangkan oleh Searle (1962). Tindak tutur menurut Searle adalah komunikasi bukan sekadar lambang kata atau kalimat, tetapi lebih tepat disebut produk atau hasil lambang dalam kondisi tertentu dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah atau yang lain. Tindak tutur (speech act) adalah gejala Individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi. Dalam peristiwa tutur, orang menitikberatkan pada tujuan peristiwanya. Oleh karena itu, dalam tindak tutur orang lebih memperhatikan makna atau arti tindak dalam tuturan itu.

Austin (1955) dalam How to Do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act) di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Lokusi adalah Semata-matatindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah Sintaksisnya. Di sinimaksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” „saya haus‟ dalam tindak lokusi kita akan mengartikan aku sebagai pronomina persona tunggal

commit to user

(14)

(yaitu si P) dan ngelak „haus‟ mengacu ke tenggorokan kering dan perlu dibasahi tanpa bermaksud untuk minta minum.

Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sinikita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, ”Aku ngelak” ‟saya haus‟ yang diujarkan oleh P dengan maksud minta minum adalah sebuah tindak ilokusi.

Perlokusimengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara Singkat, perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi mitra-tutur.

Jadi, jika mitra-tutur melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat,di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

Tipologi tindak ilokusi Searle (1962) dapat dijelaskan seperti berikut ini.

(i) Assertives; konstatif dalam dikotomi performatif/konstatif (Austinian yang asli) jenis-jenis tindak ujar yang memasukkan penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Tindak ini membawa nilai kebenaran. Tindak ujar ini mengungkapkan kepercayaan penutur. Kasus-kasus yang bersifat paradigmatik mencakup menegaskan, mengklaim, menyimpulkan, melaporkan, dan menyatakan. Dalam mempertunjukkan jenis tindak ujar ini, penutur mewakili dunia sebagaimana yang dipercayainya.

(ii) Directives adalah jenis tindak ujar yang mewakili usaha oleh penutur untuk menyuruh addresse melakukan sesuatu. Kasus paradigmatik mencakup saran, perintah, pertanyaan, permintaan. Penutur bermaksud mendapatkan jalannya tindakan di masa depan pada pihak addressee. Jadi, membuat dunia cocok dengan kata-kata melalui addressee.

(iii) Commissives adalah jenis-jenis tindak ujar yang menuntun penutur pada alur tindakan di masa depan. Jenis-jenis ini mengungkapkan maksud penutur untuk melakukan sesuatu. Kasus-kasus ini mencakup tawaran, janji, penolakan, dan ancaman. Dalam hal commissives, dunia disesuaikan dengan kata-kata melalui penutur sendiri.

(iv) Expressives adalah jenis tindak tutur fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan suasana psikologis atau menyatakan penutur pada mitra tutur, commit to user

(15)

seperti gembira,duka, dan suka/tidak suka. Kasus ini termasuk minta maaf, kekeliruan, mengucapkan selamat, memuji, dan berterima kasih, belasungkawa.

(v) Declaration (atau deklaratif) berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, Misalnyamengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/ membuang, dan sebagainya.

Kreidler (1998:183) membagi klasifikasi tindak ilokusi menjadi 7 (tujuh) macam di bawah ini.

1.TindakTutur Verdiktif

Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur dimana si pembicara membuat penilaian atau putusan atas tindakan seseorang, terutama lawan bicara.

Termasuk klasifikasi ranking, penilaian, pujian, dan permaafan. Kata kerja verdiktif termasuk tuduhan, denda, izin, dan terima kasih. Karena ucapan ini merupakan penilaian si pembicara atas tindakan yang dilakukan sebelumnya oleh lawan bicara atau atas apa yang sedang menimpa lawan bicara tersebut, Semuasaling berhubungan dengan kejadian sebelumnya. Kata kerja excuse dan pardon mengekspresikan ungkapan yang bukan sekadar komentar yang seharusnya bagi tindakan sebelumnya, tetapi dugaan awal atas kebenaran tindakan, seperti menyalahkan, memperingatkan, mengkritik,danmenegur.

Kondisi yang mendukung bagi ucapan verdiktif adalah kemungkinan peristiwa, kemampuan lawan bicara untuk melakukannya, kepastian pembicara dalam membuat ucapan tersebut, dan kepercayaan lawan bicara bahwa pembicara yakin akan hal yang dimaksud..

Contohverba verdiktif adalah dakwaan, tuduhan, selamat, pujian dan belasungkawa. Bagaimana kita mengekspresikan pujian dan belasungkawa, dan kapankah ucapan tersebut tepat diucapkan. Felicity conditions tindak tutur verdiktif dimungkinkan saat penutur bertutur dengan sesungguhnya berdasarkan kemampuan yang telah dicapai atau dilakukan oleh mitra tutur dan mitra tutur percaya terhadap kesungguhan penutur.

commit to user

(16)

2.TindakTutur Ekspresif

Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu,Misalnya mengucapkan salam, mengucapkan maaf, mengucapkan belasungkawa, dan menolak. Tindak tutur ekspresif juga merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan tujuan agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi atau penilaian tentang hal yang telah dilakukan atau dirasakan sendiri oleh penutur pada masa yang lalu atau mungkin kegagalan yang telah dilakukan oleh penutur saat ini. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan psikologis.Ujaran yang mengacu kepada jenis tuturan ekepresif ditandai dengan bentuk verba, seperti memohon maaf, menolak, serta mengakui.Felicity conditions „kondisi-kondisi kelayakan‟ tindak tutur ekspresif orientasinya pada diri penutur, yaitu kemungkinan suatu tindakan dan penutur mempunyai kemampuan, penutur serius dalam bertutur, dan mitra tutur percaya akan tuturan penutur tersebut.

3.Tindak Tutur Performatif

Tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang menghendaki sebuah tindakan atau respons dari pendengar. Tindak tutur yang memunculkan suatu keadaan atau sebuah urusan disebut dengan performatif, Misalnya bid, blessing, firings, baptism, arrests, marrying, declaring a mistrial. Tindak tutur performatif dinyatakan sah jika diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wewenang yang bisa diterima oleh pendengar yang lain. Demikian juga, situasi dan kondisinyaharus sesuai dan bisa diterima. Kata kerjanya meliputi bet, declare, baptism, name, nominate, pronounce. Adapunfelicity conditions tindak tutur performatif adalah apa yang dituturkan merupakan keahliannya, yakni hanya orang-orang tertentu yang mempunyai otoritas dan kewenangan serta pada kondisi lingkungan sesuai dan berterima bagi mitra tutur. Tujuan tindak tutur ini bukan masalah benar atau salah,tetapi untuk membuat orang lain sependapat dengan apa yang dilakukan.

commit to user

(17)

4. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur dimana si pembicara berusaha membuat lawan bicaranya melakukan sesuatu atau menanggapi sebuah tindakan atau mengulanginya. Dalam kalimat direktif, kata anda merupakan pelaku meskipun sebenarnya mewakili ucapan tersebut maupun tidak. Tindak tutur direktif bersifat prospektif. Seseorang tidak dapat meminta orang lain melakukan kegiatan di masa lalu. Sama seperti jenis tindak tutur lainnya, sebuah tindak tutur direktif menduga kondisi tertentu ada pada lawan bicara dan pada konteks situasi.

Ucapan “Jangan kemari!” pada kalimat ini tidak tepat karena memang kenyataannya orang itu sudah datang pada waktunya, serta ucapan.Ucapan

“Nyalakan AC!” menjadi lemah jika pada kenyataannya di musim dingin menyalakan AC. Ketika ucapan dapat diwujudkan, berarti suasana mendukung dan jika tidak terwujud berarti tidak mendukung.

Tiga macam tindak tutur direktif dapat dikenali sebagai perintah, permintaan,dan saran. Sebuah perintah menjadi efektif jika si pembicara mempunyai derajat kontrol tertentu atas tindakan lawan bicara. Sebuah request adalah ekspresi atas apa yang ingin dilakukan sebagai akibat perbuatan. Sebuah request tidak mengasumsikan kontrol pembicara terhadap orang yang diajak bicara. Sebuah ucapan, baik direktif atau bukan serta apapun jenis direktifnya bergantung pada bentuk Sintaktik, yakni pada pemilihan predikatnya (harus, meminta, menyarankan, dsb.). Terlebih lagi hal itu bergantung pada situasi, para partisipan, dan status kekerabatan. Kondisi yang mendukung melibatkan kenyataan akan tindakan dan kemampuan lawan bicara. Untuk sebuah perintah, agar dapat memenuhi syarat kondisi waktu yang memungkinkan, lawan bicara harus menerima otoritas si pembicara, Misalnya untuk sebuah permintaan, harapan si pembicara, dan untuk sebuah saran, serta penilaian si pembicara.

Felicity conditions tindak tutur direktif adalah kemampuan mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kelayakan tindakan.

5.Tindak Tutur Komisif.

Ungkapan yang menempatkan seorang pembicara di suatu kondisi tertentu disebut sebagai ucapan atau tindakan komisif, termasuk di dalamnya janji, commit to user

(18)

ikrar, perjanjian, dan sumpah. Kata kerja komisif diilustrasikan dengan setuju, meminta, menyajikan, menolak, dan bersumpah. Semua diikuti oleh infinitif dan semua itu bersifat prospektif serta terfokus pada komitmen pembicara mengenai kegiatan yang akan datang.

Sebuah predikat komisif merupakan suatu yang dapat menempatkan seseorang (atau menolak untuk menempatkan seseorang) pada sebuah tindakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu,subjek kalimatnya cenderung berbentuk saya atau kami. Lebih jauh lagi, kata kerjanya harus dalam bentuk sekarang (present) dan terdapat lawan bicara, baik ucapan tersebut menampilkannya atau tidak karena pembicara pastilah membuat komitmen dengan seseorang. Selain itu,kondisinya yang mendukung si pembicara mampu melakukan tindakan dan ingin melakukannya; lawan bicara mengetahui kemampuan si pembicara dan keinginannya. Felicity conditions dalam tindak tutur ini adalah penutur akan melaksanakan apa yang dituturkannya mempunyai kemampuan untuk itu dan mitra tutur percaya terhadap apa yang ingin diwujudkan penutur dan terhadap kemampuan penutur.

6. Tindak Tutur Phatic (Fatis)

Tidak ada satu orang pun yang suka untuk mengucapkan pertanyaan seperti apa kabarmu?,bagaimana keadaanmu? benar-benar ingin tahu tentang sebuah informasi. Kita tidak mengasumsikan bahwa pernyataan seperti saya senang bertemu dengan Anda atau senang berjumpa denganmu lagi merupakan ekspresi yang terdalam yang diucapkan pembicara. Tujuan ucapan ini adalah untuk membangun laporan antaranggota di lingkungan sosial yang sama. Bahasa fatis memiliki sedikit fungsi yang jelas dibanding keenam tipe yang didiskusikan di atas, tetapi tidak kalah penting. Ucapan fatis termasuk salam, perpisahan, formula sopan seperti terima kasih, terima kasih kembali, permisi, dan sebaiknya dimana semua itu tidak terlalu verdiktif atau ekspresif. Mereka termasuk rangkaian komentar mengenai situasi, pertanyaan tentang kesehatan seseorang atau apapun yang lazim dan oleh karena itulah diharapkan pada lingkup sosial tertentu. Frase stereotip menjadi lazim untuk menyampaikan harapan, baik bagi commit to user

(19)

seseorang mulai dari menyantap makanan, mulai perjalanan, menjalani bisnis tertentu, atau menyelenggarakan liburan bersama maupun pribadi. Kondisi yang mendukung dapat ditemui ketika si pembicara dan lawan bicara menganut kebiasaan sosial yang sama dan mengakui ucapan fatis sebagaimana mestinya.

Felicity conditions tindak tutur ini adalah apabila antara penutur dan mitra tutur mempunyai latar belakang sosial budaya yang sama, mereka mempunyai pengetahuan tentang penggunaan tuturan tertentu.

7. Tindak Tutur Asertif (penegasan)

Dalam jenis ini, pembicara dan penulis menggunakan bahasa untuk memberitahukan apa yang mereka ketahui atau mereka yakini. Bahasa asertif mempertimbangkan banyak fakta. Tujuannya ialah untuk menginformasikan.

Jenis tindak tutur ini berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tindak tutur ini berkaitan dengan data-data yang ada ataupun tidak, yang sedang terjadi ataupun yang telah terjadi, bisa salah atau benar dan biasanya dapat dilakukan pengujian atau dipalsukan. Hal ini dapat dilakukan bukan hanya pada orang yang mendengarkan ucapan ini saja, tetapi pada dasarnya ucapan jenis ini menjadi objek penelitian empiris. Tuturan asertif tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaknitindak tutur asertif yang langsung dan tindak tutur asertif yang tidak langsung. Tindak tutur asertif juga memasukkan beberapa kata kerja asertif dan diikuti oleh klausa penuh. Kata kerja itu meliputi allege, announce, agree, report, remind, predict, protest. Felicity conditions tindak tutur asertif adalah yang disampaikan itu benar. Demikian pula, mitra tutur menerimanya sebagai sesuatu maka bisa benar atau bisa salah.

Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan) dan dalam perlokusi terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran.Yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan. Berbagai tindak tutur yang terjadi di masyarakat, baik tindak tuturrepresentatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, tindak tutur langsung dan tidak langsung, maupun tindak tutur commit to user

(20)

harafiah dan tidak harafiah atau kombinasi dari dua/lebih tindak tutur tersebut merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatik. Misalnya, bagaimanakah tindak tutur yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon „menyuruh‟, nyilih „meminjam‟, njaluk „meminta‟, ngelem „memuji‟, janji „berjanji‟, menging

„melarang‟, dan ngapura „memaafkan‟. Pengkajian tindak tutur tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara, serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).

Teori tindak tutur ini akan dipergunakan untuk menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat pada ginem, khususnya adegan pathet sanga dan manyura lakon wayang kulit gaya Surakarta.Komunikasi satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud menyuruhorang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik. Pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan. Kajian tindak tutur ini juga diperlukan untuk memahami teks ginem (dialog) dalam adegan pathet sanga dan pathet manyura yang lebih lengkap dari dua dalang yakni Nartasabda (Karna Tandhing/KTNS) dan Dewaruci/DRNS serta Purbo Asmoro (Brubuh Ngalengka/BNPA dan RamaGandrung/RGPA). Hal itudimaksudkan untuk mendapatkan jenis-jenis tindak tutur ekspresif dan tindak tutur direktif. Pada gilirannya dari tuturan itu didapat gambaran tentang relevansinya dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter jiwa bangsa.

d. Strategi Tindak Tutur

Strategi bertutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan taklangsung sertatindak tutur literer dan tindak tutur tidak literer. Tindak tutur langsung adalah suatu tindak tutur yang menyampaikan maksud tuturannya secara commit to user

(21)

langsung. Teknik pencapaian tuturan dilakukan dengan menggunakan jenis-jenis kalimat sesuai dengan fungsi jenis-jenis kalimat tersebut. Misalnya, kalimat berita untuk menyatakan sesuatu, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyampaikan perintah, ajakan, permohonan, dan sebagainya sehingga dikatakan sebagai tindak tutur langsung (Wijana, 1996:29-33). Berikut contoh pemakaian kalimat tuturan dalam KTNS dan DRNS yang dimaksud.

(1) Prb.Hardawalika:Eee…patih majuå lungguhmu. (KTNS.Gn.027S).

Pth. Kridhamanggala :Nuwun wonten pengendika ingkang adhawuh njeng yaksendra nimbali ingkang abdi ing kepatihan kawula nok-nok non

Terjemahan:

Prb.Hardawalika: „Eeee, patih, majulah dudukmu‟.

Pth. Kridhamanggala :‘Ya adakah perintah yang dapat dilaksanakan dalam memanggil saya‟.

Modus tuturan (1) dan makna kalimat sesuai dengan maksud Prb Hardawalika, yakni memerintah patih agar duduknya maju ke depan. Hal ini terjadi ketika Pth Kridhamanggala menghadap kepada Prb Hardawalika di Guwabarong. Ujaran ini disampaikan secara langsung literal karena modus kalimat dan maksud penuturmempunyai makna yang sama.

(2) Basukarna: Iya, åjå karo nangis ndhak ora cêtha aturmu hé…(KTNS.Gn.0085S).

Surtikanthi : Sareng kula nyumerapi paduka menganggo sarwa enggal, rumaos kula salebeting liyep layaping aluyub. Paduka nitih tandhu mengagem sarwa enggal busananing penganten kairing brahmana ingkang sadaya busana sarwa seta.

Terjemahan:

Basukarna: „ya, jangan menangis karena tidak jelas bicaramu‟.

Surtikanthi : „Setelah saya mengetahui Paduka mengenakan serba baru, perasaan saya dalam mimpi sekejab Paduka mengenakan serba baru dan ditandu diiringi para brahmana yang mengenakan serba puti‟.

Tuturan (2) merupakan tuturan yang menunjukkan larangan.Pengutaraan kalimat dan maksud penutur memiliki makna yang sesuai maka ujaran tersebut disampaikan secara langsung dan lierer. Hal ini dapat diketahui ketika Basukarna melarang istrinya Surtikanthi agar tidak menangis pada saat perbincangan commit to user

(22)

berlangsung. Surtikanthi menangis karena mengetahui bahwa Basukarna telah mengenakan busana serba baru dan Surtikanthi merasa itu merupakan firasat yang tidak baik bagi diri suaminya.

Tuturan yang termasuk ke dalam kategori tuturan tidak langsung adalah apabila terdapat tipe-tipe kalimat tersebut disengaja untuk menyatakan suatu maksud lain, yaitu dengan mengubah fungsi jenis kalimat, untuk menyatakan perintah dengan kalimat berita, dan sebagainya. Berikut terdapat contoh pemakaian kalimat tuturan dalam lakon RGPA yang dimaksud.

(3) Ramawijaya: Muga-muga jroning alas iki andadekake suka senenging atimu satemah ora bakal nabet apa-apa ingkang nate mbok lakoni jroning Kraton Manthilidirja, wong ayu.

(RGPA.Gn.007/S)

Sinta : Inggih pengeran inggih menika wujud kasetyan garwa paduka. Wujud kasetyaning garwa menika boten namung ing kalane ingkang kakung maksih ngregem kawibawan miwah kamulyan nanging tumrap Sinta wujuding kasetyan kalawau inggih sageda angraosaken panandhanging kakang

Terjemahan:

Ramawijaya: „Semoga di dalam hutan ini menjadikan dirimu bahagia tidak bertentangan dengan apa yang pernah kamu lakukan di Kraton Mantilidirja, Si cantik‟.

Sinta : ‘Iya inilah wujud dari sebuah kesetiaan. Wujud kesetiaan itu bukan saja hanya menikmati pada saat suami sedang jaya, namun bagi Sinta wujud kesetiaan juga pada saat suami sedang menderita‟.

Tuturan (3)dalam kata muga-muga„semoga‟ sebagai tuturan tidak langsung dan literer.Artinya, tuturan diungkapkan secara tidak langsung dengan tuturan harapan. Namun, kalimat itu mengandung satu maksud memerintahkan agar dapat merasakan kebahagiaan seperti yang diharapkan Ramawijaya. Tuturan ini diutarakan sesuai dengan maksud. Pemarkah kata muga-muga merupakan pemarkah yang maknanya berharap. Artinya, secara tidak langsung memerintah secara halus terhadap apa yang menjadi harapannya/permintannya agar dikabulkan.

commit to user

(23)

2. Tindak Tutur Ekspresif Kaitannya dengan Tindak Tutur Verdiktif

Hal yang membedakan antara tindak tutur ekspresif dengan verdiktif adalah bahwa ucapan verdiktif merupakan tindak tutur dimana pembicara membuat suatu penaksiran atau penilaian terhadap tindakan orang lain, biasanya orang yang disapa. Ini termasuk menentukan peringkat, menaksir, menilai, dan memaafkan. Kata kerja verdiktif termasuk menuduh, menuntut, memaafkan, dan berterimakasih. Oleh karena ucapan-ucapan ini menyampaikan penilaian pembicara terhadap tindakan yang sudah dilakukan orang yang disapa atau apa yang telah terjadi pada orang yang disapa, ucapan ini bersifat restropektif.

Misalnya: Saya memaafkan kamu karena telah menyakitiku, kata kerja memaafkan atau mengampuni mengungkapkan tindak tutur yang lebih dari sekadar memberi komentar terhadap tindakan yang diduga sudah dilakukan sebelumnya karena sudah menduga sebelumnya kebenaran perbuatan, seperti menyalahkan, menghardik, dan memarahi.

Ucapan verdiktif termasuk penuduhan, menyalahkan, ucapan selamat, pujian, dan ucapan duka cita. Ucapan verdiktif terkait dengan tindakan yang telah dilakukan orang yang disapa.

Tindak tutur ekspresif berpijak pada tindakan yang telah dilakukan pembicara sendiri atau mungkin akibat tindakan saat ini. Dengan demikian, ucapan ekspresif bersifat retrospektif dan melibatkan pembicara. Kata kerja ekspresif paling umum dalam arti ekspresif yang dimaksud di sini adalah mengakui, minta maaf, dan menyangkal.

Kedua tindak tutur di atas (verdiktif dan ekspresif) dan predikat yang muncul di dalamnya menunjukkan persamaan karena semuanya terkait dengan suatu tindakan tertentu. Selain itu, juga ditunjukkan perbedaan apakah tindakan tersebut dikatakan sudah terjadi (retrospektif) atau belum terjadi (prospektif) serta apakah pembicara atau orang yang disapa merupakan pelaku tindakan tersebut.

Verdiktif - retrospektif- melibatkan orang yang disapa.

Ekspresif - retrospektif - melibatkan pembicara.

Ucapan verdiktif merupakan ucapan di mana pembicara memberi komentar terhadap tindakan yang sudah dilakukan orang yang disapa, atau akibatnya. Ini commit to user

(24)

termasuk menuduh dan menyalahkan, pemberian ucapan selamat dan pujian.

Ucapan ekspresif terjadi ketika pembicara bercerita tentang tindakannya sendiri di masa lalu dan perasaannya sekarang yang bisa disampaikan melalui permintaan maaf, bualan, dan penyesalan. Contoh: “Saya minta maaf atas kesalahan ini”.

Kondisi yang mendukung sama dengan tindak tutur verdiktif: tindakannya nyata, pembicara mampu melakukannya, pembicara berkata dengan yakin dan lawan bicara memercayainya. Ketika seseorang meminta maaf kepada orang lain, baik orang tersebut mengekspresikan penyesalan (akan apa yang telah dia lakukan) atau dia mengekspresikan maksud sehingga ujarannya memenuhi harapan untuk mengekspresikan penyesalan (tanpa benar-benar menyampaikanpenyesalan). Acknowledgment yang bersifat rutin menghendaki kerjasama implisit mitratutur. Acknowledgment itu disampaikan dan semua menyadari sebagai rutinitas atau formalitas,Misalnya saja ketika seseorang meminta maaf karena secara tidak sengaja menyenggol orang lain.

Tindak tutur ini merupakan tindakan tentang apa yang dilakukan sebelumnya oleh lawan bicara.Sebuah ucapan ekspresif muncul dari tindakan sebelumnya yang dinilai mitra tutur. Ucapan ekspresif merupakan retrospektif dan pembicara terlibat. Kata kerja ekspresif yang umum (dalam konteks ekspresif) adalah mengesahkan, mengakui, menyangkal/menolak, dan memaafkan.

Ucapan salam saat pertemuan (greetings) dan saat perpisahan (farewell) adalah dipertukarkan, ucapan terima kasih (thanks) itu diterima (You're welcome), ucapan selamat (congratulation) dan ucapan belasungkawa (condolence) diterima dengan "Terima kasih" atau sejenisnya, dan permintaan maaf (apology) diterima (That's okey) atau ditolak (maaf saja belum cukup).

Congratulations dan condolence adalah biddings atau (pengekspresian) Harapan, bisa negatif seperti dalam kasus kutukan atau laknat. Yang jelas bidding mungkin juga konstatif (constatives),yaitu sampai pada efek bahwa seseorang memiliki harapan, tetapi dalam kasus-kasus yang lain bidding diperlukan dan harus diklasifikasikan sebagai acknowledgments. Permisi (pardoning, excusing) dan memaafkan (forgiving) tampaknya merupakan acknowledgments (meminta untuk diizinkan atau dimaafkan jelas merupakan (request). commit to user

(25)

3. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif (directives) mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitratutur. Apabila sebatas pengertian ini yang diekspresikan, direktif (directives) merupakan konstatif (constatives) dengan batasan pada isi proposisinya, yaitu bahwa tindakan yang akan dilakukan ditujukan kepada mitratutur. (Abul Syukur 1993:27) menjelaskan bahwa direktif (directives)juga bisa mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitratutur. Berikut enam kategori dijelaskan oleh Abdul Syukur (1993) yang tercakup dalam tindak tutur direktif.

Requestives: (meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, mendorong). Dalam mengucapkan e, petutur memohon mitratutur untuk A apabilapetutur mengekspresikan:

i. keinginan bahwa mitratutur melakukan A, dan

ii. maksud bahwa mitratutur melakukan A oleh karena (paling tidak sebagian) keinginan Petutur.

Questions: (bertanya, berinkuiri, menginterogasi). Dalam mengucapkan e, petutur menanyakan mitratutur apakah Ps atau tidak Ps apabila petutur mengekspresikan:

i. keinginan bahwa mitratutur menyampaikan petutur apakah Ps atau tidak, dan ii. maksud bahwa mitratutur menyampaikan pada petutur apakah Ps atau tidak

oleh karena keinginan petutur.

Keterangan: A: aksi, P: penutur, Mt: mitratutur, e: ekspresi; Ps: preposisi.

Requirements: (memerintah, menghendaki, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, mensyaratkan). Dalam mengucapkan e, petutur menghendaki mitratutur untuk Aapabila petutur mengekspresikan:

i. keinginan bahwa ujarannnya, dalam hubungannya dengan posisinya di atas mitratutur, merupakan alasan yang cukup bagi mitratutur untuk melakukan A, dan

commit to user

(26)

ii. maksud bahwa mitratutur melakukan A oleh karena (paling tidak sebagian) keinginan petutur.

Probibitives: (melarang, membatasi). Dalam mengucapkan e, petutur melarang mitratutur untuk melakukan A apabilapetutur mengekspresikan:

i.kepercayaan bahwa ujaran itu dalam hubungannya dengan otoritasnya terhadap mitratutur menunjukkan alasan yang cukup bagi mitratutur untuk tidak melakukan A, dan

ii. maksud bahwa oleh karena ujaran petutur, mitratutur tidak melakukan A.

Permissives: (menyetujui, membolehkan, member wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengizinkan, melepaskan, memaafkan, memperkenankan). Dalam mengucapkan e, petutur menghendaki mitratutur untuk melakukan A apabila petutur mengekspresikan:

i. kepercayaan bahwa ujarannnya dalam hubungannya dengan posisinya di atas mitratutur membolehkan mitratutur untuk melakukan A,

ii. maksud bahwa mitratutur percaya bahwa ujaran petutur membolehkannya untuk melakukan A.

Advisories:(menasehatkan, memperingatkan, mengonseling, mengusulkan, menyarankan, mendorong). Dalam mengucapkan e, petutur menasihati mitratutur untuk melakukan A apabilapetutur mengekspresikan:

i. kepercayaan bahwa terdapat alasan (yang cukup) bagi mitratutur untuk melakukan A, dan

ii. maksud bahwa mitratuturmengambil kepercayaan petutur sebagai alasan (yang cukup) baginya untuk melakukan A.

Requestives mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur (atau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengekspresikan keinginan atau harapan penutur) sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Maksud perlokusi yang sesuai sebagaimana yang akan terlihat adalah bahwa mitratutur menyikapi petutur benar-benar memiliki keinginan dan maksud yang diekspresikan dan bahwa mitratutur melakukan tindakan yang diminta commit to user

(27)

penutur. Verba requesting (permohonan) ini mempunyai konotasi yang bervariasi dalam kekuatan sikap yang diekspresikan sebagaimana yang ada dalam "invite"

(mengundang) dan "insist" (mendorong) dan di antara "ask" (meminta) dan "beg"

(mengemis). Verba yang lebih kuat mengandung pengertian kepentingan.

"Beseech" (mendesak) dan "supplicate"(memohon), Misalnya, merupakan pencapaian upaya untuk menarik simpati dalam performansi tertentu. Sebagian verba requesting memiliki cakupan yang lebih spesifik. "memanggil" (atau

"mengundang" secara sempit) mengacu pada permohonan terhadap permintaan agar mitra tutur datang; "beg" (mengemis) dan "solicit" (meminta) juga berlaku untuk permohonan yang berhubungan.Berikut contoh pamakaian TTD meminta dalam lakon KTNS.

(4) Semar : é….. kula ndara

Arjuna:Mêngko wisé ngancik suryning rumangsang dibacutaké maneh nggoné padha lumaku. (KTNS.Gn.047S).

Terjemahan:

Semar: „e….ya ndara‟.

Arjuna: „Nanti setelah sore berlalu dilanjutkan lagi yang pada berjalan‟.

Kalimat mengko wise ngancik suryaning rumangsang dibacutake maneh nggone padha lumaku. Tuturan Arjuna terhadap Semar merupakan jenis TTD.Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah dibacutake maneh „dilanjutkan lagi‟.Pemarkah dibacutake maneh merupakan TTD memerintah, merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba di+bacut+ke. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas.

Questions merupakan requests. Dalam kasus khusus bahwa terdapat pengertian apa yang dimohon adalah mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu. Terdapat perbedaan di antara pertanyaan-pertanyaan, juga terdapat pertanyaan ujian dan pertanyaan retoris.

(5) Basukarna : Apa ra ana daharan kang sêmandhing? (KTNS.Gn.101S) Surtikanthi : Inggih pun kula cawisakên

Basukarna : Siadhi kok kethul ya? Siadhi kok kethul? Sing tak karepake pangunjukan mau ora kok wantah pun kakang kudu ngunjuk commit to user

(28)

banyu, nanging segering sarira mono sak temene yenta wus ta sangoni rasa sengsem.

Terjemahan:

Basukarna:„Apa tidak ada makanan yang tersedia?‟

Surtikanthi:„Iya sudah saya siapkan.‟

Basukarna : ‘Adinda bodoh ya? Adinda kok bodoh? Yang saya maksud air itu bukan berarti air minum dalam arti Kakanda harus minum air,namun kesegaran ini kalau Adinda memberikan sesuatu yang mengesankan‟.

Tuturan BasukarnaApa ra ana daharan kang semandhing terhadap Surtikanthi merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata apa.Pemarkah apa merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan yang ditandai dengan penanda lingual tanda tanya (?). Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas.

Requirements seperti menyuruh dan mendikte jangan sampai dirancukan dengan request (memohon) meskipun permohonan dalam pengertian yang kuat.

Terdapat sebuah perbedaan penting di antara kedua perintah dan permohonan.

Dalam memerintah, penutur mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak; Adapunrequirements maksud yang diekspresikan penutur adalah bahwa mitratutur menyikapi ujaran petutur sebagai alasan untuk bertindak.Dengan demikian, ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak.

Akibatnya, requirements tidak mesti melibatkan ekspresi keinginan penutur supaya mitra tutur bertindak dalam cara tertentu. Mungkin jelaslah bahwa penutur tidak bisa memberikan perhatian lebih. Namun sebagai gantinya, apa yang diekspresikan oleh petutur adalah kepercayaannya bahwa ujarannnya mengandung alasan cukup bagi mitratutur untuk melakukan tindakan itu. Dalam mengekspresikan kepercayaan dan maksud yang sesuai, petutur mempresumsi bahwa dia memiliki kewenangan yang lebih tinggi daripada mitratutur (misalnya, otoritas fisik, psikologis, institusional) yang memberikan bobot pada ujarannya.

(6) Lesmana:Kula wontên dhawuh kakang Mas.

Ramawijaya: Lan sumurupayayi sayêktine walèh-walèh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira. (RGPA.Gn.013S) commit to user

(29)

Terjemahan

Lesmana: „Saya ada perintah apa Kanda?‟

Ramawijaya : „Dan ketahuilah Adinda sebenarnya apa yang harus terbuka di hatimu‟.

Tuturan Ramawijaya kepada Lesmana adiknya bahwa dalam kalimat Lansumurupa yayi sayektine waleh-waleh apa … merupakan jenis TTD perintah agar mengetahui atau memahami bahwa sebenarnya Arjuna terbuka hatinya.Pemarkah kata sumurupa „mengertilah‟ merupakan penanda yang menyatakan verba aktif dari kata dasar su(um)+urup+a. Penanda akhiran –a merupakan pemarkah perintah langsung lugas bermakna perintah agar mengetahui dan memahami. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas.

Prohibitives (larangan), seperti melarang atau membatasi, pada dasarnya adalah requirements (perintah/suruhan) supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu. Melarang orang merokok sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok.

(7) Ramawijaya: Kowe aja klèru, iki dudu prêkara Wisnu. (BNPA.Gn.067M) Dasamuka : Kêblingêr piyé, hêm?

Ramawijaya : Ngertiya, tekaku ora mung ngrebut bojoku, nanging bakal ngendhek angkaramu. Jagad iki bakal saya remuk bubuk ajur mumur yenta isih tinekem dening kliliping jagad kaya dhapurmu.

Terjemahan

Ramawijaya:„Kamu jangan keliru, ini bukan urusan Wisnu‟.

Dasamuka: ‘Terkecoh bagaimana?‟

Ramawijaya : ‘Ketahuilah, kedatanganku bukan hanya merebut isteriku, namun juga akan memberhentikan angkaramurkamu.

Bumi ini akan hancur luluh lantak jika masih terkena sentuhanmu‟.

Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka merupakan jenis TTD melarang dapat diamati dengan adanya penanda aja kleru. Kata aja kleru yang ditandai dengan pemarkah aja merupakan bentuk tindak tutur melarang yanng berarti tidak boleh melakukan sesuatu. Hal ini dapat dilihat ketika Ramawijaya melarang Dasamuka membicarakan tentang perihal yang berkaitan dengan turunan

commit to user

(30)

wisnu.Ramawijaya menganggap bahwa hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah turunan wisnu.

Permissives mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga Mitratutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitratutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan permissive adalah dengan mengabulkan (grant) permintaan izin atau melonggarkan pembatasan yang sebelumnya dibuat terhadap tindakan tertentu. Oleh karena itu, dalam permissives tampak bahwa penutur mempresumsi adanya permohonan terhadap izin itu atau mempresumsi adanya pembatasan terhadap apa yang dimintakan izin itu.

(8) Basukarna : Upamané mengkono prasida iki ingkang tak pilih.

Surtikanthi : Sangêt-sangêt ing panyuwun kula, kaparênga paduka ngêndika sêpisan malih hanjabêl prêkawis sêda nanging têtêp jaya. (KTNS.Gn.096M)

Terjemahan

Basukarna : „Seandainya seperti itu, mati terhormatlah yang saya pilih‟.

Surtikanthi : „Sanga-sangat dalam permohonanku, perkenankan Paduka berbicara untuk mencabutmasalah kematian namun tetap jaya/merdeka‟.

Tuturan Sanget-sanget ing panyuwun kula, kaparenga paduka ngendika sepisan malih hanjabel prekawis seda nanging tetep jaya. Tuturan Surtikanthi terhadap Basukarna merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah panyuwun kula „permintaan saya, pemarkahkaparenga „izinkanlah‟, dan akhiran –a dalam kata kaparenga „mempersilakan‟. Pemarkah keparengamerupakan penanda untuk mempersilakan dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+pareng+a. Kata panyuwun kula merupakan TTD permintaan dan kata keparenga merupakan TTD mempersilakan.

Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung dan lugas. Untuk advisories, apa yang diekspresikan penutur bukanlah keinginan bahwa mitratutur melakukan tindakan tertentu,melainkan kepercayaan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal yang baik.Tindakan itu merupakan kepentingan mitratutur. Penutur juga mengekspresikan maksud bahwa mitratuturmengambil kepercayaan tentang ujaran petutur sebagai alasan untuk bertindak. Maksud perlokusi yang sesuai commit to user

(31)

adalah bahwa mitratutur menyikapi petutur untuk percaya bahwa petutur sebenarnya memiliki sikap yang dia ekspresikan dan mitratutur melakukan tindakan yang disarankan untuk dilakukan (tentu saja mungkin, bahwa petutur sebenarnya tidak perduli).

Advisories bervariasi menurut kekuatan kepercayaan yang diekspresikan sebagian advisories mengimplikasikan adanya alasan khusus sehingga tindakan yang disarankan merupakan gagasan yang baik. Dalam peringatan, misalnya, petutur mempresumsi adanya suatu kesulitan bagi mitratutur.

(9) Arjuna: … Penandhang kang tumpuk matumpa-tumpa.

Semar: …. Keparênga mupus ing pênggalih. ... Prayogi sawêtawis wau angginakna pètang-pétang ingkang jangkêpunsampun ngantos klintu têmbê wingkingipun ndara (KTNS.Gn.044S).

Terjemahan

Arjuna: „Halangan yang bertububi-tubi‟

Semar :„Perkenankan mengikhlaskan…lebih baik menggunakan hitungan yang cermat jangan sampai keliru diakhirnya‟.

Tuturan …keparenga mupus ing penggalih. ... Prayogi sawetawis wau angginakna petang-petang ingkang jangkep …. adalah tuturan Semar kepada Arjunayangberjenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah prayogi

„sebaiknya‟ sebagai indikator penanda lingual TTD menasihati. Pembicaraan antara Semar dengan Arjuna merupakan jenis TTD menasihati karena Semarmemberikan nasihat atau menyarankan agar harus selalu menggunakan semua perhitungan yang tepat. Hal itu dimasudkan agar di kemudian hari tidak salah dalam perhitungan.

4.Prinsip Berkomunikasi a. Prinsip Kerja Sama

Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama setiap penutur harus memenuhi empatmaksim percakapan, yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan (Grice, 1975: 45-47).

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Untuk mengetahui pengaruh pemberian program promosi kesehatan pencegahan diabetes melalui media audio visual terhadap peningkatan tingkat pengetahuan dan sikap pada

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD sebagaimana

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rokhmah yang menunjukkan mayoritas ODHA memiliki sikap yang positif terhadap HIV/AIDS dan

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara teknik observasi, tenik rekam, dan teknik wawancara. Data diambil dengan cara observasi ke beberapa tempat

a) Berkas pengesahan perakitan dan atau data teknik pembuatan sebagaimana diuraikan di atas dan dokumen teknik yang terkait dengan fondasi, pemipaan, dan lain-lain. b)

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

Keenam; Pasal 33 tidak melarang usaha orang seorang (non pemerintah),yaitu usaha swasta dalam negeri dan asing untuk usaha- usahaperekonomian yang tidak penting bagi negara atau