TINJAUAN PUSTAKA Proses Komunikasi Mencari Informas
WID GAD Pendekatan Pandangan bahwa yang menjadi sumber
permasalahan ada pada perempuan
Pandangan yang menganggap bahwa sumber permasalahan ada pada pembangunan
Fokus Perempuan Pola relasi antara perempuan dan
laki-laki
Masalah Tidak berperan sertanya perempuan (separuh sumberdaya produktif) dalam proses pembangunan
Ketidaksejajaran hubungan kekuasaan (kaya-miskin, perempuan laki-laki) menyebabkan berlangsungnya pembangunan yang tidak adil dan tidak berperan sertanya perempuan secara maksimal
Tujuan Pembangunan yang lebih efektif dan efisien
Pembangunan yang adil dan berkesinambungan dengan perempuan dan laki-laki sebagai pengambil keputusan
Solusi/Pemecahan Mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan
• Memperkuat (empower)
perempuan yang terpinggirkan/marginal, tidak
beruntung
• Mengubah pola-pola
hubungan yang tidak sejajar
Strategi • Proyek-proyek untuk perempuan
• Kegiatan proyek khusus untuk
perempuan
• Proyek-proyek terpadu
• Meningkatkan produktivitas perempuan
• Meningkatkan pendapatan perempuan.
• Meningkatkan keterampilan perempuan
dalam mengurus rumah tangga
• Mengidentifikasi kebutuhan
praktis sebagaimana didefinisikan oleh perempuan
dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka
• Bersamaan dengan itu,
ditangani juga kebutuhan
strategis perempuan
• Menangani kebutuhan
strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat
Sumber: Nugroho (2008)
Pendekatan WID dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kegagalan, karena masih banyak perempuan tetap berada sebagai pihak yang kurang beruntung. Seperti memperoleh upah yang lebih rendah dari laki-laki, kesempatan sebagai pimpinan di dunia kerja masih terbatas. Diharapkan melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, kaum
perempuan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik sehingga dapat menunjang sektor-sektor produktif di masyarakat.
Sebagai respons dan evaluasi karena kurang berhasilnya WID, pada dasawarsa ’90an muncul konsep baru yaitu GAD. Konsep ini menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki dapat diubah. Pendekatan ini lebih sesuai, karena menekankan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan semata (Nugroho 2008).
Peran domestik yang semula sering dikatakan milik kaum perempuan, dapat melibatkan juga tanggung jawab kaum laki-laki. Peran tersebut ada sebagai hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Perempuan juga bekerja di luar rumah seperti laki-laki, mengambil keputusan dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan dan ada kesetaraan pada peran laki-laki dan perempuan. Melibatkan laki-laki dan perempuan berdasarkan pengalaman, aspirasi dan kebutuhan dapat meminimalkan kesenjangan gender dalam setiap aspek pembangunan. Everts (1998) dan Srini (2001) berpendapat bahwa, tidak ada egaliter pada relasi gender tanpa memperkuat posisi perempuan. Gender adalah mengenai laki-laki dan perempuan, namun ketidaksetaraan dalam relasi gender seringkali dialamatkan dengan memperkuat posisi perempuan dan memenuhi kebutuhan perempuan. Penelitian ini menganalisis pendekatan GAD yang lebih memperhatikan persoalan gender daripada persoalan perempuan secara terisolasi. Setelah WID dan GAD, dikenal konsep Gender
Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender, yaitu suatu konsep baru dan secara
legalitas dimulai tahun 2000 dan berkembang sejak beberapa tahun terakhir ini.
Konsep Gender Mainstreaming ini dibuat untuk keperluan mendukung perempuan dalam pembangunan dan bagaimana memasukkan nilai-nilai perempuan ke dalam pembangunan itu. Pada Konferensi Perempuan yang ke empat di Beijing tahun 1995 dan merupakan Platform of Action, disepakati 12 bidang kritis permasalahan perempuan yaitu: kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, konflik militer dan kerusuhan, akses sumberdaya ekonomi, pengambilan keputusan dan politik, lembaga yang dapat memperjuangkan perempuan,
hak azasi perempuan, akses media informasi, pencemaran lingkungan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Berkaitan dengan relasi gender telah dihasilkan kesepakatan bersama bangsa- bangsa dalam bentuk target pembangunan yaitu The United Nations Millenium
Development Goals (MDGs) yang terdiri dari delapan tujuan: memberantas kemiskinan
dan kelaparan; mewujudkan pendidikan dasar; meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi angka kematian bayi; meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDs, malaria dan penyakit menular lainnya; pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan (Nugroho 2008; Supiandi 2008).
Gender Mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu
strategi mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang pembangunan. Menurut KEM PP (2000) manfaat melaksanakan PUG bagi laki-laki dan perempuan adalah:
• Memperoleh akses yang sama laki-laki dan perempuan pada sumberdaya pembangunan;
• Berpartisipasi yang sama laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan termasuk proses pengambilan keputusan;
• Memiliki kontrol yang sama laki-laki dan perempuan atas sumberdaya pembangunan;
• Memperoleh manfaat sama pada laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan. Akses yaitu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh peluang untuk menggunakan atau mendapatkan sumberdaya pembangunan yang antara lain adalah berbagai informasi pertanian untuk kepentingan faktor produksi seperti tanah, kredit, pelatihan, pemasaran dan semua pelayanan publik serta keuntungannya. Memiliki akses juga berarti memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut.
Manfaat adalah keuntungan sebagai hasil dari penggunaan informasi yang adalah sumberdaya pembangunan. Partisipasi adalah kesempatan yang setara dari perempuan dan laki-laki di segala tingkatan dalam hal pengambilan keputusan, kebijakan
pembangunan, perencanaan dan administrasi. Kontrol adalah manifestasi dari keseimbangan relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan. Memiliki kontrol adalah memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya termasuk sumberdaya informasi.
Supiandi (2008) berpendapat baik laki-laki dan perempuan mesti mendapatkan akses untuk memperoleh informasi. Dalam proses komunikasi, memberi akses informasi kepada penerima dapat melalui saluran komunikasi yaitu tatap muka atau personal, kelompok maupun media massa (Rogers 1969; Rogers 2003; Ellis 1993; Everts 1998; Wilson 2000). Dalam proses komunikasi, upaya memasukkan faktor individu sebagai penerima dengan melihatnya sebagai penerima pasif dari informasi pertanian yang dirancang dari luar, seringkali tidak berhasil karena kurang memaknai bahwa sebagai manusia, perempuan dan laki-laki mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang berbeda meskipun bekerja dalam bidang yang sama. Petani perempuan seperti dikatakan oleh Sugarda et al. (2001) memang tidak selalu hadir dalam pertemuan desa bersama suami, namun pengaruhnya tetap melekat pada suaminya karena seringkali perempuan yang ingin mencoba untuk mempraktekkan cara baru kalau ada informasi tentang bibit baru. Kenyataan ini memperlihatkan kalau petani perempuan jangan dilupakan terutama dalam hal terpaan informasi pertanian. Artinya kebutuhan informasi petani perempuan perlu juga mendapat perhatian karena kontribusi mereka dalam ekonomi keluarga melalui aktivitas di lahan pertanian terbukti sangat besar. Di samping itu seringkali kunci keberhasilan atau kegagalan pembangunan pertanian antara lain karena tidak maksimalnya peran salah satu gender.
Aktivitas komunikasi dari penerima untuk mendapat akses pada informasi juga perlu mendapat perhatian. Hal ini sesuai dengan pendapat Heath dan Bryant (2000) bahwa aktivitas komunikasi mencari untuk dapat akses pada informasi terdiri dari berbagai cara yaitu:
(a) Perilaku komunikasi pasif yaitu individu tidak secara khusus berusaha mencari suatu informasi namun akan memproses informasi yang kerap menerpanya.
(b) Perilaku komunikasi aktif yaitu individu sengaja mencari informasi dan mencoba untuk memahaminya. Jadi mereka yang aktif mencari kemungkinan lebih mengerti tentang informasi tersebut daripada yang berperilaku pasif.
(c) Perilaku komunikasi interaktif yaitu individu yang bersangkutan sangat bergantung pada komunikasi dengan orang lain untuk dapat melakukan diskusi.
Dalam penelitian ini mencari untuk mendapatkan akses terhadap informasi pertanian dikategorikan dalam tiga indikator yaitu: mencari dengan pasif, aktif, melalui diskusi.
Adapun kontrol pada informasi dari laki-laki dan perempuan dapat diartikan sebagai memiliki kendali atas informasi yang ada. Kemampuan kognitif seperti baca tulis atau tingkat pendidikan yang memadai tidak hanya membuat seseorang mampu untuk mengontrol tingkat informasi yang diterimanya dari media cetak, elektronik atau internet, tetapi juga mampu memproses, menyimpan dan mendapatkan kembali informasi tersebut untuk digunakan apabila diperlukan. Dalam pertanian, kemampuan petani untuk mengambil kembali informasi yang sudah pernah diterimanya sangat penting. Untuk yang dapat membaca hanya perlu mengingat dimana ia menyimpan informasi tertulis itu. Adapun untuk yang tidak dapat membaca, harus mencoba mengingat keseluruhan informasi yang pernah diterimanya secara lisan baik melalui medium atau interpersonal (Rogers 1969).
Everts (1998) menambahkan bahwa tingkat kontrol antara perempuan dan laki- laki terhadap informasi akan berbeda, tergantung pada relasi gender sebagai suatu sistem sosial yang berlaku di lingkungan tersebut. Pada relasi gender kendali atas informasi mungkin saja berada pada pihak laki-laki namun perempuan juga mempunyai pengaruh untuk menentukan apakah informasi itu akan digunakan atau tidak.
Penelitian Sitepu (2007) tentang Desain Sistem Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Gender di Provinsi DI Yogyakarta menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan kebutuhan dan kontrol informasi pada petani laki-laki dan perempuan melalui berbagai saluran komunikasi dan kelembagaan usahatani tentang sumber air untuk sumur ladang dan sumur embung.
Kontrol terhadap informasi pertanian adalah memiliki kendali atas informasi pertanian yang dibutuhkan dan mampu mengambil keputusan atau menentukan terhadap informasi tersebut. Dalam penelitian ini, kontrol informasi sebagai kemampuan menentukan informasi pada petani laki-laki dan petani perempuan, dikategorikan dalam dua indikator yaitu: menentukan sendiri dan menentukan bersama.
Materi Informasi
Studi komunikasi secara substansi sangat terikat dengan konsep informasi. Konsep informasi yang populer sejak tahun 1950, merupakan inti dari setiap aktivitas komunikasi serta memegang peranan penting dalam membuka wawasan berpikir manusia terhadap dunia nyata yang dihadapinya. Sejumlah informasi yang dibutuhkan, diharapkan dapat mengubah konsep–konsep yang ada dalam diri individu. Semakin banyak informasi yang diterima atau dapat diakses, semakin menimbulkan rasa tidak puas dengan kondisi saat ini, sehingga bisa saja membutuhkan informasi lagi untuk memuaskan keingintahuannya. Istilah informasi dalam komunikasi adalah tingkat kebebasan yang nyata dalam situasi untuk memilih yang diberikan di antara sinyal, simbol, pesan atau pola-pola yang ditransfer. Informasi dapat diartikan sebagai pesan yang dikirimkan dari seseorang ke orang lain, dengan tujuan agar orang lain tersebut mempunyai pandangan yang sama dengan si pengirim. Setiap komunikasi manusia terdiri dari serangkaian sistem yang digabung. Sistem yang meliputi sumber, saluran, penerima, dimana gabungan sistem berkaitan satu dan yang lain. Jika gabungan ini putus, informasi tidak diterima atau tidak sampai sesuai yang diinginkan (Severin dan Tankard 2008). Menurut Stamm dan Bowes (1990) informasi biasanya disetarakan dengan pesan. Artinya bisa pesan itu sendiri, dimana pesan itu mengandung informasi. Apabila mensetarakan pesan dan informasi memang tidak salah. Hanya tidak lengkap, karena tidak memperhitungkan bahwa pesan itu menjadi informatif, karena terkait dengan sesuatu. Sehingga informasi yang sebenarnya adalah apapun yang diacu oleh pesan tersebut. Misal informasi pertanian, maka segala sesuatu yang mengacu pada pesan pertanian adalah materi informasi pertanian.
Kaye (1997) mengemukakan bahwa untuk mampu mengenali inti permasalahan yang sedang dihadapi, kita dituntut untuk memperoleh informasi lebih banyak. Untuk mengumpulkan informasi lebih banyak, membutuhkan sumberdaya informasi yang relevan dan kemampuan untuk akses terhadap sumber informasi. Petani laki-laki maupun perempuan yang aktif mencari informasi cenderung memperoleh informasi yang lebih banyak. Meskipun hal ini juga tergantung pada kualitas sumber informasi serta intensitas interaksi antara petani dengan sumber informasi. Apabila dikaitkan dengan pembangunan pertanian pada masa mendatang, informasi memegang peranan penting dalam
memperkenalkan metode-metode baru, teknologi produksi baru, informasi pasar dan lain- lain. Namun informasi yang bertumpuk belum tentu menjamin pemanfaatannya menjadi lebih baik, karena masih tergantung pada kemampuan mengorganisir informasi tersebut. Artinya materi informasi merupakan sumberdaya yang sangat bernilai bagi masyarakat termasuk petani. Ayoola (2000) dalam Agricultural Policy Networking the way forward
mengungkapkan bahwa, informasi adalah pesan. Dalam proses komunikasi, pesan atau informasi ditransmisikan dari sumber kepada pengguna melalui berbagai saluran. Informasi sebagai sumberdaya pembangunan mempunyai keterkaitan dengan beberapa hal yaitu:
1 Keterkaitan dengan konteks. Informasi sebagai sumberdaya pembangunan pertanian pedesaan tergantung pada situasi dan isu spesifik. Masyarakat petani di pedesaan yang kurang terdedah pada media seperti masyarakat kota, tetap membutuhkan dan selalu mencari informasi yang terkait dengan usahataninya. Yaitu informasi dengan materi tentang lingkungan seperti cuaca/iklim, tanah, penggunaan air, pembibitan, pupuk; produksi pertanian dalam hal penanganan hama, pola tanam; informasi tentang panen seperti pemetikan dan pengkemasan dan informasi tentang penguatan sumber daya manusia seperti pelatihan, informasi tentang ekonomi yaitu pemasaran, mutu produksi, modal dan juga kredit.
2 Keterkaitan dengan budaya. Informasi mempunyai ketergantungan dan keterkaitan pada budaya. Karena dapat melibatkan perbedaan konsep dan kognitif. Bila informasi dan cara menyampaikan tidak sesuai dengan kondisi petani sebagai komunitas atau sistem sosial, maka informasi tidak dapat diterima, atau tidak akan dicari. Informasi memang tidak sepenuhnya terbebas dari nilai yang berlaku pada komunitas. 3 Keterkaitan dengan medium atau saluran. Pada komunitas yang masih dominan dengan tradisi komunikasi lisan, perlu mempertimbangkan medium dan kemasan yang sesuai dengan daya terima komunitas. Untuk komunitas yang sudah dapat baca tulis, kemasan informasi dan medium juga tergantung dengan selera dan pilihan.
Meyer (2005) dalam The nature of information, and the effective use of
information in rural development mengungkapkan bahwa ketiadaan informasi akan
penting seperti sumberdaya lainnya, karena perencana pembangunan ada kalanya belum mengakui peran informasi sebagai sumberdaya yang mendasar dan juga belum menyadari
nilai potensialnya. Akar dari perilaku untuk dapat akses pada materi informasi adalah konsep
kebutuhan terhadap materi informasi tersebut. Adapun kebutuhan informasi tersebut dapat timbul karena berbagai hal, di antaranya karena ada masalah atau belum yakin terhadap sesuatu. Membutuhkan, mencari, menyeleksi dan memproses informasi adalah proses komunikasi yang alamiah. Sears dan Freedman (1971) menjelaskan kebutuhan informasi pada audiens dimediasi oleh selektivitas, seperti faktor-faktor kelompok dan interpersonal. Ini berarti bahwa audiens akan selektif dalam keterbukaan mereka terhadap informasi pertanian.
Penelitian Hendriks dan Morris (2005) mengenai petani perempuan dengan usahatani organik lahan skala kecil di KwaZulu Natal, Afrika Selatan membuktikan bahwa petani membutuhkan informasi karena ingin meningkatkan pendapatan keluarga. Ketersediaan informasi sangat bermanfaat bagi petani dan dapat mengarahkan petani untuk mengambil keputusan. Kebutuhan terhadap informasi, mengarahkan petani untuk selektif dalam mencari informasi yang sesuai dengan usahataninya.
Meyer (2005) menjelaskan kalau kebutuhan pada materi informasi yang terkait dengan produksi pertanian, umumnya berkisar mengenai bibit, pupuk, penyuluhan dan pelatihan, teknologi, peralatan pertanian, teknik implementasinya seperti membajak/meluku, menebar benih, cara mengontrol hama dan juga kesuburan tanah, air, kondisi iklim, kredit, pemasaran dan infrastruktur. Petani akan selektif terhadap informasi yang ada sesuai kebutuhannya. Pengertian selektivitas terhadap kebutuhan informasi adalah kebutuhan yang dirasakan dan dicari oleh petani laki-laki dan perempuan untuk mendukung keberlangsungan dan pengembangan usahatani sayuran organik yang mereka usahakan.
Secara ringkas Meyer (2005) mengatakan, materi informasi yang terkait dengan aspek lingkungan adalah informasi mengenai ketersediaan air, jenis komoditas yang diusahakan oleh petani, informasi tentang iklim, dan informasi tentang ketersediaan lahan. Sedangkan Hartomo (2007) menambahkan materi informasi yang terkait dengan aspek produksi adalah pola tanam, pembuatan pupuk, perlindungan tanaman,
penyiraman, menyediakan peralatan produksi pertanian. Adapun informasi dengan aspek penanganan panen dapat terdiri dari teknik memetik, menuai hasil ladang, pemotongan, pencabutan, penumpukan hasil panen. Ditjen Hortikultura (2007) mengatakan materi informasi untuk mengelola usahatani sayuran organik meliputi: lahan, air, penggunaan benih, penanaman, pemupukan, perlindungan tanaman, pemeliharaan tanaman, panen, penanganan pasca panen, alat dan mesin pertanian.
Penelitian Wijayanti (2003) mengenai kebutuhan informasi petani tanaman hias sebagai kasus di Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa petani memilih informasi berdasarkan kebutuhan untuk mengembangkan usahatani tanaman hiasnya yang ditinjau dari informasi teknologi budidaya tanaman hias, informasi permodalan, informasi lokasi usahatani, informasi sarana produksi tanaman hias dan informasi pasar.
Penelitian ini juga mengamati perbedaan dan persamaan petani laki-laki dan perempuan dalam selektivitasnya untuk akses dan kontrol pada informasi pertanian serta penggunaannya. Adapun materi informasi penelitian dikategorikan dalam delapan indikator yaitu: Aspek lingkungan yaitu kesuburan tanah dengan pupuk alami, masalah air, kesesuaian jenis sayuran dengan kondisi musim, lingkungan sekitar dan permintaan konsumen. Aspek produksi yaitu bibit, bahan membuat pupuk alami, menyiram, waktu tanam, jarak tanam, bahan alami untuk perlindungan tanaman. Aspek penanganan panen yaitu kegiatan memetik/memanen sayuran, umur yang tepat untuk memanen sayuran, cara pencabutan tanaman, pemotongan tangkai tanaman. Aspek penanganan pasca panen yaitu perlu ada tempat yang bersih untuk meletakkan hasil panen, tidak mencampur sayuran organik dan non organik, pencucian hasil panen, pengolahan hasil panen. Apek ekonomi yaitu harga jual, jenis sayuran organik yang laku sesuai keinginan pasar, distribusi serta pemasaran. Aspek pengembangan sumberdaya manusia untuk petani seperti informasi tentang pelatihan, jadwal dan materi penyuluhan melalui demplot, magang dan studi banding di desa lain. Aspek kelembagaan yaitu tentang kegunaan kelompok tani, kegunaan pertemuan kelompok dalam mengambil keputusan, kegunaan kelompok untuk bertukar informasi, kegunaan koperasi.
Saluran Komunikasi
Proses mencari untuk akses dan kontrol informasi, merupakan konsekuensi dari mencapai kebutuhan yang diinginkan. Dalam proses mencari informasi, individu akan berinteraksi dan juga selektif dengan berbagai jenis saluran komunikasi. Menurut Rogers (1969) dan Rogers (2003) ada dua macam saluran komunikasi yang dapat menyampaikan pesan-pesan pembangunan pertanian atau informasi pertanian, yaitu saluran media massa dan saluran interpersonal. Santucci (2005) menambahkan selain saluran media massa dan interpersonal juga dikenal saluran komunikasi melalui kelompok atau metode kelompok.
Rogers (2003) menguraikan tentang kategorisasi saluran komunikasi, bahwa seringkali sulit bagi penerima pesan untuk membedakan sumber pesan dan saluran yang membawa pesan. Sumber adalah individu atau institusi yang menghasilkan pesan. Saluran ialah pesan yang didapatkan dari sumber untuk disampaikan kepada penerima. Hal ini menjadi alasan, bahwa dalam penelitian ini sumber informasi ataupun saluran akan mempunyai akurasi yang sama.
Berbagai tipologi saluran komunikasi menurut Rogers (1969) dalam
Modernization Among Peasant: The Impact of Communication dan Santucci (2005)
dalam Strategic Communication For Rural Development serta Leeuwis (2004) dalam
Communication for Rural Innovation Rethinking Agricultural Extension ialah: (a) Saluran interpersonal yaitu komunikasi tatap muka dengan keluarga, tetangga/teman,
pedagang alat usahatani, penyuluh. Saluran interpersonal antar individu sangat efektif, ada dialog, interaktif , ada umpan balik langsung. Saluran interpersonal dapat merubah sikap khalayak, berlangsung tatap muka antara satu penerima atau lebih dengan pemberi informasi. Tempat pertemuan dapat di kantor penyuluh, rumah, lahan, atau pasar.
(b) Saluran media massa yaitu dalam bentuk tercetak dan elektronik. Tercetak adalah koran pedesaan, majalah, brosur, buku, poster. Elektronik adalah radio, televisi, internet. Saluran media massa mempunyai potensi menyebarkan informasi dengan
cepat. Penelitian terdahulu membuktikan saluran media massa berhasil merubah kognisi dan meningkatkan pengetahuan tentang air bersih pada kedua gender (Septiana 2008).
(c) Saluran kelompok yaitu pertemuan dalam jumlah tertentu. Kemungkinan adanya umpan balik menjadi terbatas, namun antar individu dapat saling berinteraksi. Misal
pada pertemuan kelompok tani, kunjungan kelompok ke lokasi demplot, study tour ke lahan petani di desa lain. Pendapat Santucci (2005), suatu kelompok dapat terdiri dari 15 sampai 20 orang. Bila partisipan lebih dari jumlah tersebut, akan ada masalah komunikasi. Misalnya beberapa orang tidak berpartisipasi sepenuhnya dan umpan balik dari individu akan mengalami distorsi. Melalui pertemuan kelompok, petani laki-laki dan perempuan sebagai partisipan dapat belajar, saling berinteraksi baik verbal dan nonverbal. Serta mempraktekkan ketrampilan yang diberikan oleh pelatih atau ketua kelompok.
Perbedaan mencari dan menggunakan informasi dalam komunitas petani akan nampak dengan mengidentifikasi aktivitas komunikasi petani laki-laki maupun perempuan di lokasi, melalui saluran komunikasi yang digunakan. Menurut Lionberger dan Gwin (1991), perempuan lebih senang dan merasa leluasa kalau mendapat kesempatan untuk bicara maupun diskusi dengan sesama perempuan seperti dirinya. Terutama bila menggunakan bahasa yang sama. Hal ini karena ada tingkat kesamaan dalam beberapa atribut pada individu yang saling berinteraksi. Namun bila bahasa yang digunakan antar individu berbeda, maka komunikasi yang efektif jarang terjadi.
Skuse et al. (2007) dalam Poverty and DigitalInclusion menemukan bahwa untuk mengatasi kemiskinan dalam perspektif gender di Nepal ada perbedaan perilaku komunikasi antara laki–laki dan perempuan di Desa Jhuwani Nepal. Temuannya ialah untuk akses pada saluran komunikasi, laki-laki lebih cenderung menggunakan HP, komputer dan fasilitas fax, internet atau surat kabar. Sedangkan perempuan lebih senang