• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku (Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.

Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone)

2.1. Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku (Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.

Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone)

Latief (2008) menyebutkan bahwa garis batas wilayah pesisir yang konkrit tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis imajiner yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan karakteristik pesisir setempat. Di wilayah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai (shoreline). Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan relatif sempit. Untuk kepentingan pengelolaan /perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat bisa sampai ke hulu daerah aliran sungai apabila di situ terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya di bagian hilir. Sedangkan ke arah laut, cenderung menyesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku di setiap provinsi, kabupaten atau kota (Dahuri et al., 1996). Batas wilayah pesisir ke arah darat adalah 50 km (Lundin, 1996 dalam

Latief, 2008) atau 150 km dari garis pantai (shoreline) (Hinrichson, 1998 dalam

Latief, 2008). Keduanya sepakat bahwa ke arah laut menggunakan batas yurisdiksi wilayah negara provinsi (Latief, 2008). Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir meliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, pasir, dan lain-lain. Sebagai pertemuan dua ekosistem, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Daerah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan di darat, laut dan udara,

sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas

untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;

3. Daerahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang

sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;

5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.

Kelima karakteristik tersebut bermuara pada tiga keunikan wilayah pesisir (Pratikto, 2005), yaitu:

1. Ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis, dan mudah mengalami kerusakan/rentan (vulnerable) apabila dimanfaatkan manusia; 2. Sumber daya pesisir yang kaya tersebut dimanfaatkan berbagai pihak untuk

berbagai kepentingan (multiple use) sehingga menimbulkan konflik;

3. Di perairan pesisir masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumberdaya dan membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku.

Wilayah pesisir memiliki beberapa bentuk dan tipe geomorfologi gisik (beach) atau pantai (shore) yang sangat bergantung pada letak, kondisi, dan posisi pantai itu seperti pantai terjal, pantai berbatu, pantai berpasir, pantai landai, pantai campuran, pantai dalam, pantai netral, pantai paparan, pantai pulau, pantai tenggelam, dan pantai timbul (Pratikto, 2005), sebagai contoh: • Tipe pantai landai terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan

pantai selatan Kalimantan;

• Tipe pantai campuran terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur;

• Tipe pantai terjal terdapat di sebagian pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera;

• Pada pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), sering terdapat sungai besar yang mengalir ke laut, yang sangat berpengaruh terhadap bentuk dan tipe pantai di sekitarnya serta material yang membentuknya, ada yang membentuk laguna (Segara Anakan), delta (Delta Mahakam) atau gumuk pasir.

Mengingat kondisi wilayah pesisir yang unik dengan berbagai tipe tersebut, maka faktor-faktor yang bekerja di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, dan salinitas jauh lebih berfluktuasi daripada di lautan atau perairan darat (sungai dan danau). Besaran (magnitude) faktor tersebut berubah secara berangsur dari arah darat ke laut lepas. Karakteristik geomorfologi dan oseanografi yang sangat dinamis namun rentan terhadap dampak eksploitasi, inilah yang mendorong kebutuhan sehingga wilayah pesisir harus dikelola dan diatur pemanfaatannya secara khusus dan hati-hati (Latief, 2008), baik itu untuk kepentingan pemanfaatan sumberdaya alamnya, maupun mitigasi bencana.

2.1.1. Pentingnya Sumberdaya Pesisir

Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan

ekonomi, industri , dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies), terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia beroperasi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir. Sampai tahun 2000, sekitar 30 % PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa-jasa lingkungannya. Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversitas laut tropis terkaya di dunia, dimana 30 % hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30 % terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60 persen konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 % ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut dari garis pantai (shoreline) (Pratikto, 2005). Ekosistem pesisir dapat mengurangi dampak bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti tsunami, gelombang pasang, banjir, dan abrasi (Dahuri et al., 1996).

2.1.2. Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan jasa lingkungan yang penting bagi kehidupan bangsa. Menurut Ma’arif (2007) sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir berdasarkan nilai ekonomis meliputi :

• Nilai ekosistem terumbu karang (ikan karang, lobster) memberikan nilainya 466 – 567 juta US$, ekosistem mangrove sebesar 569 juta US$, dan rumput laut sebesar 16 juta US$;

• Nilai ekspor udang mencapai Rp. 1 triliun dan ikan hias sebesar 32 juta US$/thn (1996). Sumbangan pada devisa negara sebesar 1,9 milyar US$ (2005);

• 25% kegiatan perekonomian Indonesia dari kegiatan di pesisir (Hopley Suharsono, 2000) dan mampu menyerap 14 juta tenaga kerja;

• Nilai migas dari kawasan pesisir sebesar 5,2 trilliun (ADB, 1995). Selain itu wilayah pesisir memiliki potensi SDA seperti emas, nodule, mangan, pasir besi, timah, lempung kaolin, dan pasir kuarsa;

• Nilai ekonomi kegiatan pariwisata menyumbangkan 248 – 348 juta US$.

Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah multiguna dan 14 sektor memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir. Pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti abrasi dan penerima dampak dari daratan seperti deforestasi, erosi dan sedimentasi serta eutrofikasi. Wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik mengkhawatirkan karena

42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % mangrove telah rusak dan 40 % gisik (beach) telah mengalami abrasi (Pratikto, 2005).

Dokumen terkait