• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Wisata Pantai

“Wisata” merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat, sedangkan wisata laut (bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya (Yulianda, 2007).

Kota Makassar mempunyai potensi dan daya tarik pariwisata yang cukup banyak dan dapat dikembangkan (81 objek). Objek-objek tersebut adalah objek wisata pulau, sungai dan pantai (26 objek), objek wisata budaya dan sejarah (11

objek), objek wisata pendidikan (8 objek) dan fasilitas olahraga 5 objek. Diantara objek-objek tersebut, yang masih sangat minim dan kurang dikembangkanadalah objek wisata pulau, sungai dan pantai, padahal objek tersebut memiliki potensi yang sangat tinggi. Kota Makassar mempunyai potensi pariwisata yang potensial, karena wilayahnya berada di dataran dengan ketinggian 0-25 m dengan panorama alam yang indah,terutama di sepanjang pantai dengan beberapa pulau pulau kecil, sehingga mempunyai berbagai potensi pariwisata perairan/bahari cukup banyak. (Pemda Makassar, 2004)

Untuk Pariwisata Alam seperti pantai banyak dijumpai di daerah ini sehingga Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata alam dan wisata sejarah karena kota Makassar dahulu dikenal dengan kota maritim dan niaga, bahkan bandar terbesar pada saat itu, maka akan sulit kita melepaskan antara Kota Makassar dengan Sejarah, budaya, maritim dan religius. Beberapa lokasi wisata antara lain adalah Benteng/ fort Rotterdam, makam Pangeran Diponegoro, Makam Raja raja Tallo, Perkampungan multi etnis, dan objek wisata lainnya. Permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan potensi tersebut adalah :Kurangnya sarana dan infrastruktur pendukung pariwisata, masih kurangnya promosi, masih kurangnya kerjasama dalam pengelolaan objek-objek pariwisata. seperti halnya potensi pada 11 pulau di kota Makassar yaitu : Pulau Kayangan, Lae-lae, Barang Lompo, Barang Caddi, Kodingareng Lompo, Kodingareng Keke, Bone Tambung, Lanjukang, Langkai, Lumu-lumu, yang keseluruhannya seluas 1,4 Km2. (Pemda Makassar, 2004)

Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 yang terdiri atas 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Makassar berbatasan langsung dengan Selat Makassar, mempunyai garis pantai sepanjang 32 Km serta mencakup 11 pulau dengan luas keseluruhan 178.5 Ha atau 1,1% dari luas wilayah daratan. Dengan kondisi geografis yang demikian, maka prospek pengembangan wilayah pesisir dan kepulauan dengan melakukan eksplorasi terhadap potensi kelautan dan perikanan, harusnya sangat kondusif bagi peningkatan investasi. Seperti diketahui bahwa pembangunan kelautan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan konservasi sumberdaya di kawasan pesisir dan laut di bidang perikanan

dengan tujuan pelesrtarian, pengendalian dan pengawasan sumber daya hayati dan non hayati daerah pesisir, pantai, laut dan pulau-pulau kecil. Hal ini di dorong oleh berbagai faktor yang mempengaruhi ekosistim pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terjadi di Kota Makassar seperti terjadinya tekanan pemanfaatan lahan dan ruang serta SDA yang ada diwilayah tersebut secara tidak terkendali, terhadap ekosistim wilayah pesisir. Sasaran pembangunan kelautan dan perikanan meliputi terciptanya pemanfaatan, perlindungan, pengendalian dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan dalam menjaga kelestarian ekosistim pesisir,laut dan pulau-pulau kecil sekaligus meningkatkan taraf hidup nelayan/masyarakat pesisir, terciptanya penataan ruang kawasan pesisir yang akan mendorong pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mewujudkan pengembangan pariwisata bahari. (Pemda Makassar, 2004)

Dalam pengelolaan ekowisata, kegiatan pembangunan akan tetap berlanjut apabila memenuhi tiga prasyarat daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan ekowisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan kebutuhan dengan kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan ekowisata dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi atau kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993). Sebaiknya untuk menjaga keberlanjutan dari pengelolaan ekowisata maka lingkungan harus bebas dari limbah, artinya tidak diberikan ruang untuk terjadinya pencemaran di daerah wisata

Selanjutnya Fandeli (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa usaha yang dapat meningkatkan daya tarik wisata, usaha yang demikian ini antara lain: 1. Usaha sarana wisata, penyewaan peralatan renang, selam, selancar, dan

sebagainya.

Tipologi pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan bahari saat ini adalah kegiatan ekoturisme (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Dari dimensi ekologis kegiatan ini jelas mengandalkan keindahan alam sehingga kegiatan ini akan mendorong tindakan konservasi untuk mempertahankan daya tariknya agar keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata ini dapat dipertahankan. Sementara itu aspek sosial masyarakat setempat dimana kegiatan ekoturisme ini berlangsung sering mendapat manfaat ekonomi dari pengembangan kegiatan jasa pendukung wisata, selain itu juga gangguan terhadap kehidupan tradisional masyarakat umumnya sangat kecil sekali (Dahuri, 2003).

Saifullah (2000) mengungkapkan bahwa ada beberapa manfaat pembangunan pariwisata :

1. Bidang ekonomi

 Dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 Meningkatkan devisa, mempunyai peluang besar untuk mendapatkan devisa dan dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain.

 Meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dengan belanja wisatawan akan meningkatkan pendapatan dan pemerataan pada masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung.

 Meningkatkan penjualan barang-barang lokal keluar.

 Menunjang pembangunan daerah, karena kunjungan wisatawan cenderung tidak terpusat di kota melainkan di pesisir, dengan demikian amat berperan dalam menunjang pembangunan daerah.

2. Bidang sosial budaya

Keanekaragaman kekayaan sosial budaya merupakan modal dasar dari pengembangan pariwisata. Sosial budaya merupakan salah satu aspek penunjang karakteristik suatu kawasan wisata sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Sosial budaya dapat memberikan ruang bagi kelestarian sumber daya alam, sehingga hubungan antar sosial budaya masyarakat dan konservasi sumber daya alam memiliki keterkaitan yang erat. Oleh karena itu, kemampuan melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada harus menjadi perhatian pemerintah dan lapisan sosial masyarakat.

3. Bidang lingkungan

Karena pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk pariwisata pada dasarnya adalah lingkungan dan ekosistem yang masih alami, menarik, dan bahkan unik, maka pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan terarah. Atraksi-atraksi yang dikembangkan harus sesuai dengan kaidah-kaidah alami sehingga katerkaitan antara potensi ekosistem dengan kegiatan wisata dapat berjalan seiring saling melengkapi menjadi satu paket ekowisata.

Berhasil tidaknya pengembangan daerah tujuan wisata sangat tergantung pada tiga faktor utama, yaitu: atraksi, aksessibilitas dan amenitas (Samsuridjal dan Kaelany, 1997). Betapapun baik dan menariknya suatu atraksi yang dapat ditampilkan oleh daerah tujuan wisata, belum menarik minat wisata untuk berkunjung karena masih ada faktor lain yang menjadi pertimbangan menyangkut fasilitas-fasilitas penunjang yang memungkinkan mereka dapat menikmati kenyamanan, keamanan, dan alat-alat telekomunikasi. Walaupun keberadaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan, namun pengembangannya harus menghindari bahaya eksploitasi, sehingga lingkungan hidup tidak mengalami degradasi (Soewantoro, 2001).